Senin, 15 April 2013

Pancasila dan UUD 1945 harga mati, kata siapa?

Pancasila dan UUD 1945 harga mati, kata siapa?
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Tulisan ini di buat sembari menunggu hasil RUU ormas terkait asas pancasila yang rencananya akan dijadikan asas bagi seluruh ormas yang berada di wilayah negara Indonesia yang informasinya akan di sahkan pada akhir maret 2013.
Penulis akan mengutip 2 pasal yang menjadi intisari dari RUU ormas tersebut yakni :
Pasal 2
“Asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3 “Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan
cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Pancasila
Pilar ini merupakan buatan Presiden Soekarno. Beliaulah yang kali pertama merumuskan ide pancasila ini. Dari lima dasar Pancasila, selanjutnya Soekarno mengusulkan Trisila, yang merupakan perasan dari Pancasila, yaitu: socio-nationalism, socio-democratie, dan ketuhanan, dan dari Trisila ini kemudian Soekarno juga mengusulkan Ekasila, yaitu “gotong-royong”. Soekarno berpendapat bahwa gotong-royong merupakan paham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan. Jadi, sangat aneh jika orang-orang yang datang belakangan mengatakan pancasila harga mati, sedangkan soekarno sendiri tidak mengatakan demikian, bahkan pernah mengusulkan Trisila bahka Ekasila.
Disamping itu, mengutip apa yang dijelaskan oleh Jubir Hizbut Tahrir Indonesia saat diundang sebagai pembicara untuk acara Bedah Buku Pancasila dan Syariat Islam karya Prof. Hamka Haq di Megawati Center, Jakarta, beliau menjelaskan bahwa “Pancasila hanyalah set of philosophy atau seperangkat pandangan filosofis tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang dijadikan sebagai dasar negara. Sebagai set of philosophy, Pancasila tidaklah mencukupi (not sufficient) untuk mengatur negara ini (to govern this country).Buktinya, di sepanjang Indonesia merdeka, dalam mengatur negara ini, rezim yang berkuasa—meski semua selalu mengaku dalam rangka melaksanakan Pancasila—ternyata menggunakan sistem dari ideologi yang berbeda-beda. Rezim Orde Lama misalnya, menggunakan Sosialisme. Rezim Orde Baru menggunakan Kapitalisme.Rezim sekarang oleh banyak pengamat disebut menggunakan sistem neo-liberal.Jadi, meski pada level filosofis semua mengaku melaksanakan Pancasila, underlying system atau sistem yang digunakan ternyata lahir dari ideologi sekularisme baik bercorak sosialis, kapitalis ataupun liberalis.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ’45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. Namun dalam sejarahnya, ternyata UUD’45 pernah mengalami 4 kali amandement.
Hal ini terjadi pasca era reformasi yang berhasil menggulingkan Presiden soeharto pada Mei 1998.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Dengan dasaar tersebut maka sejak kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
• Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Ini membuktikan bahwa klaim harga mati hanyalah klaim yang tak berdasar dan ahistoris terhadap pancasila dan UUD 1945 itu sendiri.
Syari’ah Islam Harga Mati
Syariat Islam Harga Mati yang tidak bisa ditawar. Islam tidak bisa dipisahkan dengan syariat Islam yang bersumber dari Allah dan rasulNya. Itu karena Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Allah swt menurunkan syari’at Islam kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril as yang ditujukan untuk mengatur interaksi hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara pakaian, makanan, minuman dan akhlak, yang mengatur interaksi hubungan manusia dengan sesamanya yakni dalam perkara mu’amalah dan ‘uqubat dan yang mengatur interaksi hubungan manusia dengan penciptanya yakni dalam perkara aqidah dan ibadah. Inilah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi atau mabda’, yakni agama yang tidak hanya berupa aqidah ruhiyah sebagaimana aqidah agama lain seperti agama ahlul kitab Nasrani dan Yahudi, atau agama musyrik seperti Hindu, Budha, Konghuchu, Sinto dan agama musyrik lainnya, atau juga Islam bukan hanya sebagai aqidah siyasiyah sebagaimana ideologi lain seperti kapitalisme dan sosialisme yang tidak memiliki aqidah ruhiyah, karena Islam adalah Aqidah ruhiyah sekaligus juga merupakan aqidah siyasah. Wallahu A’lam. []

Jangan Pertentangkan Islam dan Pancasila

Rapat pembahasan Piagam Jakarta
Oleh: Nuim Hidayat

MANTAN 
Perdana Manteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.

Entah apa maksud DPR kembali membuka luka lama umat Islam di masa Orde Baru dan Orde Lama. Mempertentangkan Pancasila dan Islam. Dalam draft RUU Ormas yang ingin digolkan DPR tahun ini, kembali masalah asas tunggal dimunculkan. Dalam RUU itu  pasal 2 disebutkan; Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta (Ormas) dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

RUU Ormas ini tentu mundur dari Orpol. Bila dalam UU Orpol sebuah organisasi membolehkan Islam dicantumkan sebagai asasnya –dan ini perjuangan panjang puluhan tahun- kenapa kini dalam ormas dinafikan adanya Islam sebagai asas dan harus Pancasila?

Karena itu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin sangat menyesalkan hal ini. "Janganlah kita kembali membuka luka lama. Betapa lelah dan energi terkuras ketika Undang Undang Ormas tahun 1985 dulu diajukan dan ada pendesakan untuk menerapkan asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah sampai mengundurkan muktamarnya dan apalagi waktu itu muncul upaya mempertentangkan Pancasila dengan Islam,” kata Din di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat.

Kita ingat bagaimana tahun 1985 itu –ketika masa awal pemerintahan Soehartodibackup oleh kelompok think tank Katolik CSIS—umat Islam ditekan terus menerus hingga harus menerima asas tunggal Pancasila. Selain itu pemerintah saat itu juga melarang tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem kembali berpolitik. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi mata ajaran wajib di seluruh tingkatan sekolah dan seterusnya.

Ketika asas tunggal Pancasila dipaksakan, HMI menjadi terpecah dua. HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI Dipo. Begitu pula partai politik Islam PPP juga terpecah. Beberapa tokohnya mengundurkan diri ketika Orba memaksa asas tunggal saat itu. Karena saat itu PPP menjadi simbol persatuan umat Islam, dengan Islam sebagai asasnya, yang membedakan dengan Golkar dan PDI.

Sejarah Ringkas Piagam Jakarta dan Pancasila

Kita tentu memahami bahwa isi Pancasila yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 (plus amandemen) saat ini adalah hasil dari konsensus tokoh-tokoh pendiri republik ini. Dan ada 4 tokoh Islam di sana. Pancasila yang ada sekarang ini dirumuskan dari Piagam Jakarta dan hanya sila pertama yang diubah. Dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Empat sila lainnya tetap. Pancasila ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI 1945 yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.
Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo.  Kahar Muzakkir, Abikusno, Agus Salim dan Wahid Hasyim adalah empat tokoh Islam yang berjuang ‘mati-matian’ saat itu sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas Keislaman. Sayangnya ahali-ahli hukum kita kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusywaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan social 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu  –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain.  Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin.  Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat  yang berlangsung tidak sampai tiga jam,  hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya.  Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu,  empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan.Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.

Meski Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 45, tapi pihak Kristen sepanjang sejarah kemerdekaan selalu memprotesnya. Cornelius D Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia) seperti dikutip Tabloid Reformata (16-31 Maret 2009) menyatakan bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas Keindonesiaan melalui Perda (Syariah) dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya.

Dalam pengantar redaksinya, Tabloid Reformata menulis: “Hal ini perlu terus kita ingatkan bahwa akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang diberlakukan diberbagai tempat sekalipun banyak rakyat yang menentangnya.Para pihak yang memaksakan kehendaknya dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpestapora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan.Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu.

Alim Ulama
Melihat posisi Pancasila yang terkait erat dengan Piagam Jakarta itu, maka pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4.  Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dan sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Tahun 1985, menanggapi asas tunggal yang diharuskan pemerintah ke orpol dan ormas saat itu, Mohammad Natsir yang saat itu memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menerbitkan risalah kecil berjudul “Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya yang Konstitusional”. Ulama besar ini mengatakan: “Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti Pancasila” (tanda kutip), ditujukan ke tiap golongan dan siapa saja yang tidak menyetujui cara menafsirkan dan menfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan,”Demi Kesatuan dan Persatuan.” Yang kita alami: Gejala-gejala Islamo-phobi terus meningkat dari mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. “Demi stabilitas dan kemantapan!” Yang kita alami: stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. “Demi Pengamalan Pancasila! Yang kita alami: terisngkirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang melahirkannya di tahun 1945.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP).

Karena itu mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.

Karena itu, biarlah organisasi politik dan organisasi massa Islam, yang ingin mencantumkan Islam sebagai asasnya. Karena mereka menganggap Islam adalah induk serba sila. Pancasila hanya ‘sebagian kecil’ dari prinsip Islam. Juga, biarlah organisasi lain di luar Islam atau organisasi sekuler sekalipun,  mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, mungkin karena mereka kurang atau tidak yakin dengan agamanya. Wallahu a’lam.*

Penulis Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Kota Depok

Membaca Arah Politik RUU Ormas (Membongkar Makar Penguasa Dibalik RUU Ormas )

Oleh :Mush’ab Abdurrahman
Memasuki tahun 2013  DPR RI memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang cukup banyak dari Rapat Paripurna DPR RI pada hari kamis (13/2012) yang telah menetapkan sejumlah Program Legislasi Nasional (prolegnas) RUU  Prioritas Tahun 2013. Rapat yang juga dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin serta Ketua Baleg DPR RI, Ignatius Mulyono, menyampaikan bahwa ada 70 RUU yang akan ditetapkan menjadi prioritas di Tahun 2013 (bphn.go.id, /14/12/12). Dari 70 RUU yang menjadi Prolegnas Tahun 2013 yang paling santer diberitakan dan mengundang kontroversi diberbagai kalangan adalah Rancangan Undang Undang Organisai Kemasyarakatan (RUU Ormas).
Pemerintah dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri kelihatan sangat ingin RUU ini disahkan menjadi Undang Undang. Sebenarnya memasuki akhir bulan Maret 2013 RUU ormas bersegera untuk disahkan, hal ini terlihat dari pernyataan Menteri Dalam Negeri  "RUU Ormas sudah sampai di Tim Perumus dan sudah sekira 30 pasal. Kemungkinannya 26 Maret sudah parpiurna," kata Gamawan di Kantor Kemendagri Jakarta (antaranews.com, 22/03/13)
Terjadi dua kutub yang berseberangan, yaitu mereka yang ingin RUU Ormas segera diundangkan; dan mereka yang menolaknya. Para penolak tersebut, ada juga yang beralasan bahwa, RUU Ormas yang hanya untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas (tanpa kelanjutan, maksud satu-satunya asas tersebut). Bahkan, para penolak tersebut, juga menyatakan bahwa RUU/UU Ormas, akan menghantar (kembali ke) era - masa Orde Baru (politik.kompasiana.com, 27/3/13).
Statement yang cukup mengejutkan datang dari Dirjen Kesbangpol Kemendagri Tanribali Lamo yang mengatakan, kalau RUU Ormas disahkan, tidak ada satu pun ormas yang bebas mengelak dari aturan yang ada. Karena itu, kalau ada ormas yang terang-terangan menolak asas Pancasila, maka diberi peringatan.Kalau sanksi peringatan tiga kali tidak diindahkan, bisa dibekukan dan dibubarkan lewat pengadilan. Menurut dia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) termasuk salah satu ormas yang menolak mencantumkan asas Pancasila karena menganut Khilafah Islamiyah. "Jelas, mereka dibubarkan dan tidak boleh beraktivitas di ruang publik," katanya,  (republika.co.id ,22/3/13).
Banyak sekali Ormas yang menolak RUU Ormas itu, diantaranya Ormas-ormas Islam. Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) menolak RUU Ormas karena bisa membelenggu kemerdekaan berserikat dan berorganisasi. KAMSI terdiri dari 50 lembaga, 15 tokoh dan 46 lembaga daerah (antaranews, 28/2).Penolakan serupa juga datang dari Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAK), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), IMPARSIAL, PSHK Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), Elsam dan LSM.
Sikap tegas ditunjukkan oleh  Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, yang  meminta pembahasan RUU Ormas untuk dihentikan. Din menilai, pembahasan itu berpotensi menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik. Jika RUU itu tetap disahkan maka PP Muhammadiyah akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (sindonews.com, 28/3/13).
Di Jawa timur tidak mau ketinggalan, ulama yang tergabung dalam Mudzakarah Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah  melakukan perlawanan dengan melakukan penolakan dengan mendatangi DPRD Jatim untuk menyampaikan aspirasi penolakannya pada hari selasa 26 Maret 2013 yang sebelumnya mereka melakukan mudazakarah di Asrama Haji Surabaya (Radar Surabaya, 27/3/13)
Mendapat begitu kerasnya reaksi penolakan dari berbagai pihak, DPR dalam hal ini pansus RUU Ormas yang digawangi  Abdul Malik Haramain dari Fraksi PKB sementara menunda pengesahannya pada akhir bulan Maret, namun ada rencana diagendakan kembali  pada pertengahan Bulan April 2013 ini.
Oleh karenanya penting kiranya bagi kita melakukan pembacaan secara politik yang mendalam dalam kerangka ideologis sebagai sebuah hasil dari kesadaran politik (wa’yu siyasi) untuk membongkar berbagai makar para penguasa –dibalik RUU Ormas- yang menjadi bagian penting didalam perjalanan step dakwah politik.
RUU Ormas sebuah Ancaman Umat
Dalam berbagai kesempatan pihak pemerintah maupun pansus RUU Ormas tetap bersikeras untuk segera mengesahkannya. Pertanyaan besar bagi kita adalah, ada kepentingan apa sehingga DPR dan Pemerintah begitu ngototnya?
Jika dicermati dari draft RUU Ormas versi (bahan rapat panja 9 Februari dan bahan panja 18 Februari 2013) yang hendak disahkan oleh DPR menyimpan ancaman dan bahaya bagi rakyat khususnya umat Islam. RUU ini jika disahkan bisa dijadikan alat represi baru alat Orde Baru, bisa dijadikan alat membungkam perjuangan umat Islam, mengebiri peran umat di masyarakat. Disamping itu juga akan menimbulkan masalah hukum dalam implementasinya. Terutama adalah semangat untuk menjadikan isu sentral asas tunggal bagi ormas.
Diantara masalah yang terkandung dalam RUU Ormas itu adalah:
1.        RUU Ormas ini sarat dengan spirit represi.
Sangat terasa adanya keinginan atau bahkan nafsu represi untuk mengekang masyarakat. Hal itu dituangkan dalam definisi Ormas, asas, syarat pendaftaran, pengaturan bidang kegiatan, larangan dan sanksinya.
2.       RUU ini ingin menghidupkan kembali trauma fitnah Orde baru melalui asas tunggal.
RUU ini (versi bahan panja 18 Februari) mengharuskan semua Ormas tanpa kecuali untuk berasaskan Pancasila. Keinginan pengasastunggalan itu disamarkan dengan tambahan bahwa Ormas boleh mencatumkan asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 2 dinyatakan:“Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidka bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ini adalah kemunduran dari draft awal yang menyatakan pada pasal yang sama: “asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia 1945.” Padahal asas tunggal itu telah menimbulkan trauma bagi masyarakat.Ketetatapan penentuan asas Ormas itu artinya menghidupkan kembali spirit asas tunggal yang dahulu dijdikan alat oleh Orde Baru untuk mengekang masyarakat. Padahal sejak reformasi spirit itu sudah dibatalkan oleh TAP MPR no. XVIII/1978 yang membatalkan TAP MPR no. II/1978 yang menghidupkan spirit asas tunggal. Maka dengan mengembalikan spirit asas tunggal, itu adalah butki DPR dan Pemerintah masih menyimpan spirit represi atau bahkan memang ingin kembali bertindak represif seperti Orde Baru. Hal itu juga akan kembali membangkitkan trauma masyarakat dan fitnah akibat asas tunggal itu bisa saja terulang kembali. Juga bahwa itu merupakan kemunduran dari reformasi.
3.       RUU ini mengandung kesan “pembalasan” terhadap Ormas.
UU Parpol, tidak secara jelas mengusung spirit asas tunggal. Kenapa RUU Ormas justru mengusung spirit asas tunggal itu ala Orba? Apakah ini menjadi semacam “pembalasan” Partai Politik terhadap Ormas yang selama ini bersikap kritis terhadap Parpol, DPR dan Pemerintah?
4.      Definisi Ormas yang sangat umum mencakup semua organisasi di masyarakat.
Pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan definisi Ormas adalah: “…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”. Definisi ini akan memasukkan semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobby baik beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan keinginan untuk mengontrol hampir semua dinamika organisasi di masyarakat. Hal itu akan tampak jelas ketika cakupan definisi ini dihubungkan dengan ketentuan pendaftaran ormas, pengawasan ormas, sanksi dsb.
5.       RUU deskriminatif.
Jika definisi Ormas serba mencakup dan menunjukkan keinginan agar tidak ada organisai di masyarakat yang luput dari kontrol, sebaliknya RUU Ormas itu justru mengecualikan organisasi sayap Parpol. Pada Pasal 4 yang dikatakan:“Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”. RUU Ormas akan mengatur Ormas dengan sangat detil, tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j).Lantas, mengapa organisasi sayap partai politik dikecualikan secara eksplisit dari RUU Ormas? Dengan dikecualikan, artinya organisasi sayap parpol tidak diatur dengan RUU ini. Namun pada saat yang sama, organisasi sayap parpol itu tidak bisa dianggap sebagai parpol dan terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan UU Parpol. Lalu aturan apa yang secara spesifik mengatur organisasi sayap parpol. RUU Ormas tidak, UU Parpol tidak, UU Yayasan tidak, UU Perseroan tidak.
6.      RUU Ormas membungkam sikap kritis
Pasal 7 tentang bidang kegiatan Ormas, tidak ada bidang politik. Itu artinya Ormas tidak boleh melakukan kegiatan dibidang politik. Politik dalam KBBI diantaranya diartikan “1. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; 2. kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).” Dengan begitu sama artinya, Ormas tidak boleh melakukan aktifitas politik, tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah, tidak boleh demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah, dan aktifitas-aktifitas politik lainnya.
7.       RUU Ormas untuk akuntabilitas Ormas?
Pasal 38 (2): keuangan Ormas sebagaimana dimaksud ayas (1) harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Lalu Pasal 39 (1): Dalam hal Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b menghimpun dan mengelola dana dari anggota dan masyarakat, Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
Pasal ini tidak menjelaskan, laporan pertanggungjawaban yang wajib dibuat itu diserahkan kepada siapa? Jika harus diserahkan kepada Pemerintah, mau diapakan oleh pemerintah, apa konsekuensi dari laporan itu jika diserahkan kepada pemerintah? Jika dana itu dari APBN, APBD atau asing wajar saja harus dilaporkan pertanggungjawabannya kepada Pemerintah. Tapi jika berasal dari anggota, untuk apa harus dilaporkan kepada pemerintah?
Jika begitu, benarkah RUU ini untuk transparansi dan akuntabilitas Ormas?Apakah belum ada aturan yang mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas Ormas sehinggaharus dibuat aturan tentang hal itu? Bukankah sudah ada aturan terkait yayasan di dalam UU tentang Yayasan? Juga sudah ada aturan di UU Keterbukaan Informasi Publik.
8.      Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Keleluasaan Berserikat dan Berkumpul.
Ada pasal 16 diatur bawha Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Masalahnya, cakupan definisi Ormas begitu luas. Dengan ketentuan ini, maka semua organisasi (kumpulan orang yang berkelompok yang didalamnya ada pengurus betapapun sederhana strukturnya) harus memiliki SKT. Itu rtinya, kelompok arisan, majelis taklim, paguyuban dan organisasi lainnya harus mendapat SKT untuk bisa beraktifitas. Jika tidak punya SKT maka tidak boleh melakukan kegiatan. Ketentuan ini selah mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal memiliki SKT yang ditentukan oleh Pemerintah.Jadi sama saja mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal mendapat perstujuan dari pemerintah.
9.      RUU ini meletakkan semua bentuk kegiatan berserikat dan berkumpul dibawah kontrol Pemerintah dalam hal ini Kesbangpol Kemendagri.
RUU ini membawa semua Organisasi baik berbadan hukum (yayasan dan perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, dengan semua ragamnya, berada dalam kontrol dan pengawasan pemerintah (Kesbangpol Kemendagri).Pengawasan Pemerintah (Pasal 58) berupa pemantauan dan evaluasi.Selanjutnya hasil pemantauan dan evaluasi itu akan dijadikan dasar tindakan terhadap Ormas. Jika melanggar larangan (Pasal 61) yang kriteria dan tolok ukurnya tidak jelas dan longgar, bisa dijatuhi sanksi oleh pemerintah tanpa harus melalui putusan pengadilan. Itu artinya, semua organisasi di masyarakat akan dikontrol oleh pemerintah agar bisa sesuai dengan keinginan Pemerintah.Ini akan mengembalikan kontrol dan represi Orba yang sudah susah payah direformasi.
10.    RUU Ormas Memuat Pasal Serangkaian Larangan yang Multitafsir (Pasal 61)
RUU Ormas memuat serangkaian larangan multi tafsir dengan tolok ukur dan kriteria yang tidak dijelaskan batasannya. Hal itu berpeluang untuk disalahgunakan sesuai selera penguasa.
Pasal 61 (3) c: “Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.” Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial dan organisasi keagamaan semisal yayasan yatim piatu, panti suhan, yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Pada sisi lain, sangat banyak anggota masyarakat yang ketika memberikan donasi tidak mau mencantumkan nama asli dengan alasan tertentu. Dengan larangan ini, kegiatan pengumpulan donasi di jalan-jalan misalnya untuk membantu korban bencana, untuk membangun fasilitas umum, masjid dan sebagainya, tidak bisa lagi dilakukan kecuali pemberi donasi mencatumkan identitas yang jelas. Larangan ini akan bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia.
Berikutnya, kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI; menyebarkan permusuhan antrasuku, agama, ras dan golongan; memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa; mengganggu ketertiban; srianya, dan siapa yang memutuskan? Dalam RUU Ormas tidak jelas. JIka dikaitkan dengan pasal 58 tentang bentuk pengawasan oleh Pemerintah dan pasal 62 tentang sanksi, dapat dipahami bahwa smeua itu tergantung kepada Pemerintah. Jika demikian, sikap kritis kepada pemerintah, Ormas yang membongkar kejahatan negara, dan sebagainya bisa dianggap membahayakan keselamatan negara; atau dianggap melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Pasal 61 (6) “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah.” Sementara Ormas yang tidak memenuhi syarat menapat SKT harus memberitahukan keberadaannya kapada pemerintahan setempat sesuai domisilinya. Lalu apa artinya memberitahukan keberadaannya kalau tidak boleh beraktifitas?
11.     Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 62-63)
Kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi penghentian kegiatan (sementar) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum. Selain hal itu, semuanya tergantung pada pemerintah. Ini membuka peluang disalah gunakan demi kekuasaan dan bisa melahirkan kembali represi pemerintah, sebab semua itu dikaitkan dengan larangan pada pasal 61 yang tolok ukur dan kriterianya sangat longgar dan bisa tergantung pada selera pemerintah.
Mewaspadai Agenda Terselubung:  Menghentikan Laju Perjuangan Syariah Dan Khilafah
Bukan rahasia lagi, bahwa pemerintah Indonesia hakikatnya telah tunduk kepada penguasa adidaya Amerika Serikat (AS). Banyak lahirnya kebijakan dan UU di bidang politik, ekonomi dan hukum telah didikte dan dikontrol pemerintah AS melalui para agennya.
Masifnya opini penegakan syariah dan khilafah yang dibawa oleh Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) menjadi perhatian penting  pemerintah AS. Kegelisahan dan kegeraman itu bisa dibaca melalui Propaganda war on terororism yang dipunggawai oleh AS telah dilancarkan melalui berbagai isu terorisme yang tumbuh sumbur guna menciptakan atmosfir negatif bagi isu penegakan syariah dan khilafah . Upaya penggiringan opini bahwa terorisme memiliki hubungan secara genetik dan historis dengan para penegak syariah dan khilafah terus dicoba dilakukan. Namun sayang beribu sayang, hal itu kurang membuahkan hasil. Pemerintah melalui BNPT beberapa kali  mencoba mengaitkan isu perjuangan syariah dan khilafah dengan para pelaku terorisme menuai jalan buntu.  Salah satu gerakan penting yang mendapat perhatian dunia internasional sekarang ini adalah Hizbut Tahrir (HT). Di Timur tengah HT mampu menjadi pelopor sekaligus inspirator bagi erakan revolusi disana -terutama revolusi di syuriah- dengan   mengusung satu visi besar  yakni menegakkan kembali khilafah islamiyyah sebagai satu-satunya sistem yang menggantikan rezim dictator sekarang ini. Mereka mencatat rekam jejak (track record) HT dipentas internasional sangat tidak bisa diremehkan begitu saja.Yang patut kita syukuri pula survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey tentang penegakan syariah dan khilafah menunjukkan arah grafik yang terus meningkat dari tahun ketahun. Ini bisa dijadikan salah satu indicator keberhasilan HTI dalam melakukan edukasi kepada masyarakat tentang urgensitas penegakan syariah dan khilafah.
Nah, di Indonesia mereka menempatkan HTI sebagai gerakan transnasional yang perlu diwaspadai. Tentunya penguasa negeri ini telah mendapatkan semacam mandat ‘suci’ dari penguasa AS untuk bisa menghentikan gerakan politik HTI sebagaimana yang dilakukannya pula di negeri-negeri timur tengah lainnya. Namun apa yang terjad?  HTI  justru dipandang sebagai gerakan ideologis yang mampu meraih simpati dan hati ummat, serta berhasil menempati posisi strategis dimasyarakat dengan dibuktikan dukungan yang cukup masif dari berbagai kalangan-terutama tokoh, ulama, kiyai, habaib, pengusaha muslim dll-yang itu semua membuat sulit bagi penguasa untuk menghentikan laju dakwah HTI. Diperkuat lagi bahwa HTI dalam setiap aktivitasnya selalu mengedepankan sikap politik yang elegan, matang, intelektual, didukung dengan SDM yang unggul serta sama sekali tidak pernah menorehkan noda darah dan api disetiap aksi besarnya. Bahkan hampir disetiap daerah mendapatkan dukungan penuh oleh pihak keamanan dalam menjalankan aksi-aksi masirohnya.  Variable-variabel inilah yang membuat sulit langkah penguasa untuk menghentikan HTI.
Namun demikian, mereka para penguasa -yang telah tertutup mata hatinya oleh bujuk rayu AS- terus berupaya dengan berbagai macam cara untuk menghentikan aktivitas HTI. Perlu menempuh langkah strategis untuk itu. Nah, kelihatnnya mereka menemukan sebuah momentum penting melalui RUU Ormas ini yang kebetulan menjadi Prolegnas DPR RI Tahun 2013. Nampaknya angin segar terbuka bagi mereka. Karena hanya melalui media yang legal -undang-undang-upaya mengahadang perjuangan syariah dan khilafah bisa di lakukan. Melalui UU- lah pemerintah merasa punya kekuatan untuk melakukan tindakan represifnya secara legalitas dan mendapat payung hukum.
Inilah sebenarnya yang sangat perlu kita waspadai. Pasal tentang asas yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara sangatlah bisa mereka mainkan. Dan upaya-upaya kearah sana sebenarnya sudah lama mulai disiapkan. Pemerintah melalui berbagai lembaganya yang terkait ataupun melalui ormas islam yang selama ini membebek kepada penguasa dengan mengangkat isu klasik berupa slogan-slogan “ NKRI Harga Mati atau  mengokohkan 4 pilar Kebangsaan  (Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal ika)”. Upaya itu untuk mengukur sejauh mana ‘ketaatan’ ormas islam termasuk kelompok politik islam di masyarakat terhadap slogan-slogan tersebut. Apabila diduga ditemukan ormas islam atau siapapun yang menolak atau tidak sejalan dengan slogan-slogan tersebut dianggap telah berbahaya bagi eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara alias gerakan yang perlu diwaspadai. Inilah yang sangat ketara bisa ditemukan dalam semangat terselubung dalam  pasal-pasaldi RUU ormas.
RUU Ormas Dalam Timbangan Syariat Islam
                Pertentangan RUU Ormas dengan Islam dapat dirinci sebagai berikut:
                a.  RUU Ormas tidak lahir dari Islam.  Setiap produk undang-undang yang tidak lahir dari Islam tidak boleh disebut sebagai produk undang-undang yang Islamiy.  Pasalnya, setiap pemikiran, pendapat, atau paham yang tidak lahir dari Islam adalah kufur, sama saja apakah isinya bertentangan dengan Islam atau tidak.
b. Dari sisi asas, tujuan, dan kegiatannya, pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Ormas jelas-jelas bertentangan dengan Islam.  Dari sisi asas, RUU Ormas telah memaksa ormas Islam untuk mengganti asasnya dengan asas yang berasal dari luar Islam.  Padahal, setiap kelompok yang didirikan kaum Muslim wajib berasaskan Islam.   Tidak hanya itu saja, seluruh aktivitas seorang Muslim harus didasarkan pada ’aqidah Islamiyyah, bukan yang lain.   Penggantian asas Islam dengan asas di luar Islam, sama artinya telah mendeislamisasi ormas Islam.  Jika boleh diibaratkan, pemaksaan asas tunggal dalam RUU Ormas, tidak ubahnya dengan seorang Muslim yang dipaksa menanggalkan ke-Islamannya, dan diwajibkan menerima agama, paham, atau keyakinan selain Islam sebagai asas berfikir, berkata, dan berbuat.  Dan dalam timbangan ’aqidah Islamiyyah, perkara ini bukanlah perkara remeh, akan tetapi perkara besar yang wajib disikapi oleh umat Islam.   Sebab, di dalamnya terkandung unsur-unsur pemurtadan dari Islam.  Adapun dari sisi tujuan;  jama’ah Islamiyyah didirikan untuk menyeru manusia menuju Islam dan syariatnya, serta melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar.  Sedangkan RUU Ormas membatasi tujuan ormas pada tujuan-tujuan yang justru memperkuat rejim sekuler-demokratik yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.  Adapun dari dari aspek kegiatan; RUU Ormas juga memberikan batasan yang sangat jelas agar ormas yang didirikan di Indonesia ”tidak melakukan” kegiatan-kegiatan yang bersifat politik.  Jikalau ada ruang bagi ormas untuk melakukan kegiatan politik, itu pun dipersempit dan mendapatkan pengawasan yang sangat ketat.  Keadaan seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam; yang mana, setiap kelompok Islam justru diwajibkan melakukan aktivitas politik, diantaranya melakukan kontrol terhadap penguasa, menyingkap kejahatan dan persekongkolan mereka dengan kaum imperialis barat.
c. RUU Ormas juga berpotensi melahirkan penguasa-penguasa represif dan tiran.  Padahal, Islam melarang para penguasa berlaku dzalim dan aniaya terhadap rakyatnya. 
وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقْ اللَّهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak di hari kiamat”.[HR. Imam Bukhari]
  اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
 Yaa Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan mereka, maka sempitkanlah dirinya; dan barangsiapa memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dirinya dengan baik”.[HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim].
                Imam Nawawiy berkata:
هَذَا مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِر عَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس ، وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى الرِّفْق بِهِمْ ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى .
“Hadits ini pencegahan yang paling jelas dari perbuatan menyempitkan urusan manusia, sekaligus dorongan yang sangat besar untuk berbuat lemah lembut kepada manusia.  Hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini sangatlah banyak”.[Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 6/299]
Demikianlah  beberapa point penting bahaya RUU Ormas bagi kaum Muslim, wa bil khusus, organisasi masyarakat Islam ataupun partai politik yang hendak memperjuangkan syariah dan khilafah .  Kaum Muslim tidak boleh berdiam diri terhadap RUU Ormas ini.  Mereka wajib menolak dan menggagalkan disahkannya RUU Ormas. Allahu Akbar!
 
sumber:http://mushababdurrahman.blogspot.com