Senin, 03 Agustus 2020

KETAATAN TOTAL TERHADAP SYARIAH KONSEKUENSI KEIMANAN

KETAATAN TOTAL TERHADAP SYARIAH KONSEKUENSI KEIMANAN

Buletin Kaffah No. 152 (10 Dzulhijjah 1441 H/31 Juli 2020 M)

Hari ini, umat Islam di seluruh dunia telah disatukan oleh Allah SWT sebagai satu umat. Kita merayakan Hari Raya ‘Idul Adha bersama-sama sebagai umat Islam. Bukan sebagai bangsa Arab, Afrika, Eropa, Amerika, Australia maupun Asia. Kita merayakan hari agung yang suci ini sebagai satu umat. Kita diikat oleh akidah yang sama. Kita pun diatur dengan hukum yang sama.

Sayang, kesatuan sebagai umat ini hanya sesaat. Begitu selesai mengerjakan shalat ‘Idul Adha dan berhaji, kesatuan itu pun sirna. Satu setengah miliar umat Islam yang kini tengah merayakan ‘Idul Adha itu pun kembali menjadi buih. Tidak berdaya menghadapi berbagai persoalan yang terus menimpa mereka. Perpecahan, pertikaian, perselisihan, pelanggaran hak-hak kemanusiaan, ketidakadilan, kemiskinan dan berbagai problem lainnya begitu nyata di depan mata.

Hari ini kita berbahagia. Bahagia karena masih memiliki harapan dengan amal salih yang kita lakukan. Selesai kita melakukan ibadah Hari Arafah, mengisi sepuluh Hari Dzulhijjah dengan berbagai amal salih. Kita pun merayakan Idul Qurban. Kita berharap semoga Allah membebaskan kita dari azab api neraka. Semoga Allah SWT pun memasukkan kita ke dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Kita pun bahagia menyaksikan kaum Muslim mengagungkan Allah SWT. Mereka berbondong-bondong untuk shalat berjamaah. Bersimpuh bersama mendengarkan khutbah Idul Adha. Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa inilah jati diri umat Islam yang sebenarnya. Satu-kesatuan yang utuh dan kokoh. Mereka diikat oleh akidah yang sama, akidah Islam. Mereka diatur dengan hukum yang sama, yaitu syariah Islam. Mereka memiliki kitab yang sama, yakni al-Quran al-Karim. Mereka pun menghadap kiblat yang sama, Ka’bah.

Pada Hari Idul Adha 1441 H ini biasanya kita diingatkan dengan peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim as. dalam menaati perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail as. Bagi Nabi Ibrahim as., Ismail adalah buah hati, harapan dan cintanya yang telah sangat lama didambakan. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Allah SWT berfirman:

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

Anakku, sungguh Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Menghadapi perintah itu, Nabi Ibrahim as. mengedepankan kecintaan yang tinggi dan ketaatan kepada Allah SWT. Ia menyingkirkan kecintaan kepada selain-Nya, yakni kecintaan kepada anak, harta dan dunia.  Perintah untuk taat itu amat berat, namun disambut oleh putranya as. dengan penuh kesabaran dan ketaatan. Ini sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah  SWT:

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Ayah, lakukanlah apa yang telah Allah perintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar (TQS ash-Shaffat [37]: 102). 

Kisah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. tersebut telah menjadi teladan bagi kaum Muslim saat ini. Teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah kurban. Juga teladan dalam ketaatan, perjuangan dan pengorbanan demi mewujudkan ketaatan pada aturan Allah SWT secara kâffah.

Wujud ketaatan kepada Allah SWT itu adalah penerapan seluruh syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan: mulai individu, keluarga, ekonomi, pendidikan, politik hingga negara. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh nyata kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir ra. berkata, “Allah SWT memerintah para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syariah Isam; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir, 1/565).

Ketaatan total pada syariah secara kaffah itu merupakan konsekuensi keimanan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS al-Nisa` [4]: 65).

Itu artinya, keimanan meniscayakan ketaatan pada syariah secara kaffah. Sungguh tidak pantas seorang Mukmin sejati menolak penerapan syariah Islam secara kaffah (total). Termasuk menolak sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan Khilafah. Apalagi menuduh Khilafah mengancam bangsa dan menyamakannya dengan ajaran Komunisme. Padahal ajaran Komunisme itu anti Tuhan, anti agama, termasuk anti ulama!

Tentang keagungan jihad, Rasulullah saw. antara lain bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok semua perkara adalah Islam. Tiangnya adalah shalat. Puncaknya adalah jihad di jalan Allah (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Rasulullah saw. pun bersabda:

فَإِنَّ مُقَامَ أَحَدِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ سَبْعِينَ عَامًا

Kedudukan salah seorang di antara kalian berjihad di jalan Allah lebih utama daripada  menunaikan shalat di rumahnya selama 70 tahun… (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).

Demikian juga dengan Khilafah. Dalilnya sangat banyak dan jelas. Karena itu tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mu’tabar tentang kewajibannya. Imam an-Nawawi rahimahulLah berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ

Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini berdasarkan nash syariah, bukan berdasarkan logika (Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, 12/205).

Lalu bagaimana bisa ada orang yang mengaku dirinya Muslim tetapi memusuhi ajaran agamanya sendiri?

Islam adalah agama dari Allah SWT. Semua ajarannya adalah benar. Tak ada yang perlu ditakuti. Apalagi dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, ajaran Islam justru untuk memperbaiki kehidupan manusia. Itulah juga yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw. hadir di tengah masyarakat dengan membawa Islam. Tentu untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Beliau datang menghancurkan tirani kezaliman dan rezim kediktatoran manusia.

Semestinya, itu pula yang harus dilakukan umatnya. Seorang Muslim tidak boleh bersikap cuwek dengan kondisi masyarakat. Sebaliknya, setiap Muslim dengan penuh keberanian hendaknya hidup dan beramal di tengah masyarakatnya, mempertahankan dan menyampaikan kebenaran keyakinannya kepada orang lain dan penguasa zalim, serta menjadi saksi atas realitas kehidupan manusia.

Dalam kondisi sekarang, kaum Muslim juga wajib berjuang keras melenyapkan sistem kufur yang membelenggu mereka, seperti kapitalisme, liberalisme, sekularisme, sosialisme dan komunisme. Kemudian mereka wajib mengganti semua itu dengan syariah Islam. Syariah Islam pasti menghadirkan ketenteraman, mewujudkan kesejahteraan serta mendidik perilaku manusia agar memiliki kesantunan-akhlak mulia.

Kaum Muslim juga harus peduli terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, mereka tidak membiarkan tetangganya kelaparan. Rasulullah saw. bersabda:

مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانً وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمْ بِهِ

Tidak mengimani aku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan dia tahu (HR ath-Thabarani dan al-Bazzar).

Demikian pula memperbaiki hubungan sesama manusia sehingga tercipta perdamaian. Rasulullah saw. bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوا: بَلَى، يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ، وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ

“Maukah aku beritahu kalian yang lebih utama dari derajat shaum, shalat dan sedekah?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, ”Yaitu mendamaikan dua pihak yang bersengketa, sementara rusaknya hubungan di antara orang itu membinasakan.” (HR Abu Dawud).

Nyatalah tak ada yang patut ditakuti dari ajaran Islam. Ini juga dibuktikan dalam sejarah. Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam membangun peradaban dunia melalui sejarah panjang Khilafah Islam. Mulai dari Khulafaur Rasyidin sampai Khilafah Utsmani. Seribu tahun lebih Islam telah menghadirkan peradaban dunia modern, kedamaian, kesejahteraan dan ketenteraman bagi umat manusia dengan ragam suku, bangsa, ras,  agama dan kepercayaan.

Kini saatnya kita menghimpun kembali seluruh potensi umat untuk melahirkan generasi shalih dan bertakwa. Insya Allah, generasi hari ini suatu saat akan memimpin manusia meraih kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dengan syariah Islam yang kaffah. Generasi inilah yang mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dalam naungan Khilafah Islamiyah. []

—*—

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ . إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sungguh Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak. Karena itu shalatlah kamu karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sungguh orang-orang yang membenci kamu, mereka itulah yang terputus (dari rahmat Allah).  (TQS al-Kautsar [108]: 1-3).

—*—

Download File PDF:
http://bit.ly/kaffah152

PDF Versi Mobile:
http://bit.ly/kaffah152m

Benarkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum Hukumnya Haram dan Termasuk Ghibah?

Benarkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum Hukumnya Haram dan Termasuk Ghibah?

Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.

Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)

Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)

Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).

Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).

Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.

Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).

Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a’lam.