Keniscayaan Khilafah January 3rd, 2014 by solihan Revolusi Industri di Eropa Barat sekitar dua abad lalu melahirkan kompetisi antaradidaya Eropa seperti Prancis, Inggris, Spanyol, Belanda, Belgia, Italia dan Jerman. Namun, meski terjadi persaingan di antara mereka, mereka bersatu menghadapi umat Islam dan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Sepanjang abad 19, kekuatan Eropa terus berupaya melemahkan umat Islam baik secara intelektual maupun politik. Mereka mendirikan banyak sekolah misionaris di wilayah Khilafah, rumah sakit dan universitas. Mereka juga membentuk organisasi rahasia yang mempromosikan nasionalisme Arab dan Turki untuk memisahkan Arab dari Turki; memprovokasi Turki untuk melepaskan wilayah Arab sebagai beban nasionalisme Turki. Di penghujung abad 19, baik bangsa Turki maupun bangsa Arab sama-sama antusias mengusung nasionalisme ini. Saat itu Khilafah Utsmaniyah dalam keadaan lemah. Khilafah gagal dalam mengantisipasi manuver Eropa dengan invasi intelektualnya. Para ulama pun lengah dalam melawan arus sekularisme Eropa. Akibatnya, Inggris dengan leluasa memprovokasi gerakan separatisme Arab untuk memberontak terhadap otoritas Turki, seperti Revolusi Arab yang dipimpin oleh perwira Inggris Lawrence of Arabia selama Perang Dunia I. Pada saat yang sama, kaum nasionalis Turki terus mendesakan agendanya di wilayah Arab yang membuat Arab semakin marah. Dari sisi intelektual, Inggris menjadikan Mesir sebagai pusat penyebaran konsep filsafat sekular dan konsep politik Barat, termasuk fatwa yang dibuat oleh Muhammad Abduh. Di sisi lain, kalangan misionaris di Beirut Lebanon juga aktif menyebarkan agenda sekularisasi. Semua ini berakhir dengan kejatuhan Khilafah Utsmani di Turki oleh Mustafa Kemal, seorang perwira pasukan Utsmani yang juga berlaku sebagai agen Inggris. Di tangan Mustafa Kamal, turki berubah dari Khilafah menjadi Negara Turki bercorak sekular-nasionalis. Kolonialisme Pasca Khilafah Runtuh Setelah Khilafah Ustmani runtuh, Inggris dan Prancis bersaing untuk merealisasikan impiannya, yaitu menyiapkan semua bentuk rencana untuk memastikan bahwa Negara Khilafah tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Rencana itu didasarkan pada prinsip devide et impera dengan menjalankan Perjanjian Sykes-Picot. Melalui perjanjian ini, bekas wilayah Kekhilafahan Ustmaniyah dipecah menjadi beberapa negeri mini yang tapal batasnya ditentukan oleh kekuatan kolonial. Islam pun dikeluarkan dari kebijakan publik. Mereka kemudian mempercepat sosialisasi dan penerapan ideologi sekular lengkap dengan gaya hidupnya. Situasi ini dirangkum oleh Dr David Fromkin, seorang profesor dan ahli sejarah ekonomi dari Universitas Chicago, “Kekayaan Khilafah Ottoman menjadi harta rampasan perang. Namun perlu diingat, bahwa Islam selama berabad-abad berusaha menguasai Kristen Eropa. Maka dari itu, tidak aneh ketika nasib berbalik, Eropa ingin memastikan tidak akan ada lagi ancaman bagi dirinya. Dengan pengalaman merkantilis, Inggris dan Prancis membentuk negeri-negeri kecil yang tidak stabil, yang penguasanya memiliki ketergantungan supaya tetap bisa berkuasa. Negeri-negeri ini dikendalikan pembangunannya dan perdagangannya sehingga tidak akan pernah mampu menandingi Eropa.” Bermunculanlah negeri-negeri kecil bercorak republik, emirat, kerajaan, nasionalis, revolusioner, atau marxis. Masing-masing memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu dipimpin oleh para tiran yang didukung oleh rezim Barat. Inggris pun membentuk Negara Israel di Palestina yang menjadi ujung tombak untuk mempertahankan kepentingan Barat dalam menghadapi segala kemungkinan akan bangkitnya kembali Negara Khilafah. Reaksi Umat Islam Meskipun umat islam telah dikalahkan dan Khilafah dihancurkan, cahaya iman keislaman sebagai ideologi masih belum padam dari jantung dan pikiran sebagian mereka yang ikhlas. Ulama dan pemikir berusaha membangkitkan umat melalui dakwah, membangun gerakan untuk meredam arus pembusukan umat serta mengembalikan kemuliannya dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidupnya. Sepanjang tahun 50-an, 60-an dan 70-an, mayoritas gerakan Islam berjuang tanpa kekerasan dan berhasil mempengaruhi masyarakat untuk mengendalikan hidupnya dengan Islam. Namun, penindasan brutal oleh berbagai pemerintah menciptakan atmosfir kekerasan di Dunia Islam. Ini membuat sebagian gerakan islam mempromosikan militansi sebagai balasan terhadap penindasan dan juga menggunakan jalan kekerasan untuk mengambil-alih kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini, gerakan al- Jihad muncul di Mesir. Mayoritas anggotanya ditahan dan disiksa di penjara. Pada saat bersamaan, pada tahun 80-an perang jihad berkobar di Afganistan melawan kekuatan Komunisme Soviet. Kekalahan Soviet mengirim pesan bahwa Islam adalah alat yang efektif untuk mengembalikan wibawa umat dan membebaskan umat dari pendudukan kekuatan asing. Kemudian, kudeta militer terhadap partai Islam FIS di Aljazair yang memenangkan Pemilu secara sah, membuat banyak pemuda Muslim percaya bahwa jihad adalah jalan keluar untuk kembalinya Islam, bukan dengan pemilu. Ilusi Neo-liberal dan Gejolak Arab Musim Semi Menurut David Mason dalam bukunya, Akhir Abad Amerika, “Amerika tidak lagi berada dalam puncak kepemimpinan setelah menikmati puncak keemasan selama 50 tahun terakhir. Kini negeri ini telah bangkrut. Kita tidak lagi memimpin dalam politik, ekonomi dan sosial. Kita tidak lagi dikagumi orang dan tidak menjadi panutan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan politik seperti dulu. Jadi ini adalah pergeseran global baik bagi AS dan dunia.” Setelah keruntuhan Uni Soviet, kekuatan Barat membutuhkan Islam sebagai musuh baru dan musuh eksternal untuk menggalang orang-orang Barat mecetuskan Perang Salib baru. Umat Islam dalam keadaan lemah sehingga mudah dituduh dan dilabeli teroris. Serangan 9/11 direncanakan dan dilaksanakan oleh CIA untuk menjustifikasi agresi Amerika untuk mencapai hegemoni global dengan alasan perang melawan terorisme. Sikap ini digunakan untuk menyerang dan menduduki Afganistan dan Irak. Ketika kebohongan tuduhan tentang senjata pemusnah massal Irak terungkap, pemerintah Amerika berubah haluan dengan menyatakan bahwa tujuan dari perang di Irak adalah untuk mempromosikan demokrasi, bukan untuk mencari senjata pemusnah massal. Inilah bukti petualangan militer oleh Amerika yang seharusnya bisa menyadarkan umat Islam di seluruh dunia. Pemerintah Amerika terus merancang berbagai pernyataan dan kebijakan untuk memenangkan pertarungan merebut hati dan simpati umat Islam. Namun, di balik itu semua kebohongan justru terungkap dari Amerika itu sendiri. Peristiwa Gejolak Arab pada musim semi lalu atau Arab Spring telah mengungkap realita kebijakan Barat yang sarat dengan kolonialisme. Dewan Keamanan PBB telah mengutuk penggunaan senjata kimia oleh agen Amerika Bashar Assad di Suriah dalam serangan pada 21 Agustus 2013, yang mengakibatkan kematian mengerikan dari 1429 korban, termasuk 426 anak-anak . Namun, DK PBB menutup telinga dan mata terhadap 125.000 korban tewas akibat praktik bumi hangus yang dilakukan oleh pasukan Assad di seluruh Suriah. Sungguh logika yang menggelikan untuk tidak membunuh orang dengan senjata kimia, namun pembantaian dibolehkan selama menggunakan senjata konvensional seperti bom, artileri, rudal, tank, pesawat militer dan pembunuhan biadab akibat penyiksaan di ruang bawah tanah pasukan rezim Suriah. Di Mesir, dunia pun telah menjadi saksi bahwa demokrasi adalah kebohongan ketika Amerika mendukung kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Sissi. Keniscayaan Khilafah Hari ini umat Islam menolak model sekular Barat dan menyadari untuk kembali ke Islam. Berbagai survey dari tahun ke tahun, termasuk yang dilakukan oleh Pew Forum, menunjukan prosentase yang besar dari umat Islam di banyak negara bahwa mereka menginginkan syariah menjadi hukum resmi negara. Secara intelektual umat telah menyatakan komitmen yang kuat untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Mereka pun rela berkorban dalam upaya untuk kembali ke Islam. Di Asia Tengah, kami telah menyaksikan kepahlawanan umat Islam dalam menentang tiran. Di Rusia kami telah melihat sikap heroik yang sama. Demikian pula di Pakistan, Mesir, Tunisia, Turki, Lebanon dan sebagainya. Dunia telah mendengar panggilan keras dan jelas untuk Khilafah dari jantung kota Jakarta ke kota-kota besar di seluruh Bangladesh dan Pakistan. Di Turki seruan Khilafah terdengar dari makam Mustafa Kemal Ataturk. Panggilan yang sama terdengar jelas di Tunisia di sebelah makam tokoh sekular, Bourguiba. Suara yang sama terdengar dari kedalaman penjara tiran di Asia Tengah dan Beirut yang merupakan benteng sekularisme di dunia Arab. Gejolak Arab telah mengilhami harapan dunia internasional untuk bisa lepas dari cengkeraman Kapitalisme, yang terkenal dengan gerakan “Occupy Wall Street” (Duduki Wall Street). Gerekan ini berhasil memobilisasi protes massa di berbagai kota besar. Bahkan sebagian dari mereka mengumandangkan slogan, “Rakyat ingin menggulingkan rezim!” Kekuasaan kolonial Barat memang bergegas melemahkan pemberontakan di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya dengan membajak gelombang kemarahan rakyat terhadap rezim yang korup. Namun, mereka telah gagal menghancurkan revolusi heroik di Suriah. Saya tidak mengatakan bahwa revolusi di Suriah telah menang. Namun, saya mengatakan bahwa Amerika telah memimpin kampanye teror yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap sikap berani umat Islam di Suriah yang tak terlihat sebelumnya sejak jaman Stalin dan Hitler. Amerika telah membiarkan tiran Assad untuk menggunakan segala cara penghancuran dan pembunuhan dengan roket, artileri , pesawat militer, rudal, senjata kimia dan bahan peledak pemusnah massal. Rezim Assad memang berhasil membunuh secara membabi buta warga sipil. Namun, Amerika telah gagal mematahkan tekad umat Islam di Suriah. Sebaliknya, hari demi hari umat Islam di Suriah terus menyerukan untuk pembentukan Negara Khilafah Islam. Situasi internasional sekarang lebih baik dari sebelumnya dan siap untuk menyongsong fajar baru Negara Khilafah, sebagaimana yang diramalkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya, “…Kemudian akan datang kembali Khilafah Rasyidah menurut cara kenabian itu.” (HR Ahmad). Saya berdoa panjang dan keras bahwa kita, umat saat ini, akan segera menyadari cahaya Negara Khilafah yang akan membebaskan kita dari belenggu rezim buatan manusia, yang memungkinkan kita sekali lagi untuk bernapas dengan tenang dan damai. [Osman Bakhach; Direktur Kantor Penerangan Pusat Hizbut Tahrir] Baca juga : Pembebasan Utsadz Sa’ad Jeghranvi Akhir Pemerintah Thagut dan Tegaknya Daulah al-Khilafah Merupakan Keniscayaan Manusia Perlu Pemerintahan, Umat perlu Khilafah, itu Keniscayaan Keniscayaan Berdirinya Khilafah dan Tantangan-tantangannya Konferensi Internasional “Revolusi Ummat: Rencana-Rencana Aborsi dan Keniscayaan Proyek Islami” Hizbut Tahrir Serukan Ganti Rezim Pengkhianat Dengan Khilafah Islam Pada Konferensi Media Global Di Beirut Posted in Afkar, Seputar Khilafah | No comments Previous post: Jamal D Harwood: Kapitalisme Melahirkan Masyarakat Sakit Next post: Peran Intelektual Muslim Membangun Peradaban Islam Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id
Selasa, 21 Januari 2014
Perayaan natal dlm negara kholafah
Perayaan Natal Dalam Negara Khilafah December 24th, 2013 by kafi Oleh: Hafidz Abdurrahman Negara Khilafah, meski dibangun berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi Negara Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada umat non-Islam untuk memeluk, dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan memeluk keyakinannya, dan tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam. Jaminan ini ditegaskan dalam Alquran, “La ikraha fi ad-din” (Tidak ada paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (Q. al-Baqarah [02]: 256). Nabi SAW juga bersabda, “Man kana ‘ala Yahudiyyatihi au Nashraniyyatihi fainnahu la yuftannu” (Siapa saja yang tetap dengan keyahudiannya, atau kenasraniannya, maka tidak akan dihasut [untuk meninggalkan agamanya]). Begitulah Islam menjaga dan melindungi penganut agama non-Islam yang hidup dalam naungan Negara Khilafah. Mereka mendapatkan perlindungan itu, karena dzimmah yang diberikan oleh negara kepada mereka. Hak Beragama Perlu dicatat, Ahli Dzimmah adalah orang non-Muslim yang tunduk di bawah sistem Islam, dengan tetap memeluk agamanya. Mereka berkewajiban untuk membayar jizyah, dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagai imbalannya, mereka diberi hak untuk hidup di dalam naungan khilafah, dengan tetap memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian, nikah dan talak menurut agama mereka. Hanya saja, karena mereka hidup di bawah naungan khilafah, yaitu negara yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam, maka tentu tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol, atau setidaknya sama dengan Islam. Baik dalam hal syiar, simbol maupun atribut yang tampak di permukaan. Karena Nabi SAW menegaskan, “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam). Karena itu, di zaman Khilafah Islam, orang-orang non-Muslim yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Ketika mereka hendak mengajukan dzimmah kepada khilafah, mereka membuat proposal yang membuat khalifah berkenan menerima dzimmah mereka. Maka wajar, jika kemudian dalam proposal mereka, misalnya menyatakan tidak akan mengajak atau memengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama mereka. Termasuk tidak akan mendirikan gereja, atau kalau ada yang rusak, tidak akan direnovasi. Mereka tidak akan membunyikan lonceng gereja, memakai atribut agama mereka di depan kaum Muslim, dan banyak lagi yang lain. Begitulah di antara klausul proposal yang mereka ajukan kepada khalifah, agar bisa mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah. Karena kesadaran itulah, maka orang-orang non-Muslim yang mendapatkan dzimmah dari Negara Khilafah itu tidak neko-neko. Karena, kalau mereka neko-neko, jaminan dzimmah itu bisa dicabut, dan mereka diusir dari wilayah khilafah, atau diperangi hingga habis. Karena itu, mereka tidak pernah menuntut lebih dari hak yang mereka ajukan kepada negara. Mereka juga tidak akan minta ditoleransi oleh umat Islam dan negara dalam menjalankan agama mereka, lebih dari apa yang telah menjadi haknya. Merayakan Perayaan Agama Perayaan agama adalah bagian dari ritual agama, karena itu mereka pun dibiarkan untuk merayakan perayaan agama mereka. Bagi orang Kristen, yang hendak merayakan Hari Raya Paskah atau Natal, misalnya, diberi kebebasan. Hari Paskah diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari bangkitnya Isa al-Masih. Biasanya dirayakan pada akhir Maret atau April. Bagi umat Kristiani Timur dirayakan pada awal April hingga Mei. Peristiwa bangkitnya Isa al-Masih, atau yang biasa dikenal dengan turunnya Isa al-Masih itu diyakini oleh penganut Kristiani terjadi pada tahun 27-33 M. Di Geraja Katolik, perayaan ini dilakukan selama 8 hari, juga disebut Hari ke-8 setelah perayaan gereja Octave of Easter. Hari Raya Paskah ini diawali dengan Minggu Berkabung, yang jatuh pada minggu terakhir dari 40 hari puasa. Minggu ini dimulai hari Ahad, dan berakhir pada hari Sabtu, malam Sabtu Cahaya. Hari yang dianggap paling suci dalam seminggu berkabung ini adalah hari Jum’at Berkabung, atau Jum’at Agung, yaitu Jum’at sebelum Hari Paskah. Pada hari ini dilakukan ritual sembayang tertentu, dan membaca Injil, terutama ayat-ayat tentang peristiwa penyaliban. Itu merupakan hari suci bagi umat Kristiani. Mayoritas gereja Kristen mempercayai, bahwa Isa al-Masih disalib, meninggal dunia, kemudian bangkit pada hari ketiga. Selain ritual ini, mereka juga menjalankan puasa, yang terdiri dari: Puasa Besar, yang dilakukan sebelum Hari Paskah. Puasa Kecil, yang dilakukan sebelum Natal. Selain itu, juga ada praktik puasa-puasa lain, menurut ritual dan sekte masing-masing. Puasa Besar dalam tradisi Kristen Barat dan Timur dilakukan selama 40 hari. Waktunya bisa berbeda-beda, sesuai dengan jatuhnya Hari Pasca Agung, yang ditetapkan berdasarkan perhitungan astronomi (hisab). Adapun Hari Natal, atau Christmas, yang diyakini sebagai Hari Kelahiran Isa al-Masih, merupakan sentral perayaan agama Kristen. Syiar perayaan Natal ini tampak pada pohon Natal, Malam Kelahiran, Pertemuan Keluarga, Sinterklas, dan pemberian hadiah. Mereka merayakan Tahun Baru Masehi, yaitu malam tanggal 31 Desember, yang dirayakan tiap tahun, di penghujung tahun, mengawali pergantian tahun baru. Selain perayaan-perayaan tersebut, mereka juga memperingati Kelahiran Bunda Maria, Hari Diangkatnya Salib (Isa al-Masih), sebagaimana umat Katolik meyakini Penebusan Dosa Santo dan Hari Raya Santo. Ada juga perayaan yang identik dengan Kristen, seperti Hollowen dan Valentine Day. Inilah bentuk-bentuk ritual dan perayaan dalam agama Kristen. Selama ini merupakan bagian dari agama mereka, maka semuanya ini boleh saja mereka rayakan. Ruang Perayaan Meski tidak dilarang, tetapi perayaan ini tetap diatur oleh Negara Khilafah. Selain berdasarkan klausul dzimmah mereka, juga filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam) tetap harus dipegang teguh. Karena itu, perayaan ini dibatasi dalam gereja, asrama dan komunitas mereka. Di ruang publik, seperti televisi, radio, internet atau jejaring sosial yang bisa diakses dengan bebas oleh masyarakat tidak boleh ditampilkan. Alasannya, karena ini bertentangan dengan akad dzimmah mereka. Selain itu, ini juga menyalahi filosofi “al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi” (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam). Para ulama juga telah membahas larangan mengucapkan selamat kepada mereka, baik secara pribadi apalagi sebagai pejabat publik. Begitulah Islam memberikan toleransi kepada mereka. Begitulah Islam menjaga dan melindungi agama dan keyakinan mereka. Mereka tidak diusik, dan diprovokasi untuk meninggalkan agamanya. Namun, mereka juga tidak dibenarkan untuk mendemonstrasikan dan memprovokasi orang Islam agar memeluk keyakinan mereka. Begitulah cara Negara Khilafah memberi ruang kepada mereka. Wallahu a’lam.[] Baca juga : Hukum Melibatkan Diri dalam Perayaan Natal dan Perayaan Agama Lainnya Inilah Penyebab Perayaan Natal Marak di Indonesia Kebijakan Khilafah Terhadap Perayaan Keagamaan Orang-orang Kafir Perayaan Natal Sarat Misi, Perusak Aqidah Meski SBY Kepala Negara tetap Haram Rayakan Natal Posted in Headline, Seputar Khilafah | No comments Previous post: SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial Next post: Kongres Ibu Nusantara (KIN) Balikpapan Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id
Pemilu dlm negara khilafqh
Pemilu dalam Negara Khilafah January 2nd, 2014 by kafi pemilu di Indonesia Oleh: Hafidz Abdurrahman Negara Khilafah adalah Khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam Negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat. Hanya saja, meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan Khalifah. Sebaliknya, Khalifah juga buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan, dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim. Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi, sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan Khalifah, dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Dengan begitu, representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance. Pemilu Majelis Umat Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi. Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan: 1- Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya. 2- Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali. Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat. Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggata Mejelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah. Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hal untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu. Pemilihan Khalifah Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat. Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini. Baik Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh MahkamahMazalim diserahkan kepada Majelis Umat. Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman. Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah. Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka. Khatimah Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu. Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya. Untuk lebih jauh, baca tulisan penulis, Tidak Ada Metode Baku dalam Meraih Kekuasaan dalam Islam? Baca juga : Perayaan Natal Dalam Negara Khilafah Sistem Penganggaran dalam Negara Khilafah Pasal 4 UUD (ad Dustur) Negara Khilafah : Khilafah Tidak Mengadopsi Perkara Khilafiyah dalam Ibadah dan Aliran Aqidah Tertentu Akuntabilitas dalam Negara Khilafah Penyelenggaraan Ibadah Haji di Dalam Negara Khilafah Posted in Headline, Seputar Khilafah | No comments Previous post: Tahun Baru Ajang Maksiat dan Kriminalitas! Next post: Pamong Institute : Inilah Rapor Merah Parpol Peserta Pemilu Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id
Seputar batasan aurat
Seputar Batasan Aurat Pria dan Wanita January 3rd, 2014 by solihan Soal: Sejauh mana batasan aurat wanita di hadapan pria dan sebaliknya; termasuk di depan mahram, dan non-mahram? Jawab: Aurat bagi wanita di hadapan lelaki asing, yang bukan mahram-nya, adalah seluruh badannya. Ini diambil dari nash al-Quran yang menyatakan: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali yang boleh tampak dari dirinya (QS an-Nur [24]: 31). Frasa “yang boleh tampak dari dirinya” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Inilah batasan aurat di hadapan lelaki asing (bukan mahram). Namun, aurat wanita di hadapan lelaki yang merupakan kerabatnya, atau sesama kaum wanita, adalah saw’atani (dua kemaluan depan dan belakang), atau qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang). Dalilnya adalah firman Allah SWT: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّلاَبَائِهِنَّ Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka (QS an-Nur [24]: 31). Kemudian Allah SWT berfirman: أَوْ نِسَائِهِنَّ …dan kepada kaum perempuan (sesama) mereka (QS an-Nur [24]: 31). Kedua nas di atas menyatakan, seolah tidak ada batasan aurat bagi wanita di hadapan kerabat dan sesama kaum wanita. Namun, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan: لاَيَنْظُرِالرَّجُلُإِلَى عَوْرَةِالرَّجُلِوَلاَ الْمَرْأَةُإِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ Hendaknya laki-laki tidak melihat aurat laki-laki dan perempuan tidak melihat aurat sesama perempuan (HR Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri). Jika hadis di atas digandengkan dengan kedua ayat di atas, maka batasan tersebut mengarah pada kedua kemaluan, depan dan belakang (saw’atani). Ini dikuatkan dengan hadis lain saat Nabi saw. mengajukan pertanyaan istinkari (untuk mengingkari) kepada pemuda yang hendak memasuki rumah ibunya tanpa izin: أَتُحِبُّأَنْ تَدْخُلَ عَلَى أُمِّكَ وَهِيَ عِرْيَانَةً Maukah kamu memasuki rumah ibumu, sementara dia dalam keadaan telanjang? (HR Abu Dawud). Pertanyaan Nabi saw. ini tidak membutuhkan jawaban ini karena jawabannya sudah jelas, “Tidak.” Ini sebenarnya bukan merupakan alasan atas kewajiban meminta izin (‘illat isti’dzan), tetapi hanya menjelaskan peristiwa (momentum) tertentu. Jika tidak maka ayat di atas bisa dijadikan dasar, bahwa tidak ada batasan aurat bagi wanita, baik di hadapan kerabat maupun sesama wanita; kecuali apa yang ditunjukkan oleh hadits, yaitu saw’atani (dua kemaluan, depan dan belakang). Karena itu aurat wanita di hadapan lelaki mahram dan sesama wanita, sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat-ayat di atas, tak lain adalah saw’atani. Ini merupakan qawl qadim Hizb, sebagaimana yang dinyatakan dalam Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8/5/1970, juga Nasyrah Soal-Jawab tanggal 12/9/1973. Namun, batasan tentang aurat wanita di hadapan lelaki mahram dan sesama wanita adalah saw’atani ini ditinggalkan oleh Hizb. Dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, cet. IV, tahun 2003, dinyatakan sebagai berikut: Boleh laki-laki melihat wanita mahram-nya, baik Muslimah maupun bukan, lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, yaitu semua anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahallu zinah), tanpa dibatasi anggota badan tertentu. Ini karena adanya nas yang menyatakan tentang itu juga karena kemutlakan nash ini. Allah SWT berfirman (yang artinya): Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya, kecuali suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan (sesama Muslim) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan kepada perempuan, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan (TQS an-Nur [24]: 31). Mereka semuanya itu boleh melihat perempuan mahram-nya, baik rambut, leher, tempat gelang tangan, tempat gelang kaki, tempat kalung di leher, dan anggota badan lain, yang memang layak disebut tempat hiasan. Ini karena Allah SWT. Menyatakan (yang artinya): Hendaknya mereka tidak menampakkan kecantikannya… (TQS an-Nur [24]: 31), yaitu tempat perhiasan mereka; kecuali kepada orang-orang yang telah disebutkan oleh al-Quran, mereka boleh melihat apa yang ditampakkan oleh pakaian kerja, yaitu pakaian yang dipakai saat bekerja. Penjelasan di atas membatasi aurat perempuan di hadapan mahram dan sesama wanita adalah mahallu zinah, sementara batasan saw’atani (kemaluan depan dan belakang) di atas lebih longgar, termasuk buah dada, perut, pusar, dan anggota tubuh wanita lain yang tidak lazim disebut zinah, tetapi bukan saw’atani (kemaluan depan dan belakang). Dengan demikian, mahallu zinah ini menjadi pembatas aurat wanita yang boleh dilihat oleh laki-laki mahram dan sesama wanita, sebagaimana yang ditegaskan di dalam QS an-Nur [24]: 31 di atas. Mengenai perbedaan pandangan tentang aurat, sebenarnya tidak ada masalah. Sebab, ada perbedaan yang besar terhadap sesuatu yang lebih krusial dibandingkan dengan soal aurat, namun tidak ada masalah. Perbedaan ini wajar mengingat banyaknya hadis yang menjelaskan masalah ini. Mengkompromikan berbagai hadis ini membutuhkan kemampuan berijtihad. Uraian lebih jauh tentang ragam pendapat dalam hal ini bisa dilihat dalam kitab Nayl al-Awthar yang ditulis oleh Al-Hafizh asy-Syaukani. Tentang aurat pria yang diadopsi oleh Hizb—yakni antara pusar dan lutut—telah ditunjukkan oleh sejumlah hadis, yang bersumber dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. yang mengatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: لاَ تُبْرِزُ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرُإِلَى فَخِذِ حَيٍّ وَلاَ مَيِّتٍ Janganlah kamu menampakkan pahamu dan jangan pula kamu melihat paha orang yang masih hidup maupun telah mati (HR Abu Dawud dan Ibn Majjah). Muhammad bin Jahsy berkata, Rasulullah saw. pernah berjalan berpapasan dengan Ma’mar, sementara kedua pahanya terbuka. Lalu Nabi saw. bersabda: ياَ مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat (HR Ahmad dan al-Bukhari). Ini membuktikan, bahwa kedua paha adalah aurat. Memang, ada beberapa hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. telah menyingkap kedua pahanya. Namun, hadis tersebut bertentangan dengan sejumlah hadis yang menyatakan, bahwa kedua paha adalah aurat. Semuanya ini adalah hadis sahih. Hadis-hadis ini dituturkan oleh ‘Aisyah ra.: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَمُضْطَجِعًا فِيْ بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah tidur miring di rumahku, sementara kedua pahanya tersingkap (HR Muslim). Anas bin Malik ra. berkata: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَر حَسَرَ الازَارَ عَنْ فَخِذِهِ Sesungguhnya Nabi saw. pada saat Perang Khaibar telah menyingkap sarung dari pahanya (HR Ahmad dan al-Bukhari). Dengan begitu terjadi kontradiksi antara kedua hadis ini. Berbagai hadis yang menyatakan paha adalah aurat merupakan perkataan Nabi. Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. menyingkap pahanya merupakan perbuatan beliau. Jika perbuatan dengan perkataan Nabi saw. berbenturan, maka bisa disimpulkan, bahwa perbuatan tersebut khusus untuk Nabi saw., sementara perkataannya berlaku umum bagi umatnya. Karena itu, hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. menyingkap pahanya tidak bisa digunakan sebagai hujjah, karena merupakan kekhususan bagi beliau. Buktinya, Nabi saw. telah menyatakan, bahwa paha adalah aurat bagi kaum Muslim. Dengan demikian, aurat laki-laki adalah bagian tubuh dari pusar dan lutut. Adapun larangan pria melihat aurat sesama pria dan wanita melihat aurat sesama wanita adalah aurat mughalladhah (aurat besar), yaitu saw’atan (dua kemaluan: depan dan belakang), yaitu qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang); bukan aurat secara mutlak. Khusus bagi mahram, maka dalam kondisi tertentu dibolehkan melihat aurat mughalladhah, seperti saat anak memandikan jenazah ayah atau ibunya; ayah membuka pakaian anak perempuannya untuk mengajari mandi dan bersuci, termasuk istinja’ (bersuci dengan menggunakan batu, ketika tidak ada air). Inilah hukum syariah tentang aurat pria dan wanita secara umum dan batasannya. Di luar itu, sebenarnya ada masalah yang tak kalah penting ketimbang hukum aurat itu sendiri, yaitu masalah adab. Meski ada batasan yang tegas tentang aurat, dan dibolehkan aurat itu terbuka, meski sendirian, Nabi saw. tetap mengingatkan: فَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ Hendaknya dia lebih layak malu kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala (HR Khamsah, kecuali an-Nasa’i). Dengan demikian suami-istri boleh saja saling melihat auratnya dan bertelanjang bulat ketika berhubungan badan, tetapi Nabi saw. mengingatkan, agar tidak dilakukan, karena malaikat malu kepada mereka. Begitu juga ketika di kamar mandi, boleh saja mandi bertelanjang, tetapi harus diingat, bahwa ada Allah Maha Melihat sehingga dia mestinya lebih malu kepada Allah SWT ketimbang kepada yang lain. Inilah yang justru sering dilupakan: orang hanya bicara soal hukum, tetapi mengabaikan adab dan akhlak yang menyertai hukum tersebut. WalLahu a’lam. [Diasuh oleh: KH. Hafidz Abdurrahman] Baca juga : Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita SJ: Seputar Wanita Membuka Hijabnya dari Pamannya Bapak dan Pamannya Ibu Aurat Wanita Cantik Itu Menutup Aurat, Bukan Pamer Aurat Ala Barat Mengatur Interaksi Pria Wanita Menurut Syariah Tweet Posted in Soal Jawab, Syari'ah | No comments Previous post: Khilafah: Model Acuan Bagi Peradaban Islam Next post: Teruslah Melangkah Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id