Kamis, 26 Desember 2013

Hukum seputar Biospesimen

Biospesimen : Aspek Kepemilikan dan Pemanfaatan Serta Hak Patennya Menurut Hukum Islam* November 30th, 2013 by kafi  Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI** Pendahuluan Biospesimen adalah spesimen laboratorium biologis yang dimiliki oleh biorepositori untuk tujuan riset. Biospesimen ini selanjutnya disimpan dalam suatu tempat penyimpanan bahan biologis yang disebut biobank. (http://en.wikipedia.org/wiki/Biological_specimen). Biospesimen ini mencakup struktur subseluler (seperti DNA), sel, jaringan (misal darah, tulang, otot), organ (misal jantung, ginjal, plasenta), gamet (sperma dan sel telur), embrio, jaringan janin, dan limbah (seperti rambut, urin, feses). Dalam riset dan pemanfaatan biospesimen tersebut, sering timbul pertanyaan atau kontroversi menyangkut berbagai hal berkait dengan aspek kepatutan (etik) dan norma hukum. Misalnya, tumor itu sebenarnya sampah atau property? Bolehkah tumor atau kanker itu daripada dibuang dan dikubur, disetor saja ke bank jaringan atau bank tumor? Masalahnya adalah, setelah disetor ke bank tumor, diadakan penelitian sampai akhirnya ditemukan obat-obatan untuk tumor tersebut dan penelitinya mendapat HAKI atau hak paten. Lalu apakah yang punya tumor itu mendapat royalti? Sebelum menjawab masalah itu, perlu dipahami bahwa persoalan etik atau hukum bukanlah persoalan empiris yang sifatnya objektif dan universal, melainkan persoalan normatif yang sifatnya subjektif dan unik, yaitu tergantung pada persepsi masing-masing mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Dalam masyarakat muslim, sudah seharusnya standar normatif yang digunakan adalah Syariah Islam (Hukum Islam), bukan standar manfaat (utilitarianism) sebagaimana masyarakat Barat yang non muslim. Kaidah hukum Islam menetapkan : al-hasanu maa hassanahu as-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu as-syar’u (perbuatan yang baik/terpuji adalah perbuatan yang dinilai baik oleh Syariah Islam, sedang perbuatan buruk/tercela adalah perbuatan yang dinilai buruk oleh Syariah Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 140). Tulisan ini bertujuan menjelaskan hukum Islam mengenai kepemilikan dan pemanfaatan biospesimen dan hak patennya. Kepemilikan dan Pemanfaatan Biospesimen Kepemilikan adalah dasar pemanfaatan. Dengan kata lain, pemanfaatan sesuatu adalah cabang (atau implikasi) dari kepemilikan sesuatu. Barangsiapa memiliki, maka dia berhak memanfaatkan, sebaliknya barangsiapa tidak memiliki, tidak berhak memanfaatkan. Ini adalah salah satu dasar umum dalam hukum Islam mengenai pemanfaatan sesuatu (at-tasharruf), yang didasarkan pada konsep kepemilikan (al-milkiyyah). Dalam hukum Islam berlaku kaidah bahwa barangsiapa memiliki sesuatu, berarti dia memiliki hak untuk memanfaatkan sesuatu itu dalam batas-batas yang dibolehkan Syariah Islam.  (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 123). Siapakah yang memiliki biospesimen? Kepemilikan biospesimen pada dasarnya adalah milik individu sumber spesimen, karena spesimen itu diambil dari tubuhnya atau bagian dari tubuhnya. Dan oleh karena itu, pemilik spesimen berhak memperoleh kompensasi harta jika ada pihak lain yang akan memanfaatkan bagian tubuhnya. Dalil-dalil syariah telah menunjukkan bahwa kepemilikan biospesimen ada di tangan individu sumber biospesimen. Sabda Nabi SAW,”Barangsapa tertimpa musibah pembunuhan atau penganiayaan fisik, dia berhak memilih salah satu dari tiga pilihan; menuntut qishash, mengambil diyat, atau memaafkan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1405). Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, berdasarkan hadits di atas, kalau misalnya seseorang matanya tercongkel akibat perbuatan orang lain, dia berhak mengambil tebusan (diyat) atau memaafkan orang itu. Jika memaafkan, berarti dia menyumbangkan tebusan, yang artinya dia mempunyai hak milik atas tebusan. Adanya hak milik atas tebusan, artinya ada hak milik atas organ tubuh yang disumbangkan dalam bentuk tebusan. Ringkasnya, bolehnya memaaafkan artinya ada kepemilikan atas organ tubuh. (Abdul Qadim Zallum, Hukm al-Syar’i fi al-Istinsakh, hal. 9). Jadi, kepemilikan biospesimen pada dasarnya adalah milik individu sumber spesimen, karena spesimen itu diambil dari tubuhnya atau bagian dari tubuhnya. Terkecuali apabila sumber biospesimen menyatakan telah membuangnya, maka spesimen itu boleh dimiliki dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Berdasarkan adanya hak milik pada individu sumber spesimen tersebut, maka dengan demikian individu sumber spesimen itu berhak memperoleh kompensasi harta jika ada pihak lain yang akan memanfaatkan spesimen dari tubuhnya. Hal itu karena makna kepemilikan adalah tetapnya hak pemanfaatan dan sekaligus juga hak mendapat kompensasi harta (‘iwadh) dari apa yang dimiliki. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 123). Namun demikian, jika biospesimen diambil dari individu yang sudah meninggal, menurut kami hukumnya haram hukumnya mengambil spesimen dari individu tersebut, baik individu itu mewasiatkan atau tidak, walaupun pihak keluarga (ahli waris) memberi izin. Kecuali jika individu itu adalah non muslim. Haramnya mengambil spesimen (misalnya matanya, jantungnya, dsb) dari mayat dikarenakan 2 (dua) alasan sebagai berikut; Pertama, ketika seseorang meninggal, sudah hilang hak miliknya atas apa pun, baik atas hartanya sendiri, atas tubuhnya, atau atas isterinya. Buktinya, jika seseorang meninggal, secara syariah hartanya wajib diwariskan. Ini menjadi dalil bahwa mayat tak punya hak milik lagi atas hartanya. Demikian juga secara syariah, tubuhnya wajib dikuburkan. Ini artinya mayat tak punya hak milik lagi atas tubuhnya. Dan juga secara syariah, setelah kematian seseorang (misal laki-laki), istrinya wajib menjalani masa iddah dan jika masa iddah selesai istri boleh nikah lagi. Ini artinya mayat itu sudah kehilangan hak miliknya atas istrinya. Maka dari itu, jelas bahwa dalam syariah Islam orang yang meninggal tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya, misalnya mendonorkan atau berwasiat kepada ahli warisnya mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat ini tidak sah secara syariah, karena merupakan wasiat atas sesuatu yang tidak lagi dimiliki.  Demikian pula pihak keluarga si mayat juga tidak berhak memberikan izin kepada pihak lain melakukan tasharruf terhadap tubuh atau organ mayat, misalnya memanfaatkan tubuh atau bagian tubuh mayat. Kaidah fiqih menyatakan : Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf (perbuatan hukum), tidak berhak pula dia memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan tasharruf). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081; Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109). Kedua, mayat mempunyai kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu tidak boleh dilkai atau dianiaya, misalnya dibedah, dicincang, dicongkel matanya, dipenggal kehernya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW,“Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (Arab : kasru ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni, 8/208;  Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353). Berdasarkan dua alasan syariah di atas, haramnya mengambil spesimen dari mayat, Namun, keharaman ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non-muslim, hukumnya boleh. Sebab hadis di atas mempunyai mafhum mukhalafah (pengertian sebaliknya secara implisit), yaitu memecahkan tulang bukan orang mu`min, tidak sama dengan memecahkannya saat dia hidup.   Hak Paten Fakta menunjukkan bahwa setelah biospesimen disimpan di suatu bio-bank (biorepositorium), akan diadakan penelitian sampai akhirnya ditemukan obat-obatan untuk suatu spesimen (misal tumor). Penelitinya lalu mendapat HAKI atau hak paten atas penelitiannya itu. Bagaimanakah pandangan Syariah Islam terhadap fakta ini? Bagi seorang peneliti atau penemu yang menghasilkan berbagai karya penemuan (ikhtiraa`aat), Syariah Islam secara umum memberikan 5 (lima) hak-hak syariah sebagai berikut : Pertama, haq al-bai’, yakni peneliti berhak memperdagangkan hasil penelitiannya itu dalam skala industri. Kedua, haq an-nisbah, yakni peneliti diberi hak penisbatan, dalam pengertian karya atau penemuan ilmiah hanya dihubungkan dengan si peneliti saja sebagai penggagas atau penemu (inventor), tidak boleh diklaim sebagai penemuan oleh pihak lain. Ketiga, haq at-ta’diil, yakni peneliti diberi hak untuk melakukan revisi atas karyanya itu, dan tidak dibolehkan ada pihak lain yang merevisinya. Keempat, haq man’u at-taghyir, yaitu peneliti berhak melarang pihak lain untuk mengubah/memodifikasi hasil penemuannya sedemikian rupa sehingga dapat merusak reputasi peneliti. Kelima, haq as-sahb, yaitu hak peneliti untuk menarik penarikan karyanya yang telah beredar dengan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. (Lihat Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun A’l-Buyu’ fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Amman : Darul Wadhdhah, hlm. 126-127). Namun demikian, Syariah tak hanya memperhatikan kepentingan peneliti/penemu, namun juga memperhatikan kepentingan dari pihak yang telah memanfaatkan suatu hasil penelitian atau penemuan. Pihak yang telah membeli suatu hasil penemuan/penelitian, tidak hanya berhak memanfaatkannya untuk diri sendiri. Melainkan juga berhak memanfaatkan secara luas dalam bentuk-bentuk lain, selama tidak melanggar hukum syariah, misalnya menggandakan (suatu buku/literatur) misalnya, atau memberikan/membagikan secara gratis kepada pihak lain, mengajarkan kepada mahasiswa atau masyarakarat, dsb. Dengan satu syarat, bahwa pemanfaatan oleh pengguna tersebut tidak boleh bermaksud memperdagangkan (al-istighlaal tijaariyan), melainkan hanya memanfaatkan (al-intifaa’) secara luas. Bolehnya memanfaatkan secara luas selama tidak melangar syariah, karena hasil penelitian atau penemuan hakikatnya adalah ilmu, yang merupakan hak masyarakat luas dan menyembunyikan ilmu adalah suatu hal yang diharamkan oleh Islam. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang dia ketahui, maka Allah akan mengekangnya pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api neraka.” (Hadits shahih). Namun penemuan itu meski hakikatnya adalah ilmu, namun ada unsur usaha/upaya (al-juhdu, effort) dari peneliti. Padahal suatu usaha manusia dalam pandangan Syariah mempunyai nilai secara finansial. Maka dari itu, pemanfaatan oleh pengguna dibatasi dengan suatu syarat, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk memperdagangkan atau membisniskan hasil penelitian itu. Misalnya, memfotokopi buku/literatur/jurnal untuk kepentingan sendiri, memang boleh secara syariah. Tapi memfotokopi suatu buku/literatur/jurnal dalam jumlah banyak untuk dijual kembali dengan mendapatkan laba, haram hukumnya. Karena perbuatan ini merupakan tindakan memanfaatkan harta orang lain untuk mencari keuntungan tanpa seijin pemilik aslinya. (Lihat Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun A’l-Buyu’ fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Amman : Darul Wadhdhah, hlm. 132). Wallahu a’lam. = = = *Makalah disampaikan dalam Simposium Biorepositorium Nasional I, diselenggarakan oleh Universitas YARSI, Jakarta, Rabu, 27 Nopember 2013.   ** Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Pimpinan (mudir) Pesantren Hamfara, Bantul, Yogyakarta. Alumnus Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB Bogor (1997), dan Magister Studi Islam UII (konsentrasi Ekonnomi Islam) Yogyakarta (2009). Mengajar mata kuliah Ulumul Hadits, Fiqih Muamalah dan Ushul Fiqih di STEI Hamfara Yogyakarta. Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad, Bogor (diasuh oleh KH Ahmad Zaini Dahlan) tahun 1990-1992, dan PP Al-Azhhar, Bogor (diasuh oleh KH. Abbas Aula, Lc) tahun 1992-1994.   Baca juga : Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam Kawin Kontrak Menurut Hukum Islam Dianggap Langgar Hak Asasi Hewan, Belanda Larang Penyembelihan Menurut Hukum Islam Hukum Pemanfaatan Darah dan Jual Beli Virus Hukum Menghina Nabi SAW, Serta Sanksi dan Tindakan Khilafah Posted in Tsaqofah | No comments Previous post: Pernyataan HTI Tentang “KAMPANYE ANTI GAUL BEBAS” Next post: Badan Intelejen AS, NSA Memata-matai Penggunaan Pornografi dan Pergaulan Bebas Online Diantara Muslim Radikal Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum penggunaan kata wazir?

Soal Jawab Seputar Penggunaan Lafazh Wazir dan Wuzarah di Daulah al-Islamiyah November 26th, 2013 by kafi Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir terhadap Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan Seputar Penggunaan Lafazh Wazir dan Wuzarah di Daulah al-Islamiyah Kepada Tamer al-Jabuh   Pertanyaan: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Apakah boleh menggunakan lafazh wazîr di ad-daulah al-islamiyah padahal lafazh ini memiliki fakta dalam sitem kapitalisme?   Jawab: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته Ada perbedaan antara konsepsi wazir dan wuzarah dalam Islam dengan konsepsi kedua lafazh tersebut dalam sistem demokrasi.  Makna yang dimaksudkan oleh (demokrasi) untuk makna wazir dan wuzarah adalah makna yang dominan pada masyarakat, dan jika disebutkan lafazh tersebut maka benak tidak akan berpaling kecuali kepada makna demokrasi itu. Karena itu dan untuk menolak kerancuan serta untuk menentukan makna syar’iy itu sendiri dan bukan yang lain, maka tidak dibenarkan disebutkan kata mu’awin khalifah lafazh dengan wazir dan wuzarah secara mutlak tanpa pembatasan.  Akan tetapi, digunakan lafazh mu’awin dan itu adalah makna yang hakiki. Atau diberikan batasan bersama lafah wazir atau wuzarah yang mengalihkan makna demokrasi dan menentukan makna Islami saja seperti dikatakan wazir tafwidh …     Saudaramu   Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah   27 Dzulhijjah 1434 01 November 2013   http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_30496 Baca juga : Soal Jawab Seputar Penggunaan Panji al-‘Uqab dan al-Liwa oleh Khulafa’ ar-Rasyidin Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Jawab Soal Seputar Ikut Serta dalam Jaminan Sosial Soal Jawab Seputar Aktivitas Pemerintahan dan Aktivitas Administratif Jawab Soal Seputar Parfum yang Mengandung Alkohol Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Tak Berdaya Menghambat Islam, Masjid-masjid Dihancurkan Next post: Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum seputar suap

Hukum Islam Seputar Suap dan Hadiah Kepada Pegawai November 15th, 2013 by kafi Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi Hukum Suap Suap (Arab: ar risywah, boleh dibaca ar rasywah atau ar rusywah) adalah harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahibus shalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang semestinya wajib diwujudkan tanpa pemberian harta dari pihak yang berkepentingan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, AI Amwal fi Daulah Al Khilafah, him. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mujam Lughah Al Fuqoha, him. 171; Al Mausu’ah AI Fiqhiyyah, 22/219). Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap. Dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Dari Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, him.118). Maka dari itu, haram hukumnya pegawai menerima suap dalam bentuk apapun demi suatu kepentingan yang semestinya terlaksana tanpa pembayaran dari pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya, suap kepada polisi lalu lintas yang diberikan oleh pelanggar lalu lintas agar tidak didenda/ditilang. Suap yang diberikan orang tua murid kepada kepala sekolah agar anaknya yang tidak naik kelas bisa naik kelas. Suap yang diberikan oleh perusahaan kepada pejabat yang akan menentukan pemenang tender. Suap yang diberikan kepada pegawai/pejabat untuk memperlancar urusannya, seperti pengurusan SIM, KTP, surat-surat perizinan, padahal pegawai/pejabat itu sudah digaji untuk melaksanakan urusan tersebut, dan sebagainya. Semua contoh ini adalah suap dan setiap suap hukumnya adalah haram dan merupakan dosa besar (al kaba`ir). Na’uzhu billah min zhalik.   Hukum Hadiah Hadiah di sini mirip dengan suap yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Suap biasanya diberikan sebelum suatu kepentingan terwujud. Sedangkan hadiah, diberikan manakala suatu kepentingan telah terwujud, dengan harapan agar terwujud hubungan baik demi kepentingan lain di masa yang akan datang. Syariah Islam menegaskan, haram hukumnya seseorang pegawai menerima hadiah yang mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatannya. Jabatan di sini maksudnya adalah kewenangan (otoritas) yang dimiliki seorang pegawai/pejabat untuk menentukan sesuatu kepentingan umum tertentu. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 119). Banyak dalil-dalil syariah yang menegaskan haramnya pegawai menerima hadiah. Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda,“Hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”). Diriwayatkan daripada Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih, lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191). Diriwayatkan dari Abu Hamid As-Sa’idi RA bahwa Nabi SAW pernah mengutuskan Ibnu Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Lutbiyah berkata kepada Nabi SAW,”Ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda. Sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya.” Maka Nabi SAW bersabda,“Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari no 6464). Imam Taqiuddin An-Nabhani menjelaskan,”Ketiga hadis di atas dengan jelas menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pegawai yang melaksanakan tugas umum adalah haram, baik yang diberikan sebelum dia menetapkan kebijakan tertentu ataupun sesudahnya, atau diberikan karena dia adalah pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan karena dia adalah orang yang berpengaruh terhadap penguasa. Semuanya adalah haram.” (Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338). Yang dikecualikan dari keharaman ini adalah  hadiah kepada pegawai yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya. Contohnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pegawai sejak sebelum dia menjadi pegawai, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini boleh (mubah) hukumnya. Dalilnya sabda Nabi SAW di atas, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari). Dari hadis ini, dapat ditarik pemahaman yang sebaliknya yang tersirat (mafhum mukhalafah), yakni kalau hadiah itu datang kepada seseorang sedangkan ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, maka hadiah itu dibolehkan. Artinya, jika hadiah itu diberikan tidak mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatan, tetapi karena adanya hubungan pribadi sebelumnya, hukumnya boleh (mubah), tidak haram. Maka dari itu, jika kita sudah terbiasa memberi hadiah kepada seseorang sebelum dia menjadi pegawai, maka jika suatu hari dia menjadi pegawai, kita tetap dibolehkan untuk memberinya hadiah. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338). Wallahu a’lam.[] Baca juga : Hukum Menerima Hadiah Dari Bank Suap Menyuap dan Hukum Syara terhadapnya Halalkah Hadiah Untuk Pejabat? Hukum Seputar Narkoba Dalam Fiqih Islam Jawaban Pertanyaan Seputar Hukum-hukum terkait Jual Beli Posted in Tsaqofah | No comments Previous post: Aung San Suu Kyi dan Islamofobia Umat Budha Next post: 1000 Peserta Aksi Surabaya Menuntut Pengusiran AS dari Indonesia Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Batas maksimal laba adakah?

Batas Maksimal Laba Perdagangan, Adakah? November 12th, 2013 by kafi Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apakah dalam syariah Islam ada batas maksimal laba dalam perdagangan, misalnya 30 persen atau 100 persen?  Muhammad, Bogor  Jawab : Yang dimaksud dengan “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 70). Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 72-74; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 191). Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa` [4] : 29). Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al bai’ wa al syira` li gharadh ar ribhi). (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/31; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/151; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 26). Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208). Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 75; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/33). Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda. Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 76). Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 74; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/30). Wallahu a’lam.[] Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 115 Baca juga : Menghitung Zakat Perdagangan Batas Akhir Waktu Sahur Perdagangan Luar Negeri (II): Tarif Perdagangan Dalam Pandangan Islam Anggaran Maksimal Pengadaan Mobil Pejabat Negara Rp. 400 Juta Per Unit Laba BUMN Mencapai Rp 80 Triliun Posted in Tsaqofah | 1 comment Previous post: Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI: Bukti Sudah Cukup, Tutup Kedubes Amerika! Next post: Kezaliman dan Akibatnya 1 comment on this post. heri: November 18th, 2013 at 08:11 Islam memang rahmatan lil ‘alamin Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum vaksinasi

Soal Jawab: Realitas Vaksinasi dan Hukumnya November 26th, 2013 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم   Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di akun Facebook Beliau Jawaban pertanyaan: Realitas Vaksinasi dan Hukumnya Kepada Sadiq Ali Pertanyaan: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Saudari Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai berikut: Saya seorang perempuan Chechnya yang tinggal di Belgia sejak 14 tahun lalu, di mana banyak masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi anak-anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini adalah dharar dan tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka. Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya? Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’ yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu, sesuai yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan kaum Muslimin. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته   Jawab: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut: 1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda: «مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً» Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya   Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda: «لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ» Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla   Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud: «مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ» Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya   Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah anjuran dan bukan wajib. 2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: «إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا» Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah   Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?”” Rasul bersabda: تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ» Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu   Yakni kematian. Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda: «يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ» “Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”   Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…» “Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”   Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat. Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu adalah untuk mandub. Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Namun jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ» Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri   Hanya saja kondisi ini sangat sedikit … Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunkan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan. ﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾ dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)   Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw: «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)   Ini adalah nas yang bersifat umum tentang tanggungjawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara. Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata: «بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ» Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)   Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata: «مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ» Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu memberi pantangan makannan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan   Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang memerlukannya.   Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 15 Muharram 1435 18 November 2013 http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_30929     Baca juga : Jawab Soal: Hadits Bisyarah Jawab Soal Seputar Parfum yang Mengandung Alkohol Jawab Soal Tentang Bid’ah Jawab Soal Tentang Demokrasi Jawab Soal Tentang Hukum Akad Murabahah Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Ribuan Warga Minangkabau Bersatu Tolak Superblok Lippo Siloam Next post: Konflik Suriah: Anak-anak Menjadi Target Sniper Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum berkaitan dgn pertanian

Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz November 26th, 2013 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم   Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir terhadap Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan Seputar: 1. Jenis Hasil Pertanian dan Buah-Buahan Yang Kena Zakat 2. Hukum Berkaitan Dengan Rikaz Kepada ats-Tsiqah bi-Llah.   Pertanyaan: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Amir dan syaikh saya yang mulia, apa saja jenis-jenis yang di dalamnya diwajibkan zakat berkaitan dengan pertanian dan buah-buahan. Misalnya, ada orang yang mengeluarkan zakat untuk minyak, apa yang menjadi patokan dalam hal itu ? Sudah diketahui bahwa di dalam rikaz ada khumus. Pertanyaan saya, ada orang yang menemukan harta milik Utsmaniyah (kotak gaji pasukan), apakah itu dimiliki oleh orang yang menemukannya setelah ia keluarkan khumusnya, ataukah itu adalah milik Daulah Islamiyah yang wajib dia jaga (disimpan) sebagai amanah dan dia kembalikan ke negara al-Khilafah ketika berdiri dalam waktu dekat mendatang? Semoga Allah memberikan berkah kepada Anda. (Abu Hisamuddin/Tarqumia/Hebron/ Palestina).   Jawab: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 1.  Berkaitan dengan jenis hasil pertanian dan buah-buahan yang di dalamnya wajib zakat adalah gandum, jewawut (barley), kismis dan kurma. Ini dinyatakan di dalam hadits-hadits sebagai pembatasan. Jenis lainnya tidak masuk di dalamnya. Dalil-dalil yang demikian adalah: a. Musa bin Thalhah telah meriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: « إِنَّمَا سَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلزَّكَاةَ فِيْ هَذِهِ اْلأَرْبَعَةِ: اَلْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيْرِ، وَالتَّمْرِ، وَالزَّبِيْبِ » Tidak lain Rasulullah saw hanya menetapkan zakat pada empat ini: gandum, jewawut, kurma dan kismis (HR ath-Thabarani). Dan dari Musa bin Thalhah juga, ia berkata: « أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ – حَيْنَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ – أَنْ يَأْخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ، وَالنَّخْلِ، وَالْعَنَبِ» Rasulullah saw memerintahkan Mu’adz bin Jabal –ketika beliau mengutusnya ke Yaman- untuk memungut zakat dari gandum, jewawut, kurma dan anggur (HR Abu ‘Ubaid) Hadits-hadits ini menjelaskan bahwa zakat dalam hasil pertanian dan buah-buahan melainkan hanya diambil dari empat jenis: gandum, jewawut, kurma dan kismis; dan tidak diambil dari selainnya diantara jenis-jenis hasil pertanian dan buah-buahan. Hal itu karena hadits pertama dikeluarkan dengan lafazh innamâ yang menunjukkan pembatasan. b.  Al-Hakim, al- Baihaqi dan ath-Thabarani telah mengeluarkan dari hadits Musa dan Mu’adz bin Jabal ketika Rasul saw mengutus keduanya ke Yaman, untuk mengajarkan kepada masyarakat agama mereka, Rasul saw bersabda kepada keduanya: «لاَ تَأْخُذَا الصَّدَقَةَ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَرْبَعَةِ: اَلشَّعِيْرِ، وَالْحِنْطَةِ، وَالزَّبِيْبِ، وَالتَّمْرِ» Jangan kalian berdua ambil zakat kecuali dari empat jenis ini: jewawut, gandum, kismis dan kurma Al-Baihaqi berkata tentang hadits ini: para perawinya tsiqah dan muttashil (bersambung sanadnya). Hadits ini di dalammya jelas adanya pembatasan pengambilan zakat dalam hasil pertanian dan buah-buahan, hanya dari empat jenis ini saja. Sebab lafazh illâ jika didahului dengan instrumen larangan (adâtu nahiy), maka itu memberi pengertian pembatasan apa yang sebelumnya terhadap apa yang sesudahnya. Artinya itu adalah pembatasan pengambilan zakat terhadap empat jenis yang disebutkan sesudah illâ, yaitu jewawut, gandum, kismis dan kurma. c. Dan karena lafazh al-hinthah, asy-sya’îr, at-tamru dan az-zabîb yang disebutkan di dalam hadits-hadits tersebut merupakan isim jamid, maka lafazh itu tidak mencakup selainnya, baik secara manthuq maupun mafhum. Sebab itu bukanlah ismun sifat dan bukan pula ismun ma’ân, akan tetapi terbatas pada zat-zat yang disebut dan diberi nama dengan lafazh itu. Karena itu, dari lafazhnya itu tidak bisa diambil makna makanan pokok, atau kering atau disimpan. Sebab lafazh-lafazhnya itu tidak menunjukkan makna-makna dan sifat-sifat ini. Hadits-hadits ini yang membatasi kewajiban zakat pada empat jenis hasil pertanian dan buah-buahan ini, mengkhususkan lafazh-lafazh umum yang dinyatakan di dalam hadits-hadits: « فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ اَلْعُشْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِغَرْبٍ، أَوْ دَالِيَةٍ، نِصْفُ الْعُشْرِ » Pada apa yang diairi oleh langit (air hujan) sepersepuluh (sepuluh persen) dan pada apa yang diairi dengan timba atau geriba seperduapuluh (lima persen) Dengan demikian maknanya bahwa pada apa yang diairi oleh langit (air hujan) dari gandum, jewawut, kurma dan kismis ada sepersepuluh (sepuluh persen) dan apa yang diairi dengan timba atau geriba ada seperduapuluh (lima persen). d. Tidak wajib zakat pada selain empat jenis hasil pertanian dan buah-buahan ini. Karena itu, tidak diambil zakat dari durra (shorghum), padi, kedelai, buncis, kacang adas, biji-bijian lainnya, dan kacang polong. Begitu pula tidak diambil zakat dari apel, pir, buah persik, aprikot, delima, jeruk, pisang dan buah-buahan lainnya. Sebab biji-bijian dan buah-buahan ini tidak tercakup oleh lafaz al-qumh (gandum), asy-sya’îr (jewawut/barley), at-tamru (kurma) dan az-zabîb (kismis). Sebagaimana tidak dinyatakan nas yang shahih tentangnya yang dijadikan pedoman. Tidak pula ada ijmak. Dan tidak bisa dimasuki oleh qiyas sebab zakat termasuk ibadah dan ibadah tidak dimasuki qiyas dan dibatasi pada topik nasnya saja. Sebagaimana juga tidak diambil zakat dari sayur-sayuran seperti ketimun, labu, terong, kol, lobak, wortel, dan lainnya. Diriwayatkan dari Umar, Ali, Mujahid dan selain mereka bahwa tidak ada zakat di dalam sayur-sayuran. Hal itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid, al-Baihaqi dan lainnya. 2. Sedangkan bagian kedua dari pertanyaan itu tentang rikaz, maka siapa yang menemukan rikaz di dalamnya ada khumus (seperlima) yang ia serahkan kepada Daulah Islamiyah untuk dibelanjakan di berbagai kemaslahatan kaum muslimin. Empat perlima yang lain untuk orang yang menemukan rikaz dengan ketentuan rikaz itu tidak dia temukan di tanah milik orang lain. Sedangkan jika Daulah Islamiyah belum tegak seperti halnya hari ini, maka orang yang menemukan rikaz, ia keluarkan khumus (seperlima)nya untuk orang-orang fakir dan miskin serta berbagai kemaslahatan kaum Muslimin … dan hendaknya ia mencari kebenaran dalam hal itu. Sisanya (empat perlimanya) untuk dia. Adapun dalilnya adalah: a. Rikaz adalah harta yang tertimbun di dalam tanah, baik berupa perak, emas, permata, mutiara dan lainnya, berupa perhiasan atau senjata. Baik itu adalah timbunan milik kaum-kaum terdahulu seperti Mesir kuno, Babilonia, Asyiriyin, Sasaniyin, Romawi kuno, Yunani kuno, dan selain mereka, seperti mata uang, perhiasan, permata yang ada di kuburan-kuburan raja-raja dan para pembesar mereka. Atau di reruntuhan kota kuno yang hancur, baik berupa mata uang, emas, perak, ditempatkan di bejana atau lainnya, disembunyikan di dalam tanah dari masa-masa jahiliyah, atau masa-masa Islam yang telah lalu. Semua itu dianggap sebagai rikaz. Kata rikaz dibentuk dari rakaza – yarkazu, seperti gharaza – yaghrazu jika tidak tampak. Rakaza ar-ramha jika ia membenamkannya di tanah. Dan darinya ar-rikzu yaitu suara yang tidak tampak. Allah SWT berfirman: ﴿ … أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا﴾ [مريم 98] atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (TQS Maryam [19]: 98) Sedangkan mineral tambang maka itu adalah ciptaan Allah di muka bumi, pada saat Allah menciptakan langit dan bumi, berupa emas, perak, tembaga, perunggu dan lainnya. Al-ma’din (mineral tambang) dibentuk dari ‘adana fî al-makâni, jika menetap di situ. Dari situ disebut jannatu ‘adn (surga Adn), sebab itu adalah negeri tempat tinggal dan kekal. Jadi al-ma’din (mineral tambang) termasuk ciptaan Allah dan bukan timbunan manusia. Dengan demikian berbeda dengan rikaz. Sebab rikaz berasal dari timbunan manusia. b. Hukum asal dalam rikaz dan al-ma’din (mineral tambang) adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda: «اَلْعَجْمَاءُ جُرْحُهَا جُبَارٌ، وَفِيْ الرِّكَازِ اَلْخُمْسُ» Hewan itu lukanya diabaikan dan di dalam rikaz ada khumus (seperlima) (HR Abu ‘Ubaid) Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Nabi saw ditanya tentang harta yang ditemukan di reruntuhan kaum ‘Ad. Maka Rasulullah saw bersabda: «فِيْهِ وَفِيْ الرِّكَازِ اَلْخُمْسُ» Di dalamnya dan di dalam rikaz ada khumus (seperlima) Dan apa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi saw bahwa Beliau bersabda: «وَفِيْ السُّيُوْبِ اَلْخُمْسُ. قَالَ: وَالسُّيُوْبُ عُرُوْقُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الَّتِيْ تَحْتَ اْلأَرْضِ»  Dan di dalam as-suyub ada khumus: as-suyub adalah urat emas dan perak yang ada di dalam bumi (HR Ibn Quadamah di al-Mughni) c. Atas dasar itu, maka setiap harta yang tertimbun berupa emas atau perak, perhiasan atau permata atau lainnya, yang ada di makam atau reruntuhan atau di kota umat-umat terdahulu, atau ditemukan di tanah mati, atau di reruntuhan kaum ‘Ad, berasal dari timbunan masa jahiliyah atau timbunan kaum Muslimin pada masa Islam terdahulu, maka menjadi milik orang yang menemukannya, yang darinya ia tunaikan khumus (seperlima) ke baitul mal. Demikian juga setiap tambang yang kecil, tidak mengalir laksana air, yakni terbatas jumlahnya dan tidak mengalir, berupa emas atau perak, baik urat emas atau bijih, yang ada di tanah mati tidak dimiliki oleh siapapun, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya. Ia tunaikan darinya khumus (seperlima) untuk baitul mal. Adapun jika laksana air mengalir yakni tambang bukan terbatas jumlahnya yang tertimbun, maka ini mengambil hukum kepemilikan umum dan untuk itu ada rincian lainnya. Khumus (seperlima) yang diambil dari orang yang menemukan rikaz dan orang yang menemukan tambang, posisinya seperti fay`i dan mengambil hukum fay`i, ditempatkan di baitul mal, pada diwan fay`i dan kharaj, dibelanjakan pada pembelanjaan fay`i dan kharaj, dan perkaranya diwakilkan kepada khalifah, ia berhak membelanjakannya pada pemeliharaan urusan umat dan pemenuhan berbagai kemaslahatan umat, sesuai pendapat dan ijtihadnya, yang di dalamnya ada kebaikan dan kemanfaatan. d. Orang yang menemukan rikaz atau tambang di harta miliknya baik tanah atau bangunan miliknya, maka ia memilikinya, baik ia mewarisi tanah atau bangunan itu atau ia beli dari orang lain. Orang yang menemukan rikaz atau tambang di tanah atau bangunan orang lain, maka rikaz atau tambang yang ditemukan itu untuk pemilik tanah atau pemilik bangunan, dan bukan milik orang yang menemukan rikaz atau tambang tersebut.   Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 5 Muharram 1435 8 November 2013 http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_30672 Baca juga : Jawab Soal Seputar Parfum yang Mengandung Alkohol Jawab Soal Seputar Ikut Serta dalam Jaminan Sosial Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan Jawab Soal seputar “Haji Orang Yang Sudah Lanjut Usia” dan “Haqîqah dan al-Majâz” Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Soal Jawab Seputar Penggunaan Lafazh Wazir dan Wuzarah di Daulah al-Islamiyah Next post: Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Seputar pakaian syar'iy perempuan

HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP VIDEO FOTO KEGIATAN Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan November 26th, 2013 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم   Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir terhadap Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan Kepada Hassan Ali Ali   Pertanyaan: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Pertanyaan saya tentang hijab, apakah merupakan kewajiban, disertai dalil, atau dahulunya adat kebiasaaan dan diwajibkan untuk membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. (( jadi hijab pada asalnya adalah tasyri’ yang memiliki kandungan bersifat kelas yang tujuannya membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. Dan inilah yang dipahami oleh sahabat. Sebab dahulu Umar bin al-Khaththab (berkeliling di Madinah, maka ketika ia melihat hamba sahaya berhijab maka Umar memukulnya dengan cemetinya yang terkenal sehingga hijab pun jatuh dari kepala hamba sahaya itu, dan Umar berkata: “kenapa hamba sahaya menyerupai wanita merdeka?” Di akhir saya ingin katakan, pada zaman dimana tidak ada tetangga atau hamba sahaya, dan segala puji hanya bagi Allah, dan sebab diulurkannya jilbab telah gugur. Tidak ada sesuatu di dalam al-Quran dan as-Sunnah yang mengatakan bahwa hijab adalah fardhu karena jilbab itu menghalangi fitnah atau untuk menjaga kesucian diri. Orang yang mengatakan ini maka dia berdosa dan telah membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Perempuan yang mengenakan hijab disebabkan itu adalah bagian dari adat kebiasaan kaumnya atau masyarakatnya, mka ia tidak melakukan kesalahan, selama ia memahami bahwa memakai hijab bukan merupakan kewajiban dari Allah SWT… Akan tetapi perempuan yang mengenakan hijab dan menyerukannya dengan keyakinan bahwa Allah SWT telah memerintahkannya, tidak lain ia melakukan dosa besar sebab menyekutukan dalah hal hukum Allah dengan manusia yang mewajibkan undang-undang yang tidak didatangkan oleh Allah dan tidak pula oleh Rasul-Nya yang mulia, dan ia tersesat dari risalah al-Quran dan jalan yang lurus. Hijab bukan merupakan kewajiban islami akan tetapi merupakan adat kebiasaan kemasyarakatan yang ada sebelum Islam dan tidak ada hubunganya dengan agama-agama sama sekali. Dan diantara perkara paling berbahaya adalah mencampuradukkan antara adat kebiasaan dan ajaran-ajaran dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya yang mulia sebab klaim bahwa suatu adat kebiasaan adalah berasal dari Allah adalah klaim dusta yang menyerupai kesyirikan kepada Allah dan kedustaan terhadap Allah azza wa jalla.)) Saya mohon komentar Anda terhadap ucapan ini. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada Anda dan juga memberi petunjuk kepada kami dan Anda.   Jawab: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته Pakaian syar’iy untuk perempuan itu dalil-dalil syara’nya jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan dari sisi adat kebiasaan, sehingga jika masyarakat terbiasa dengannya maka dipakai, dan jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka tidak ada. Akan tetapi pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan: Syara’ telah mewajibkan pakaian syar’iy tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya ke kehidupan umum. Syara’ telah mewajibkan atas perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum. Syara’ mewajibkan atas perempuan agar ada jilbab, dengan maknanya yang syar’iy, yang ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Dan jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjaminya maka ia tidak sah keluar tanpa mengenakan jilbab. Dan jika ia keluar tanpa mengenakan jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah terhadapnya. Ini dari sisi pakaian bawah bagi perempuan. Sedangkan dari sisi pakaian atas maka ia harus mengenakan kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher dan bukaan pakaian di dada. Dan ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum, artinya pakaian kehidupan umum dari atas. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi sebab tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali. Adapun dalil atas wajibnya kedua pakaian untuk kehidupan umum tersebut, adalah firman Allah SWT tentang pakaian dari atas: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)   dan firman Allah SWT tentang pakaian bawah: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)   Dan apa yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah bahwa ia berkata: «أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا» Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan di hari Idul Fitri dan Idul Adhha, para perempuan yang punya halangan, perempaun yang sedang haidh dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haidh, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslimin. Aku katakan: ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab. Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya jilbab miliknya”. (HR Muslim)   Dalil-dalil ini jelas dalam dalalahnya atas pakaian perempuan di kehidupan umum. Jadi dalam dua ayat ini, Allah SWT telah mendeskripsikan pakaian yang Allah wajibkan atas perempuan agar ia kenakan di kehidupan umum dengan deskripsi yang dalam, sempurna dan menyeluruh. Allah SWT berfirman tentang pakaian perempuan dari atas: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)   Yakni hendaknya mereka mengulurkan penutup kepala mereka di atas leher dan dada mereka, untuk menutupi apa yang tampak dari bukaan baju, dan bukaan baju dari leher dan dada. Dan Allah berfirman terkait pakaian perempuan dari bawah: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)   Yakni hendaknya mereka menjulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka yang mereka kenakan di atas pakaian untuk keluar, hendaknya mereka julurkan ke bawah. Allah berfirman tentang tatacara umum yang berlaku atas pakaian ini: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (TQS an-Nur [24]: 31)   Yakni hendaknya mereka tidak menampakkan anggota-anggota tubuh yang merupakan tempat perhiasan seperti kedua telinga, kedua lengan bawah, kedua betis dan selainnya kecuali apa yang bisa nampak di kehidupan umum ketika ayat ini turun, yakni pada masa Rasul saw, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dan dengan deskripsi yang mendalam ini maka menjadi jelas sejelas-sejelasnya, apa pakaian perempuan di kehidupan umum dan apa yang wajib atas pakaian itu. Dan datang hadits Ummu ‘Athiiyah menjelaskan secara gamblang wajibnya perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw: “salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab”. Lalu Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya dari jilbab punyanya”. Artinya ketika Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul: jika ia tidak memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya untuk keluar, lalu Rasul saw memerintahkan agar saudarinya meminjaminya jilbab punyanya. Dan maknanya bahwa jika ia tidak dipinjami maka tidak sah/tidak boleh untuknya keluar. Dan ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadits ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Dan jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar. Dan dalam hal jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Sebab Allah SWT berfirman dalam ayat tersebut: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)   Yakni hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Sebab kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian) akan tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dan karena diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw bersabda: «مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ» “Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak memandangnya pada Hari Kiamat”. Lalu Ummu Salamah berkata: “lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya”. Rasul menjawab: “hendaknya mereka menjulurkannya sejengkal”. Ummu Salamah berkata: “kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka”. Rasulullah pun menjawab: “maka hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya”. (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih)   Jadi hadits ini gamblang bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, maka yang demikian itu belum cukup untuk tidak menjulur jilbab itu ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan). Dan tidak harus jilbab itu menutupi kedua kaki dan kedua kaki itu tertutup. Akan tetapi disitu harus ada irkha’, yakni jilbab itu harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki secara nyata yang darinya diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum, dan di dalamnya tampak irkha’ yakni terpenuhi di dalamnya firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan). Dan seperti yang Anda lihat, pakaian perempuan itu merupakan pakaian yang sudah dibatasi dengan pembatasan yang jelas dengan nas-nas yang gamblang (sharih) tidak ada kerancuan dan keraguan dalam dalalahnya sehingga Rasulullah saw ketika ditanya oleh Ummu ‘Athiyah tentang keluar jika perempuan tidak punya jilbab maka Rasulullah saw menjawabnya agar perempuan itu meminjam jilbab dari tetangganya atau ia tidak keluar. Dan ini adalah dalalah yang kuat yang menunjukkan wajibnya pakaian ini sebagai kewajiban syar’iy.     Saudaramu   Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah   1 Muharram 1435 4 November 2013   http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_30567     Baca juga : Jawab Soal: Seputar Tenggat yang Diperbolehkan bagi Kaum Muslimin untuk Menegakkan al-Khilafah Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita Jawab Soal Seputar Parfum yang Mengandung Alkohol Jawab Soal Seputar Ikut Serta dalam Jaminan Sosial Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | 2 comments Previous post: Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Next post: Rezim Asing! 2 comments on this post. farhan: November 30th, 2013 at 05:19 bagaimana dgn pendapat yg menyoal ttg model pakaiannya….ada yg mengatakan harus gamis, dan ada yg mengatakan boleh menggunakan model potongan (terpisah antara rok dan baju)…. lhiza: November 30th, 2013 at 13:20 farhan_menurut ilmu yg saya dapatkan,pakaian yg syar’iy itu bukan potongan,jadi kalau model pakaiannya itu rok yg terpisah dgn baju pastinya sih ngga syar’iy .. Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Cara Khilafah mengatasi defisit Anggaran

Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran? December 1st, 2013 by solihan Defisit anggaran (budget deficit) dalam literatur didefinisikan sebagai “the gap between the public revenues and expenditures”, atau selisih minus pendapatan dengan belanja publik. (Monzer Kahf, 1994). Dengan kata lain, defisit anggaran adalah defisit dalam APBN karena pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara. Contohnya APBN Indonesia untuk tahun 2014; belanja negara besarnya Rp 1.842,5 triliun, sedangkan pendapatannya Rp 1.667,1 triliun. Jadi terdapat defisit sebesar Rp 175,4 triliun. (finance.detik.com, 28/10/2013). Anggaran defisit seperti ini adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis-sekular, negara sosialis/komunis, maupun di negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (komprehensif). Yang berbeda hanyalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing. Menurut Umer Chapra dalam bukunya, Islam and the Economic Challenge (1992), di negara-negara kapitalis (termasuk di Dunia Islam) terdapat 4 (empat) faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja pertahanan yang tinggi; subsidi yang besar; belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien; korupsi dan pengeluaran yang boros (Monzer Kahf, 1994). Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang. (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari, 2010). Khilafah dan APBN Sebelum dibahas cara Khilafah mengatasi defisit anggaran, mungkin perlu dibahas dulu, apakah dalam Khilafah ada APBN? Kalau ada, siapakah yang mempunyai otoritas menyusun APBN itu? Apa bedanya APBN dalam negara kapitalis-sekular dengan APBN dalam negara Khilafah? APBN secara umum adalah daftar sistematis dan rinci yang memuat rencana pendapatan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. APBN dalam negara kapitalis-sekular disusun oleh Pemerintah dan harus mendapat persetujuan DPR agar menjadi UU (undang-undang) yang berlaku untuk satu tahun. APBN dalam arti seperti ini tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim dalam sejarah Islam. Yang dikenal oleh umat Islam adalah institusi Baitul Mal. Namun demikian, fungsi Baitul Mal ternyata memiliki kesamaan dengan fungsi Pemerintah terkait APBN, yaitu mengelola pendapatan dan pengeluaran negara. Maka dari itu, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk menggunakan istilah APBN dalam negara Khilafah, asalkan tetap memperhatikan perbedaan APBN negara kapitalis dengan APBN negara Khilafah. Terdapat setidaknya 4 (empat) perbedaan mendasar antara APBN negara kapitalis dengan APBN negara Khilafah: (1) Dari segi keterikatannya dengan halal-haram (syariah). APBN negara kapitalis tidak terikat dengan halal-haram, sedangkan APBN Khilafah terikat dengan halal-haram. (2)      Dari segi jenis-jenis pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara kapitalis, jenis-jenis pengeluaran atau pendapatan ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR, sedangkan dalam APBN Khilafah, tidak ditetapkan oleh Khalifah atau Majelis Umat, namun ditetapkan oleh hukum-hukum syariah yang bersifat tetap (fixed). (3) Dari segi besarnya dana untuk masing-masing jenis pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara kapitalis, besarnya dana ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR, sedangkan APBN Khilafah ditetapkan oleh Khalifah sebagai kepala negara, karena merupakan ri’ayatus-syu‘un (pengaturan urusan rakyat) yang menjadi hak Khalifah, tanpa ada kewajiban mendapatkan persetujuan Majelis Umat. (4)      Dari segi periode waktu berlakunya APBN. APBN dalam negara kapitalis berlaku untuk periode satu tahun, sedangkan APBN Khilafah tidak mengenal periode waktu yang tertentu. (Lihat: Taqiyudddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/113-114; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 235-236). Perbedaan APBN negara kapitalis dengan APBN Khilafah di atas disajikan secara ringkas dalam tabel berikut ini: No Aspek APBN Kapitalis APBN Khilafah 1 Keterikatan dengan halal haram (syariah) Tidak terikat Terikat 2 Jenis-jenis pendapatan dan pengeluaran Ditetapkan pemerintah dan DPR Ditetapkan oleh Syariah Islam 3 Besarnya dana untuk masing-masing jenis pendapatan dan pengeluaran Ditetapkan pemerintah dan DPR Ditetapkan oleh Khalifah 4 Periode Tahunan Tidak ada periode Cara Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran Pendapatan negara Khilafah mungkin saja tidak cukup untuk membiayai semua pengeluarannya sehingga terjadilah defisit anggaran. Cara Khilafah mengatasi defisit anggaran ini secara garis besar ada 3 (tiga) langkah sebagai berikut: Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, Khalifah berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, tentunya harus tetap sesuai hukum-hukum syariah Islam. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh: (1) Mengelola harta milik negara (istighlal amlak ad-dawlah). Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Khalifah boleh saja menjual atau menyewakan tanah-tanah di dalam kota untuk membangun pemukiman, pasar-pasar, gudang-gudang, dan sebagainya. Khalifah boleh juga mengelola tanah perkebunan milik negara, baik sebagian atau seluruhnya, dengan akad musaqah, yakni bagi hasil dari merawat pohon, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun, ada catatan penting, bahwa ini tak berarti negara menjadi pedagang atau pebisnis yang berpikir dan bertindak sebagaimana lazimnya pedagang atau pebisnis, yaitu selalu berusaha mencari profit dan menghindari risiko atau kerugian. Negara dalam hal ini wajib tetap mengedepankan fungsinya menjalankan ri’ayatus-syu‘un (pengaturan urusan rakyat). Dengan demikian ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu‘un (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 86-87). (2)      Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan jihad fi sabilillah dan apa saja yang terkait dengan jihad. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan jihad atau yang terkait dengan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persejataan), pembiayaan latihan militer, dan sebagainya. Jadi pendapatan dari tambang Papua itu tak boleh digunakan untuk keperluan lainnya, misalnya untuk mengentaskan kemiskinan, atau membiayai pendidikan, dan sebagainya. Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., misalnya tatkala Rasulullah saw. melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pernah pula melakukan hima pada Ar-Rabdzah, khusus untuk unta-unta zakat, dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 76-77). (3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik. Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll; (4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122). Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat: (1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat;  (2) hanya diambil dari kaum Muslim saja; (3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna; (4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242). (4)      Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. Bisa jadi pemungutan sudah dilakukan, tetapi tidak optimal karena berbagai sebab; mungkin karena kurang profesionalnya staf Baitul Mal, atau ada sebagian hasil pemungutan yang digelapkan atau dikorupsi, atau ada kesalahan pencatatan dan perhitungan, dan sebagainya. Yang bertanggung jawab dalam optimalisasi pemungutan ini adalah dua organ Baitul Mal, yaitu Diwan Muhasabah ‘Aammah (Divisi Perhitungan Umum) dan Diwan Muraqabah (Divisi Pengawasan). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 24). Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya penyempurna, atau yang disebut Al-Mashalih al-Kamaliyah, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/125). Misal: perluasan jalan raya yang tidak mendesak, yaitu jika jalan tak diperluas tak menimbulkan masalah pagi pengguna jalan; atau membangun rumah sakit baru yang tak mendesak karena rumah sakit yang ada masih mencukupi; atau membangun jembatan kedua padahal jembatan pertama masih layak dan masih mampu menampung volume lalu-lintas; atau menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi Khalifah dan aparat pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak. Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): (1) Utang-utang luar negeri itu pasti menarik bunga, yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275). (2) Utang luar negeri itu pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘ [4]: 141). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla, hlm. 200-207). Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), Khalifah boleh berutang (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122-123). WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi] Daftar Pustaka Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, ttp: tp, 1963. An-Nabhani, Taqiyudddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut: Darul Ummah, 2004. —————, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II, Beirut: Darul Ummah, 2010. Kahf, Monzer, “Budget Deficit and Public Borrowing Instruments in An Islamic Economic Sistems,” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, 11:2, 1994. Kartikasari, Endah, Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Utang, Bogor: Al-Azhar Press, 2010. Qahf, Munzir, Tamwil al-‘Ajz fi al-Mizaniyah al-’Ammah li ad-Daulah min Wijhah Nazhar Islamiyyah, ttp: Maktabah Al-Malik Fahad Al-Wathaniyyah, 1417 H (1997). Subiyantoro, Heru & Riphat, Singgih (ed.), Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Beirut: Darul Ummah, 2004.   Baca juga : Defisit Anggaran AS, Terburuk Sejak PD II Tutupi Defisit Anggaran, Pemerintah Bakal Ngutang Rp 158 T di 2013 Defisit AS Lebih dari Satu Triliun Dollar Bagaimana Negara Khilafah Mengatasi Arus Mudik? Defisit AS Capai Rekor Baru $1,4 Trilyun Posted in Afkar, Ekonomi | 1 comment Previous post: Menyambut JICMI Next post: Perempuan Sejahtera dan Berperan Nyata Dalam Peradaban Khilafah 1 comment on this post. Muhammad Hauzan: December 21st, 2013 at 13:53 Subhanallah..! Sebagai orang Islam, khilafah layak didukung dan hukumnya wajib untuk menaatinya. Mengapa? Lihat saja caranya mengatasi defisit anggaran… Semoga saja khilafah berdiri di atas tanah air tercinta ini demi kemakmuran indonesia… Amin…. Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum penentuan jenis kelamin

Soal Jawab: Hukum Penentuan Jenis Kelamin Janin December 20th, 2013 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan: Penentuan Jenis Kelamin Janin Kepada Abu Abu Zaid   Pertanyaan: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته Mengenai penentuan jenis kelamin janin pada proses penanaman janin, apa hukum syara’ pada pelaksanaan langkah penanaman janin untuk menentukan jenis kelamin janin mendatang? Terima kasih semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.   Jawab: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته Pertama, sebelum menjawab penentuan jenis kelamin, kami sebutkan secara ringkas tentang pembuahan in vitro: Terdapat beberapa kondisi penyakit pada suami isteri yang menghalangi pembuahan sel telur isteri oleh sel sperma suami, melalui cara alami. Seperti misalnya ada penyumbatan leher saluran sel telur dari ovarium ke rahim atau kelemahan pergerakan sel sperma untuk bisa mencapai sel telur, atau kondisi lainnya yang sudah diketahui oleh para ahlinya. Beberapa ulama sampai pada teknologi pembuahan sel telur di luar rahim secara in vitro sesuai kondisi tertentu, dimana wanita yang “mandul” diberi treatmen Kolomid yang membuatnya menghasilkan sejumlah sel telur. Kemudian dokter yang ahli memasukkan alat laparoskopi untuk mencapai mulut saluran telur dan menghisap beberapa sel telur yang telah matang … kemudian sel telur itu di letakkan di cawan petri (petri dish) dan diberi cairan tertentu lalu dibuahi dengan sel sperma dari suami … Setelah pembuahan itu in vitro itu sel telur yang telah dibuahi “satu atau lebih” di masukkan kembali ke rahim isteri. Jika Allah menakdirkan tercipta makhluk dari sel telur yang sudah dibuahi itu maka sel telur yang telah dibuahi itu akan menempel ke dinding rahim dan tumbuh hingga terbentuk zigot … Jika Allah tidak menakdirkan tumbuh makhluk, maka sel telur itu akan mati dan luruh … Berdasarkan hal itu maka hukum syara’ mengenai hal itu adalah sebagai berikut: Pertama, Merujuknya pasangan suami isteri ke treatment pembuahan in vitro sebagai treatment pengobatan untuk kondisi keduanya di mana tidak bisa hamil secara alami, aktifitas itu adalah boleh sebab itu adalah pengobatan. Rasul saw memerintahkan untuk berobat. Abu Dawud meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: «تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ» “Berobatlah kalian sebab Allah azza wa jalla tidaklah meletakkan penyakit kecuali Dia meletakkan obat untuknya kecuali satu penyakit al-harmu” yaitu kematian. Akan tetapi aktifitas itu boleh dilakukan dengan dua syarat: Pertama, pembuahan in vitro itu menggunakan sel telur dan sel sperma dari pasangan suami isteri yang sah. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari bahwa Rasulullah saw bersabda: «لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ» رواه أحمد “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya ke tanaman orang lain” (HR Ahmad) Maka tidak boleh sel telur seorang wanita dibuahi kecuali degan sel sperma suaminya yang sah. Kedua, Pembuahan in vitro dan pemindahan ke rahim itu harus dilakukan dalam kehidupan suami isteri (keduanya masih dalam ikatan suami isteri yang sah), bukan setelah kematian suami seperti yang terjadi di barat. Barat tidak memandang ada halangan dalam memindahkan sel telur yang telah dibuahi dan dibekukan ke rahim isteri pada saat yang dia inginkan, baik suaminya masih hidup atau telah mati! Ini tidak oleh dalam Islam. Hal itu karena kehamilan seorang wanita tanpa suami yang hidup sejak awal kehamilan, adalah haram dan terhadapnya harus dijatuhkan sanksi uqubat. Dan diantar bukti perzinaan adalah kehamilan tanpa suami. Maka wanita siapapun yang hamil dan tidak punya suami maka ia berdosa karena telah melakukan keharaman dan dosa besar. Hal itu karena apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ali ra. dan tidak ada dari para sahabat yang mengingkari ucapan keduanya, padahal itu termasuk perkara yang harus diingkari jika tidak terbukti ada dalam syariah, karenanya hal itu merupakan ijmak sahabat. Begitulah, pembuahan in vitro di luar rahim kemudian dipindahkan ke rahim ibu, berasal dari pasangan suami isteri sah, pada kondisi suami masih hidup, maka ini adalah boleh. Artinya apa yang dinamakan Bayi Tabung adalah boleh dengan syarat-syarat yang telah disebutkan itu … Kedua, penentuan jenis kelamin janin: Sejak dahulu ornag berusaha memilih anak yang akan dilahirkan, dan menyingkirkan yang tidak dikehendaki dengan cara yang bisa dilakukan. Pada masa jahiliyyah mereka ingin anak laki-laki untuk membantu mereka dalam peperangan dan menjaga nasab. Mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan. ﴿وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ﴾ “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (TQS at-Takwir [81]: 7-8)   Ketika cara lain terbuka, dengan jalan janin yang ada di dalam rahim dideskripsikan (melalui USG misalnya). Jika janin itu tidak dikehendaki, maka dilakukan aborsi untuk menggugurkan janin yang ada di perut ibunya. Ada juga cara-cara lama lainnya. Di kemudian hari khususnya ketika teknik berkembang … tampak ada kajian-kajian mengenai pemilihan jenis kelamin janin. Diantara yang paling menonjol ada dua cara: Pertama, cara yang mereka katakan lebih teknis yaitu dengan cara pembuahan terpilih. Metode ini mengharuskan dilakukan treatment terhadap sel sperma untuk memisahkan sel sperma yang membawa kromosom X yang menentukan jenis kelamin perempuan dari sel sperma pembawa kromosom Y yang menentukan jenis kelamin laki-laki. Hal itu dilakukan secara in vitro, yakni dipisahkan di luar tubuh dengan berbagai cara. Ini memerlukan intervensi klinis dan teknis … Idenya menurut ahli, mereka menemukan bahwa kromosom sel sperma adalah XY, dimana Y adalah kromosom laki-laki sedangkan X adalah kromosom perempuan. Mereka menemukan bahwa kromosom sel telur adalah XX, artinya keduanya adalah kromosom perempuan. Mereka menemukan bahwa kromosom laki-laki di dalam sel sperma jika membuahi sel telur maka dihasilkan pasangan kromosom XY yakni laki-laki. Dan jika kromosol X sel sperma membuahi sel telur maka dihasilkan pasangan kromosom XX yakni jenis kelamin perempuan. Karena itu, mereka melakukan percobaan memisahkan bagian laki-laki (Y) di dalam seperma dari bagian X, kemudian mereka membuahi sel telur secara in vitro dengan bagian laki-laki jika yang diinginkan janin laki-laki, dan membuahi sel telur dengan bagian perempuan jika yang dikehendaki janin perempuan. Kedua, metode yang mirip dengan sedikit perbedaan. Metode ini, setelah sel telur dibuahi secara in vitro, diteliti, sel telur yang mengandung kromosom XX menjadi perempuan, dan yang mengandung kromosom XY menjadi laki-laki. Siapa yang menginginkan janin laki-laki maka ke rahimnya ditanam sel telur yang telah dibuahi yang mengandung kromosom XY. Dan sebaliknya siapa yang menginginkan janin perempuan, ke dalam rahimnya ditanamkan sel telur yang telah dibuahi yang mengandung kromosom XX. Kedua metode ini mirip dari sisi tujuan. Hanya saja metode yang pertama, sebelum dilakukan pembuahan, sel sperma diperiksa lebih dahulu dan dipisahkan bagian perempuan dari bagian laki-laki. Sedangkan metode kedua, yang diperiksa adalah zigot (sel telur yang sudah dibuahi), lalu dipisahkan zigot laki-laki dari zigot perempuan. Inilah ringkasan upaya manusia untuk memilih jenis kelamin bayi yang dilahirkan sejak dahulu hingga masa modern sekarang ini. Setelah mengetahui realita tersebut, yakni setelah dilakukan tahqiq manath, maka kami jelaskan hukum syara’nya sebagai berikut: Membunuh bayi yang tidak dikehendaki adalah haram. Sebab itu membunuh jiwa secara sengaja. Dan balasannya di akhirat adalah neraka jahannam kekal di dalamnya. ﴿وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا﴾ “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (TQS an-Nisa’ [4]: 93) Dan sanksinya di dunia adalah qishash, yakni dibunuh jika tidak dimaafkan oleh wali korban yang terbunuh, atau diyat. Sedangkan membunuh janin yang masih ada di dalam rahim ibunya ketika diketahui ternyata tidak dikehendaki, misalnya karena jenis kelaminnya perempuan sementara orang tua ingin anak laki-laki, maka demikian juga hal itu adalah haram dan di situ juga ada sanksi uqubatnya … Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah dan lafazh ini menurut al-Bukhari, Abu Hurairah berkata: «اقْتَتَلَتْ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ…» Dua orang wanita dari Hudzail berkelahi lalu salah satu melempar yang lain dengan batu dan membunuh janin yang ada di dalam perutnya, lalu mereka membawa perkara itu kepada Rasulullah saw, dan beliau memutuskan bahwa diyat janin wanita itu adalah setengah diyat untuk bayi perempuan atau laki-laki …   Sedangkan pemisahan bagian laki-laki dari bagian perempuan dari sel sperma kemudian sel telur dibuahi dengan bagian laki-laki jika mereka menginginkan janin laki-laki atau sel telur dibuahi dengan bagian perempuan jika mereka menginginkan janin perempuan, atau pemisahan janin (zigot) laki-laki dari perempuan dan janin yang diinginkan ditanam di rahim, aktifitas ini tidak boleh sebab itu bukan pengobatan, yakni bukan solusi kehamilan untuk problem seorang wanita yang tidak bisa hamil lalu diatasi agar dia bisa hamil. Dengan ungkapan lain, itu bukanlah pengobatan untuk ketidakmungkinan pembuahan sel telur isteri dengan sel telur suami secara alami, dan kemudian merujuk kepada pengobatan untuk membuai sel telur secara in vitro … Akan tetapi, itu adalah perkara lain yang berkaitan dengan pemisahan bagian laki-laki dari bagian perempuan di sel sperma atau pemisahan janin. Dan itu bukanlah solusi untuk masalah tidak bisa hamil secara alami. Yakni bahwa aktifitas ini bukanlah obat untuk penyakit tidak bisa hamil. Dan juga bahwa hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan membuka aurat. Sebab aktifitas pengambilan sel telur dan penanaman kembali memerlukan hal itu. Dan membuka aurat adalah haram. Keharaman ini tidak boleh dilakukan kecuali pada kondisi pengobatan. Selama itu bukan merupakan pengobatan maka membuka aurat untuk itu tidak boleh. Pada bagian penutup, pengetahuan yang Allah berfirman tentangnya: ﴿اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ﴾  “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (TQS al-‘Alaq [96]: 3-5) Pengetahuan ini bisa digunakan dalam kebaikan menurut hukum-hukum syara’ dan pelakunya akan mendapat pahala. Tetapi itu juga bisa digunakan untuk keburukan dan pelakunya akan mendapatkan dosa dan hasilnya dalam kondisi digunakan untuk keburukan adalah bencana bagi umat manusia …. Apa yang bisa diperhatikan di negeri barat dalam bentuk campur baurnya nasab, bank sperma dan sel telur beku … pengkomersilannya … semua itu mengerikan … Maha benar Allah SWT yang telah berfirman mengenai orang-orang jahat: ﴿لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ﴾ “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS al-A’raf [7]: 179)   Allah SWT telah menyimpan ilmu pengetahuan di alam ini dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui, dan Allah jadikan di dalam diri manusia karakteristik aqal, pemikiran, perenungan agar orang-orang yang beriman tambah beriman, dan agar orang-orang yang kafir tersungkur di atas wajah-wajah mereka sebagai kehinaan di dunia dan azab penih di akhirat.   Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 10 Shafar 1435 H 13 Desember 2013 M http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_31619         Baca juga : Soal Jawab Tentang Pembekuan Janin Hukum Mengugugurkan Janin Cacat Soal Jawab : Hukum Memiliki Barang Haram dan Menggunakannya Jawab Soal: Hukum Wanita ke Medan Perang dan Hubungan dengan Negara Muhariban Fi’lan Jawab Soal Tentang Hukum Akad Murabahah Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Teror Natal? Ritual Rutin Akhir Tahun Sudutkan Umat Islam Next post: Jubir HTI Tolak Pernyataan BNPT: “Jihad Amalan Mulia, Mengapa harus Diwaspadai?” Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id