Kamis, 26 Desember 2013

Batas maksimal laba adakah?

Batas Maksimal Laba Perdagangan, Adakah? November 12th, 2013 by kafi Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi Tanya : Ustadz, apakah dalam syariah Islam ada batas maksimal laba dalam perdagangan, misalnya 30 persen atau 100 persen?  Muhammad, Bogor  Jawab : Yang dimaksud dengan “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 70). Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 72-74; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 191). Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa` [4] : 29). Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al bai’ wa al syira` li gharadh ar ribhi). (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/31; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/151; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 26). Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208). Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 75; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/33). Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda. Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 76). Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 74; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/30). Wallahu a’lam.[] Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 115 Baca juga : Menghitung Zakat Perdagangan Batas Akhir Waktu Sahur Perdagangan Luar Negeri (II): Tarif Perdagangan Dalam Pandangan Islam Anggaran Maksimal Pengadaan Mobil Pejabat Negara Rp. 400 Juta Per Unit Laba BUMN Mencapai Rp 80 Triliun Posted in Tsaqofah | 1 comment Previous post: Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI: Bukti Sudah Cukup, Tutup Kedubes Amerika! Next post: Kezaliman dan Akibatnya 1 comment on this post. heri: November 18th, 2013 at 08:11 Islam memang rahmatan lil ‘alamin Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Tidak ada komentar: