Sabtu, 13 Juni 2020

Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah


Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah

Hadis yang mengabarkan berita gembira tentang kembalinya Khilafah sangatlah banyak. Tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad.

Masih banyak hadis lain yang secara makna sejalan dengan hadis tersebut. Misalnya hadis riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadis tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR Abu Dawud, Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi); juga hadis tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melinggkupi dari timur hingga barat (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud).

Hadis-hadis ini didukung oleh banyak hadis lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, Penaklukan Kota Roma, dst.

Makna hadis kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh sekitar 25 Sahabat, 39 tabi’in dan sekitar 62 tabi’ at-tabi’in.

Berikut ini adalah hadis dari Hudzaifah ra.yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Kemudian Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar).

 

Hadis ini maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi berkomentar: “Hadis ini shahih, Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam Musnad-nya.”  (Al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176).

Periode terakhir pada hadis di atas adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya.

Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadis ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan Khilafah. Dalil kewajiban menegakkan Khilafah adalah al-Quran. Di antaranya terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum Allah. Dalil Khilafah juga didassarkan pada hadis-hadis yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).

 

Menjawab Keraguan

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadis tentang akan datangnya Khilafah, dari segi kritik sanad dan matan, telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadis yang dijadikan landasan utama oleh pejuang Khilafah, dalam perspektif kritik sanad, bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya, Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari Imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”; juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu mereka menyimpulkan bahwa hadis tentang kekuasaan Khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karena itu peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.

Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Namun, tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan ke-dha’if-an hadis yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” bergantung pada qarinah-qarinah (indikasi-indikasi)-nya. Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya, sebagian pihak tergesa-gesa memutlakkan ke-dha’if-an hadis yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinah-nya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, ia  masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadis lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll; berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”.

Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam At-Tarikh al-Kabir (Al-Bukhari, 2/2606), Adh-Dhu’afa’ al-Kabir (Al-Uqaili, 2/66) dan Al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), Imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi” (Lihat: Al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; Ats-Tsiqat, 4/138; Al-Kamil, 2/405; At-Taqrib, 1/151).

Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadis cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan ad-Darimi juga meriwayatkannya.

Meski demikian, Imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal at-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, Imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Musthalahat al-Jarh wa at-Ta’dil wa Tathawwuruha at-Tarikhiy fi at-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qawl al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, manhaj yang dipegang oleh para ahli hadis dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadis tidak selalu disepakati semua ahli hadis dan tidak bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadis sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.

Sebagaimana telah disinggung, Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam Shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadis tentang bacaan pada shalat ‘Id dan Jumat dari An-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah Kitab Shahih-nya. Karena itu bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib mengomentari Habib bib Salim dengan “la ba’sa bihi”.

Adapun tuduhan kepada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.

Dengan demikian, tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah akan datangnya Khilafah itu dha’if hanya karena sorotan kepada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari Imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.

Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya Khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadis ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth (Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, 4/18.430) dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi (Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab, 2/17).

 

Sikap yang Benar

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang Mukmin terkait janji Kekhilafahan adalah: Pertama, wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasanya kembali umat Islam (Lihat: QS an-Nur [24]: 55). Sebab Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya (Lihat, antara lain: QS [18]: 108 dan [73]: 18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan. Siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak.

Kedua, harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah saw., sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadis shahihnya.

Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.

Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan Khilafah Islamiyah. Pertama: Mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah adalah kewajiban (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 6/291).

Kedua: Mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting (Al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, 1/25).

Ketiga: Allah SWT telah menjanjikan Kekhilafahan kepada kaum Mukmin hingga akhir zaman (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 5/241).

Keempat: Menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung (Ibnu Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 161).

Dalam menegakkan Khilafah Islamiyah sebagai kewajiban syariah, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya.

Seorang Mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.

Dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang Mukmin harus  menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini, dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, Khilafah Islamiyah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia.

Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakkan Khilafah Islamiyah. Padahal sikap putus asa, pesimis dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi saw. bersabda:

وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ : رَجُلٌ نَازَعَ الله عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ الله

Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya pada Hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-’izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah (HR Ahmad, ath-Thabarani dan al-Bazzar).

 

Di antara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum Muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menunggu datangnya Imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena menegakkan Khilafah Islamiyah adalah kewajiban syariah.  Seorang Muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, Khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’iyyah untuk menerapkan Islam secara sempurna.

Hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya Imam Mahdi sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah atas kaum Muslim. Hadis-hadis tersebut juga tidak memerintahkan kaum Muslim untuk hanya menunggu datangnya imam Mahdi dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah.

 

Penutup

Tegaknya Khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat.  Karena itu perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi. Kaum Muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan; mereka  terpuruk di tengah limpahan potensi sumberdaya yang ada.  Sebagaimana kata Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H):

كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا \\وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ

Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan/sementara air di atas punggungnya tersimpan (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, III/104). [Yuana Ryan Tresna]

 

 

Penulis adalah Kandidat Doktor Pendidikan Islam dan Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung.

 

 

 

 

 

Media Al-Wa'ie

NEXTBenarkah Khilafah Tidak Wajib Karena tidak ada dalam Al-Quran? »

PREVIOUS« Hakikat Kepemilikan (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 126)


SHARE

 

 

 

 

 

PUBLISHED BY

MeP

Khilafah: Kewajiban dan Kebutuhan

Khilafah: Kewajiban dan Kebutuhan

Dalam khasanah Islam, istilah khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing. Khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana ajaran Islam lain seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.  Kaum Muslim dan non-Muslim setelah Rasulullah saw. wafat pernah lebih dari 1000 tahun hidup sejahtera dalam naungan Khilafah. Karena itu khilafah adalah ajaran Islam yang secara normatif dan historis jelas bisa ditemukan jejaknya.

Asal-usul kata khilâfah kembali pada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in]. Ini menggambarkan estafeta kepemimpinan.

Hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H). Salah satu contohnya dalam QS al-A’raf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa Khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung. Ini memperkuat makna syar’i-nya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.

Khilafah bukan sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama ini, dan mengatur urusan dunia dengannya. Ini ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H) dan para ulama lainnya.

Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi ciri khas mulia. Ini berbeda dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau menjelaskan makna syar’i khilafah yang digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah: kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (yakni mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad).

Dalam Mu’jam Musthalahat al-’Ulum as-Syar’iyyah (hlm. 756), istilah khilafah ini didefinisikan sebagai: pengganti Nabi saw dalam menjalankan agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafaur Rasyidin sepeningganya, dan yang lain seperti mereka. Semoga Allah meridhai mereka. Khilafah merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.  Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah.

Dalam Kitab fikih yang terbilang sederhana—namun sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya  Sulaiman Rasyid, dicantumkan juga bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Terlepas dari berbagai ragam sikap, seluruh imam mazhab bersepakat bahwa  Khilafah atau Imamah adalah bagian dari ajaran Islam yang wajib untuk ditegakkan.

Dr. Mahmud al Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al Azhar Mesir, menyatakan, Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Al-Khalidi, Qawa’id  Nizham al-Hukm fi al Islam, hlm. 226).

Menurut Sayyid Quthb, Islam tidak akan tegak tanpa negara dan kekuasaan (Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, I/601).

Sejarah Islam, menurut Quthb, sebagaimana yang pernah ada, merupakan sejarah dakwah dan seruan, sistem dan pemerintahan. (Quthb, ibid, II/696).

 

Ulama Aswaja Mewajibkan Khilafah

Kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).  Imam al-Qurthubi menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah)  dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 12/205).

Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99).

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah,  bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Imam al-Mawardi menyatakan, “Melakukan akad Imamah (Khalifah) bagi orang yang (mampu) melakukannya hukumnya wajib berdasarkan ijmak meskipun al-‘Asham menyalahi mereka” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah, hlm. 5).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Ketahuilah juga, para sahabat Nabi saw. telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu dari menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami,  Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Mayoritas ulama berpendapat Imamah (Khilafah) itu wajib. Menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, Imamah (Khilafah) itu wajib menurut syariah (Asy-Syaulani, Nayl al-Awthâr, VIII/265).

Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).

Karena itu sungguh aneh bin ajaib jika ada kaum Muslim mengatakan bahwa Khilafah adalah ilusi dan utopis. Apalagi orang-orang Barat justru sedang menghadang kebangkitan kembali Khilafah. Mereka justru begitu yakin akan berdirinya Khilafah dalam waktu dekat. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan berjudul: Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project. Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia tahun 2020. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia. Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia—kekerasan akan dibalas kekerasan.

Dari dokumen tersebut jelas sekali bahwa negara-Negara Barat meyakini bahwa Khilafah Islam akan bangkit kembali. Menurut mereka, Khilafah Islam tersebut akan mampu menghadapi hegemoni nilai-nilai peradaban Barat yang kapitalistik sekularistik.

 

Tiga Esensi Khilafah

Esensi pertama Khilafah adalah penerapan syariah Islam secara kaffah (QS al-Baqarah [2]: 208) dalam seluruh aspek kehidupan.

Esensi kedua Khilafah adalah ukhuwah dan rahmat (QS al-Anbiya’ [29]: 107). Dengan Khilafah kaum Muslim akan bersatu dalam satu kepemimpinan. Bahkan Khilafah akan memberikan perlindungan yang maksimal kepada setiap warga negara, meski beda ras dan agama dalam satu naungan pemerintahan yang adil dan beradab. Para cendekiawan Barat yang nota bene non-Muslim pun mengakui gemilangnya peradaban Islam di bawah Khilafah yang telah memberikan kesejahteraan bagi seluruh manusia tanpa kecuali.

Esensi ketiga Khilafah adalah dakwah Islam rahmatan lil‘alamin (QS Ali Imran [3]: 104). Dakwah adalah ajakan dan seruan menuju jalan Allah SWT tanpa kekerasan dan paksaan. Karena itu dakwah Islam oleh Khilafah berbeda dengan imperialisme kapitalis dan revolusi komunis yang keduanya menyisakan kesengsaraan manusia.

Dengan tiga esensi utama Khilafah, tegaknya Khilafah adalah kebaikan bagi semua manusia dan akan menjadi rahmat bagi alam semesta. Karena itu melabeli Khilafah sebagai berbahaya adalah upaya demonologi atau monsterisasi ajaran Islam.

 

Dunia Butuh Khilafah

Tanpa Khilafah, kondisi umat di seluruh dunia mengalami kondisi yang memprihatinkan. Di bawah hegemoni penjajahan kapitalisme sekular, nasib umat Islam di dunia terjajah, tertindas dan miskin.

Tanpa Khilafah, umat Islam terbelenggu dalam kubangan sistem hukum kufur. Mereka juga hidup di bawah nasionalisme  sempit yang memecah-belah persatuan umat Islam di dunia. Padahal umat Islam di seluruh dunia adalah satu dan bersaudara.

Tanpa Khilafah, sebagian umat Islam terjebak dalam kesesatan beragama. Muncul berbagai aksi penghinaan dan penistaan terhadap Islam, ulama, kitab suci al-Quran bahkan penghinaan terhadap Allah dan Rasulullah saw.

Tanpa Khilafah umat Islam juga terkungkung dalam liberalisme yang menuhankan kebebasan tiada batas. Liberalisme terus berusaha merusak kaum Muslim dengan serangan pemikiran yang melumpuhkan pilar-pilar fundamental Islam. Dalam pemikiran liberal yang halal dianggap haram dan yang haram justru dianggap halal dengan berbagai apologi ngawur. Dalam pemikiran liberal, penghinaan terhadap Rasulullah saw. dianggap sebagai kebebasan berekspresi, sementara pembelaan terhadap Islam dianggap sebagai radikalisme.

Tanpa Khilafah umat Islam juga terjebak dalam budaya hedonisme dan pragmatisme yang mengukur segala sikap dan perilaku berdasarkan nafsu duniawi semata. Hedonisme dan pragmatisme telah melahirkan seks bebas, pornografi pornoaksi, pelacuran, homoseksual, miras, narkoba, dan pergaulan bebas. Hedonisme inilah yang telah menghancurkan generasi muda Islam.

Tanpa Khilafah umat islam pun hidup di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi, penuh praktik perjudian, penipuan dan kezoliman. Kapitalisme adalah bentuk penjajah ekonomi yang hanya mementingkan pemilik modal semata sehingga melahirkan pertumbuhan ekonomi palsu. Kapitalisme melahirkan ketidakadilan karena yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dengan sistem ribawi, kapitalisme telah menjerat bangsa ini dengan hutang yang tidak mungkin terbayarkan. Seluruh SDA dirampok tanpa tersisa. Rakyat dijerat dengan berbagai skema hutang ribawi. Akibatnya negeri ini menjadi bangkrut karena hutang, sementara rakyat semakin sengsara. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim kini hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Kapitalisme telah menjadikan negeri ini terjual habis tanpa tersisa. Bahkan rakyat yang telah miskin masih dicekik dengan pajak yang tidak masuk akal.

Lebih dari itu, tanpa Khilafah, saat ini kondisi kaum Muslim di seluruh dunia terjajah, terzalimi, teraniaya, terusir, terfitnah, tertuduh, terbunuh, termiskin, terpecah, tersiksa, terhina, terpuruk dan tertindas. Padahal kaum Muslim menurut Allah SWT adalah umat terbaik dan termulia. Islam memuliakan umatnya.

Alhasil, tidak ada jalan lain kecuali umat Islam harus kembali pada Islam sebagai ideologi yang memancarkan sistem hukum dan pemerintahan. Dengan itu umat Islam kembali merdeka, kuat dan mulia.

Dengan ideologi Islam yang diterapkan oleh Khilafah inilah kaum Muslim akan bisa dipersatukan kembali dan memperoleh kemuliaannya kembali. Bahkan dengan Khilafah, ideologi Islam akan kembali memancarkan peradaban mulia yang memberi rahmat bagi alam semesta sekaligus akan menghapus segala bentuk kezaliman dan kesombongan kaum kafir penjajah.

Alhasil, tegaknya Khilafah, selain sebagai kewajiban bagi kaum Muslim, juga merupakan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan problem multidimensi manusia, hari ini dan masa depan.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Ahmad Sastra, MM; Dosen Filsafat di Institut Al Zuhri Singapore]


Khilafah Ajaran Islam

Khilafah Ajaran Islam


Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy

Menurut istilah para ulama, Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh umat dalam mengatur urusan agama dan urusan dunia.   Meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda, ulama Aswaja  sepakat  bahwa Khilafah adalah sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Islam memposisikan Khalifah sebagai pemimpin agung seluruh umat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.  Mereka juga sepakat bahwa Khilafah dan Imamah memiliki pengertian sama (sinonim).

Khilafah Menurut Para Ulama Aswaja

Imam al-Qalqasyandi menyatakan:

اما الخلافة فهي في الاصل مصدر خلف…ثم أطلقت فى العرف العام على الزعامة العظمى، وهي الولاية العامة على كافة الامة، والقيام بأمورها و النهوض بأعبائها.


Khilafah berasal dari mashdar khalafa…Lalu kata khilafah ini dinyatakan dalam konvensi umum dengan makna: kepemimpinan agung, yakni kekuasaan umum atas seluruh umat serta pelaksanaan berbagai urusan dan tugas-tugas pengurusan umat (Al-Qalqasyandi, Ma`âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah1/9).

Imam an-Nawawi juga menyatakan:

لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الا على للدولة، والامامة والخلافة و إمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.


Para Sahabat ra. telah bersepakat atas kewajiban mengangkat seorang imam.  Yang dimaksud imam tidak lain adalah kepala negara.  ImamahKhilafahImaratul Mukminin adalah sinonim.  Yang dimaksud dengan Imamah adalah kepemimpinan umum dalam mengatur urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata imam, jika disebut secara mutlak, pengertiannya adalah khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyîd (pembatasan), maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut; misalnya, imam shalat, imam hadis dan imam suatu kaum (An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, 19/191).

Ulama Aswaja hanya berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan Khilafah; apakah khilafah itu wakil Allah, wakil Rasulullah saw., ataukah wakil umat Islam untuk menerapkan Islam dan mengatur urusan manusia (Lihat: al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, 1/14-17).

Dalam konteks Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menjadikan Khalifah sebagai Imâm al-A’zham yang menerapkan Islam secara kâffah, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, tidak ada ikhtilaf.   Kesimpulan semacam ini bisa disarikan dari definisi Khilafah yang dijelaskan para ulama Aswaja berikut ini:

Ibnu Khaldun, misalnya, menyatakan:

وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة و إمامة والقائم به خليفة وإماما .فأما تسميته إماماً فتشبيهاً بإمام الصلاة في اتباعه والاقتداء به، ولهذا يقال: الإمامة الكبرى. وأما تسميته خليفة فلكونه يخلف النبي في أمته.


Wakil Pemilik Syariah dalam menjaga agama serta mengatur urusan dunia disebut dengan Khilafah dan Imamah. Yang menempati kedudukan itu adalah Khalifah atau Imam. Penamaannya dengan imam diserupakan dengan imam shalat dalam hal wajibnya untuk diikuti dan dipanuti.  Oleh karena itu dinyatakan Al-Imâmah al-Kubrâ (Kepemimpinan Agung).  Adapun penyebutannya dengan khalifah karena menggantikan Nabi saw. dalam (mengatur) urusan umatnya (Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 190).

Imam ar-Ramli menyatakan:

الخليفة هو الامام الاعظام، القائم بخلافة النبوة، فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.


Khalifah adalah Imam Agung yang menduduki jabatan Khilâfah an-Nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia (Ar-Ramli,  Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, 7/289).

Imam al-Mawardi pun menyatakan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به


Imamah itu diposisikan untuk Khilâfah an-Nubuwwah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi,  Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Al-‘Allâmah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahulLâh juga menyatakan:

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد.


Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru alam.  Khilafah substansinya sama dengan Imamah.  Dengan demikian Imamah dan Khilafah memiliki makna yang sama (An-Nabhani, Al-Khilâfah,  hlm. 1).

Wajib Hanya Satu Khalifah

Sebagai Imam al-A’zham (Imam Agung), Khalifah akan memimpin dan menyatukan seluruh kaum Muslim di dunia dari timur hingga barat.   Imam an-Nawawi asy-Syafii menyatakan:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا


Para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan akad Kekhilafahan kepada dua orang khalifah pada masa yang bersamaan, sama saja apakah Darul Islam luas ataupun tidak (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 6/316).

Penjelasan senada disampaikan pula oleh Imam Badruddin al-‘Aini al-Hanafi (Lihat: Badruddin, ‘Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, 23/454).

Khilafah Islam adalah institusi politik yang berkewajiban menerapkan Islam secara menyeluruh di dalam negeri dan menyebarkan Islam ke luar negeri, ke seluruh penjuru dunia (Lihat, antara lain: Imam Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtâr, 4/205).

Alhasil, substansi Khilafah ada tiga: (1) penerapan syariah Islam secara kâffah; (2) penyatuan kaum Muslim seluruh dunia di bawah satu kendali kepemimpinan dan dalam persaudaraan sejati yang didasarkan pada akidah Islam; (3) penyebaran dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dasar Kewajiban Menegakkan Khilafah

Al-Quran.


Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً


Ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Ulama Aswaja dari empat mazhab menyatakan bahwa ayat di atas adalah dalil asal kewajiban mengangkat seorang khalifah.  Imam al-Qurthubi menyatakan:

هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَ خَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ.


Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itulah kalimat (persatuan umat) disatukan dan hukum-hukum khalifah diterapkan.  Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Tentu masih banyak ayat lain yang dalâlah al-iltizâm-nya menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya ayat-ayat yang mewajibkan kaum Muslim untuk menaati ulil amri, berhukum hanya dengan syariah Islam, jihad; ayat-ayat tentang hukum hudûdjinâyât serta hukum-hukum lain yang pelaksanaannya dikaitkan dengan Khalifah.

Al-Quran juga menjelaskan janji istikhlâf (janji kekuasaan atas seluruh dunia bagi kaum Muslim):

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ


Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).

Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa Ibnu ‘Athiyah berkata:

واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي: قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة


“Yang dimaksud dengan istikhlâfuhum adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya seperti yang terjadi di Syam, Irak, Khurasan dan Maghrib.”  Ibnu al-‘Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, Khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 12/299-202).

As-Sunnah.


Banyak riwayat menjelaskan kewajiban menegakkan Khilafah. Rasulullah saw., misalnya, bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ


Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menaati imam itu jika ia mampu.  Jika ada orang lain hendak merebut kekuasaan imam, penggallah lehernya (HR Muslim).

Kewajiban baiat menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah). Pasalnya, baiat tidak mungkin ada di pundak kaum Muslim tanpa keberadaan seorang khalifah.

Di dalam as-Sunnah juga diriwayatkan praktik-praktik kenegaraan Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin; juga bisyârah (kabar gembira) tentang akan kembalinya Khilafah Islam.

Semua ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang wajib ditegakkan oleh kaum Muslim.

Ijmak Sahabat.


Para Sahabat Nabi saw. telah bersepakat atas kewajiban mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian.   Mereka menjadikan ini sebagai kewajiban yang paling penting. Al-‘Allâmah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ


Ketahuilah juga, para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah) ini sebagai kewajiban yang paling penting. Terbukti, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban mengurus jenazah Rasulullah saw.  Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak mencederai ijmak mereka tersebut (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Ulama Aswaja Mewajibkan Khilafah

Berdasarkan dalil-dalil di atas, wajar jika para ulama Aswaja tidak pernah berselisih pendapat atas kewajiban menegakkan Khilafah. Imam Alauddin al-Kasani al-Hanafi menyatakan:

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ…


Sebab, mengangkat Al-Imâm al-A’zham (Imam Agung) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq (dalam masalah ini).  Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu… (Al-Kasani, Badâ’i` ash-Shanâ’i` fî Tartîb asy-Syarâ’i’, 14/406).

Fardhu, menurut istilah mazhab Hanafi, adalah sebutan untuk “kadar ketetapan” yang secara syar’i ditetapkan berdasarkan dalil qath’i. Mengingkari fardhu adalah murtad dari agama Islam.

Imam as-Sarakhsi menyatakan:

ولهذا يكفر جاحده وموجب للعمل بالبدن للزوم الأداء بدليله فيكون المؤدي مطيعا لربه والتارك للأداء عاصيا


Oleh karena itu, kafirlah orang yang mengingkari fardhu. Fardhu itu wajib untuk diamalkan dengan anggota badan karena di dalam dalilnya ada kewajiban atas pelaksanaannya. Karena itu yang menunaikan fardhu adalah orang yang taat, sedangkan yang meninggalkannya adalah orang yang bermaksiyat (As-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, 1/110).

Khilafah Ajaran Islam

Berdasarkan paparan singkat di atas, jelas, Khilafah adalah ajaran Islam.  Lalu bagaimana bisa Khilafah dituduh sebagai ancaman bagi negeri ini yang mayoritasnya Muslim? Jika Khilafah merupakan kewajiban dan janji Allah SWT, bagaimana bisa mendakwahkan Khilafah harus ditolak dan dihadang?

Setelah penjelasan ini, masih adakah pihak yang bernai menolak dan menghadang dakwah yang menerukan syariah dan Khilafah? []

Betulkah Al-Quran Hanya Bicara Khalifah, Bukan Khilafah

Betulkah Al-Quran Hanya Bicara Khalifah, Bukan Khilafah?

Soal:


Apakah penggunaan kata khalifah dalam al-Quran hanya untuk konotasi khalifah, atau bisa juga berarti Khilafah? Apakah dalil terkait khalifah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan tentang kewajiban mendirikan Khilafah? Jika tidak bisa, apa alasannya?

 

Jawab:

Kata khalifah dalam al-Quran digunakan dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Dalam QS al-Baqarah ayat 30, kata khalifah dinyatakan oleh Allah kepada para malaikat untuk menunjuk manusia. Adapun dalam QS Shad: 26, kata khalifah digunakan untuk mentahbiskan Nabi Dawud as. sebagai penguasa di bumi disertai dengan perintah:

فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦

Karena itu perintahlah (terapkanlah hukum) di antara manusia itu dengan (menggunakan) kebenaran. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah (QS  Shad [38]: 26).

 

Penggunaan pola (wazanfa’îlah tidak hanya berkonotasi pada orangnya saja, tetapi juga bisa menunjukkan pada jabatan dan lembaganya. Alasannya, orang tersebut tidak akan pernah disebut sebagai khalifah kalau tidak menduduki jabatan Khilafah.

Kata khalîfah mengikuti wazan “fa’îlah”, sebagaimana kata “amîr” mengikuti wazan “fa’îl”. Secara harfiah, kata khalîfah diartikan dengan: al-ladzî yustakhlafu min-man qablahu (orang yang menjadi pengganti orang sebelumnya). Jamaknya, “khalâ’if”. Adapun menurut Imam Sibawaih [w. 180 H], jamaknya “khulafâ’”.1 Uniknya, “khalîfah”, mengikuti wazan “fa’îlah”.

Sebelum membahas wazan “fa’îlah”, dengan tambahan “tâ’” di akhir, mari kita bahas wazan “fa’îl” tanpa tambahan “tâ’” di akhir. Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” tidak hanya digunakan sebagai wazan shifat musyabbahah, seperti “faqîh” (ahli fikih), atau “khathîb” (orator). Wazan ini juga digunakan sebagai shîghat mubâlaghah (hiperbolis), seperti “’alîm” (mahatahu),  “amîr” (yang mengurus banyak urusan), atau “khalîf” (yang menggantikan orang sebelumnya dalam banyak urusan). Jika ditambah “tâ’” maka konotasinya semakin kuat, seperti “khalîf” menjadi “khalîfah”, atau “al-‘allâm” menjadi “al-‘allâmah”.2

Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl”, sebagai shîghat mubâlaghah, itu ternyata diambil (manqûl) dari shifat musyabbahah. Adapun wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” sebagai shifat musyabbahah mempunyai konotasi yang berbeda. Misalnya, “thawîl” (panjang) menunjukkan sifat yang permanen, tidak akan berubah, misalnya menjadi pendek. Begitu juga sebaliknya, “qashîr” (pendek); selamanya pendek, tidak akan berubah menjadi panjang.

Dalam konteks ini, kata “khalîf” juga mempunyai konotasi orang yang mengganti secara permanen. Namun, ketika menggunakan wazan “khalîfah” konotasinya berubah, dari konotasi sifat menjadi benda. Karena itu dalam bahasa Arab, kata “dzabîhah” tidak berkonotasi hewan yang disembelih (al-madzbûh), tetapi hanya berkonotasi “hewan yang memang layak disembelih”.3 Dalam konteks ini, “khalîfah” tidak berkonotasi orang yang menggantikan orang lain secara permanen, tetapi “as-sulthân al-a’zham”. 4

Dalam struktur Tashrîf Isthilâhi, sebenarnya shifat musyabbahah termasuk wazan isim fâ’il. Karena itu shifat musyabbahah mempunyai persamaan dengan wazan isim fâ’il, yaitu sama-sama yadullu ‘ala al-hadats (al-mashdar)/(mempunyai konotasi peristiwa/mashdar-nya]. Misalnya, kata qâ’im (orang yang berdiri). Sifat ini tidak sekadar menjelaskan sifat berdiri, tetapi juga menjelaskan perbuatan berdiri (qiyâm)-nya,5 karena sifat tersebut hasil dari perbuatan berdiri. Begitu juga kata khalîfah (orang yang mengganti), tidak saja menjelaskan sifat orangnya, tetapi juga perbuatan (mashdar)-nya, yaitu Khilâfah-nya. Artinya, secara bahasa, kata “khalîfah” juga bisa berkonotasi mashdar-nya, “Khilâfah”. Dengan kata lain, konotasi “khilâfah” sebagai ajaran Islam memang ada dalam al-Quran. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ahli Tafsir ternama, Imam al-Qurthubi (w. 671 H), yang hidup di era Khilafah ‘Abbasiyah, ketika menjelaskan, QS al-Baqarah ayat 30.

Ketika beliau menjelaskan konotasi kata “khalîfah” tidak hanya konotasi, Khalîfatu-Llâh fi al-Ardh (wakil Allah di bumi), tetapi juga “Khalîfah” dengan konotasi “as-sulthân al-a’zham”, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur di atas. Bahkan menggunakan ayat ini tidak hanya untuk kekhalifahan Adam, tetapi juga kakhalifahan kaum Muslim.6

Dalam kajian Ushul, yang juga merujuk pada makna Isytiqâq, misal ada perintah kepada Nabi saw.:

فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ ٤٨

Karena itu perintah (putuskan)-lah di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka sehingga memalingkan kamu dari kebenaran yang datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩

Hendaknya kamu memerintah (memutuskan) di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka (tidak) memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang Allah turunkan kepadamu  (QS al-Maidah [5]: 49).

 

Ayat ini tidak saja berkonotasi menerapkan hukum (sebagaimana dinyatakan oleh teks: fahkum dan wa anihkum), tetapi juga berkonotasi adanya lembaga pemerintahan (hukûmah), yang digunakan untuk menerapkan hukum tersebut. Dalam ilmu Ushul, ini disebut Dalâlah al-Iqtidhâ’.7

Konotasi Dalâlah al-Iqtidhâ’ ini juga dijelaskan dan diperkuat oleh tindakan Nabi saw. ketika mengambil baiat kepada para sahabat pada saat Baiat ‘Aqabah Kedua. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan menaati.” (HR Muslim).

Pengambilan baiat ini dilakukan sebelum hijrah Nabi saw. ke Madinah, sebelum beliau memerintah di sana. Dengan demikian tindakan Nabi saw. ini membuktikan bahwa beliau juga membentuk lembaga pemerintahan. Pasalnya, tugas kenabian dan kerasulan tidak membutuhkan baiat dari kaum Muslim, tetapi keimanan.

Setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Nabi saw. telah membentuk struktur pemerintahan-nya. Lengkap. Ada kepala negara, yakni Nabi Muhammad saw. sendiri. Ada pembantu yang membantu beliau dalam mengurus pemerintahan. Mereka adalah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khatthab. Ini sebagaimana sabda Nabi, “Dua pembantuku dari kalangan penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR al-Hakim).

 

Karena itu sejak baginda saw. datang ke Madinah, Nabi saw. langsung memimpin kaum Muslim, melayani kepentingan mereka, mengurus urusan mereka, membentuk masyarakat Islam dan mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba’ dan Adzrah.

Beliau juga pernah mengirim Hamzah bin Abd al-Muthallib, Muhammad bin ‘Ubaidah bin al-Harits serta Sa’ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, bahkan beliau terjun langsung dengan pasukannya.

Beliau juga pernah mengangkat para wali (kepala daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para ‘amil (kepala daerah tingkat II) untuk beberapa negeri. Beliau pernah menunjuk ‘Utab bin Usaid sebagai wali di Makkah, Badzan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin al-Walid sebagai ‘amil di Shun’a’, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshari sebagai wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai wali di Zabid dan ‘Adn, Amru bin al-Ash di Oman dan Abu Dujanah sebagai ‘amil di Madinah.

Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus ‘Abdullah bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.

Rasulullah saw. juga senantiasa memantau keadaan para wali dan ‘amil. Beliau juga memperhatikan berbagai informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau.

Rasul saw. juga telah mempekerjakan orang yang secara khusus untuk mengambil zakat.

Beliau juga mengatur seluruh kepentingan rakyat dan mengangkat para penulis untuk mengatur urusan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. ‘Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian dan penulis perdamaian. Harits bin ‘Auf al-Mari mengurusi cincin beliau  (yang menjadi stempel negara). Mu’aiqib bin Abi Fatimah menjadi penulis ghanîmah (harta hasil rampasan perang). Hudzaifah al-Yaman menjadi pencatat hasil pendapatan Tanah Hijaz. Zubair bin ‘Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang serta transaksi-transaksi muamalah. Surahbil bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Singkatnya, dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis). Mereka bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.

Nabi saw. pun sering bermusyawarah dengan para sahabat baginda. Beliau tidak pernah lepas dari saran ahli ra’yu (mereka yang mempunyai pandangan) dan orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berpikir dan kelebihan. Mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman, dan ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh  yang lainnya dari kaum Muhajirin. Mereka antara lain: Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Jadi, mereka layaknya seperti majelis syura.

Nabi saw. telah menetapkan harta atas kaum Muslim serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyûr (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai’ (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharâj dan jizyahAnfâl dan ghanîmah tersebut menjadi milik Baitul Mal. Adapun distribusi zakat diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Qur’an. Sedikit pun zakat ini tidak akan diberikan kepada kelompok lain.

Begitu pula dalam urusan negara. Negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari harta zakat. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai’kharâjjizyah serta ghanîmah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.

Demikianlah, Rasulullah saw. membangun struktur Negara Islam sendiri, yang beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau pula yang memilih dua mu’âwin (pembantu), wali, ‘amilqadhi, pasukan, dirjen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah tharîqah (metode baku) yang wajib diikuti. Semuanya ini telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.

Dengan demikian Rasulullah saw. telah mewariskan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.

Tak hanya sampai di situ, Nabi saw. juga bersabda, “Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).

Para sahabat memahami dengan benar hadis ini. Karena itu, begitu Rasulullah saw. wafat, mereka segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membahas, siapa yang akan memimpin umat ini, menggantikan Rasulullah saw. Lalu mereka kemudian sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, pengganti Rasulullah, yang menduduki jabatan Khilafah, pasca Nubuwwah dan risalah itu.

Setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar diangkat menjadi khalifah. Begitu seterusnya selama sekian abad. Terakhir, Khalifah ‘Abdul Majid dibuang ke Eropa, dan institusi Khilafah warisan Nabi ini dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, Yahudi, Inggris, Prancis dengan Kemal Attaturk. Selama 14 abad, institusi ini dipertahankan umat Islam di seluruh dunia, karena begitulah titah Nabi, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin setelahku. Gigitlah itu dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Semuanya ini merupakan Sunnah Nabi saw. Dalam ilmu Ushul, posisi Sunnah terhadap al-Quran itu merupakan penjelasan (bayân); bisa sebagai Takhshîsh al-‘AmTaqyîd al-MuthlaqTafshîl al-Mujmal dan Ilhâq al-Far’i bi al-Ashl.

Jadi jelas, semua sunnah yang telah dilakukan oleh Nabi saw. dalam konteks pemerintahan itu menjelaskan apa yang ada dalam al-Quran. Itu artinya, al-Quran jelas mengajarkan tata kelola negara. Itulah yang oleh Nabi saw. sendiri kemudian disebut Khilafah. Karena itu Khilafah jelas merupakan ajaran Islam.

Sebagai ajaran Islam, Khilafah dengan jelas tertuang dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat. Ajaran ini ada dalam khazanah umat Islam. Bahkan warisannya pun hingga kini masih bertebaran memenuhi sejarah peradaban dunia, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Mengingkarinya, jelas kekonyolan intelektual yang luar biasa. Seperti hendak menutupi sinar matahari. Mustahil.

Namun, sejelas apapun penjelasan tersebut, jika tidak ada keimanan pada ajaran Islam, maka al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat pun pasti akan ditolak.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Khilafah Pasti Tegak Kembali

Khilafah Pasti Tegak Kembali


Khilafah Islamiyah dengan izin Allah SWT pasti tegak kembali. Episode peradaban ini adalah sebuah fakta yang tumbuh  dikonstruksi atas  keyakinan (i’tiqâd) dan keniscayaan perubahan peradaban.  Dunia semakin renta. Peradaban kapitalis sekular kian bobrok dan gagal dalam menata dunia (setelah Sosialis ambruk). Semua ini meniscayakan Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya alternatif sistem yang dapat menata dunia.


 

Tumbuh dari Benih Keyakinan

Secara  i’tiqâdî  (keyakinan),  seorang Muslim wajib meyakini kembalinya Khilafah. Sebab Khilafah adalah janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw. Dipertanyakan keimanannya jika ragu atau bahkan tidak percaya akan hal ini. Allah SWT berfirman:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; juga akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan apapun dengan-Ku. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang fasik (QS an-Nur  [24]: 55).

 

Rasulullah saw. Pun telah mengabarkan bahwa dunia ini akan kembali pada fase Kekhilafahan di atas manhaj  kenabian setelah fase mulkan jabriyyan (kekuasaan diktator) seperti pada saat ini:

ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٌ

Kemudian akan datang masa Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah… (HR Ahmad).

 

Atas dasar keyakinan pula, orang-orang kafir pada saatnya nanti akan dikalahkan sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيۡهِمۡ حَسۡرَةٗ ثُمَّ يُغۡلَبُونَۗ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحۡشَرُونَ ٣٦

Sungguh orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, mereka akan dikalahkan, dan ke dalam Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan (QS al-Anfal [8]: 36).

 

Realitas dan Arah Perubahan Dunia

Keyakinan di atas semakin diperkuat atas realitas perputaran roda kehidupan dunia. Perubahan kekuasaan bukanlah hal yang mustahil. Bahkan perubahan politik adalah sebuah keniscayaan.  Banyak yang tadinya merupakan negara kecil akhirnya menjadi negara besar. Amerika Serikat berawal dari negara kecil yang minim budaya dan sejarah peradaban. Namun akhirnya, negara ini menjadi negara adidaya. Demikian pula dengan Cina. Saat ini sudah menjelma menjadi saingan rerius negara adidaya Amerika dan Eropa.

Sejarah pun telah mencatat bagaimana kerajaan-kerajaan di Eropa yang kuat kemudian runtuh. Dulu ada Kerajan Britania Raya.  Kerajaan itu terkenal sebagai pencaplok hampir sekitar seperempat wilayah bumi pada masa kejayaannya sekitar Abad ke-18 hingga ke Abad ke-19.  Kerajaan ini mampu mempertahankan wilayah kekuasannya yang luas itu hingga ratusan tahun lamanya. Jauh lebih lama jika dibandingkan dengan kerajaan besar lain seperti Romawi, Spanyol dan Portugis.  Namun demikian, seiring dengan waktu, kekuasaan ini akhirnya sirna.

Demikian pula dengan Uni Soviet. Uni Soviet merupakan salah satu (mantan) negara adidaya dunia yang sekaligus menjadi rival abadi Amerika Serikat. Negara ini merupakan negara komunis teragung sejagat raya pada masanya. Kekuatan politiknya tidak dapat diremehkan sejak ia berdiri tanggal 25 Oktober 1917. Bahkan 3 tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1920, Vladimir Lenin terus berusaha melebarkan sayap Komunisme ke luar Eropa Timur.  Perang Dingin (cold war) terus berlangsung antara Negara Adidaya ini dengan Amerika Serikat. Perang Dingin yang sudah lama berlangsung tersebut disudahi dengan runtuhnya negara Uni Soviet pada 25 Desember 1991.

Khilafah juga pernah lama eksis dan  runtuh pula. Setelah  Rasulullah wafat, sistem politik kehidupan Islam kemudian dilanjutkan dengan sistem Kekhilafahan. Sistem ini pernah telah mewarnai ¾ dunia selama lebih dari 1.000 tahun.  Mulai dari Khulafau Rasyidin, Khilafah Bani Umayyah sekitar 91 tahun (41 H sampai 132 H /661-749M), Kekhilafahan Bani Abbasiyyah 783 tahun (tahun 132-918 H/749-1512 M) dan terakhir Khilafah Turki Utsmaniyah selama 424 tahun (918-1342 H/1512-1924 M). Sistem warisan Rasulullah itu kemudian runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 dengan khalifah terakhirnya, Sultan Abdul  Majid II.

Demikian pula dengan rezim-rezim diktator. Tidak begitu lama akhirnya juga akan tumbang.  Di negeri ini, rezim Orde Baru yang saat itu seolah sangat sulit runtuh, akhirnya runtuh juga. Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa “Arab Spring” telah memusnahkan 5 rezim diktator di kawasan tersebut.

Realitas perputaran roda peradaban dunia di atas membuktikan bahwa perubahan adalah sesuatu yang biasa. Tak ada yang aneh. Pergiliran kekuasaan tersebut adalah hal yang nyata. Segalanya akan terus berproses dan berubah. Persoalan yang terpenting adalah, mau ke mana arah perubahan tersebut?  Sosialisme (yang mencoba berperan dalam peradaban  dengan keruntuhan Sosialis Komunis di Uni Soviet) telah gagal. Kapitalisme global dalam menata dunia juga gagal. Kenyataan ini menjadikan arah perubahan itu akhirnya adalah pada Islam.

Kapitalisme global saat ini justru menunjukkan kebobrokan yang paling nyata pada aspek eknonomi.  Sistem ini terbukti menimbulkan kesenjangan yang luar biasa dalam akses aset ekonomi. Human Development Report 2006 mengungkap,  kelompok 10 persen orang terkaya di dunia saat ini menguasai 54 persen aset dan kekayaan. Bahkan total kekayaan 7 orang terkaya dunia sekarang sama dengan PDB 41 negara termiskin dunia. Di Indonesia, lebih dari 80% tanah telah dikuasai oleh kapitalis asing.

Realitas demikian menjadikan sistem politik Islam adalah satu-satunya alternatif pelanjut peradaban.  Apalagi sistem politik yang dimiliki Islam tersebut telah teruji pernah memberikan keadilan peradaban lebih dari 1.000 tahun.

 

Tegaknya Khilafah Semakin Dekat

Tegaknya Khilafah semakin dekat dengan semakin menguatnya kesadaran umat untuk bersatu. Persatuan adalah kunci kekuatan. Kekuatan adalah kunci kemenangan. Puncak dan resminya kekuataan yang hakiki pada umat itu adalah dengan tegaknya Khilafah Islamiyah.

Tanpa Khilafah, persatuan umat adalah fatamorgana. Tanpa Khilafah, kaum Muslim bercerai-berai. Contoh nyata adalah persatuan negara-negara dalam nasionalisme masing-masing. Ikatan persatuan dengan sekat negara suku bangsa terbukti nyata justru menjadi penghalang persatuan kaum Muslim yang hakiki.

Karena tercerai-berai, berbagai persoalan yang menimpa kaum Muslim di berbagai belahan bumi tak bisa diselesaikan secara bersama-sama. Pembantaian yang terus dilakukan oleh Yahudi terhadap kondisi kaum Muslim di Palestina terus berlangsung. Pasalnya, negeri-negeri Arab menganggap Palestina bukan bagian negara mereka. “Nation state” menjadi dinding pemisah persaudaraan sesama Muslim.  Genosida atas kaum Muslim Uighur di wilayah   Xinjiang Cina juga tidak bisa dihentikan secara nyata oleh negeri-negeri Islam karena mereka dipisahkan oleh negara masing-masing.  Paling bisa kaum Muslim hanya  melakukan protes (demo solidaritas) dan bantuan doa.

Umat semakin membutuhkan kekuatan global untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka.  Persoalan kaum Muslim hanya bisa diselesaikan oleh mereka sendiri. Tumpahnya darah kaum Muslim tidak bisa diselesaikan dengan sekadar “kutukan” kepala negara Muslim yang kian menunjukkan kemunafikan dan ketidakberdayaannya.

Persoalan Palestina, Suriah dan negeri-nengeri Islam lainnya pun tidak bisa diselesaikan oleh lembaga dunia seperti PBB. Ratusan resolusi PBB untuk Palestina dan Suriah justru kian memperpanjang derita kaum Muslim di negeri Syam tersebut.  Persoalan mereka juga tidak cukup dengan sekadar bantuan obat-obatan dan simpati kemanusiaan lainnya. Mereka ditindas secara fisik. Mereka diperangi. Mereka dibunuh. Mereka diusir dari kampung halaman mereka. Jadi solusinya adalah mengerahkan kekuatan fisik. Allah SWT berfirman:

قَٰتِلُوهُمۡ يُعَذِّبۡهُمُ ٱللَّهُ بِأَيۡدِيكُمۡ وَيُخۡزِهِمۡ وَيَنصُرۡكُمۡ عَلَيۡهِمۡ وَيَشۡفِ صُدُورَ قَوۡمٖ مُّؤۡمِنِينَ ١٤

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan perantaraan tangan-tangan kalian, menghinakan mereka, menolong kalian atas mereka dan melegakan hati kaum Mukmin (QS at-Taubah [9]: 14).

 

Tidak ada yang bisa mengemban kekuatan ini kecuali negara yang dihela dengan sistem Islam. Itulah negara yang menerapkan al-Quran dan as-Sunnah. Negara demikian tiada lain adalah Khilafah Islamiyah ‘ala minhâj an-nubuwwah.

Indikator dekatnya pertolongan Allah SWT dengan tegaknya Khilafah itu juga terlihat dari semakin lemahnya kepercayaan masyarakat dunia terhadap sistem Kapitalisme itu sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan dunia.   Masyarakat Barat sendiri, apalagi masyarakat Muslim, sangat merasakan penderitaan atas penerapam sistem ini di negeri mereka. Krisis ekonomi dan gelombang demontrasi masyarakat Eropa beberapa tahun terakhir lebih dari cukup menjadi bukti bahwa masyarakat Barat sendiri sudah sangat gerah atas sistem politik dan ekonomi yang mengkooptasi mereka. Sistem ekonomi kapitalis terbukti hanya menguntungkan segelintir orang. Apalagi krisis ekonomi  merupakan   “siklus wajib” dari sistem ekonomi balon ini. Pasalnya, sistem ekonomi ini dibangun atas pondasi sistem ribawi dan mudah rapuh.

Masyarakat pun semakin tidak percaya dan marah atas rezim diktator penyelenggara sistem politik ekonomi ini. Di negeri ini, fenomena “Reuni 212” beberapa waktu yang lalu adalah bukti betapa kepercayaan masyarakat terhadap sistem ini sudah berada pada titik nadir. Fakta fenomenal dalam aksi tersebut adalah, selain kita menyaksikan lautan manusia, kita juga menyaksikan lautan ar-rayah dan al-liwa. Panji dan bendera pemersatu umat Islam. Hampir semua media internasional (jika tidak dikatakan semuanya) menjadikan fenomena ini menjadi “headline” media mereka. Geliat “Reuni 212” juga menginspirasi geliat persatuan umat lain di berbagai belahan dunia.

 

Khatimah

Atas kenyataan geliat politik persatuan umat yang kian mengkristal ini, umat memerlukan motor penggerak untuk menyempurnakan proyek besar persatuan ini. Sudah lama umat tidak lagi mempercayai partai politik yang sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan mereka. Masyarakat sudah terlalu sering untuk diberi janji manis kampanye, ditipu dan dikhianati. Sungguh umat ini memerlukan kelompok dakwah yang memiliki konsep perubahan yang jelas, mulai dari aspek pemikiran maupun metode pelaksanaan (thariqah). Insya Allah kelompok yang siap dan saat ini melakukan itu dengan serius adalah Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir berdiri dalam rangka menyambut seruan Allah SWT:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb[Abu Halwa al-Kalimantaniy]