Kamis, 25 Juni 2020

GORESAN TINTA SANG PEJUANG PERADABAN ISLAM

GORESAN TINTA SANG PEJUANG PERADABAN ISLAM

Oleh: Nurull Cahayaa (Pelajar dan Aktivis Dakwah Islam Kaffah)

Lagi dan lagi. Setiap buat konten dakwah, kerjain hal-hal yang berbau dakwah dan untuk amar ma'ruf nahi munkar tuh, pasti gak jauh jauh dari komenan orang-orang. Pasti. Yakin deh saya.

Dan yang paling banyak komenannya tuh kayak gini, "Kak, emang gak capek yah buat video-video sama tulisan-tulisan dan konten konten dakwah kayak gini? Padahal setiap hari nguras tenaga, energi kakak sama waktu kakak? Padahal gak dibayar sepeser pun juga kan? Intinya kakak gak capek yah?"

Pernah dapat komentar kayak di atas? Pastinya pernah donk, bahkan ada yang setiap saat dapat komen begitu. Nih kalau mau tau jawaban dari saya.

Buat apa capek dalam perihal menolong Agama Allah?

Gini deh, coba kalian beli makanan terus kalian bagiin makanan tersebut ke orang orang yang kurang mampu, sama anak yatim piatu atau sama yang membutuhkan banget deh. Terus kalau kalian habis bagiin makanan tersebut ke mereka, biasa kalian dapatin apa? Ucapan TERIMA KASIH 'kan? Atau DOA terbaik dari mereka. Maasya Allah banget 'kan?

Terus kalian pasti ngerasaiin, bahwa kalian tuh menjadi BERARTI buat mereka. Menjadi PENOLONG mereka 'kan?

Gini loh teman teman, kita menolong sesama manusia aja tuh udah ngerasa BERARTI. Udah ngerasa kita bisa menjadi penolong buat mereka. Kita bakalan ngerasa, "Ya Allah, ternyata aku berarti yah buat orang orang di sekitar aku. Ya Allah ternyata aku bisa menjadi orang yang bermanfaat juga untuk sesama." Dan lain-lain 'kan? Padahal itu nolong sesama manusia loh!

Apalagi kalau kita menolong Agama Allah, kita dakwah dan menyebarkan kebaikan agama Allah, apa itu gak membuat diri kita SANGAT BERARTI?

Saya gak pernah capek, saya gak pernah lelah bahkan gak ada niatan untuk nyerah dalam dakwah dan menyebarkan kebaikan agama Allah.

Gini loh teman-teman, capek dan lelah itu pasti di dunia karena hanyalah di surga tempat peristirahatan kita yang kekal.

Buat apa berhenti dan meninggal dalam keadaan menyia-nyiakan usia yang Allah berikan kalau bukan untuk kita berdakwah? Bertanya-tanya kan?

"Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya." (HR. Ahmad)

Ingat! Allah berfirman dalam Surat Muhammad ayat 7 yang berbunyi:

یَأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ یَنصُرۡكُمۡ وَیُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Saya menjadi sangat yakin dengan ayat di atas bahwasanya barangsiapa yang menolong agama Allah, menolong perjuangan agama Allah, menolong kelompok atau orang yang memperjuangkan agama Allah. Niscaya Allah akan menolongmu juga dan meneguhkan kedudukannya.

Alhamdulillah, akhirnya terbalaskan juga komentar teman-teman. Jazakumullahu khairan katsiran ^_^

#BebasShareDanCopasBilaBermanfaat😁

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah

Tanya :

Ustadz, mohon diberi pencerahan secara detail dalil mengenai pemisahan antara pria dan wanita pada walimahan agar saya bisa menjelaskan kepada orang tua. (Rahadian Rihadi, bumi Allah).

Jawab :

Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah wajib hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah haram hukumnya terjadi ikhtilat (campur baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima’) dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. (Sa’id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa`, hlm. 7)

Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua  alasan, yaitu ;

Pertama, adanya hukum umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb) maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah, kampus, sekolah, pantai, dsb). Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah, gedung, aula, hotel, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Alquran dan As Sunnah yang mengecualikan walimah dari hukum umum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan terjadinya ikhtilat antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilat dalam acara walimah. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).

Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya : (1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); (2) Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); (3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dengan kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus walimah sehingga dalam walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya. Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu : (1) menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah, dan (2) pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita. Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria itu, barulah hukum umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai ikhtilat (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan jual-beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilat dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah, hlm. 333-335). Wallahu a’lam.

Oleh K. H. M. Shidiq Al Jawi