Jumat, 19 Juni 2020

Futur Karena Dakwah Fardiyah?

Futur Karena Dakwah Fardiyah?

Oleh : Ustadz Iwan Januar

Bisakah kita berdakwah tanpa support jamaah? Mampukah kita berdiri di atas panggung dakwah tanpa kolektivitas jamaah? Bisakah seorang diri kita membangun peradaban tanpa keikutsertaan jiwa dan raga kita dalam sebuah kutlah dakwah?

Sulit rasanya menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan di atas. Tabiat manusia itu lemah, mudah tergelincir, membutuhkan ilmu, dan membutuhkan link pertemanan. Untuk membangun sebuah rumah yang besar saja tak bisa seorang diri, apalagi membangun peradaban. Maka, sungguh kita membutuhkan kawan dan pembimbing dalam mengarungi medan dakwah ini.

Sehebat apapun seseorang, tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan kolektivitas. Kebersamaan merupakan salah satu syarat perjuangan mencapai kemenangan. Dalam dunia bisnis hampir tak ada satu perusahaan yang tak menjalin kemitraan. Dalam dunia politik dan militer, negara-negara imperialis menjalin persekongkolan satu dengan lain untuk mencabik-cabik umat dan mencegah kebangkitan Islam.

Dalam dunia dakwah? Apalagi. Kebersamaan, keberjamaahan, kesatuan, unity atau apalah namanya adalah syarat untuk menggapai pertolongan Allah SWT. Penghulu umat ini, Rasulullah SAW. mewasiatkan akan kebaikan hidup berjamaah:

« اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثُلاَثٌ خَيْرٌ مِنِ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلاَثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِى إِلاَّ عَلَى هُدًى »

Dua orang lebih baik dari seorang, tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah). (HR. Ahmad)

Mari renungkan, ketika Allah memberikan kecerdasan dalam berdakwah, membuat fasih lisan kita menyampaikan kalimatullah, darimanakah semua itu ditempa? Hasil kecerdasan sendirikah, atau karena terasah dalam liqo-liqo yang dibantu oleh para guru yang mukhlis? Kita semua tahu jawabannya; itu karena jamaah, karena ada kawan dan para guru yang tulus hati membina hingga Allah mudahkan pemahaman kita.

Darimana pula Anda mendapatkan jaringan dakwah yang begitu luas hingga seantero negeri, bahkan mancanegara? Semua berawal dari pertemanan kita dalam jamaah. Satu dua atau tiga kawan memberi Anda panggung untuk menyampaikan kalimatullah karena mereka mempercayai Anda lebih fasih dan lebih pandai dari mereka. Maka mereka amanahkan panggung demi panggung dakwah agar dakwah ini berkembang lewat diri Anda sebagai bagian dari jamaah. Bukankah ini the power of relationship?

Sampai kemudian dunia mengenal Anda sebagai seorang juru dakwah yang handal. Kalimat-kalimat Anda cerdas dan berisi, menggelora dan membuat umat merasa terpuaskan, hingga Anda pun seolah menjadi ikon dakwah baru di antara para juru dakwah yang lain.

Namun disitulah sebenarnya perangkap dipasang. Ketika syaitan tak bisa menghentikan dakwah seorang hamba, mereka akan berusaha memisahkan seorang juru dakwah dari jamaahnya. Maka waspadailah penyakit hati juru dakwah yang bisa membuat seseorang terlepas dari jamaahnya. Tak jarang dan tak sedikit pengemban dakwah yang lepas dari orbit dakwah berjamaah karena hilang kesadaran berjamaah. Tanpa disadari satu persatu ikatan jamaah mereka lepaskan, sampai akhirnya muncul satu pemikiran; tak butuh lagi dakwah berjamaah.

Ada beberapa penyakit hati yang bisa membuat seorang juru dakwah tergelincir di jalan dakwah. Lepas kendali dan lepas dari orbit dakwah berjamaah.

/ Meremehkan Amal Jama’i /

Karena keasyikan dakwah secara pribadi, tak jarang seorang hamba meremehkan amal jama’i; liqo, kontak, dan segenap agenda dakwah berjamaah. Jarang hadir dalam agenda bersama bahkan mulai melanggar komitmen dakwah berjamaah. Inilah simpul awal yang terlepas dari kehidupan dakwah berjamaah, ketika seorang pengemban dakwah mulai meremehkan kedisplinan hidup berjamaah meski dengan alasan berdakwah (pribadi). Untuk ini mereka punya alasan yang seperti benar; saya juga berdakwah! Ironi.

/ Sibuk Dengan Citra Diri /

Dunia milenial menciptakan gaya hidup baru bagi manusia; brand mark! Sedihnya tak jarang mereka yang terlibat dalam dakwah juga ikut berlomba membangun brand image. Ingin menunjukkan dirinya adalah sosok penting, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang sebenarnya tak penting ke hadapan umat. Ia merasa umat harus tahu ketika ia minum kopi, makan bersama siapa, atau bahkan ketika ia bernafas dan memejamkan mata. Semua demi brand image.

Marilah kita renungkan bahwa yang harus kita muliakan dan agungkan adalah agama dan pribadi Nabi kita Muhammad SAW., bukan diri kita, keluarga kita atau bahkan orangtua kita. Sesungguhnya kemuliaan adalah milik Allah dan Ia akan berikan pada siapa saja yang Ia kehendaki:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (TQS. Ali Imran: 26)

/ Penyakit bahaya kelas /

Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Takattul Hizbiy menyebutkan salah satu bahaya yang bisa menimpa sebuah kutlah/jamaah dakwah adalah bahaya kelas, yaitu ketika sebuah jamaah merasa lebih hebat dan ingin dilayani umat. Bila pernyataan beliau kita jadikan pisau bedah dalam kehidupan pribadi para dai, hal inipun bisa terjadi. Seorang juru dakwah bisa lupa diri hingga merasa lebih tinggi derajatnya, lebih penting dibandingkan kawan-kawannya, bahkan merasa lebih unggul dibandingkan jamaahnya. Penyakit hati ini menyebabkan ia meremehkan segala keterikatan dengan jamaah, meremehkan nasihat dan teguran dari kawan-kawannya yang berada dalam jamaah. Ia merasa lebih penting berdiri di panggung dakwah di tempat lain, ketimbang duduk dalam agenda dakwah bersama. Bahkan ia merasa umat lebih memuliakan dia ketimbang jamaahnya. Hingga akhirnya ia marah pada saat jamaah mengingatkan dan menegurnya. Padahal semua dilakukan oleh jamaah karena rasa cinta dan sayang padanya.

/ Tak merasa bersalah /

Adalah nasihat klasik yang disampaikan para alim ulama, bila hati telah ternoda dosa lalu tak dimintai ampunan, lama kelamaan hati akan membeku. Ia tak tersentuh lagi dengan nasihat dan peringatan. Siapapun bisa mengalami hal itu termasuk para juru dakwah yang telah bergeser orbit dakwahnya dari dakwah jamaah menuju keasyikan dakwah pribadi. Berbagai pengabaian amanah dan agenda dakwah dalam berjamaah tak lagi menjadi perhatiannya. Bahkan ketidakdisplinannya dalam kehidupan berjamaah sudah dianggap biasa, ironinya ia sendiri marah ketika ada orang tidak menepati akad dengannya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Al-Jawabul Kafi menuliskan bahwa suatu dosa biasanya akan menuntut dosa yang lain dan akan menuntut eskalasi atau peningkatan. Waliyyadzu billah.

/ Mencari kesalahan jamaah /

Level lebih jauh dari bergesernya seorang dai dari orbit dakwah adalah ia mulai banyak mengeluhkan kondisi jamaah, seolah mencari pembenaran bahwa ia memang layak meninggalkan jamaah. Para sahabat pecinta dakwah, sedari awal kita harus sudah menyadari bahwa jamaah dakwah diisi oleh manusia biasa, yang tak luput dari kekurangan dan kehilafan. Dimanapun kita berada, selalu akan bertemu sosok-sosok yang penuh dosa dan khilaf. Namun itu bukan alasan kita menyalahkan jamaah lalu berpaling dari mereka, kecuali bila mereka sepakat melakukan kemungkaran. Bukankah bila rumah kita kurang layak maka tugas kita adalah ikut membenahinya, bukan malah meninggalkannya apalagi membumihanguskannya?

Ikhwah fillah, tulisan ini adalah pengingat bagi al-faqir pribadi dan ikhwan semua karena dorongan rasa cinta pada Allah. Luangkan waktu sejenak untuk merenung bahwa panggung demi panggung dakwah yang telah dibangun semua adalah karunia Allah yang dilimpahkan melalui perjuangan kawan-kawan dalam jamaah. Ada jasa guru-guru kita, ada jasa kitab-kitab yang telah dikaji bertahun-tahun. Saatnya menurunkan ego diri, membuang bahaya kelas, merendahkan hati dan menyemai lagi keikhlasan untuk menggelar tikar lalu duduk bersama kawan-kawan dalam jamaah. Karena rumah kita adalah jamaah dakwah, kita berasal dari sana dan kita pun ingin berkumpul bersama orang-orang saleh dalam jamaah kita.

Percayalah, andaipun kaki melangkah tuk pergi berlalu dan tak kembali, rumah itu takkan runtuh karena di dalamnya masih banyak orang-orang yang jauh lebih ikhlas, lebih bagus dalam beramal dibandingkan diri kita. Malah bisa jadi akan datang penghuni-penghuni baru yang lebih bersih dibandingkan hati dan tangan kita ini. Sesungguhnya kitalah yang membutuhkan jamaah. Mari kembali rapatkan hati dan barisan dalam rumah ini untuk memenangkan agama Allah bersama-sama.

إِنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذِئْبِ الْغَنَمِ يَأْخُذُ الشَّاذَّةَ وَالْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالشِّعَابَ وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَالْعَامَّةِ

“Sesungguhnya setan adalah serigala terhadap manusia seperti serigala menerkam kambing yang terasing, menjauh dan menyisih. Maka janganlah kalian menempuh jalan sendiri dan hendaklah kalian berjama’ah dan berkumpul dengan orang banyak.” (H.R. Ahmad)

SEKULARISME-RADIKAL HANYA MENGHASILKAN ‘NEW ABNORMAL’ Buletin Kaffah No. 146 (27 Syawal 1441 H-19 Juni 2020 M

SEKULARISME-RADIKAL HANYA MENGHASILKAN ‘NEW ABNORMAL’

Buletin Kaffah No. 146 (27 Syawal 1441 H-19 Juni 2020 M)

Salah satu isu konstroversial yang banyak menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah RUU-HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Kelompok sekular-radikal dicurigai berada di balik usulan RUU-HIP ini. Mereka inilah—bukan HTI—yang terbukti ingin ‘mengubah’ Pancasila meski dengan sekadar ‘memeras’ Pancasila menjadi Trisila, bahkan Ekasila. Apalagi mereka tidak mau mencantumkan dalam RUU-HIP itu konsiderans TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Larangan Penyebaran Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Melihat sejumlah pasalnya yang sangat radikal-sekular, jika RUU-HIP ini berhasil disahkan menjadi UU, boleh jadi UU tersebut akan makin mengokohkan sekularisme di negeri ini. Cita-cita umat Islam untuk diatur oleh syariah Islam pun akan makin sulit. Bahkan boleh jadi akan makin dimusuhi karena bakal dituding sebagai anti Pancasila. 

Kehidupan Normal Umat Islam

Bagi kaum Muslim, kehidupan yang normal tentu adalah kehidupan yang diatur dengan syariah Islam. Sebabnya, Islam bukan sekadar agama spiritual dan moral belaka. Islam pun tak melulu berurusan dengan persoalan-persoalan transendental (keakhiratan) saja. Islam sekaligus merupakan ideologi/sistem kehidupan. Artinya, Islam mengatur pula urusan keduniaan (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, dsb).

Karena itulah Allah SWT memerintah kita agar ber-Islam secara kaffah (total):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semuanya ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh nyata kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Menurut Imam al-Jazairi, dalam ayat ini Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang Mukmin dengan memerintah mereka agar masuk Islam secara total. Tidak boleh memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukum-Nya. Dalam arti (tidak boleh) syariah yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Sebaliknya, syariah yang bertentangan dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak serta mereka tinggalkan dan campakkan (Al-Jazairi, Asyar at-Tafasir, 1/97).

Dengan demikian normalnya kaum Muslim hidup diatur hanya oleh syariah Islam. Inilah kehidupan yang dijalani oleh umat Islam selama tidak kurang dari 14 abad. Terhitung sejak zaman Baginda Nabi Muhammad saw. (sejak beliau mendirikan Daulah Islamiyah) hingga era Kekhilafahan Islam (Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, Khilafah Abasiyah dan Khilafah Utsmaniyah). Baru setelah Khilafah Utsmaniyah diruntuhkan pada tahun 1924 oleh Mustafa Kamal Attaturk—seorang sekular-radikal—yang didukung oleh Inggris, kehidupan kaum Muslim diatur oleh hukum-hukum Barat sekular. Tidak lagi diatur oleh syariah Islam, kecuali dalam urusan privat seperti ibadah ritual, pernikahan dan waris. Kondisi abnormal bagi kaum Muslim ini terus berlangsung hingga hari ini.

‘New-Abnormal’

Penerapan hukum-hukum Barat sekular atas kaum Muslim di seluruh dunia—yang menggantikan syariah Islam—tentu  adalah kecelakaan sejarah. Setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama: Faktor internal, yakni kemunduran Khilafah Utsmaniyah hingga berakhir dengan keruntuhannya. Kedua: Faktor eksternal, yakni kebangkitan Barat—dengan Kapitalisme-sekularnya—yang dibarengi dengan nafsu penjajahannya atas dunia, khususnya Dunia Islam. Penjajahan Barat tak hanya bermotif ekonomi (menguras kekayaan negara-negara jajahan). Penjajahan Barat juga bertujuan politik, yakni penyebaran dan penerapan akidah sekularisme—dengan kapitalisme dan demokrasinya—atas dunia, khususnya Dunia Islam. Selebihnya, penjahahan Barat juga dimanfaatkan untuk memuluskan misi kristenisasi di negara-negara terjajah, khususnya di Dunia Islam. Karena itulah penjajahan Barat identik dengan gold, glory dan gospel.

Sayang, ketidaknormalan (abnormalitas) kehidupan kaum Muslim yang telah berlangsung nyaris satu abad ini tak banyak disadari oleh umat Islam sendiri. Seolah-olah hidup di bawah naungan Kapitalisme global saat ini adalah normal. Seolah-olah kehidupan sekular—yang menihilkan peran agama (Islam) dalam mengatur kehidupan—bagi kaum Muslim saat ini adalah wajar. Seolah-olah kehidupan yang tidak diatur oleh syariah Islam saat ini bukan sesuatu yang abnormal.

Padahal jelas, bagi kaum Muslim, kehidupan sekular saat ini—yang tidak diatur oleh syariah Islam secara kaffah—adalah kehidupan yang tidak normal. Karena itu jika pasca karantina, bahkan pasca Corona, kaum Muslim tetap berkutat dengan sekularisme—yakni tetap menerapkan sistem kapitalisme-demokrasi—maka mereka sesungguhnya sedang menuju ‘new-abnormal’ (ketidaknormalan baru). Pasalnya, kehidupan sekular pasca Corona akan jauh lebih buruk. Sebabnya, Kapitalisme global telah gagal. AS—sebagai kampiun negara kapitalis—adalah contoh terbaik dalam hal ini.

Pandemi Corona (Covid-19) benar-benar menyingkap kebobrokan AS dengan Kapitalisme globalnya.

Di bidang kesehatan, misalnya, hampir seperempat orang dewasa AS tidak memiliki akses tunjangan medis. AS pun tidak punya rencana komprehensif untuk menanggulangi Corona. Karena itu dikhawatirkan penyebaran virus Covid-19 pada musim gugur 2020 mendatang akan berakhir menjadi musim dingin tergelap sepanjang sejarah modern.

Di bidang ekonomi, Gubernur Bank Sentral, Federal Reserve, Jerome Powell dan Menkeu Steven Mnuchin memberikan gambaran suram kehancuran ekonomi akibat pandemi.

Di bidang sosial, pandemi ini juga kian menyingkap rasisme sistemik yang mendera AS. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, 40 persen rumah tangga kulit hitam dan hampir 50 persen rumah tangga hispanik bermasalah dalam membayar tagihan dibandingkan dengan 21 persen rumah tangga kulit putih (Rand.org, 3/6/20).

Ironisnya, saat mayoritas penduduk AS menghadapi masalah ekonomi, kelompok terkaya justru diuntungkan. Laporan Americans for Tax Fairness menyebutkan kekayaan bersih miliuner AS tumbuh 15% dalam dua bulan lockdown hingga bertambah US$434 miliar (setara Rp 6.500 triliun).

Inilah kondisi abnormal yang dialami AS—juga umumnya negara-negara Barat—dengan Kapitalisme globalnya. Boleh jadi, pasca Corona, AS dan Eropa sesungguhnya sedang menuju ‘new-abnormal’. Bukan new-normal. ‘New-Abnormal’ ini sangat mungkin dialami oleh banyak negara di dunia. Termasuk negeri ini. Apalagi pasca Corona, banyak pengamat memprediksi bakal terjadi resesi global yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan berbagai krisis yang pernah dialami dunia sebelumnya. Tentu selama dunia tetap ada di bawah ideologi sekular, yakni Kapitalisme global, sebagaimana saat ini.

Kembali ke Ideologi Islam

Ideologi (Arab: mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hanya ada tiga di dunia ini yang layak disebut sebagai ideologi: Islam, Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme.

Sosialisme-Komunisme adalah ideologi yang didasarkan pada akidah materialisme. Materialisme memandang alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan materi belaka. Materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial. Karena itu tak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk) (Ghanim Abduh, 2003: 3).

Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya ateis (mengingkari Tuhan). Bahkan penganut ideologi Sosialisme-Komunisme—yang lahir dari akidah materialisme ini—memandang keyakinan terhadap Tuhan (agama) berbahaya bagi kehidupan. Dalam bahasa Lenin (1870-1924), keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan "minuman keras" spiritual.

Itulah mengapa para penganut ideologi Komunisme sangat memusuhi agama. Karena itu jika hari ini ada sekelompok orang yang selalu memusuhi agama (Islam) boleh jadi mereka sudah terasuki oleh paham komunis.

Berikutnya ideologi Kapitalisme. Dasarnya adalah akidah sekularisme. Sekularisme adalah paham yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Artinya, sekularisme mengakui keberadaan agama, tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan manusia. Yang punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri.

Secara historis, sekularisme adalah "jalan tengah" yang lahir di Eropa pasca Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Dari sekularisme inilah lahir ideologi Kapitalisme yang diterapkan di Eropa, lalu AS. Melalui imperalisme Barat, Kapitalisme kemudian dipaksakan untuk diterapkan di berbagai negara di dunia, termasuk negeri ini.

Adapun ideologi Islam dasarnya adalah akidah Islam. Akidah Islam meyakini keberadaan Tuhan (Allah SWT) sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia dengan syariah-Nya (QS al-An’am [6]: 57). Manusia hanya sekadar pelaksananya saja.

Alhasil, dunia yang normal sesungguhnya adalah dunia yang diatur hanya oleh syariah Islam. Karena itu bagi kaum Muslim, new-normal adalah saat mereka kembali ke pangkuan ideologi Islam, yakni saat mereka kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan malah mempertahankan sekularisme.  Apalagi sekularisme-radikal yang pasti hanya menghasilkan kehidupan ‘new-abnormal’. []

—*—

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []

—*—

Download File PDF:
http://bit.ly/kaffah146

Panglima termuda dalam Islam

USAMAH ibn Zaid termasuk sahabat kesayangan Rasulullah SAW. Dia dijuluki al-Hibb ibn al-Hibb yang berarti kekasih putra kekasih. Usamah lahir dan tumbuh di Makkah, tidak ada keyakinan dan kepercayaan yang ia kenal selain Islam. Nabi sangat mencintai dan sudah menganggapnya bagian dari keluarga besar beliau. Karena hubungan baik antara Nabi dan Zaid ibn Haritsah, ayah Usamah.


Rasulullah pernah bersabda, “Orang yang paling kucintai –selain Fatimah– adalah Usamah. Tak ada lagi selain keduanya.” Maksudnya, dari putra-putri beliau. Nabi juga pernah berkata, “Usamah ibn Zaid benar-benar orang yang paling kucintai.”


Ibu Usamah bernama Ummu Ayman, seorang budak kulit hitam asal negeri Habasyah, bekas budak yang sangat dekat dengan Rasulullah. Tak heran jika Nabi memperlakukannya dengan sangat baik, sampai kemudian membebaskannya dari status budak.



Usamah tumbuh dalam lingkungan rumah tangga Nabi, meski kala itu dakwah Islam baru tumbuh dan Nabi sering diintimidasi kaum Quraisy. Tetapi Nabi tidak pernah membiarkan Usamah tanpa pengawasan, hal ini membuktikan kecintaan betapa beliau sangat mencintai dan menyayangi Usamah. Usamah di hati beliau tak ubahnya Hasan dan Husain, Nabi sering memangkunya bersama dua cucu beliau itu.


Suatu hari Usamah pernah tergelincir di ambang pintu dan jatuh tersungkur, keningnya terluka. Nabi kasihan kepadanya lalu menyuruh Aisyah untuk mengusap darahnya. Aisyah menolak karena jijik. Lalu Nabi mendekati Usamah, menyesap darah luka tersebut sampai Usamah tidak lagi kesakitan.


Zaid ibn Haritsah gugur sebagai syahid dalam perang Mut’ah, Usamah pun terbujur kaku di hadapan Rasulullah. Beliau pun memeluk Usamah.


Usamah pun semakin tumbuh dewasa, menjadi pemuda yang kuat dan kekar. Begitu pula halnya dengan kecintaan Usamah kepada Nabi. Nabi terus mengawasi Usamah agar tidak jatuh kepada perbuatan yang tidak baik, Nabi juga tidak segan menegur dengan keras jika melihat Usamah melakukan sesuatu yang tidak baik.


Usamah pernah mengejar seorang laki-laki musyrik. Saat didapatinya, Usamah langsung mengangkat tombaknya. Laki-laki itupun ketakutan sambil cepat-cepat mengucap syahadat. Tetapi Usamah berpikir bahwa itu hanya siasat agar selamat. Usamah pun tetap membunuhnya.


Ketika kabar itu sampai kepada Nabi, beliau sedih. Beliau sama sekali tidak menyukai perbuatannya itu.


“Celaka kau, Usamah!” bentak Nabi. “Bagaimana kau bisa membunuh orang yang mengucap syahadat?” Nabi terus mengulang kata-kata itu, dan membuat Usamah cemas.


Ketika Nabi terbaring sakit –yang akhirnya beliau wafat– Usamah menginjak usia delapan belas tahun, sudah matang sebagi laki-laki.


Nabi memandang Usamah memiliki kemampuan dan keberanian untuk membawa bendera pasukan. Ia dipilih Nabi untuk memimpin pasukan ke Mut’ah –tempat dulu ayahnya gugur sebagai syuhada–


Sebagian sahabat pun merasa keberatan dengan penunjukan Usamah, mereka pikir Usamah masih terlalu muda untuk tugas ini. Karena masih banyak sahabat dari kalangan Anshar maupun Muhajirin.


Kabar keberatan para sahabat pun sampai kepada Nabi, beliau marah besar. Dalam sakitnya, beliau memaksakan keluar dan menjelaskan bahwasannya penunjukan itu atas kehendak Nabi, jika para sahabat membantah penunjukan itu, berarti mereka membantah penunjukan ayahnya yang dulu sebagai panglima perang. Pesan itupun terus diulang-ulang agar orang-orang mau menjalankan kepemimpinan dan misi Usamah sebagai panglima.



Tak lama setelah itu, sakit Rasulullah pun semakin parah.


Saat pasukan Usamah bergerak meninggalkan Madinah, tersiar kabar kondisi Nabi memburuk hingga pada akhirnya beliau wafat.


Usamah menangis di makam Rasulullah, ia begitu kehilangan. Namun, Usamah sudah memenuhi harapan Rasulullah sebagai panglima perang. Para sahabat pun begitu menghormati Usamah karena melihat posisinya di sisi Rasulullah. []


Sumber: Sahabat-Sahabat Cilik Rasulullah, karya Dr. Nizar Abazhah, terbitan Dar al-Fikr, Damakus: 2009., hal. 111, 112, 113, 114, 115, 115, 116, 117, 118.