Minggu, 17 Maret 2013

Syura

Syura
SuperKhilafahstate.jpg (72×72)Di dalam Lisân al-’Arab, karya Ibn al-Manzhur dinyatakan, “Syâwartu-hu fî al-amr(Saya berembug dengan dia dalam satu perkara).” Dikatakan juga, “Syâwara-hu musyâwarat[an] wa syawâran,” artinya isytisyârat[an] (meminta pendapat atau nasihat). Orang Arab mengatakan, “Fulân jâyid al-masyûrah (Fulan itu pendapat/nasihatnya bagus).
Menurut al-Fara’, al-masyûrah berasal dari kata masywarah, diubah menjadimasyûrah untuk meringankan pelafalan. Ar-Razi juga menyatakan, al-masywarahadalah asy-syûrâ, demikian juga al-masyûrah. Kalimat, “Syâwartu-hu fî al-’amr,”  maknanya adalah, “Isytartu-hu (Aku meminta pendapatnya).
Jadi, secara bahasa syûrâ bisa berarti mengambil, melatih, menyodorkan diri, dan meminta pendapat atau nasihat; atau secara umum, asy-syûrâ artinya meminta sesuatu.
Secara istilah, Ibn al-‘Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa asy-syûrâadalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya (Ibn al-Arabi,Ahkâm al-Qur’ân, 1/298).
Ar-Raghib berkata, “Al-Masyûrah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk mendapat satu pendapat yang disepakati. Dengan demikian, asy-syûrâ adalah urusan yang dimusyawarahkan. (Rûh al-Ma‘âni, 25/46).
Mahmud al-Khalidi menyimpulkan bahwa asy-syûrâ adalah berkumpulnya manusia untuk menyimpulkan yang benar (shawâb), dengan mengungkapkan berbagai pendapat dalam satu permasalahan untuk memperoleh petunjuk guna mengambil keputusan (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, cet. II, hlm. 142).
Pengertian Syar‘i
Al-Quran mengungkapkan ihwal musyawarah/syura ini dalam tiga ayat, yaitu: QS Ali Imran [3]: 159; QS asy-Syura [42]: 38; dan QS al-Baqarah [2]: 233).  Asy-Syûrâ baik ungkapan maupun praktiknya banyak diungkapkan dalam Hadis Nabi saw. Dari pendalaman terhadap nash-nash,  baik al-Quran maupun al-Hadis, ternyata syariah membedakan antara asy-syûrâ dan al-masyûrah.
Asy-Syûrâ adalah pengambilan pendapat secara mutlak. Sebab, syariah mengungkapkan kata asy-syûrâ dengan pengertian sebagai aktivitas pengambilan pendapat secara mutlak tanpa membatasinya dengan sifat tertentu. Adapun berkaitan dengan al-masyûrah, sekalipun secara bahasa maknanya sama dengansyûra, syariah telah memberikan sifat tertentu pada aktivitas masyûrah.Abdurrahman bin Ghanmin menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra.:
وَ اَيُّمَ اللهِ، لَوْ تَتَفِقَانِ عَلَى أَمْرٍ وَاحِدٍ مَا عَصَيْتُكُمَا فِيْ مَشُوْرَة اَبَدًا
Demi Allah, jika kalian berdua sepakat atas satu perkara maka aku tidak akan menyalahi kalian berdua dalam masyûrah selamanya (Lihat: Fath al-Bâri, 17/103 catatan pinggir; adz-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm, 2/51; Tafsîr Ibn Katsîr, 1/420).
Sifat mengikat itu bisa dipahami dari: Pertama, sabda Rasul di atas, mâ ‘ashaytu-kumâ fî masyûrat[in] abad[an] atau mâ khâlaftu-kumâ abad[an] (Aku tidak akan menyalahi kalian berdua dalam hal masyûrah selamanya).  Artinya, dalam halmasyûrah Rasulullah saw. terikat dengan keputusan Abu Bakar dan Umar ketika mereka bertiga berembuk. Ini juga menunjukkan, bahwa dalam masyûrah, suara mayoritas merupakan penentu keputusan, dan keputusannya mengikat untuk dilaksanakan.
Kedua, konotasi kebalikan (mafhûm mukhâlafah) hadis di atas adalah bahwa dalam hal selain masyûrah Rasul saw. tidak wajib terikat dengan keputusan Abu Bakar dan Umar ketika beliau meminta pendapat keduanya.
Ketiga, kata masyûrah dalam hadis tersebut bukan kata umum, karena sekalipun ia berupa isim jenis, ia tidak ma‘rifah (definitif). Isim jenis termasuk kata umum jikama‘rifah, baik dengan alif lam atau idhâfah. Sekalipun kata masyûrah tersebut berbentuk nakîrah (indefinitif), ia berada dalam redaksi itsbât (penetapan). Isim nakîrah akan bermakna umum jika dalam redaksi penafian (fi shiyâgh an-nafî).
Dengan demikian, masyûrah adalah pengambilan pendapat oleh pihak yang mengambil pendapat, bisa Khalifah atau yang lainnya, yang hasil keputusannya bersifat mengikat bagi Khalifah untuk dilaksanakan.  Dengan demikian masyûrahadalah syura yang keputusannya mengikat bagi pihak yang mengambil pendapat.  Syariah kemudian membatasi obyek masyurah itu hanya dalam hal yang menunjukkan pada pelaksanaan sesuatu, seperti yang dijelaskan dalam ruang lingkupsyura di bawah.
Hukum Syura
Syûrâ dan masyûrah hukumnya sunnah karena terdapat thalab (perintah), yaitu firman Allah:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu (QS Ali Imran [3]: 159).
Indikasi (qarînah) yang ada menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak berifat jâzim(tegas). Hal itu karena dalam banyak perkara Rasul tidak selalu bermusyawarah dengan para Sahabat.  Itu artinya bermusyawarah tidak wajib.  Hanya saja terdapat pujian akan pelaksanaan aktivitas syura oleh kaum Muslim (Lihat: QS asy-Syura [42]: 38) yang menunjukkan pelaksanaannya lebih dianjurkan.
Dengan demikian,  sekalipun tidak wajib, pelaksanaannya lebih dikuatkan. Jadi, hukum syura adalah sunnah. Oleh karena itu, seorang khalifah dan pemimpin pada level apapun hendaknya sering bermusyawarah dengan rakyat atau ahl asy-syûrâ, atau orang yang dipimpinnya; seorang suami hendaknya sering bermusyawarah dengan istrinya (QS al-Baqarah [2]: 233).
Ruang Lingkup Syura dan Metode Pengambilan Keputusannya
Syura bisa dilaksanakan dalam segala urusan.  Hal ini bisa dipahami dari firman Allah: fî al-amri (dalam segala urusan) (QS Ali Imran [3]: 159). Kata al-‘amrmerupakan kata umum karena berupa isim jenis ma‘rifah dengan alif lam. Dengan demikian, syura mencakup semua perkara. Faktor yang membedakan nantinya adalah metode pengambilan keputusan dalam perkara yang dimusyawarahkan.
Syariah telah memberikan panduan implementasi syura berikut metode pengambilan keputusannya. Dalam hal itu, syura itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama, dalam masalah hukum syariah, termasuk di dalamnya definisi syar‘i. Dalam perkara ini syura boleh dilakukan. Hanya saja, karena hukum syariah dasarnya adalah dalil syariah, maka yang menentukan keputusan dalam hal ini adalah faktor kekuatan dalil,  bukan yang lain.  Jika dalilnya qath‘i (pasti) maka tidak perlu dibicarakan lagi.Sebaliknya, jika dalilnya zhanni (tidak pasti) maka keputusannya bergantung pada yang paling baik (ahsan) (lihat: QS az-Zumar [39]: 18), yang didefinisikan oleh Ibn ‘Abbas sebagai aqwâtuhu dalîlu-hu (paling kuat dalilnya) dan abyânu-hu fahmu-hu(paling jelas pemahamannya).  Dua parameter inilah yang menentukan mana pendapat yang aqrabu ilâ shawâb (paling dekat dengan kebenaran).  Hal ini juga didasarkan pada praktik Rasul saw. pada Perjanjian Hudaibiyah yang hanya mendasarkan keputusan beliau pada wahyu dan menolak pendapat seluruh sahabat.Dalam masalah pertama ini, suara mayoritas tidak ada nilainya.
Kedua, dalam masalah definisi non-syar‘i dan masalah sains-teknologi.  Dalam masalah ini, keputusan ditentukan oleh ra’yu shawâb (pendapat yang benar).  Definisi ditentukan dari sifatnya yang harus jâmi’ (menyeluruh, mencakup semua yang tercakup dalam definisi itu) dan mâni’ (mencegah tercakupnya unsur lain), dan harus sesuai dengan realitanya. Adapun dalam masalah sains-teknologi, ketentuannya didasarkan pada pendapat orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut. Sebab, untuk memutuskannya diperlukan pengetahuan dan keahlian.  Keputusan dalam masalah ini tidak dikembalikan pada pendapat mayoritas, bahkan suara mayoritas tidak ada nilainya.
Ketiga, dalam perkara yang menunjukkan pada pelaksanaan suatu aktivitas. Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas.  Hal ini sesuai dengan praktik Rasul saw. dalam syura saat Perang Uhud. Syura tidak dilakukan dalam menentukan hukum berperang, juga bukan dalam masalah strategi perang, tetapi dalam hal bagaimana melaksanakan perang, yakni bagaimana menghadapi serangan musuh: apakah dilakukan di luar kota Madinah atau di dalam  kota. Beliau dan para sahabat senior cenderung untuk melakukannya di dalam kota, sebaliknya mayoritas menghendaki dilakukannya di luar kota. Lalu Rasul saw. mengeluarkan keputusan sesuai dengan pendapat mayoritas.  Pendapat para sahabat senior yang notabene lebih ahli dalam strategi perang tidak beliau ambil, karena memang masalahnya bukan masalah strategi perang,  tetapi bagaimana melaksanakan aktivitas yang akan dilaksanakan secara bersama-sama oleh umat.  Adapun terkait strategi perang yang digunakan dalam Perang Uhud itu sendiri—Rasul  menempatkan lima puluh orang pemanah di atas bukti untuk menghadang pasukan musuh yang ingin membokong dari belakang—Rasul menentukannya berdasarkan pendapat beliau sendiri dan beliau tidak bermusyawarah dengan yang lain.  Dari sini maka semua masalah yang serupa, jika dilakukan syura, maka keputusannya ditentukan dengan suara mayoritas, tidak yang lain. Perkara inilah yang menjadi cakupanmasyûrah yang keputusannya bersifat mengikat.
Jika seperti itu, lalu apa hubungan syura dan demokrasi? Tidak ada. Syura tidak bisa disamakan dengan demokrasi.  Sebaliknya, demokrasi seutuhnya tidak sesuai dengan Islam dan tidak diakui oleh Islam.  Sebab, banyak unsur demokrasi yang bertentangan dengan Islam.
WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru

Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru
Muhammad Bajuri
OTTOMAN-SULTAN-IN-THE-RECEPTION-ROOM-OF-TOPKAPI-PALACE-83x57.jpg (83×57)Pengantar
Islam adalah agama yang paling sempurna. Kesempurnaan Islam ini tampak jelas dari syariah yang dibawanya. Syariah Islam tidak hanya berisi fikrah (konsep) tetapi jugatharîqah (metode penerapannya). Sehingga, ketika syara’ mewajibkan umat Islam mengangkat seorang Khalifah, maka syara’ juga menetapkan tharîqah baku yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan Khalifah.
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 34 tentang prosedur hingga terjadinya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah baru, yang berbunyi: “Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat.Adapun tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat Khalifah adalah sebagai berikut: (a) Mahkamah Mazhalim mengumumkan kosongnya jabatan Khilafah; (b) Amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan seketika itu; (c) Penerimaan pencalonan para calon yang memenuhi syarat-syarat in’iqad dan penolakan mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad yang ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim; (d) Para calon yang pencalonannya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama, dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak; (e) Nama kedua calon terpilih diumumkan.Kaum Muslim diminta untuk memilih satu dari keduanya; (f) Hasil pemilihan diumumkan, dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapat suara lebih banyak; (g) Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; (h) Setelah proses baiat selesai, Khalifah kaum Muslim diumumkan ke seluruh penjuru sehingga sampai kepada umat seluruhnya. Pengumuman itu disertai penyebutan nama Khalifah dan bahwa ia telah memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat Khilafah; dan (i) Setelah proses pengangkatan Khalifah yang baru selesai, masa jabatan amir sementara berakhir.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 137-138).
 Baiat Tharîqah Baku Pengangkatan Khalifah
Terkait dengan baiat sebagai tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah, sangat jelas dari baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw. Sebab, baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw, bukan baiat atas kenabian, melainkan baiat atas kekuasaan. Jadi, Rasulullah Saw itu dibaiat adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang penguasa, bukan sebagai Nabi dan Rasul, karena pengakuan atas kenabian dan kerasulan itu adalah keimanan bukan baiat; juga perintah Rasulullah Saw kepada kami agar membaiat seorang Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.139).
Dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ»
Kami telah membai’at Rasulullah Saw. untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.” (HR. Bukhari).
Dan juga sabdanya:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiah (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa), seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Nash-nash tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah adalah baiat. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 140).
Sehubungan dengan hal ini, Imam an-Nawawi berkata: “Akad khilafah itu dinyatakan sah hanya dengan baiat.” (An-Nawawi, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, VII/390).
Prosedur Pembaiatan Khalifah
Di saat jabatan Khilafah kosong—karena wafatnya atau dipecatnya seorang Khalifah—, maka Mahkamah Mazhalim mengumumkan tentang kosongnya jabatan Khilafah.Dan seketika itu pula amir sementara—yang tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari—mulai melaksanakan tugasnya serta mengumumkan dibukanya pintu pencalonan. Kemudian Mahkamah Mazhalim memverifikasi para calon untuk menetapkan siapa-siapa dari mereka yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad dan yang tidak. Selanjutnya dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, dan diumumkan kepada masyarakat untuk memilih salah satu dari keduanya.
Prosedur tersebut dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali—semoga Allah meridhai mereka semua. Sementara terkait pembatasan hingga menjadi dua calon saja, maka hal itu terlihat jelas dalam mekanisme pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin. Di Saqifah bani Saidah calonnya adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Sa’ad bin Ubadah. Namun Umar dan Abu Ubaidah mengundurkan diri karena merasa tidak level bersaing dengan Abu Bakar. Sehingga praktis calonnya tinggal dua, yaitu Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian  ahlul hall wal ‘aqd di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), dan keesokan harinya baiat taat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
Ibnu Qutaibah berkata: “Pada hari yang sama ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar dibaiat—sebagai baiat ‘iniqâd—di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj, kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat (Ibnu Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 74).
Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai Khalifah bagi kaum Muslim, dan tidak ada calon lain selain beliau. Dengan kata lain, Umar ketika itu merupakan calon tunggal.Kemudian kaum Muslim membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), lalu baiat taat.
Sementara Umar mencalonkan enam orang dan membatasi mereka saja untuk dipilih di antara mereka menjadi Khalifah. Kemudian  Abdurrahman bin Auf berdiskusi dan menanyakan lima orang lainnya, siapa di antara mereka yang lebih pantas menjadi Khalifah, hasilnya ditetapkan dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Setelah itu dilakukanpolling (pemungutan suara), dan Utsman pun diangkat menjadi Khalifah.
Sedangkan Ali, maka beliau merupakan calon tunggal, karena tidak ada calon lain selain beliau untuk jabatan Khilafah. Kemudian mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya, sehingga beliau menjadi Khalifah yang keempat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 142-143; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm.31-32).
Dengan demikian, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan Khalifah setelah kosongnya jabatan Khilafah, baik karena Khalifah sebelumnya meninggal atau dipecat, yaitu:
  1. Aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan sepanjang malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.
  2. Seleksi para calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
  3. Pembatasan jumlah calon yang telah memenuhi kelayakan dilakukan dua kali:Pertama, dibatasi sebanyak enam orang. Kedua, dibatasi menjadi dua orang. Sementara pihak yang melakukan dua kali pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan calon sebanyak enam orang.Keenam orang itu kemudian mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman. Setelah melalui diskusi, kemudian Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua orang. Rujukan atas semua ini, seperti yang sudah dijelaskan, adalah umat atau pihak yang mewakilinya.
  4. Setelah selesainya pemilu dan pembaiatan, maka diumumkan kepada seluruh rakyat, orang yang telah menjadi Khalifah kaum Muslim, sehingga berita pengangkatannya sampai pada seluruh umat, dengan menyebutkan namanya, dan sifat-sifat yang dimilikinya yang menjadikannya layak untuk menduduki jabatan Khilafah.
  5. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan Khalifah.Sebab kepemimpinan Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 145; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 34).
Untuk Fakta Sekarang
Prosedur di atas adalah apabila telah ada Khalifah, lalu Khalifahnya meninggal atau dipecat, dan hendak mengangkat Khalifah baru untuk menggantikannya. Namun apabila belum ada Khalifah sama sekali, sementara kaum Muslim wajib mengangkat Khalifah untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, seperti halnya sekarang, sejak dihapusnya institusi negara Khilafah pada tanggal 28 Rajab 1342 H, yang bertepatan dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum kafir najis, Inggris—, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam berhak untuk membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah. Apabila suatu negeri telah membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah, maka kaum Muslim yang berada di negeri-negeri lainnya wajib membaiatnya dengan baiat taat, yakni baiat ketundukan. Syaratnya bahwa negeri itu telah memenuhi empat perkara berikut:
  1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh,sulthân[an] dzâtiy[an]), yang hanya bersandar kepada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang (negara) kafir.
  2. Keamanan kaum Muslim di daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan daerah atau negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
  3. Negeri itu harus memulai penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus) dan menyeluruh, serta langsung melakukan tugas mengemban dakwah Islam.
  4. Khalifah yang dibaiat harus telah memenuhi syarat-syarat in’iqad (legalitas Khilafah), meskipun belum memenuhi syarat afdhaliyah (keutamaan), sebab yang wajib dipenuhi hanyalah syarat-syarat in’iqad (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 146; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 35; Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm.25).
Dengan demikian, apabila suatu negeri telah memenuhi empat syarat tersebut, dan penduduk negeri itu telah membaiat khalifah sesuai ketentuan syara’, maka khilafah benar-benar telah terwujud, dan selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain.Apabila ada negeri lain yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak sah. Rasulullah saw bersabda:
« إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا »
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya.” (HR. Muslim).
Jadi, apabila khilafah telah tegak di suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji khilafah dan membaiat khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26). WalLâhu a’lam bish-shawâb.