Bantahan Demokrasi Secara ‘Aqliy (Rasional) - Bag 1
GM,
Halaqoh Online,
Kajian Umum Online
4:21 PM
Jika
sistem Demokrasi adalah yang melahirkan kehendak umat, maka konsekuensi
tuntutannya adalah akal menjadi al-hakim mutlak yang mengeluarkan hukum
atas af’al (Perbuatan)manusia yang muncul dari dirinya.Selanjutnya
undang-undang sudah barang tentumerupakan hasil buatan manusia (man
made). Ketundukan tidak diwujudkan kecuali kepada pendapat mayoritas
manusia tanpa memandang kepada yang lain.
Dengan demikian system Demokrasi adalah sistem yang paling adil, karena
dia dalam pensyari’atan aturan perundang-undangan dan keberadaanya
bersandar kepada kekudusan (keagungan dan kesucian) kehendak umum umat
sebagai pihak yang memiliki kedaulatan.
Untuk membantah Demokrasi secara rasional atau dengan argumentasi
rasional (‘aqliyyah) bukan dengan argumentasi syar’iy, harus ada
penjelasan asas-asas yang berkaitan dengan demokrasi dalam rangka
membantah secara mematikan.
Asas-asas itu adalah: Pertama, Akal adalah al-hakim dari sisi pahala dan siksa. Kedua,
pengkudusan(pengagungan dan pensucian) terhadap pendapat yang keluar
dari kehendak umum umat. Dan perincian bantahannya adalah sebagi
berikut:
Pokok bahasan pertama- Bantahan asas pertama bahwa Akal Merupakan al-Hakim dalam Aspek Pahala dan Siksa
Sesungguhnya menjadikan akal sebagai al-hakim atas af’al (perbuatan) dan asya’ (sesuatu), dari aspek pujian dan celaan atasnya di dunia, dan adanya pahala dan siksa atasnya diakhirat,44maka
akan tergambar satu kemustahilan wujudnya secara riil dalam kancah
kehidupan.Demikian itu,karena akal tidak mampu mendeskripsikan
keterpujian iman,ketercelaan kekufuran,keterpujian potong tangan bagi
pencuri dan ketercelaan meminum khamr.Akal juga tidak mampu menjelaskan
terpujinya tiadanya ikhtilath (campur baurnya) antara laki-laki dan perempuan yang tidak masyru’ah (keperluan
yang di benarkan syari’at) dan tercelanya memandang wanita pada bagian
yang di haramkan.Demikian itu karena akal berada dalam pertarungan
secara kontinyudengan kecenderungan naliri fitriyah. Jadi apa yang
dihukumi akal adalah suatu perkara ,dan apa-apa yang menjadi
kecenderungan naluri merupakan perkara yang lain . Kadang-kadang muyul fitriyah (kecenderungan
alami) lebih mendominasi, maka muyul fithriyyah tersebut akan
mengeluarkan hukum yang mempengaruhi akal.Maka ketika muyul fithriyyah membisikan kepada akal terpujinya perbuatan zina,selanjutnya akal akan mengeluarkan hukum bolehnya zina.
Kemudian bahwa realita yang dapat dilihat dan diindera,adalah
adanya perbedaan pemahaman antar makhluk. Apa yang dilihat seseorang
sebagai terpuji, orang lain bisa jadi melihat sebaliknya yakni sebagai
hal yang tercela.Seoranghakim berdasarkan akalnya melihat suatu
perbuatan layak menerima sanksi,hakim yang lain melihatnya sebagai
perbuatan yang berhak mendapat pujian.
Dengan demikian bantahan terhadap pandangan bahwa “akal adalah al-hakim” dapat di lihat dari tiga aspek.
Aspek Pertama,Esensi Memahami Realitas Akal
Sesungguhnya metode berfikir adalah tata cara (kaifiyah)
tang dengan tata cara itu akal menghasilkan pemikiran.Metode berfikir
itu sendiri adalah definisi akal, yakni sesuatu yang sesuai dengan
realitas akal.Dengan demikian mungkin mendefinisikan metode rasional (thariqah ‘aqliyyah)dalam berfikir yakni manhaj (metode)
tertentu dalam melakukan pembahasan yang digunakan untuk mencapai
pengetahuan akan hakikat sesuatu yang di bahas,dengan jalan pemindahan
gambaran suatu fakta ke otak melalui panca indra,dan adanya pengetahuan
terdahulu (ma’lumat as-Sabiqah), yabg dengannya fakta ditafsirkan,sehingga otak mengeluarkan hukum (interprestasi) terhadapnya (terhadap fakta).45
Hukum yang dikeluarkan itu adalah al-Fikr (pemikiran) atau al-idrak al-Aqliy (kesadaran yang bersifat rasional).Oleh karena itu ibnu al-Arabi memastikan dengan pendapatnya: “Sesungguhnya tidak ada hukum bagi akal,”46
karena kemustahilan adanya kemampuan akal untuk untuk mengeluarkan
hukum atas perkara yang tidak terindra (diluar jangkauan akal).
Dengan demikian, akal tidak ada kecuali pada manusia.Dan aktifitas akal
(berfikir) tidak mungkin dilakukan kecuali oleh manusia. Karena
aktifitas berfikir tidak akan sempurna kecuali dengan memenuhi empat
element yaitu:
1. Penginderaan
2. Fakta (obyek)
3. Pengetahuan atau informasi sebelumnya yang berkaitan dengan fakta (al-ma’lumat as-Sabiqah)
4. Otak yang sehat
Penginderaan merupakan bagian penting dari unsur-unsur akal.Jika
manusia tidak bisa mengindera sesuatu maka tidak mungkin akalnya
mengeluarkan hukum atas sesuatu itu. Karena akal terbatas hukumnya atas asyya’ (sesuatu) dan af’al
(perbuatan)yang keberadaanya terindera.Seandainya tidak ada
penginderaan suatu obyek (fakta) maka tidak akan terwujud pemikiran
apapun dan tidak di jumpai adnya tafkir (aktifitas berfikir)
Masyarakat yang rendah (terbelakang) harus mengindera kemunduran dan
kemerosotannya hingga tercapai hukum dari akal bahwa mereka adlah
masyarakat yang terpuruk.Hal ini merupakan perkara yang sifatnya fisikal
(madiyyun).
Sesuatu yang menciderai kemuliaan, harus ada penginderaan atas cidera
yang terjadi atau penginderaan sesuatu atau perbuatan itu menciderai
kehormatan, hingga tercapai hukum bahwa telah terjadi pencederaan.Yang
demikian ini merupakan perkara yang bersifat maknawi.
Supaya akal dapat mengeluarkan hukum atas suatu perbuatan atau suatu
materi maka harus terjadi transformasi hasil penginderaanya terhadap
suatu perbuatan atau sesuatu materi (ke otak).Maka perkara yang tidak
terindera , berada di luar pembicaraan kemampuan akal untuk mengeluarkan
hukum (interprestasi) baginya.
Dan objek pembahasan disini dimaksudkan untuk menjauhkan akal dari
wilayah kemampuan mengeluarkan hukum, dan bahwa akal adalah al-hakim
dan pemilik kedaulatan dalam hal demikian,yaitu menghukumi
perbuatan-perbuatn dari sisi pujian dan atasnya di dunia,pahala dan
siksa atasnya di akhirat.
Dengan melihat penjelasan di atas,jelas sekali kelemahan akal dalam
wewenang menentukan hukum, dengan memanfaatkan kemampuan akal atas hal
tersebut secara mutlak.Karena keberadaan suatu ke dzaliman apakah
termasuk apa-apa yang dipuji atau yang di cela merupakan perkara yang
tidak bisa di jangkau indera manusia karena hal itu bukan merupakan
perkara yang dapat di indera sehingga tidak mungkin akal memikirkan
karenanya akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baginya,yakni terpuji
tercelany kezaaliman, sekalipun manusia merasakan dengan fitrahnya
bahaya dari kezaliman,atau kecenderungan kepadanya.Akan tetapi dengan
perasan saja, tidak bermanfaat apa-apa dalam pengeluaran hukum asya’
oleh akal.Namun harus ada penginderaan. Dengan demikian akal tidak
mungkin mengeluarkan hukum atas perbuatan itu dari aspek terpuji dan
tercela. Dari sini tidak akal tidak boleh mengeluarkan hukum atas
perbuatan dari aspek pujian dan celaan, karena akal tidak bisa
menjangkaunya dan mustahil mengeluarkan hukum atasny.47
Aspek Kedua, Ketundukan Hukum-Hukum Akal Pada Kecenderungan Yang Fitri (Alami)
Sebagai
mana akal kita tidak boleh mengeluarkan hukum sesuatu yang dia tidak
mampu menginderanya, akal juga tidak boleh mengeluarkan hukum
berdasarkan kecenderungan fitriyahnya. Karena fakta kecenderungan
fitriyah, ia mengeluarkan hukum terpuji hanya dengan apa-apa yang sesuai
dengannya saja, dan hanya akan mencdla apa-apa yang bertentangan
dengannya. Dengan melihat tingkah laku secara umum, banyak manusia yang
terjatuh dalam perbuatan seperti zina, homoseksual, membunuh mencuri dan
meminum kharm (miras). Kadang kadang perbuatan seperti zina sesuai
dengan kecenderungan alami manusia, lalu ia akan menghukuminya sebagai
sesuatu yang terpuji,padahal sejatinya perbuatan itu adalah suatu yang
tercela. Kadang kadang perbuatan itu bertentangan dengan kecenderungan
fithriyyah (alami) manusia, diantaranya perbuatan perbuatan terpuji
seperti perbuatan membunuh di waktu peranh, sabar terhadap perkara yang
tidak disukai, dan berkata haq (benar) dalam kondisi yang bisa
menghantarkan pada bahaya atau siksaan yang pedih.
Menjadikan hukum bergantung pada kecenderungan fitri (alami) dan hawa
nafsu, berate menjadikan kecenderungan fitriyah (alami) dan hawa nafsu
itu sebagai standart bagu pujian dan celaan. Hal ini merupakan standart
yang salah serta pasti, dan menjadikan hukum baginya adalah sebuah
kesalahan secara pasti, dan menjadikan hukum baginya adalah sebuah
kesalahan yang besar, karena menjadikan hukum bertentangan dengan
faktanya.
Dan akal disini tidak jauh dari ketundukan terhadap pengaruh
kecenderungan fitriyah (alami), hawa nafsu, kecintaan dan syahwat. Hai
itu mempengaruhi akal ketika berfikir sehingga akal akan mengeluarkan
hukum atas perbuatan atau sesuatu berdasarkan anggapan bahwa hal
tersebut dapat merealitasikan dorongan kecenderungan fitriyah
(alami)-nya. Sehingga akal mengeluarkan hukum berupa pujian terhadap
perkara yang tercela, mengeluarkan celaan terhadap perkara yang
terpuji.Dikarenakan semua itu, maka akal tidak mungkin menjadi al-hakim (yang membuat hukum), sehingga jelaslah bahwa al-hakim haruslah pihak selain akal.
Aspek Ketiga, Perbedaan Hukum Karena Pembedaa Waktu Dan Individu
Ketetapan bahwa akal adalah pemilik kedaulatan dan dia adalah al-hakim.
Berarti ketetapan adalah benar bahwa suatu perbuatan pada satu waktu
dihukum dengan pujian (terpuji), kemudian pada waktu yang lain dihukumi
dengan celaan (tercela). Juga merupakan ketetapan bahwa suatu perbuatan
dihukumi dengan pujian oleh Zayd dan celaan dari Amru adalah benar.
Karena jika manusia dibenarkan menentukan hukum atas perbuatan, dari
aspek pujian dan celaan, maka hukum akan berbeda beda sering perbedaan
indifidu dan waktu. Manusia tidak mampu menetapkan hukun yang bersifat
tetam.Karena dalam hukum dari aspek ini (celaan dan pujian serta akibat
yang ditimbulkan dari aspek pahala dan siksa), maka hal itu tidak masuk
dalam jangkauan akal manusia.
Suatu yang terjangkau oleh indra, yang tidak ada dua orang manusia pun
yang berselisih, bahwa manusia pada suatu hari menghukumi suatu materi
yang terpuji, kemudian pada hari lain ia menghukuminya sebagai yang
tercela. Dengan demikian hukum atas suatu perkara menjadi berbeda beda
(berubah ubah), hukum menjadi tidak konsisten, dan hal ini akan
mengantarkan pada kesalahan hukum.48
Perundang undangan manusia yang lahir dari lembaga Domokrasi, bukan
hukum yang konsisten (tetap).Didalam teks teksnya tidak terdapat sifat
boleh secara mutlak, atau larangan secara mutlak.Khususnya yang
berkaitan dengan hak hak dan kewajiban kewajiban individu, serta
tanggung jawab pribadi. Semua itu tidak lain karena dibangun berdasarkan
kemaslahatan dan kebutuhan pragmatis yang berkembang. Sebagaimana yang
diketahui secara umum, kemaslahatan dan kebutuhan, berubah dan berganti
berdasarkan perubahan kondisi dan keadaan.Tidak asing dalam sejarah
perundang undangan manusia, bagian akhir suatu ketetapan hukum menentang
pada bagian awalnya pada rinciannya. Dan tidak asing perkara yang
dibenci berubah menjadi perkara yang disukai untuk dilakukan, dan
perkara yang berbahaya dan dibenci menjadi suatu yang mubah (boleh) dan
suatu yang mulia dianggap keji dan berubah menjadi suatu yang biasa.49
Oleh
kerena itu, gugurlah semua anggapan yang ada dalam ucapan Abraham
Lincoln dimana dia bertanya ; kenapa kita tidak mempunyai secara penuh
(total) dalam keadilan yang tinggi dalam pemerintahan (hukum) rakyat?50
Kita ingat perkataan Napoleon Bona Parte51: ‘sesungguhnya undang-undang yang paling agung adalah undang-undang produk zaman”52
dengan mengambil pelajaran, bahwa zaman adalah bak factor yang tajam
yang dengannya manusia dalam segenap peristiwanya memandang kepada
sesuatu, maka pandangannya itu berubah ubah sesuai zaman. Apa yang
dibuat oleh zaman tidak mungkin menjadi suatu yang tetap atau pasti. Ia
tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang paling rendah sekalipun
dikarenakan anggapan tercapainya keadilan yang egaliter bagi hukum
rakyat. Karena karakteristik rakyat berpengaruh oleh kecenderungan dan
hawa nafsu yang mengikuti kemaslahatan nya. Oleh karena itu pendapat
bahwa “falsafah Demokrasi tegak berdasarkan atas keimanan akan
karakteristik kemanusiaan dan keimanan akan kemampuan individu yang
alami untuk berinan kepada kebenaran kebenaran dan mengambil hukumnya
ketika ditawarkan kepadanya suatu tawaran yang benardan memuaskan,53
(adalah batil) karena apa yang sekarang memuaskan, besok akan terjadi
suatu yang tertolak. Apa yang hari ini menjadi hakikat(kebenaran) yang
dapat diterima, besok akan berubah sebaliknya. Dan generasi yang akan
datang akan menolaknya dan melaknatnya. Demikianlah perjalanan sejak
alam menciptakanya, sehingga bisa di tambatkan jangkarnya.54 Karena akal tidak layak menjadi hakim (yang membuat hukum), dalam keadaan apapun, sebab akal tidak mampu untuk itu dan tidak akan pernah mampu. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar