Minggu, 17 Maret 2013

Bantahan Demokrasi Secara ‘Aqliy (Rasional) - Bag 1

Bantahan Demokrasi Secara ‘Aqliy (Rasional) - Bag 1
Jika sistem Demokrasi adalah yang melahirkan kehendak umat, maka konsekuensi tuntutannya adalah akal menjadi al-hakim mutlak yang mengeluarkan hukum atas af’al (Perbuatan)manusia yang muncul dari dirinya.Selanjutnya undang-undang sudah barang tentumerupakan hasil buatan manusia (man made). Ketundukan tidak diwujudkan kecuali kepada pendapat mayoritas manusia tanpa memandang kepada yang lain.

            Dengan demikian system Demokrasi adalah sistem yang paling adil, karena dia dalam pensyari’atan aturan perundang-undangan  dan keberadaanya bersandar kepada kekudusan (keagungan dan kesucian) kehendak umum umat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan.

            Untuk membantah Demokrasi secara rasional atau dengan argumentasi rasional (‘aqliyyah) bukan dengan argumentasi syar’iy, harus ada penjelasan asas-asas yang berkaitan dengan demokrasi dalam rangka membantah secara mematikan.
            Asas-asas itu adalah: Pertama, Akal adalah al-hakim dari sisi pahala dan siksa. Kedua, pengkudusan(pengagungan dan pensucian) terhadap pendapat yang keluar dari kehendak umum umat. Dan perincian bantahannya adalah sebagi berikut:



Pokok bahasan pertama- Bantahan asas pertama bahwa Akal Merupakan al-Hakim dalam Aspek Pahala dan Siksa

            Sesungguhnya menjadikan akal sebagai al-hakim  atas af’al (perbuatan) dan asya’ (sesuatu), dari aspek pujian dan celaan atasnya di dunia, dan adanya pahala dan siksa atasnya diakhirat,44maka akan tergambar satu kemustahilan wujudnya secara riil dalam kancah kehidupan.Demikian itu,karena akal tidak mampu mendeskripsikan keterpujian iman,ketercelaan kekufuran,keterpujian potong tangan bagi pencuri dan ketercelaan meminum khamr.Akal juga tidak mampu menjelaskan terpujinya tiadanya ikhtilath (campur baurnya) antara laki-laki dan perempuan yang tidak masyru’ah (keperluan yang di benarkan syari’at) dan tercelanya memandang wanita pada bagian yang di haramkan.Demikian itu karena akal berada dalam pertarungan secara kontinyudengan kecenderungan naliri fitriyah. Jadi apa yang dihukumi akal adalah suatu perkara ,dan apa-apa yang menjadi kecenderungan naluri merupakan  perkara yang lain . Kadang-kadang muyul fitriyah (kecenderungan alami) lebih mendominasi, maka muyul fithriyyah tersebut akan mengeluarkan hukum yang mempengaruhi akal.Maka ketika muyul fithriyyah membisikan kepada akal terpujinya perbuatan zina,selanjutnya akal akan mengeluarkan hukum bolehnya zina.
       Kemudian bahwa realita yang  dapat dilihat dan diindera,adalah adanya perbedaan pemahaman antar makhluk. Apa yang dilihat seseorang sebagai terpuji, orang lain bisa jadi melihat sebaliknya yakni sebagai hal yang tercela.Seoranghakim berdasarkan akalnya melihat suatu perbuatan layak menerima sanksi,hakim yang lain melihatnya sebagai perbuatan yang berhak mendapat pujian.
       Dengan demikian bantahan terhadap pandangan bahwa “akal adalah al-hakim” dapat di lihat dari tiga aspek.

Aspek Pertama,Esensi Memahami Realitas Akal
   Sesungguhnya metode berfikir adalah tata cara (kaifiyah) tang dengan tata cara itu akal menghasilkan pemikiran.Metode berfikir itu sendiri adalah definisi akal, yakni sesuatu yang sesuai dengan realitas akal.Dengan demikian mungkin mendefinisikan metode rasional (thariqah ‘aqliyyah)dalam berfikir yakni manhaj (metode) tertentu dalam melakukan pembahasan yang digunakan untuk mencapai pengetahuan akan hakikat sesuatu yang di bahas,dengan jalan pemindahan gambaran suatu fakta ke otak melalui panca indra,dan adanya pengetahuan terdahulu (ma’lumat as-Sabiqah), yabg dengannya fakta ditafsirkan,sehingga otak mengeluarkan hukum (interprestasi) terhadapnya (terhadap fakta).45
            Hukum yang dikeluarkan itu adalah al-Fikr (pemikiran) atau al-idrak al-Aqliy (kesadaran yang bersifat rasional).Oleh karena itu ibnu al-Arabi memastikan dengan pendapatnya: “Sesungguhnya tidak ada hukum bagi akal,”46 karena kemustahilan adanya kemampuan akal untuk untuk mengeluarkan hukum atas perkara yang tidak terindra (diluar jangkauan akal).
            Dengan demikian, akal tidak ada kecuali pada manusia.Dan aktifitas akal (berfikir) tidak mungkin dilakukan kecuali oleh manusia. Karena aktifitas berfikir tidak akan sempurna kecuali dengan memenuhi empat element yaitu:
1. Penginderaan
2. Fakta (obyek)
3. Pengetahuan atau informasi sebelumnya yang berkaitan dengan fakta (al-ma’lumat as-Sabiqah)
4. Otak yang sehat
              Penginderaan merupakan bagian penting dari unsur-unsur akal.Jika manusia tidak bisa mengindera sesuatu maka tidak mungkin akalnya mengeluarkan hukum atas sesuatu itu. Karena akal terbatas hukumnya atas asyya’ (sesuatu) dan af’al (perbuatan)yang keberadaanya terindera.Seandainya tidak ada penginderaan suatu obyek (fakta) maka tidak akan terwujud pemikiran apapun dan tidak di jumpai adnya tafkir (aktifitas berfikir)
              Masyarakat yang rendah (terbelakang) harus mengindera kemunduran dan kemerosotannya hingga tercapai hukum dari akal bahwa mereka adlah masyarakat yang terpuruk.Hal ini merupakan perkara yang sifatnya fisikal (madiyyun).
              Sesuatu yang menciderai kemuliaan, harus ada penginderaan atas cidera yang terjadi atau penginderaan sesuatu atau perbuatan itu menciderai kehormatan, hingga tercapai hukum bahwa telah terjadi pencederaan.Yang demikian ini merupakan perkara yang bersifat maknawi.
              Supaya akal dapat mengeluarkan hukum atas suatu perbuatan atau suatu materi maka harus terjadi transformasi hasil penginderaanya terhadap suatu perbuatan atau sesuatu materi  (ke otak).Maka perkara yang tidak terindera , berada di luar pembicaraan kemampuan akal untuk mengeluarkan hukum (interprestasi) baginya.
              Dan objek pembahasan disini dimaksudkan untuk  menjauhkan akal dari wilayah kemampuan mengeluarkan hukum, dan bahwa akal adalah al-hakim dan pemilik kedaulatan dalam hal demikian,yaitu menghukumi perbuatan-perbuatn dari sisi pujian dan atasnya di dunia,pahala dan siksa atasnya di akhirat.
              Dengan melihat penjelasan di atas,jelas sekali kelemahan akal dalam wewenang menentukan hukum, dengan memanfaatkan kemampuan akal atas hal tersebut secara mutlak.Karena keberadaan suatu ke dzaliman apakah termasuk apa-apa yang dipuji atau yang di cela merupakan perkara yang tidak bisa di jangkau indera manusia karena hal itu bukan merupakan  perkara yang dapat di indera sehingga tidak mungkin akal memikirkan karenanya akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baginya,yakni terpuji tercelany kezaaliman, sekalipun manusia merasakan dengan fitrahnya bahaya dari kezaliman,atau kecenderungan kepadanya.Akan tetapi dengan perasan saja, tidak bermanfaat apa-apa dalam pengeluaran hukum asya’ oleh akal.Namun harus ada penginderaan. Dengan demikian akal tidak mungkin mengeluarkan hukum atas perbuatan itu dari aspek terpuji dan tercela. Dari sini tidak akal tidak boleh mengeluarkan hukum atas perbuatan dari aspek pujian dan celaan, karena akal tidak bisa menjangkaunya dan mustahil mengeluarkan hukum atasny.47

Aspek Kedua, Ketundukan Hukum-Hukum Akal Pada Kecenderungan Yang Fitri (Alami)
            Sebagai mana akal kita tidak boleh mengeluarkan hukum sesuatu yang dia tidak mampu menginderanya, akal juga tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan kecenderungan fitriyahnya. Karena fakta kecenderungan fitriyah, ia mengeluarkan hukum terpuji hanya dengan apa-apa yang sesuai dengannya saja, dan hanya akan mencdla apa-apa yang bertentangan dengannya. Dengan melihat tingkah laku secara umum, banyak manusia yang terjatuh dalam perbuatan seperti zina, homoseksual, membunuh mencuri dan meminum kharm (miras). Kadang kadang perbuatan seperti zina sesuai dengan kecenderungan alami manusia, lalu ia akan menghukuminya sebagai sesuatu yang terpuji,padahal sejatinya perbuatan itu adalah suatu yang tercela. Kadang kadang perbuatan itu bertentangan dengan kecenderungan fithriyyah (alami) manusia, diantaranya perbuatan perbuatan terpuji seperti perbuatan membunuh di waktu peranh, sabar terhadap perkara yang tidak disukai, dan berkata haq (benar) dalam kondisi yang bisa menghantarkan pada bahaya atau siksaan yang pedih.
            Menjadikan hukum bergantung pada kecenderungan fitri (alami) dan hawa nafsu, berate menjadikan kecenderungan fitriyah (alami) dan hawa nafsu itu sebagai standart bagu pujian dan celaan. Hal ini merupakan standart yang salah serta pasti, dan menjadikan hukum baginya adalah sebuah kesalahan secara pasti, dan menjadikan hukum baginya adalah sebuah kesalahan yang besar, karena menjadikan hukum bertentangan dengan faktanya.
            Dan akal disini tidak jauh dari ketundukan terhadap pengaruh kecenderungan fitriyah (alami), hawa nafsu, kecintaan dan syahwat. Hai itu mempengaruhi akal ketika berfikir sehingga akal akan mengeluarkan hukum atas perbuatan atau sesuatu berdasarkan anggapan bahwa hal tersebut dapat merealitasikan dorongan kecenderungan fitriyah (alami)-nya. Sehingga akal mengeluarkan hukum berupa pujian terhadap perkara yang tercela, mengeluarkan celaan terhadap perkara yang terpuji.Dikarenakan semua itu, maka akal tidak mungkin menjadi al-hakim (yang membuat hukum), sehingga jelaslah bahwa al-hakim haruslah pihak selain akal.


Aspek Ketiga, Perbedaan Hukum Karena Pembedaa Waktu Dan Individu
           
            Ketetapan bahwa akal adalah pemilik kedaulatan dan dia adalah al-hakim. Berarti ketetapan adalah benar bahwa suatu perbuatan pada satu waktu dihukum dengan pujian (terpuji), kemudian pada waktu yang lain dihukumi dengan celaan (tercela). Juga merupakan ketetapan bahwa suatu perbuatan dihukumi dengan pujian oleh Zayd dan celaan dari Amru adalah benar.
            Karena jika manusia dibenarkan menentukan hukum atas perbuatan, dari aspek pujian dan celaan, maka hukum akan berbeda beda sering perbedaan indifidu dan waktu. Manusia tidak mampu menetapkan hukun yang bersifat tetam.Karena dalam hukum dari aspek ini (celaan dan pujian serta akibat yang ditimbulkan dari aspek pahala dan siksa), maka hal itu tidak masuk dalam jangkauan akal manusia.
            Suatu yang terjangkau oleh indra, yang tidak ada dua orang manusia pun yang berselisih, bahwa manusia pada suatu hari menghukumi suatu materi yang terpuji, kemudian pada hari lain ia menghukuminya sebagai yang tercela. Dengan demikian hukum atas suatu perkara menjadi berbeda beda (berubah ubah), hukum menjadi tidak konsisten, dan hal ini akan mengantarkan pada kesalahan hukum.48
            Perundang undangan manusia yang lahir dari lembaga Domokrasi, bukan hukum yang konsisten (tetap).Didalam teks teksnya tidak terdapat sifat boleh secara mutlak, atau larangan secara mutlak.Khususnya yang berkaitan dengan hak hak dan kewajiban kewajiban individu, serta tanggung jawab pribadi. Semua itu tidak lain karena dibangun berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan pragmatis yang berkembang. Sebagaimana yang diketahui secara umum, kemaslahatan dan kebutuhan, berubah dan berganti berdasarkan perubahan kondisi dan keadaan.Tidak asing dalam sejarah perundang undangan manusia, bagian akhir suatu ketetapan hukum menentang pada bagian awalnya pada rinciannya. Dan tidak asing perkara yang dibenci berubah menjadi perkara yang disukai untuk dilakukan, dan perkara yang berbahaya dan dibenci menjadi suatu yang mubah (boleh) dan suatu yang mulia dianggap keji dan berubah menjadi suatu yang biasa.49
                  Oleh kerena itu, gugurlah semua anggapan yang ada dalam ucapan Abraham Lincoln dimana dia bertanya ; kenapa kita tidak mempunyai secara penuh (total) dalam keadilan yang tinggi dalam pemerintahan (hukum) rakyat?50
            Kita ingat perkataan Napoleon Bona Parte51: ‘sesungguhnya undang-undang yang paling agung adalah undang-undang produk zaman”52 dengan mengambil pelajaran, bahwa zaman adalah bak factor yang tajam yang dengannya manusia dalam segenap peristiwanya memandang kepada sesuatu, maka pandangannya itu berubah ubah sesuai zaman. Apa yang dibuat oleh zaman tidak mungkin menjadi suatu yang tetap atau pasti. Ia tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang paling rendah sekalipun dikarenakan anggapan tercapainya keadilan yang egaliter bagi hukum rakyat. Karena karakteristik rakyat berpengaruh oleh kecenderungan dan hawa nafsu yang mengikuti kemaslahatan nya. Oleh karena itu pendapat bahwa “falsafah Demokrasi tegak berdasarkan atas keimanan akan karakteristik kemanusiaan dan keimanan akan kemampuan individu yang alami untuk berinan kepada kebenaran kebenaran dan mengambil hukumnya ketika ditawarkan kepadanya suatu tawaran yang benardan memuaskan,53 (adalah batil) karena apa yang sekarang memuaskan, besok akan terjadi suatu yang tertolak. Apa yang hari ini menjadi hakikat(kebenaran) yang dapat diterima, besok akan berubah sebaliknya. Dan generasi yang akan datang akan menolaknya dan melaknatnya. Demikianlah perjalanan sejak alam menciptakanya, sehingga bisa di tambatkan jangkarnya.54 Karena akal tidak layak menjadi hakim (yang membuat hukum), dalam keadaan apapun, sebab akal tidak mampu untuk itu dan tidak akan pernah mampu. (bersambung)

Tidak ada komentar: