Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru
Khilafah
7:48 AM
Muhammad Bajuri
Islam adalah agama yang paling sempurna. Kesempurnaan Islam ini tampak jelas dari syariah yang dibawanya. Syariah Islam tidak hanya berisi fikrah (konsep) tetapi jugatharîqah (metode penerapannya). Sehingga, ketika syara’ mewajibkan umat Islam mengangkat seorang Khalifah, maka syara’ juga menetapkan tharîqah baku yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan Khalifah.
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 34 tentang prosedur hingga terjadinya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah baru, yang berbunyi: “Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat.Adapun
tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat Khalifah adalah sebagai
berikut: (a) Mahkamah Mazhalim mengumumkan kosongnya jabatan Khilafah;
(b) Amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu
pencalonan seketika itu; (c) Penerimaan pencalonan para calon yang
memenuhi syarat-syarat in’iqad dan penolakan mereka yang tidak memenuhi
syarat-syarat in’iqad yang ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim; (d) Para
calon yang pencalonannya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan
pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali
pembatasan. Pertama, dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak; (e) Nama kedua calon terpilih diumumkan.Kaum
Muslim diminta untuk memilih satu dari keduanya; (f) Hasil pemilihan
diumumkan, dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapat suara
lebih banyak; (g) Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat
suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; (h) Setelah proses baiat selesai,
Khalifah kaum Muslim diumumkan ke seluruh penjuru sehingga sampai kepada
umat seluruhnya. Pengumuman
itu disertai penyebutan nama Khalifah dan bahwa ia telah memenuhi
sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat Khilafah; dan (i)
Setelah proses pengangkatan Khalifah yang baru selesai, masa jabatan
amir sementara berakhir.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 137-138).
Baiat Tharîqah Baku Pengangkatan Khalifah
Terkait dengan baiat sebagai tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah, sangat jelas dari baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw. Sebab, baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw, bukan baiat atas kenabian, melainkan baiat atas kekuasaan. Jadi,
Rasulullah Saw itu dibaiat adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang
penguasa, bukan sebagai Nabi dan Rasul, karena pengakuan atas kenabian
dan kerasulan itu adalah keimanan bukan baiat; juga perintah Rasulullah
Saw kepada kami agar membaiat seorang Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.139).
Dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ
نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ
لاَئِمٍ»
“Kami telah membai’at Rasulullah Saw. untuk
setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang
kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami tidak merebut
kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau
mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena
Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.” (HR. Bukhari).
Dan juga sabdanya:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Siapa
saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiah (kepada
khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa), seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Nash-nash tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah adalah baiat. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 140).
Sehubungan dengan hal ini, Imam an-Nawawi berkata: “Akad khilafah itu dinyatakan sah hanya dengan baiat.” (An-Nawawi, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, VII/390).
Prosedur Pembaiatan Khalifah
Di saat jabatan Khilafah kosong—karena
wafatnya atau dipecatnya seorang Khalifah—, maka Mahkamah Mazhalim
mengumumkan tentang kosongnya jabatan Khilafah.Dan
seketika itu pula amir sementara—yang tugas pokoknya adalah
melangsungkan pemilihan Khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari—mulai
melaksanakan tugasnya serta mengumumkan dibukanya pintu pencalonan. Kemudian Mahkamah Mazhalim memverifikasi para calon untuk menetapkan siapa-siapa dari mereka yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad dan yang tidak. Selanjutnya
dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, dan diumumkan
kepada masyarakat untuk memilih salah satu dari keduanya.
Prosedur tersebut dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali—semoga Allah meridhai mereka semua. Sementara terkait pembatasan hingga menjadi dua calon saja, maka hal itu terlihat jelas dalam mekanisme pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin. Di Saqifah bani Saidah calonnya adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Sa’ad bin Ubadah. Namun Umar dan Abu Ubaidah mengundurkan diri karena merasa tidak level bersaing dengan Abu Bakar. Sehingga praktis calonnya tinggal dua, yaitu Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahlul hall wal ‘aqd di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), dan keesokan harinya baiat taat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
Ibnu Qutaibah berkata: “Pada hari yang sama ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar dibaiat—sebagai baiat ‘iniqâd—di
Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj, kemudian besoknya, pada
hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat (Ibnu
Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 74).
Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai Khalifah bagi kaum Muslim, dan tidak ada calon lain selain beliau. Dengan kata lain, Umar ketika itu merupakan calon tunggal.Kemudian kaum Muslim membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), lalu baiat taat.
Sementara Umar mencalonkan enam orang dan membatasi mereka saja untuk dipilih di antara mereka menjadi Khalifah. Kemudian
Abdurrahman bin Auf berdiskusi dan menanyakan lima orang lainnya, siapa
di antara mereka yang lebih pantas menjadi Khalifah, hasilnya
ditetapkan dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Setelah itu dilakukanpolling (pemungutan suara), dan Utsman pun diangkat menjadi Khalifah.
Sedangkan Ali, maka beliau merupakan calon tunggal, karena tidak ada calon lain selain beliau untuk jabatan Khilafah. Kemudian mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya, sehingga beliau menjadi Khalifah yang keempat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 142-143; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm.31-32).
Dengan demikian, beberapa perkara
berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan Khalifah setelah
kosongnya jabatan Khilafah, baik karena Khalifah sebelumnya meninggal
atau dipecat, yaitu:
- Aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan sepanjang malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.
- Seleksi para calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
- Pembatasan jumlah calon yang telah memenuhi kelayakan dilakukan dua kali:Pertama, dibatasi sebanyak enam orang. Kedua, dibatasi menjadi dua orang. Sementara pihak yang melakukan dua kali pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan calon sebanyak enam orang.Keenam orang itu kemudian mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman. Setelah melalui diskusi, kemudian Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua orang. Rujukan atas semua ini, seperti yang sudah dijelaskan, adalah umat atau pihak yang mewakilinya.
- Setelah selesainya pemilu dan pembaiatan, maka diumumkan kepada seluruh rakyat, orang yang telah menjadi Khalifah kaum Muslim, sehingga berita pengangkatannya sampai pada seluruh umat, dengan menyebutkan namanya, dan sifat-sifat yang dimilikinya yang menjadikannya layak untuk menduduki jabatan Khilafah.
- Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan Khalifah.Sebab kepemimpinan Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 145; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 34).
Untuk Fakta Sekarang
Prosedur di atas adalah apabila telah
ada Khalifah, lalu Khalifahnya meninggal atau dipecat, dan hendak
mengangkat Khalifah baru untuk menggantikannya. Namun
apabila belum ada Khalifah sama sekali, sementara kaum Muslim wajib
mengangkat Khalifah untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah ke
seluruh penjuru dunia, seperti halnya sekarang, sejak dihapusnya
institusi negara Khilafah pada tanggal 28 Rajab 1342 H, yang bertepatan
dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum kafir
najis, Inggris—, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam berhak
untuk membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah. Apabila
suatu negeri telah membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah, maka
kaum Muslim yang berada di negeri-negeri lainnya wajib membaiatnya
dengan baiat taat, yakni baiat ketundukan. Syaratnya bahwa negeri itu telah memenuhi empat perkara berikut:
- Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh,sulthân[an] dzâtiy[an]), yang hanya bersandar kepada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang (negara) kafir.
- Keamanan kaum Muslim di daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan daerah atau negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
- Negeri itu harus memulai penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus) dan menyeluruh, serta langsung melakukan tugas mengemban dakwah Islam.
- Khalifah yang dibaiat harus telah memenuhi syarat-syarat in’iqad (legalitas Khilafah), meskipun belum memenuhi syarat afdhaliyah (keutamaan), sebab yang wajib dipenuhi hanyalah syarat-syarat in’iqad (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 146; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 35; Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm.25).
Dengan demikian, apabila suatu negeri
telah memenuhi empat syarat tersebut, dan penduduk negeri itu telah
membaiat khalifah sesuai ketentuan syara’, maka khilafah benar-benar
telah terwujud, dan selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain.Apabila ada negeri lain yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak sah. Rasulullah saw bersabda:
« إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا »
“Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya.” (HR. Muslim).
Jadi, apabila khilafah telah tegak di
suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim
di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji khilafah dan membaiat
khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26). WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar