Memanfaatkan Model Wanita
Halaqoh Online,
Kajian Umum Online
4:05 PM
Syara'
membolehkan wanita untuk bekerja, namun tidak semua pekerjaan boleh
dilakukan oleh wanita. Kaum wanita boleh bekerja dan mencari nafkah dari
kecakapan atau keterampilan yang dia miliki, baik kemampuan fisik
maupun non-fisik. Mereka boleh menjadi guru, juru masak, laboran,
programmer, juru tulis, tukang jahit, dll., asalkan semua profesi itu
tetap dilakukan di atas rel hukum syara' yang mengatur mereka sebagai
wanita.
Hanya
saja, Islam melarang mereka untuk menebar pesona kepada pria manapun
kecuali suami. Dengan kata lain, Islam mengharamkan setiap usaha kaum
Hawa untuk menonjolkan dan menunjukkan sisi-sisi "menarik" pada diri
mereka kepada pria asing. Aktivitas tebar pesona inilah yang oleh bahasa
dan syara' disebut tabarruj. Dikatakan : tabarrajat al-mar’ah (seorang
wanita bertabarruj) artinya adzharat zînatahâ wa mahâsinahâ li al-ajânib
(wanita itu memamerkan perhiasan dan kecantikannya kepada pria asing
–bukan mahram-nya–)[1].
Tabarruj
dilakukan oleh seorang wanita melalui penampilan yang tidak biasa
ditampilkan oleh umumnya wanita dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan
pakaian, perhiasan, riasan maupun gerakkan tertentu dengan maksud
menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang cukup menarik/cantik ketika
dilihat oleh kaum pria. Dalam tradisi kita, kaum wanita kompak untuk
berlomba tampil cantik dengan memakai pakaian dan riasan wajah tertentu
ketika berangkat ke pesta, dimana pakaian dan riasan seperti itu secara
umum tidak biasa ditampilkan pada hari-hari lain. Inilah tabarruj.
Jika
tabarruj/memamerkan kecantikan saja dilarang, maka –dalam Islam- tidak
ada ruang bagi kaum Hawa untuk mengkomersialkan kecantikan mereka.
Mereka tidak boleh berkecimpung dalam profesi yang tidak memperkerjakan
kemampuan dan keterampilan, tapi sekedar mengeksploitasi kecantikan dan
kewanitaan. Dengan kata lain, mereka tidak boleh digaji karena keindahan
rambut, tubuh, gaya, lenggak-lenggok, senyuman, wajah, pakaian, suara
yang menggoda, dan sebagainya. Semua itu haram untuk dikomersialkan, dan
haram hukumnya menyewa seluruh "asset" mereka yang seperti itu.
Taqiyuddiin An Nabhani dalam kitab An Nidzom Al Ijtima'iy menyatakan:
"Islam
melarang pria dan wanita untuk terjun dalam segala bentuk profesi yang
membahayakan akhlak atau yang dapat merusak masyarakat. Maka dari itu
wanita tidak boleh berkecimpung dalam segala bentuk pekerjaan yang
bermaksud untuk "memperkerjakan" aspek kewanitaan (feminitas).
Diriwayatkan
dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan: “Nabi SAW telah melarang kami
dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan
kedua tangannya. Beliau bersabda, “begini (dia kerjakan) dengan
jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR
Ahmad).
Dengan
demikian, seorang wanita dilarang untuk bekerja di toko sekedar untuk
menarik pelanggan atau bekerja di kantor-kantor diplomatik, konsulat dan
yang sejenisnya dengan maksud untuk memanfaatkan unsur kewanitaannya
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politik. Wanita juga dilarang
bekerja sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang dan
pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mengeksploitasi unsur
kewanitaannya"[2]. (akhir kutipan)
Saat
ini, wanita banyak dibayar sebagai model untuk mempromosikan berbagai
produk, mulai dari oli sampai jilbab. Gambar mereka terpampang di
pinggir-pinggir jalan sampai di internet. Dalam tinjauan syara', menjadi
model dalam iklan-iklan tersebut tidaklah haram bagi seorang wanita
jika gambarnya tidak mengekspose aspek kecantikannya. Sebagai contoh,
gambar ibu-ibu yang sedang memasak dengan gaya, dandanan dan pakaian
yang wajar layaknya muslimah biasa yang sedang masak, atau gambar petani
wanita yang sedang memetik jagung di ladang dengan penampilan layaknya
petani muslimah biasa yang sedang di ladang.
Namun,
banyak kita jumpai iklan produk yang sengaja menampilkan sisi menarik
wanita, seperti menampilkan wanita cantik dengan pakaian yang indah,
senyum yang manis, dan gaya yang menawan. Kebanyakkan poster iklan
menampilkan model wanita dengan kondisi seperti itu. Bahkan, promosi
jilbab sekalipun, sering memilih wanita yang memiliki postur, proporsi
tubuh, wajah, warna kulit dan senyum yang "layak tonton". Tujuannya,
jilbab akan tampak menarik ketika ia dipasang pada model yang menarik
pula. Padahal, jilbab adalah pakaian syar'i bagi wanita untuk dipakai di
kehidupan umum, bukan perhiasan, bukan sarana penarik perhatian, bukan
alat untuk memaksimalkan kecantikan. Jika jilbab digunakan untuk
mempercantik diri dalam kehidupan umum, maka jilbab justru menjadi
sarana tabarruj itu sendiri.
Maka
dari itu, mengupah dan mengambil upah untuk penampilan seperti itu
adalah haram. Sebab, menampilkan wanita dalam keadaan demikian jelas
tergolong mengeksploitasi sisi-sisi menarik yang ada pada diri wanita.
Nuansa pemanfaatan "aspek menarik" pada wanita itu kental sekali dalam
menampilkan model-model tersebut. Jika mereka tidak ingin memanfaatkan
sisi kecantikan wanita dalam gambar itu, tentu mereka akan cukup
menampilkan foto jilbab tanpa model yang berpose lengkap dengan
senyumannya. Wallahu a'lam
[1] An Nabhani, An Nidzom Al ijtima'iy, hal. 105
[2] An Nabhani, An Nidzom Al ijtima'iy, hal. 106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar