Rabu, 18 Desember 2013

Hukum gadai emas

Hukum Gadai Emas October 7th, 2011 by kafi Tanya : apa hukumnya gadai emas? Jawab : Gadai emas adalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap (uqud murakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. (lihat Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas). Menurut kami gadai emas haram hukumnya, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut : Pertama, dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/341). Imam Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba. (Al-Ijma’, hlm. 39). Kedua, dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan dibebankan kepada penggadai (rahin), yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW,”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i). Menurut Imam Syaukani, hadits tersebut menunjukkan pihak yang menanggung biaya barang jaminan adalah murtahin (penerima gadai), bukan rahin (penggadai). Alasannya, bagaimana mungkin biayanya ditanggung rahin, karena justru rahin itulah yang memiliki barang jaminan. Jadi, menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian bahwa jika faidah-faidah terkait dengan kepentingan murtahin, seperti penitipan (wadi’ah) barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanya adalah murtahin, bukan rahin. (Imam Syaukani, As-Sailul Jarar, hlm. 275-276). Ketiga, dalam gadai emas terjadi akad rangkap, yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Bagi kami akad rangkap tidak boleh menurut syara’, mengingat terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata,”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengomentari hadits Ahmad tersebut,”Para periwayat hadits ini adalah orang-orang kepercayaan (rijaluhu tsiqat).” Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah. (Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/308). Memang sebagian ulama telah membolehkan akad rangkap. Namun perlu kami sampaikan, ulama yang membolehkan pun, telah mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang bersifat non komersial (seperti qardh atau rahn) dengan akad yang komersial (seperti ijarah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24). Berdasarkan tiga alasan tersebut, gadai emas haram hukumnya. Kami tegaskan pula, fatwa DSN MUI mengenai gadai emas menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan oleh kaum muslimin. Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawie) Baca juga : Hukum Gadai Syariah Hukum Memanfaatkan Barang Gadai (Rahn) Hukum Jual Beli Mata Uang Asing Soal Jawab: Menjual Harta dengan Manfaat Hukum Membawa Id Card Dengan Lafal Allah ke Dalam Toilet Posted in Tsaqofah | 9 comments Previous post: 773 Warga Kebumen Alami Gangguan Jiwa Karena Kemiskinan Next post: Kewajiban Mengoreksi Penguasa 9 comments on this post. mr. jack: October 9th, 2011 at 21:34 astaghfirulloh. ternyata kita harus lebih berhati-hati dalam bermuamalah. jangan sampai kita bersikukuh bahwa selama ini kita beraktifitas halal padahal ada ulama yang berijtihad dan mengindikasikan unsur keharaman. semoga allah swt memberi kita petunjuk seterang-terangnya dan membalas amal sholeh ustad shidiq. amin. mr. jack: October 9th, 2011 at 21:39 assalaamu’alaikum ustadz shidiq. ana dengar antum sedang sakit. semoga alloh swt segera memberi kesembuhan dan selalu diberi kebaikan. amin. tadz mohon dibahas bagaimana cara mengelola tanah kas desa yang terbengkalai agar bisa dikelola secara hala. disewa untuk lahan pertanian tidak boleh. bagaimana usaha kerja sama biar syar’i? syukran. ummu Rifat: October 11th, 2011 at 11:39 Jika melihat fakta di lapangan…bukan itu saja…produk Gadai Emas di kebanyakan Bank Syariah menjebak kita pada transaksi “jual beli emas secara kredit”….karena kebanyakan nasabah awalnya “belum punya emas”. audi hidayatullah: October 12th, 2011 at 12:28 Ass..saya mau tanya, kalo kepemilikan logam mulia(KLM) yang dijual bank2 syariah dengan sistem kredit itu halal tidak ustad??syukron atas telaahannya herman: October 18th, 2011 at 09:32 ya Allah Astagfirrlh…..trnyata slama ini salah,,,,,ampuni hamba ya Allah adhiba1924: October 22nd, 2011 at 18:45 herannya knp MUI ato lmbaga islam kbanyakan *adem ayem* saja menyikapi hal ini??? shg sdh byk trjadi prakteknya di bank yg berlabel syariah..*miris liat umat islam yg merasa tdk brdosa mlakukan rekayasa hukum,, haram jd halal- halal jd haram* aku: November 17th, 2011 at 01:44 assalamu’alaikum… mendengar enjelasan diatas ada yang saya mau tanyakan… terkait dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin… lalu bagaimana dengan tukang kredit yang menjual barang dagangannya dgn cara kredit / mengangsur… dengan membayar perhari… apabila gadai emas itu memang haram… apakah dari ust. pernah ke MUI untuk mendiskusikannya.. dan apa hasilnya… mohon disharing… rasanyarasa: February 1st, 2012 at 10:06 Ustadz, saya jadi kefikiran tentang dana talangan haji bank syariah nih. saya pakai contoh BSM. kan prinsipnya sama, BSM memberikan kita hutang (dana talangan) sejumlah 22.5jt, lalu kita membayar ujroh selama 3 tahun. nah bagaimana nih Ust. apakah termasuk haram juga kah? Gandung: May 20th, 2012 at 21:16 assllamualaikum wr wb,, lPada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yangmenggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut,kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka bolehmenggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaanbarang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan danmemperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu alaihi wa sallam Hewan yangdikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan.Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayatAt-Tirmidzi Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepadapemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecualipada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerimagadai. [Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477]. Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hakpihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpaseizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainyatanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berartipeminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraanatau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuaibesarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengansebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabiladigadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi nafkah [HR Al Bukhorino. 2512] Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyahmereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalahhak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Ia yang berhakmemanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya [HR Al daraquthni dan Al Hakim Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai,bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syariat menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah.Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnyasebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperassusunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas)dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahinmengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi(hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah,maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam4/462]. PAK USTAD DEMIKIAN KETERANGAN YANG SAYA PEROLEH ,,,MOHON PENJELASANYA ,, SEPERTINYA TERLETAK PERBEDAAN PENDAPAT MENGENAI BIAYA PEMELIHARAAN BARANG JAMINAN ( MARHUN BIH )APAKAH MENJADI TANGGUNGAN ROHIN ATAU MURTAHIN . Mohon penjelasanya .,., wasslamu alaikum , wr wb Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Hukum memerankan seseorang

Soal Jawab: Bolehkah Memerankan Seseorang yang Lain dalam Ucapan dan Perbuatan December 15th, 2013 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم Jawab Soal   Pertanyaan: Bolehkah aktor/pemain sinema atau pentas menjelma menjadi (memerankan) seseorang yang lain dalam ucapan dan perbuatan mereka? Apakah hukum yang sama berlaku pada orang-orang yang berbicara di gambar animasi atas nama mainan (boneka) dan hewan?   Jawab: Berkaitan dengan aktor/pemain di sinema dan di pentas, mereka menjelma menjadi (memerankan) orang lain dan berbicara ucapan orang yang mereka perankan. Maka melalui lisan pemain itu terjadilah ucapan orang yang diperankan tersebut dan ini termasuk dalam kebohongan. Hingga jika dituntut untuk bersumpah atas nama seseorang itu, ia (pemain itu) lakukan. Bahkan lebih dari itu melalui lisan pemain itu berlangsung talak, jika seseorang itu menjatuhkan talak … Semua itu haram, sebab berbohong adalah haram. Seorang manusia itu dimintai pertanggungjawaban atas sumpahnya, talaknya dan semua ucapannya. Tidak bisa dikatakan bahwa dia hanya memerankan peran saja, akan tetapi apa yang dia ucapkan dengan pilihan dia (tanpa paksaan) maka dia diminta pertanggungjawaban atasnya … ﴿مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ﴾ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (TQS Qaf [50]: 18)   Adapun pada gambar bergerak (animasi) untuk anak-anak, maka aktor berbicara atas nama mainan (boneka) atau hewan atau semacam itu untuk anak-anak. Dan ini saya pandang sebagai hal mubah tidak ada dosa atasnya. Sebab aktor itu tidak berbicara ucapan manusia yang dia perankan. Akan tetapi ia berbicara atas nama mainan dan hewan untuk anak-anak. Dan jelas bahwa mainan (boneka) dan hewan itu tidak berbicara. Sehingga fakta berbohong di sini tidak berlaku. Akan tetapi merupakan hiburan untuk anak-anak seperti hiburan mereka dengan mainan (boneka) …   18 Ramadhan 1434 H 27 Juli 2013 M Baca juga : Soal Jawab Tentang Mahar dan Lain-lain Jawab Soal seputar “Haji Orang Yang Sudah Lanjut Usia” dan “Haqîqah dan al-Majâz” Soal Jawab: Bolehkah Hudud Dilaksanakan oleh Kelompok atau Individu? Jawab Soal Seputar Parfum yang Mengandung Alkohol Jawab Soal Seputar Ikut Serta dalam Jaminan Sosial Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: JICMI 2013: Pertanyaan Melalui SMS Next post: Analis Keuangan University of Wales: “Model Ekonomi Kapitalisme Rentan Krisis” Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Kebijakan Khilafah mengembalikan kepemilikan publik

Kebijakan Khilafah Mengembalikan Kepemilikan Publik dan Negara November 26th, 2013 by kafi Oleh: Hafidz Abdurrahman Di antara masalah yang dihadapi negeri-negeri kaum Muslim saat ini, termasuk Indonesia, adalah privatisasi aset publik atau negara. Karena, para penguasa negeri-negeri kaum Muslim itu adalah boneka negara-negara kafir penjajah. Karena ulah merekalah, maka banyak aset publik dan negara jatuh ke tangan individu, baik asing maupun lokal. Sebut saja, jatuhnya Indosat ke tangan Singapura, tambang emas di Papua ke tangan Freeport McMoran, dan masih banyak yang lainnya. Selain privatisasi aset publik dan negara ini hukumnya haram, karena kepemilikan terhadap masing-masing aset ini telah ditetapkan oleh Allah; kepemilikan umum sebagai hak publik, dan kepemilikan negara sebagai hak negara. Kepemilikan ini tidak boleh diubah, kecuali dengan izin yang diberikan oleh hukum syara’. Selain itu, keharaman privatisasi ini juga datang dari aspek, bahwa penguasaan asing terhadap aset ekonomi suatu negeri, khususnya negeri Muslim, bertujuan untuk mengokohkan penguasaan mereka terhadap negeri tersebut. Ini sama dengan membuka pintu bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim. Ini jelas haram (QS an-Nisa’ [04]: 141). Cara Khilafah Menormalisasi Karena itu, seluruh bentuk kebijakan seperti ini, begitu khilafah berdiri, akan dinyatakan batal demi hukum. Meski, kebijakan ini melibatkan individu atau negara lain. Karena kebijakan ini jelas telah melanggar hukum syara’. Selain itu, syarat-syarat yang ditetapkan dalam berbagai perjanjian ini merupakan syarat-syarat yang menyalahi hukum Islam. Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW bersabda: “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” (Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615) Dengan dibatalkannya kebijakan privatisasi ini, maka konsekuensinya, perusahaan publik atau negara yang dikuasai oleh individu, akan ditata ulang oleh khilafah berdasarkan hukum syara’. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak harus dibubarkan, tetapi cukup diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun pasti berubah, dari milik privat menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu yang berhak. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka. Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Karena bukan merupakan hak milik mereka, maka harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan privat tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan privat. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, setelah dibatalkan, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Dengan dinormalkannya kembali perusahaan publik dan negara berdasarkan hukum Islam, maka negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak dalam mengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika menyangkut layanan publik, tentu sangat penting sehingga tidak boleh berhenti. Misalnya, seperti PLN, Telkom, PAM, tol, dan lain-lain. Jika dengan pengembalian saham milik privat tadi menyebabkan perusahaan tidak berjalan, maka khilafah boleh saja untuk sementara tidak mengembalikan saham tersebut, tentu dengan kerelaan pemiliknya. Namun, jika bisa, dan terpaksa, maka khilafah bisa menyuntikkan dana dari sumber lain. Begitu seterusnya hingga layanan publik ini tidak terganggu. Jika sebelumnya perusahaan ini untung, sebagaimana kasus Indosat, Freeport, dan lain-lain, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya. Cara Khilafah Membersihkan Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah bagi partai, penguasa dan antek-anteknya. Mereka semuanya ini korup. Karena itu, khilafah juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara tersebut. Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut. Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut. Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya).” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403).  Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas. Maka, dengan cara seperti ini, seluruh aset umat ini akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali, karena bukan merupakan hak mereka. Begitulah, cara khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi.  Wallahu a’lam. (Tabloid Mediaumat edisi 116) Baca juga : Pakar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya: “Kedaulatan Negara Atas SDA Telah Hilang” Kebijakan Negara Khilafah Terhadap Spionase Negara Kafir Warga Karawang Antusias Ikuti Diskusi Publik Khilafah Sri Mulyani: Jual Beli Kebijakan, dan Pejabat Publik pun Tergelincir Muqaddimah ad Dustur (UUD Negara Khilafah) Pasal 2 : Pengertian Negara Islam dan Negara Kafir Posted in Seputar Khilafah | No comments Previous post: Geliat Keuangan Islam di Inggris, Komunitas Muslim Turut Menghidupkan Ekonomi Next post: Israel Siap Hancurkan Satu-satunya Masjid di Kota Nablus Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Mu'awin at-tafwidh

Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan (Mu‘âwin at-Tafwîdh) December 1st, 2013 by solihan Khalifah adalah pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia. Dengan jabatannya ini, ia memikul tanggung jawab yang sangat besar dalam mengurusi semua urusan umat. Sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan dan kekurangan, mustahil Khalifah mampu melaksanakan tanggung jawab yang sangat besar itu secara sempurna dengan seorang diri. Untuk itu, ia perlu mengangkat para pembantu (mu’âwin) dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Islam (Khilafah). Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 42, yang berbunyi: “Khalifah mengangkat seorang mu’âwin tafwîdh atau lebih. Ia bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan. Mu’âwin Tafwîdh diberi wewenang untuk mengatur berbagai urusan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Apabila Khalifah wafat, maka masa jabatan Mu’awin juga selesai. Dia tidak melanjutkan aktivitasnya kecuali selama masa jabatan amir sementara saja.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 172). Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan (Mu‘âwin at-Tafwîdh) Mu‘âwin adalah pembantu yang telah diangkat oleh Khalifah untuk membantu dia dalam mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas Kekhilafahan. Karena banyaknya tugas-tugas Kekhilafahan, khususnya ketika wilayah Negara Khilafah menjadi semakin besar dan bertambah luas, Khalifah akan berat untuk mengembannya seorang diri. Karena itu, ia membutuhkan orang yang dapat membantu dirinya dalam mengemban tanggung jawab dan tugas-tugas Kekhilafahan. Mu‘âwin yang diangkat oleh Khalifah untuk membantu melaksanakan tugas-tugas Khilafah tersebut ada dua yaitu: Mu‘âwin Tafwîdh (pembantu Khalifah bidang pemerintahan) dan Mu‘âwin Tanfîdz (pembantu Khalifah bidang administrasi). Imam al-Mawardi menyebut Mu‘âwin Tafwîdh tersebut dengan sebutan Wuzârah Tafwîdh. Al-Mawardi mendefinisikan: “Wuzârah Tafwîdh adalah orang yang diminta menjadi pembantu Imam untuk mengurusi berbagai urusan dengan pendapatnya serta memutuskan berdasarkan ijtihadnya.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 22). Adapun Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah wazîr yang ditunjuk oleh Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah mendelegasikan kepada dia pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melaksanakan tugasnya berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 130). Dengan demikian, Khalifah telah memberikan wewenang kepada Mu‘âwin at-Tafwîdh ini secara umum dan juga posisi untuk mewakili dirinya. Hanya saja, ia tetap harus melaporkan setiap tindakan yang sedang ia lakukan kepada Khalifah. Sebab, ia merupakan pembantu Khalifah dan bukan khalifah itu sendiri. Karena ia tidak mandiri secara penuh, maka semua yang ia lakukan, besar atau kecil, harus dilaporkan kepada Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 174). Dalil Kebolehan Mengangkat Mu’âwin Dalil kebolehan Khalifah mengangkat para pembantu (mu’âwin) adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. bersabda: وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ Dua wazir-ku dari (penduduk) bumi ini adalah Abu Bakar dan Umar. Hadis ini telah digunakan oleh para fuqâha’ (ahli fikih) secara umum serta diterima oleh kebanyakan mereka (sebagai dalil). Status hadis ini adalah hasan. Hadis ini menjadi dalil syariah bahwa Khalifah berhak untuk mengangkat dua pembantunya. Hadis di atas menggunakan kata wazîr dengan makna bahasa, yaitu mu’în (pembantu). Makna tersebut juga digunakan oleh al-Quran. Allah SWT berfirman: وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي Jadikanlah untukku seorang pembantu (wazîr) dari keluargaku (QS Thaha [20]: 29). Makna wazîr dalam ayat tersebut adalah pembantu, yakni mu’în (Al-Andalusi, Tafsîr al-Bahrul Muhîth, VI/224), atau mu’âwin (Al-Alusi, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani, XVI/184). Wizârah (para pembantu kepala negara) ini sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dipahami dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di atas. Hanya saja, Rasulullah saw. melakukan sendiri tugas-tugas pemerintahan, dan tidak ada satu nas pun yang menunjukkan bahwa beliau menyerahkan urusan pemerintahan kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra. (yang menjadi pembantu beliau ketika itu). Namun, dengan menjadikan keduanya sebagai wazir atau mu‘âwin, maka itu sudah menunjukkan bahwa beliau telah memberikan wewenang kepada keduanya untuk membantu beliau, yaitu masing-masing memiliki wewenang untuk melakukan tugas dalam bidang pemerintahan. Sepeninggal Rasulullah saw., Umar ra. diangkat sebagai wazir atau mu‘âwin Khalifah Abu Bakar ra. Ia melakukan tugas dalam pemerintahan sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah. Bahkan Umar  ra. tampak begitu menonjol hingga ada sebagian orang yang berkata kepada Abu Bakar ra., “Demi Allah, kami tidak tahu, engkau Khalifahnya atau Umar.” Setelah Umar ra. menjabat sebagai khalifah, Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib kw. menjadi dua orang mu‘âwin-nya. Hanya saja, keduanya tidak tampak melakukan tugas-tugas sebagai mu‘âwin terhadap Khalifah Umar ra. dalam berbagai urusan pemerintahan. Sebab, kepribadian Umar ra. begitu kuat sehingga kedudukan keduanya adalah seperti kedudukan Abu Bakar ra. dan Umar ra. bersama Rasulullah saw. Pada masa Khalifah Utsman ra., Ali ra. dan Marwan bin al-Hakam ra. menjadi dua mu‘âwin Utsman ra. Namun, Ali ra. agak menjauh karena ketidakridhaannya terhadap beberapa kebijakan Khalifah Utsman ra. Akan tetapi, Marwan bin al-Hakam ra. sangat menonjol perannya dalam membantu Khalifah Utsman ra. dalam berbagai aktivitas pemerintahan (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 56). Jelas bahwa Khalifah mengangkat wazir atau mu‘âwin untuk membantu menjalankan tugas-tugas pemerintahan, seperti yang terjadi pada Khulafah ar-Rasyidin, sekalipun dalam praktiknya berbeda satu sama lain. Dengan demikian, kata wazir itu bisa dipahami dari makna bahasa, yaitu mu’in al-khalifah (pembantu khalifah), yang membantu tugas-tugas Kekhilafahan. Pemakaian kata itu dalam bentuk mutlak, dan tidak dibatasi dengan konotasi tertentu, juga mengandung makna bahwa ia merupakan pembantu Khalifah dalam semua tugas-tugas Khilafah, tanpa dibatasi dengan tugas-tugas tertentu. Untuk itu, kata tersebut memiliki makna syariah, yaitu mu’awin al-khalifah (pembantu khalifah) dalam Kekhilafahan. Artinya, ia menjadi pembantu khalifah dalam setiap tugas-tugas Khilafah. Inilah yang bisa dipahami dari hadis di atas. Kemudian pemahaman ini diperkuat oleh praktik yang dilakukan Umar bin Khaththab ra. semasa Kekhilafahan Abu Bakar ra. Dengan demikian makna kata wazir tersebut merupakan makna syariah, yaitu orang yang membantu Khalifah dalam melaksanakan tugas-tugas Kekhilafahan. Mu’âwin memiliki wewenang seperti wewenang Khalifah. Bedanya, dia memperoleh wewenang tersebut tidak secara otomatis seperti Khalifah, melainkan karena adanya akad menjadi wazir yang diberikan kepada dirinya oleh Khalifah. Misal, kalau Khalifah berkata, “Aku mengangkat si Fulan untuk menjadi wazirku, atau menjadi mu’âwinku, atau untuk mewakili diriku,” dan sebagainya. Dengan ini ia telah memiliki semua wewenang Khalifah, karena ia telah menjadi wakilnya (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 174). Mu’awin Berbeda dengan Kabinet dalam Sistem Demokrasi Apa yang telah disebutkan di atas adalah fakta tentang mu’awin atau wazir secara syar’i. Fakta tersebut amat berbeda dengan wizârah (kabinet atau dewan menteri) dalam sistem demokrasi. Sebabnya, kabinet atau dewan menteri dalam sistem demokrasi merupakan pemerintahan. Kabinet tersebut adalah kumpulan individu yang menjalankan pemerintahan sebagai sebuah tim tertentu. Bagi mereka, pemerintahan itu merupakan kekuasaan kolektif, bukan tunggal (personal). Artinya, yang memimpin adalah tim (kolektif), bukan personal (tunggal). Oleh karena itu, yang berkuasa dan yang memiliki wewenang untuk memerintah adalah dewan menteri atau kabinet, yaitu kumpulan semua menteri, bukan satu menteri saja. Masing-masing menteri tersebut tidak ada yang memiliki kekuasaan (pemerintahan) secara mutlak. Semua wewenang pemerintahan tersebut hanya dimiliki oleh dewan menteri atau kabinet secara kolektif. Adapun seorang menteri hanya dikhususkan untuk mengurusi satu bidang pemerintahan, yakni ia hanya memiliki wewenang yang telah ditentukan untuk dirinya oleh dewan menteri atau kabinet secara tim (kolektif). Karena itu bidang yang tidak ditetapkan pada dirinya tetap menjadi wewenang kabinet atau dewan menteri, bukan dirinya. Islam tidak mengenal dewan menteri atau kabinet yang di tangannya ada kekuasaan secara kolektif (seperti dalam sistem demokrasi). Kepemimpinan dalam sistem Islam hanya milik Khalifah yang dibaiat oleh umat untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Kemudian Khalifah mengangkat para mu’âwin (wuzâra’ tafwîdh) dan memberi mereka wewenang secara umum dan posisi untuk mewakili Khalifah guna bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka ini adalah para wazir dalam pengertian bahasa, yakni para pembantu Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Dengan demikian, ada perbedaan yang amat tegas dan jelas antara konsep dan pemahaman kata wazir dalam sistem Islam dengan konsep dan pemahaman kata wazir dalam sistem demokrasi. Hanya saja, karena makna kata wazir yang dijelaskan oleh konsep dan pemahaman demokrasi itulah yang dipahami oleh banyak orang, maka saat kata tersebut digunakan pasti mengarah pada konsep dan pemahaman demokrasi. Oleh karena itu, dalam rangka menolak kontaminasi, serta untuk menentukan hanya makna syariah saja—yang seharusnya digunakan—maka tidak dibolehkan menyebut pembantu Khalifah dengan mempergunakan kata wazir atau wizârah (kabinet) secara mutlak tanpa disertai keterangan. Yang dibolehkan adalah menggunakan kata mu’âwin, karena kata itulah yang memiliki makna hakiki. Boleh memakai kata wazir atau wizârah (kabinet), namun harus disertai dengan keterangan (ketentuan) yang bisa memalingkannya dari makna dan pemahaman demokrasi, dan hanya mengarah pada makna dan pemahaman Islam saja, seperti menyebutnya dengan “wazir tafwîdh” (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 175). Pengangkatan dan Pemecatan Mu‘âwin Karena Mu‘âwin diangkat dan diberhetikan oleh Khalifah, maka pada saat Khalifah meninggal dunia, masa jabatannya berakhir; tugas-tugasnya tidak berlanjut kecuali selama masa amir sementara saja. Mu‘âwin memerlukan pengangkatan baru dari khalifah yang baru agar ia dapat melanjutkan tugas-tugasnya. Dalam kondisi tersebut, Mu‘âwin tidak memerlukan keputusan pemecatan dirinya. Ini karena jabatan mu‘âwin dalam pemerintahan otomatis berakhir saat Khalifah—yang telah menjadikan dirinya sebagai pembantu Khalifah—meninggal (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 175; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 63). WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri] Daftar Bacaan: Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani (Bairut: Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun. Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan I, 1993. Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005. Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkâm as-Sulthâniyah (Beirut: Dar al-Fikr), Cetalakan I, 1960. An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009. Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.     Baca juga : Khalifah Wakil Umat Dalam Pemerintahan Dan Penerapan Syariah Wewenang Khalifah Soal Jawab Seputar Penggunaan Lafazh Wazir dan Wuzarah di Daulah al-Islamiyah Pemberhentian Khalifah Khalifah Tunduk Pada Syariah Posted in Seputar Khilafah, Telaah Kitab | No comments Previous post: Dr. Arim Nasim: Rakyat Dizalimi Melalui APBN Next post: Penerapan Islam Secara Bertahap, Bolehkah? Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Cara khilafah mengatasi aids

Cara Khilafah Mengatasi Penyakit AIDS December 10th, 2013 by kafi Oleh: Hafidz Abdurrahman Penyakit AIDS merupakan jenis penyakit menular, yang disebabkan oleh virus mematikan, HIV. Virus ini awalnya diidap oleh mereka yang sering malakukan zina, atau gonta-ganti pasangan seks. Karena virus, maka virus ini bisa ditularkan kepada orang lain, baik pasangan seks pengidap virus tersebut, atau anak-anak yang lahir dari pasangan pengidap virus tersebut. Bahkan, kemudian virus tersebut bisa ditularkan melalui jarum suntik, infus dan sebagainya. Penularan virus ini pun mengalami percepatan berkali lipat. Anehnya, hingga kini virus dan penyakit ini belum ditemukan obatnya. Karena penyebaran virus yang mematikan ini begitu masif, banyak aktifis dan pemerintah hingga badan kesehatan dunia perlu melakukan berbagai tindakan nyata. Namun, alih-alih tindakan itu menghentikan, atau menyelesaikan perkembangbiakan virus dan penyakit ini, justru malah subur. Lihat saja, tindakan konyol dan gila yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, dengan program Pekan Kondom-nya. Dengan berbagai testimoni dari ahli zina, dari kalangan artis, yang dengan bangga mengatakan, mereka sudah biasa berzina, dan tidak terkena AIDS, karena selama ini memakai kondom. La haula wa la quwwata illa billah. Akar Masalah Virus dan penyakit mematikan ini, diakui atau tidak, sebenarnya bersumber dari kehidupan sosial yang salah. Free love, free sex, pergaulan bebas, prostitusi, baik yang dilokalisasi maupun liar, merupakan sumber utama perkembangbiakan penyakit ini. Pendek kata, semua ini terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan (nidzam ijtima’i) yang salah, yang merupakan turunan dari sistem kufur. Mestinya, fenomena ini menyadarkan kaum Muslim, bahwa solusi dari seluruh permasalahan ini adalah dengan kembali kepada sistem Islam. Sebagaimana firman Allah, “Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia, agar Dia (Allah) mencicipkan mereka (untuk merasakan) sebagian dari apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (kepada Allah).” (TQS ar-Rum [21]: 41) Dengan kembali kepada sistem Islam, maka tidak akan ada lagi pergaulan bebas di tengah-tengah kaum Muslim. Kehidupan antara pria dan wanita diatur sedemikian rupa. Mereka dilarang berkhalwat, berduaan pria dan wanita yang bukan mahram, termasuk berpacaran. Bukan hanya melarang berkhalwat, Islam juga melarang kaum pria dan wanita melakukan ikhtilath (campur baur), kecuali dalam perkara yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual beli, haji-umrah, naik kendaraan umum dan belajar-mengajar, misalnya. Karena hukum asal kehidupan antara pria dan wanita itu memang terpisah secara total. Tidak hanya itu, kaum pria diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap kaum wanita, sehingga terhindar dari memandang lawan jenis dengan dorongan syahwat. Demikian sebaliknya. Islam pun melarang kaum perempuan melakukan tabarruj, berpenampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga berlaku bagi kaum pria. Islam juga melarang pria maupun wanita menampakkan auratnya di hadapan masing-masing. Semuanya ini merupakan ketentuan yang telah diatur oleh sistem Islam untuk membentuk masyarakat yang baik dan sehat. Jika semua ketentuan tersebut dijalankan, maka pintu perzinaan tertutup rapat. Karena itu, ketika ada orang yang melakukan zina, sanksi yang dijatuhkan kepadanya pun tegas dan keras. Karena dianggap nekad. Bagi yang sudah menikah (muhshan), dia dikenakan sanksi rajam, dilempari batu hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghairu muhshan), dia dikenai sanksi jild, dicambuk 1oo kali. Inilah sanksi yang tegas dan keras bagi pelaku zina. Adapun bagi mereka yang melakukan pelanggaran, meski tidak sampai kepada taraf berzina, seperti berkhalwat, ikhtilath, membuka aurat, ber-tabarruj, dan sebagainya, sekalipun tidak disebutkan sanksinya dengan jelas dan tegas, mereka tetap dikenakan sanksi. Bagi mereka sanksinya adalah ta’zir. Berat dan ringannya bisa dikembalikan kepada hakim, namun hakim bisa merujuk pada hukuman hudud, seperti dicambuk, dan atau dibuang, misalnya. Tindakan Khilafah Selain menerapkan hukum dan sanksi yang tegas dan keras di atas, baik untuk mencegah maupun menangani mereka yang terbukti melakukan pelanggaran, khilafah juga akan melakukan tindakan lain. Khususnya yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS dan penyebarannya. Bagi mereka yang mengidap virus HIV/AIDS, jika terbukti sebagai pelaku zina, baik muhshah maupun ghairu muhshan, maka khilafah akan menjatuhkan had zina kepada masing-masing. Dengan dijatuhkannya sanksi rajam bagi penderita HIV/AIDS yang muhshan, maka dengan sendirinya akan mengurangi jumlah penderia HIV/AIDS, sekaligus membersihkannya, baik dari dampaknya kepada orang yang lain, maupun dosanya di sisi Allah SWT. Sementara bagi yang ghairu muhshan, akan dijatuhi sanksi jild, sebanyak 100 kali. Setelah itu, dia akan diperlakukan sebagai penderita HIV/AIDS dengan perlakuan yang khas. Perlakuan yang khas juga dilakukan oleh khilafah terhadap penderita lain, yang bukan pelaku zina. Mereka bisa saja istri dari pelaku zina, yang tidak terlibat zina, atau anak-anak yang tertular virus tersebut dari orang tuanya. Bahkan, mungkin orang lain yang tidak bersalah, tetapi terinfeksi virus HIV-AIDS dari orang tersebut. Mereka semua mendapatkan perlakuan yang sama sebagai penderita virus yang mematikan ini. Khilafah akan memberikan layanan pengobatan terbaik, kelas pertama, dan gratis. Khilafah juga akan bekerja keras menemukan penawar virus HIV/AIDS ini, dengan mendanai riset untuk keperluan ini. Karena mereka ini mengidap virus menular, dan mematikan, maka mereka akan dikarantinakan di pusat-pusat rehabilitasi kelas pertama dengan berbagai fasilitas kelas satu. Bukan hanya diobati dan dirawat secara fisik, tetapi mereka juga akan di-recovery mentalnya, sehingga bisa menatap masa depan dan sisa hidupnya dengan sabar, tawakal dan positif. Pada masa yang sama, tindakan ini untuk mengeliminasi penyebaran dan pengembangbiakan virus ini di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, baik kepada penderita maupun masyarakat juga ditanamkan pandangan positif, bahwa semuanya ini merupakan musibah, yang bisa merontokkan dosa-dosa mereka. Dengan begitu, baik pelaku maupun masyarakat, sama-sama mempunyai pandangan yang positif. Begitulah cara Islam, dan khilafah mengatasi masalah ini. Bukan dengan tindakan bodoh dan konyol, sebagaimana dilakukan para penguasa tolol saat ini. Penguasa yang mendapat julukan dari Nabi SAW sebagai Ruwaibidhah. Siapa Ruwaibidhah? “Orang tolol, yang mengurusi urusan orang banyak.” Begitu sabda Nabi (HR Ibnu Majah). Baca juga : Bagaimana Islam Mengatasi Penyakit AIDS Syariah dan Khilafah Solusi Pemberantasan HIV/AIDS ATASI HIV/AIDS DENGAN CARA ISLAM, BUKAN DENGAN CARA LIBERAL! HTI Ajak Perangi AIDS dengan Cara Islam Solusi Islam Mengatasi HIV/AIDS Posted in Seputar Khilafah | No comments Previous post: Angkatan Udara Khilafah Utsmani Next post: Membalas Keburukan dengan Kebaikan Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id