Senin, 08 Juni 2020

BID'AHKAH DEMOKRASI?

**

Oleh : Ust Iful Fitrah

Sebelum menilai demokrasi bid'ah atau tidak. Perlu kiranya memahami dua istilah ini secara tepat yakni bid'ah dan demokrasi.

_*Pertama*_, bid'ah secara syar'i maknanya adalah perkara yang dibuat-buat _(muhdats)_ dalam urusan agama yang tidak ada dasarnya atau sumbernya dalam syariat. Makna ini diambil dari hadis Nabi SAW berikut ;
كل محدثة بدعة
Setiap muhdatsah (perkara yang dibuat-buat) adalah bid'ah (HR. Muslim)

Lalu muhdats (perkara yang dibuat-buat) ini dibatasi dalam urusan agama (bukan dunia) yang tidak bersumber darinya, sebagaimana sabda Nabi SAW ;
ما أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Perkara yang dibuat-buat dalam urusan (agama) kami yang tidak bersumber darinya maka ia tertolak (HR. Muslim)

Makna ini sejalan dengan definisi para ulama mengenai bid'ah. Misalnya Imam Ibnu Hajar al Asqalani mendefinisikan bid'ah berikut ;
و المراد بها ما أحدث و ليس له أصل في الشرع و يسمى في عرف الشرع بدعة
Yang dimaksud dengan muhdatsah adalah perkara yang dibuat-buat dan tidak memiliki dasar (dalil) dalam syariat dan dalam pengertian syar'i disebut bid'ah
(Ibnu Hajar, Fathu al Bari', juz. 13, hal. 253, Maktabah Syamilah)

Bid'ah disebut muhdats (perkara yang dibuat-buat) karena perkara tersebut tidak terdapat di zaman Nabi SAW. Imam An Nawawi berkata ;
إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Bid'ah) adalah membuat-buat apa yang tidak terdapat di zaman Rasulullah SAW
(Tasmi' al Asma' wa al Lughat, juz. 3, hal. 22, Maktabah Syamilah)

Meskipun ada ulama yang membagi bid'ah menjadi dua yakni terpuji dan tercela. Terpuji jika sejalan dengan sunnah dan tercela jika menyalahi sunnah, tetapi makna ini merujuk pada bid'ah secara bahasa yang masih umum, bisa baik atau buruk. Adapaun secara syar'i, bid'ah tetap berkonotasi tercela. Ini dijelaskan secara baik oleh Imam Ibnu Hajar berikut ;
فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فإن كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما
Bid'ah dalam pengertian syar'i berkonotasi tercela, berbeda secara bahasa, segala sesuatu yang dibuat-buat yang tidak seperti sebelumnya disebut bid'ah baik itu terpuji ataupun tercela
(Ibnu Hajar, Fathu al Bari', juz.13, hal. 253, Maktabah Syamilah)

Karena itu secara syar'i disebut bid'ah jika memiliki dua unsur yakni baru dalam agama dan tidak memiliki dasar (dalil) dalam syari'at atau bahkan menyalahinya.

Adapun ruang lingkupnya para ulama menjelaskan bid'ah mencakup i'tiqadiyyah (keyakinan termasuk pemikiran) dan amaliyyah
(Shalih bin Fauzan, Al Khuthab al Minbariyyah, juz. 4, hal. 46, Maktabah al Ma'arif li an Nasyri wa at Tauzi'), (Muhammad bin Riyadh al Ajmad, Ushul al I'tiqad, hal. 240, Maktabah al Kutub al Ilmiyyah)

Jadi setiap keyakinan baru termasuk pemikiran baru, juga pengamalan baru dalam urusan agama yang tidak memiliki dasar/dalil bahkan menyalahi dalil adalah bid'ah.

_*Kedua*_, demokrasi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Demokrasi)

Kekuasaan rakyat disini bersifat menyeluruh mencakup kekuasaan membuat hukum (legislatif), kekuasaan menjalankan hukum (eksekutif) dan kekuasaan mengadili (yudikatif). Dalam aplikasinya kekuasaan lalu terbagi menjadi tiga lembaga mengikuti bentuk kekuasaan tadi dalam bentuk perwakilan, mengingat rakyat mustahil menjalankan kekuasaan tersebut secara langsung. Pembagian ini disebut trias politika. Indonesia termasuk yang mengadopsi konsep ini.

Dengan demikian, demokrasi  menempatkan kewenangan membuat hukum (hak tasyri') ditangan rakyat bukan Allah. Ini adalah adalah paradigma dasar dan boleh jadi menjadi keyakinan (i'tiqadiyyah). Adapaun secara aplikatif (amaliyyah) jelas lembaga yang dibentuk untuk menjalankan hukum (eksekutif) dan mengadili (yudikatif), dibentuk semata-mata menerapkan hukum rakyat bukan hukum Allah.

Meski konsep dasar demokrasi, lahir jauh sebelum Islam, tetapi konsep politik ini yang telah popular di Eropa setelah Renaisans baru dikenal dan diterapkan di dunia Islam pada abad ke 20 M, setelah runtuhannya kekuasaan politik Islam yakni Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 M. Sehingga jelas demokrasi adalah perkara baru di dunia Islam. Tapi apakah perkara baru dalam urusan agama ?

Seorang muslim tidak boleh beranggapan bahwa demokrasi termasuk urusan dunia bukan urusan agama, sehingga tidak berhubungan dengan pembahasan bid'ah. Jelas anggapan itu keliru, sebab persoalan hak tasyri' yakni kewenangan membuat hukum adalah persoalan pokok dalam agama (i'tiqadiyyah/keyakinan).

Di dalam Islam hak tasyri' mutlak pada Allah bukan pada manusia. Allah SWT berfirman ;
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Tidaklah menetapkan hukum itu kecuali milik Allah (QS. Yusuf : 40)

Juga firman Allah ;
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang paling baik hukumnya dari pada Allah bagi orang-orang yang yakin (QS. Al Maidah : 50)

Al Hasan al Bashri berkata mengenai makna hukum jahiliyyah ;
من حكم بغير حكم الله ، فحكم الجاهلية هو
Siapa saja yang berhukum bukan dengan hukum Allah maka itulah hukum jahiliyyah (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur'an al Adzim, juz. 2, hal. 131, Maktabah Syamilah)

Dengan demikian, secara paradigma bahkan keyakinan jelas demokrasi - yang menempatkan hak tasyri' pada rakyat - tidaklah berdasar bahkan bertentangan dengan dalil yang jelas, sehingga menjadi perkara baru dalam agama, karena itu jelaslah demokrasi termasuk bid'ah i'tiqadiyyah (keyakinan)

Demikian pula dalam aspek amaliyyah (pengamalan), dalam demokrasi lembaga pelaksana (eksekutif) dan lembaga peradilan (yudikatif) berjalan berdasarkan hukum rakyat bukan hukum Allah. Jelas ini tidak berdasar dan bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas sehingga merupakan perkara baru dalam agama.

Di dalam Islam pihak yang berwenang menjalankan hukum diperintahkan agar memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah bukan yang lain. Allah SWT berfirman ;
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ
Dan putuskanlah perkara diantara mereka dengan apa yang diturunkan Allah (QS. Al Maidah : 49)

Dengan demikian, jelaslah demokrasi selain bid'ah i'tiqadiyyah, ia juga termasuk bid'ah amaliyyah.

Rasulullah SAW memperingatkan ;
وكل بدعة ضلالة
Dan setiap bid'ah adalah sesat (HR. Muslim)

Dalam riwayat An Nasa'i terdapat tambahan ;
و كل ضلالة في النار
Dan setiap kesesatan di neraka

Allahu a'lam