Kamis, 11 Juni 2020

Tak Ada Alasan Menolak Khilafah

KH. Rochmat S. Labib


Khilafah, meski baru sebatas gagasan dan wacana, masih terus dipersoalkan oleh banyak kalangan. Yang mempersoalkan tak hanya non-Muslim, tetapi bahkan banyak dari kalangan Muslim. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam. Dalilnya jelas, ada dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Khilafah bahkan telah menjadi Ijmak Sahabat dan ijmak ulama. Lalu mengapa Khilafah ditolak? Apa alasannya?


KH Rochmat S. Labib membantah semua argumen para penolak Khilafah dengan lugas melalui wawancara dengan Redaksi berikut ini.


Ada yang mengatakan bahwa Khilafah tidak ada sumbernya dari al-Quran dan as-Sunnah. Benarkah demikian?


Kalau ada yang berkata demikian, itu hanya karena dua kemungkinan. Pertama, karena tidak tahu. Kedua, karena pura-pura tidak tahu. Dua-duanya tidak layak dijadikan sebagai rujukan. Orang jahil tidak layak dijadikan sebagai rujukan. Apalagi orang yang tidak jujur terhadap Islam.


Mengapa begitu?


Karena dalil tentang Khilafah dalam al-Quran dan as-Sunnah sangat banyak dan jelas. Tidak ada perbedaan di antara para ulama mu’tabar. Mereka sepakat bahwa mengangkat khalifah adalah wajib. Bahkan ada yang mengatakan sebagai ahham al-wâjibât, kewajiban yang paling penting.


Khilafah juga dapat dijumpai dalam berbagai literatur dan kitab-kitab tsaqâfah Islam, seperti kitab tafsir, syarh hadis, fikih, sirah, tarikh, dan lain-lain. Itu menunjukkan dengan jelas bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Bahkan termasuk dalam perkara ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah; artinya perkara yang telah diketahui sebagai bagian dari agama karena urgensitasnya. Wajar jika para ulama mu’tabar menyebut orang yang mengingkari kewajiban Khilafah sebagai orang yang menyimpang dan harus diabaikan.


Bisa disebutkan contoh ulama yang berkata demikian?


Imam al-Qal’i asy-Syafii dalam kitabnya, Tahdzîb al-Riyâsah wa Tartîb al-Siyâsah, menyebut yang menyelisih kewajiban menegakkan Khilafah sebagai man lâ yu’taddu bikhilâfihi. Artinya,  orang yang tidak perlu perhitungkan pendapatnya.


Imam al-Qurthubi lebih keras lagi. Dalam tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, ia mengatakan bahwa orang yang meyelisihi kewajiban mengangkat khalifah itu adalah al-Ashamm. Menurut Imam al-Qurthubi, orang tersebut disebut al-Ashamm karena ‘an al-syarî’ah ashamm. Artinya, orang yang tuli terhadap syariah. Bahkan menurut al-Qurthubi, penyebutan yang sama juga berlaku bagi semua orang yang memiliki pendapat yang sama dengan al-Ashamm dan mengikuti perkataan beserta mazhabnya.


Bisa ditunjukkan contoh dalilnya dalam al-Quran? 


Ada yang secara sharîh atau jelas menyebut kata khalîfah, yakni dalam surat al-Baqarah ayat 30. Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat tentang makna ayat tersebut. Imam al-Qurthubi termasuk di antara ulama yang menjadikan ayat itu sebagai dalil atas kewajiban mengangkat khalifah dan imam.


Ada juga ayat lainnya yang tidak menyebut khilafah secara sharîh, namun menjadi dalil atas kewajiban mengangkat imam atau khalifah. Di antaranya adalah surat ab-Nisa’ ayat 59 yang mewajibkan umat Islam menaati ulil amri. Kewajiban menaati ulil amri itu menunjukkan bahwa mengangkat ulil umri itu hukumnya wajib. Pasalnya, tidak mungkin syariah mewajibkan sesuatu yang keberadaannya tidak wajib ada. Ulil amri dalam Islam itu ya Khalifah.


Demikian juga dengan ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah SWT, seperti QS al-Maidah ayat 48 dan 49. Juga, celaan yang amat keras terhadap orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah SWT dengan sebutan kâfirûnzhâlimûn dan fâsiqûn. Untuk menjalankan ayat tersebut, tidak mungkin kecuali dengan mengangkat seorang kepala negara yang disebut khalifah atau imam.


Ada juga ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban menerapkan sanksi hudûd dan jinâyât, seperti hukuman cambuk bagi pezina dalam surat an-Nur ayat 2, potong tangan bagi pencuri dalam surat al-Maidah ayat 38, atau hukuman qishâsh bagi pembunuh dalam surat al-Baqarah ayat 178. Semua ayat tersebut tidak bisa dikerjakan kecuali ada seorang imam atau khalifah. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, para ulama sepakat tentang kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah.


Imam Abu al-Qasim an-Naisaburi, ketika menerangkan QS an-Nur ayat 2, dalam tafsirnya, mengatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa mukhâthab atau objek yang diseru ayat ini adalah Imam (Khalifah) sehingga mereka berhujjah dengan ayat itu tentang kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah. Ini didasarkan pada kaidah mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi wâjib. Maknnya, suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu menjadi wajib.


Kalau dalam as-Sunnah?


Lebih banyak dan lebih jelas lagi. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan bahwa yang mengurusi umat Rasulullah saw. sepeninggal beliau adalah Khalifah. Beliau menyatakan: Satakûnû khulafâ` fa taktur. Artinya, akan ada para khalifah, jumlahnya banyak. Dalam hadis Imam Ahmad, Rasulullah saw. memberitakan periodesasi kekuasan yang akan menaungi umat Islam. Setelah Rasulullah saw. wafat, umat Islam akan berada dalam Khilafah atas dasar metode kenabian. Beliau bersabda: Tsumma takûnu khilâfah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. Artinya, kemudian akan ada Khilafah di atas jalan kenabian.


Oleh karena itu, sebutan khilafah dan khalifah berasal dari Rasulullah saw. sendiri.


Ada yang mengatakan sistem Khilafah itu tidak ada yang baku. Khilafah Abu Bakar berbeda dengan Umar. Demikian juga Utsman, Ali bahkan seterusnya. Karena tidak ada yang baku berarti tidak wajib sistem Khilafah itu. Bagaimana, Ustadz?


Setidaknya ada tiga kesalahan pada pernyataan tersebut. Pertama: Perbedaan dalam tafshîl atau rincian pelaksanaan sebuah kewajiban tidak membatalkan kewajiban tersebut. Shalat, misalnya, merupakan ibadah wajib. Seluruh ulama dan umat sepakat tentang ini. Akan tetapi, dalam detail pelaksanannya—seperti tentang syarat, rukun, perkara yang membatalkan, bacaan, dan lain-lain—terdapat ikhtilaf di antara para ulama. Meskipun demikian, perbedaan itu tidak membuat hukum shalat berubah menjadi tidak wajib. Ini juga terjadi pada zakat, puasa, haji, dan lain-lain.


Nah, demikian pula dengan Khilafah. Semua ulama mu’tabar ijmak bahwa mengangkat seorang khalifah adalah fardhu kifayah. Akan tetapi, dalam tafshîl-nya ada ikhtilaf. Misalnya, apakah  Quraisy itu merupakan syarat in’iqâd atau syarat keabsahan khalifah ataukah tidak. Akan tetapi, perbedaan itu tidak membuat hukum menegakkan Khilafah tidak wajib.


Kedua: Perbedaan cara pengangkatan al-Khulafâ` ar-Râsyidûn sesungguhnya tidak keluar dari tharîqah nashb al-imâm atau metode mengangkat seorang imam atau khalifah. Metode baku yang ditentukan syariah dalam pengangkatan khalifah adalah dengan baiat dari umat. Adapun cara (teknis)-nya termasuk uslûb yang diperbolehkan secara syar’i.


Faktanya, Khulafaur Rasyidin yang empat itu dibaiat oleh umat. Memang tampak ada perbedaan cara pemilihan/pengangkatan pada keempatnya. Namun, itu semua terjadi sebelum pembaiatan. Oleh karena itu, apa yang disebut oleh penolak Khilafah sebagai perbedaan itu sesungguhnya tidak layak disebut sebagai perbedaan. Apalagi sampai menafikan kewajiban menegakkan Khilafah karena perbedaan itu.


Ketiga: Ketika berbicara tentang sebuah sistem pemerintahan, semestinya harus dibahas perkara-perkara prinsip yang baku, yang membedakannya dengan sistem pemerintahan yang lain. Di antara perkara prinsip dalam semua sistem pemerintahan adalah tentang konsep kedaulatan. Konsep kedaulatan dalam Khilafah dikenal dengan istilah as-siyâdah li as-syar’i. Kedaulatan di tangan syariah. Konsep ini jelas berbeda secara diametral dengan semua pemerintahan lainnya. Dalam sistem pemerintahan republic, kedaulatan di tangan rakyat, sementara dalam sistem kerajaan kedaulatan di tangan raja.


Alasan lain orang menolak, Khilafah itu adalah ideologi impor sehingga tidak cocok buat Indonesia?


Ingin saya tegaskan bahwa Khilafah bukanlah ideologi. Sebab, sebuah ide dapat dikategorikan sebagai ideologi tatkala memiliki dua unsur penting. Pertama, akidah. Kedua, sistem kehidupan. Termasuk di dalamnya sistem pemerintahan. Oleh karena itu, yang memenuhi syarat disebut ideologi adalah Islam. Adapun Khilafah adalah sistem pemerintahan dalam ideologi Islam.


Saya bertanya balik kepada orang yang berkata demikian. Jika Khilafah ditolak karena berasal dari luar, pertanyaannya saya: Sistem pemerintahan apa yang asli dari Indonesia? Apakah sistem pemerintahan republik dan demokrasi itu produk dalam negeri? Apakah Kapitalisme dan liberalisme yang sekarang diterapkan di negeri ini itu warisan nenek moyang kita? Apakah KUHP dan ratusan undang-undang lain warisan kolonial juga tidak berasal dari luar? Mengapa semua itu tidak ditolak, padahal jelas-jelas berasal dari asing?


Ataukah karena semua ideologi dan sistem pemerintahan itu dianggap lebih cocok daripada Islam dan Khilafah? Lha, kalau ini alasannya, lebih aneh lagi. Apakah sistem buatan manusia lebih baik daripada yang berasal dari Allah SWT? Dalam Surat al-Maidah ayat 50, Allah SWT berfirman: Wa man ahsanu minalLâh hukm[an] liqawm[in] yûqinûn. Artinya: Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? Meskpiun berbentuk istifhâm, kalimat tanya, maknanya nafi. Artinya, tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah SWT.


Mereka mengatakan bahwa Khilafah tidak sesuai dengan negeri ini yang plural. Bagaimana menurut Ustadz?


Pluralitas itu bukan monopoli negeri ini. Di semua negeri terdapat pluralitas. Dengan Khilafah, justru masalah tersebut dapat dikelola dengan baik.


Apakah Khilafah bisa menjadi rumah bersama semua warga masyarakat dari berbagai suku dan ras berbeda-beda?


Ya, jelas bisa. Khilafah adalah ajaran Islam. Islam adalah agama yang diturunkan untuk seluruh manusia. Islam melarang diskriminasi atas suku, bangsa, dan ras. Semuanya setara, berasal dari bapak yang sama: Adam as.


Sejarah juga mencatat, Khilafah Islam pernah menyatukan berbagai suku dan bangsa dari Maroko hingga Merauke menjadi satu wilayah kekuasaan. Semuanya diperlakukan sama. Itu berlangsung hingga ratusan tahun. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang memperlakukan secara buruk bangsa lain yang menjadi jajahannya.


Bagaimana dengan pemeluk agama lainnya?


Dalam perspekstif akidah, semua pemeluk agama lain terkategori sebagai orang kafir. Jika  mati dalam keadaan kafir, neraka adalah tempat kembali mereka. Meskipun demikian, bukan berarti umat Islam boleh memaksa mereka untuk masuk Islam. Bahkan mereka dipersilakan untuk menjadi warga Daulah Islam dengan status sebagai ahli dzimmah. Mereka mendapatkan jaminan perlindungan atas darah, harta dan kehormatan mereka.


Sebagai warga negara, mereka diperlakukan dengan adil. Di depan hukum mereka memiliki kedudukan yang setara dengan warga negara lainnya. Khalifah Umar ra., ketika melihat ahli dzimmah yang sudah tua meminta-minta, beliau berkata, “Sungguh kami bertindak tidak adil jika  kami memungut jizyah ketika engkau waktu masih muda, kemudian kami biarkan engkau terlantar setelah tua renta.”


Setelah itu beliau  mengajak orang tua itu ke rumahnya dan memberikan makanan. Tak hanya dibebaskan dari jizyah, namun juga ia diberi harta dari bitul mal.


Namun dalam kekuasaan, mereka tidak boleh memegang jabatan. Bukankah ini diskriminasi?


Kalau dianggap diskriminasi, sesungguhnya itu juga berlaku pada semua negara dalam sistem pemerintahan apa pun. Di negara yang berideologikan kapitalis, tentu penguasa disyaratkan harus berideologikan kapitalis. Demikian pula dalam negara komunis, penguasanya juga harus komunis. Kalau ada penguasa bertentangan dengan ideologi yang diterapkan di negara itu, tentu akan dilarang. Itu aturan yang wajar. Justru aneh jika ada sebuah negara komunis membolehkan kekuasaannya dipegang oleh seorang berideologikan kapitalis atau Islam.


Demikian juga dalam Khilafah. Penguasanya juga harus Muslim. Itu sesuatu yang wajar. Yang aneh justru yang mempertanyakan.


Jadi Khilafah tidak mengancam keberagaman seperti yang dituduhkan banyak orang?


Ada yang dibiarkan beragam. Ada pula yang diseragamkan. Itu sebenarnya juga terjadi pada semua sistem yang lain. Yang lebih penting adalah apakah keberagaman atau penyeragaman itu akan mengantarkan pada kebaikan atau tidak. Apa gunanya mempertahankan keberagaman jika itu hanya akan mengantarkan pada kerusakan? Apa salahnya penyeragaman jika akan melahirkan kebaikan?


Ada yang mengatakan jika Khilafah ditegakkan akan menghilangkan Indonesia?


Apanya yang hilang? Jika yang dimaksud adalah wilayahnya, wilayahnya jelas tidak akan hilang. Bahkan akan meluas dengan bergabungnya negeri-negeri  Islam lainnya menjadi satu kekuasaan. Kekayaan alamnya? Justru semakin terjaga. Khilafah akan mengambil alih semua kekayaan alam yang selama ini dikuasai asing.


Lalu apa yang hilang? Yang jelas, yang akan hilang adalah sistem kapitalisme dan liberalisme yang sekarang diterapkan. Kalau itu hilang, semestinya tidak perlu ditangisi. Bukankan semua sistem itu yang membuat ini negeri ini sengsara dan menderita?


Jadi isu yang mengatakan bahwa Khilafah akan menghancurkan negara ini itu tidak benar?


Jelas tidak benar. Bagaimana mungkin menjalankan hukum Allah SWT dianggap sebagai sesuatu yang merusak dan menghancurkan? Khilafah adalah ajaran Islam. Pertanyaannya, adakah hukum Allah SWT yang buruk, salah dan tidak adil? Sungguh, ucapan itu tidak layak diucapkan seorang Muslim yang mengaku mengimani al-Quran.


Sebaliknya, justru dengan Khilafah, negeri ini dapat diperbaiki. Lihatlah, kondisi negeri kita saat ini. Utangnya banyak. Rakyatnya miskin. Padahal kekayaan alamnya melimpah-ruah. Akan tetapi, semua itu lebih banyak dinikmati asing. Coba bayangkan, ada tambang emas yang dieksploitasi oleh sebuah perusahaan swasta Amerika. Lalu negara hanya mendapatkan bagian yang amat kecil, yakni 1,5 persen hingga 3 persen. Itu sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu. Belum habis masa kontraknya, sudah mau diperpanjang lagi. Ini apa namanya jika bukan penjajahan? Hal yang kurang lebih sama juga terjadi tambang migas, batubara, dan  lain-lain.


Hutan, perkebunan, jalan tol, bandara, dan berbagai fasilitas vital lainnya juga bernasib sama. Hampir semuanya dikuasai oleh swasta asing. Demikian juga dalam sosial kemasyarakatan. Berbagai kemaksiatan dan kemungkaran tumbuh subur.


Apa solusinya? Sistem demokrasi tidak bisa memberikan solusinya. Justru demokrasilah yang menciptakan semua masalah itu. Bukankah semua undang-undang yang liberal itu adalah produk demokrasi?


Jelaslah negeri ini mengalami masalah dan membutuhkan solusi. Islam dengan Khilafah adalah solusi yang benar. []


Kewajiban Mengadakan dan Menegakkan Khilafah

Kewajiban Mengadakan dan Menegakkan Khilafah

Seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.


Dalil-dalil tentang kewajiban mengadakan khilafah dan menegakkannya bisa dilihat rinciannya sebagai berikut:

1. Dalil Alquran

Allah SWT berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [TQS al-Baqarah [2]: 30].

Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].

Dalil Alquran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].

2. Dalil as-Sunnah

Di antaranya sabda Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].

Berdasarkan hadits di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].

Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]

3. Dalil Ijmak Sahabat

Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah Alquran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:

“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan pondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].

Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan Alquran atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].

Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:

“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].

4. Kesepakatan Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,

“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].

Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. []

Bukti Historis Khilafah

Bukti tak terbantahkan tentang adanya khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab tarikh yang ditulis oleh para ulama terdahulu hingga ulama mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H], al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H], Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], at-Tarikh al-Islami, Mahmud Syakir.

Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang khalifah, dan khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924 M.

Dalam sepanjang sejarah khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam.

Karena itu, menurut Syeikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria, Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967 M], setelah memaparkan fakta negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah, Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada kesimpulan:

Pertama, pemikiran Sunni menentang penghapusan khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam rentang sejarah panjang umat Islam.

Kedua, khilafah yang menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada. Dengan adanya sistem pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan khilafah. Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan khilafah, dan menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hal. 457]. []

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212