Sabtu, 16 Maret 2013

Hukum Gadai Emas

Hukum Gadai Emas
Tanya :
apa hukumnya gadai emas?
Jawab :
Gadai emas adalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap (uqud murakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. (lihat Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas).
Menurut kami gadai emas haram hukumnya, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :
Pertama, dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/341).
Imam Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba. (Al-Ijma’, hlm. 39).

Kedua, dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan dibebankan kepada penggadai (rahin), yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW,”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i).
Menurut Imam Syaukani, hadits tersebut menunjukkan pihak yang menanggung biaya barang jaminan adalah murtahin (penerima gadai), bukan rahin (penggadai). Alasannya, bagaimana mungkin biayanya ditanggung rahin, karena justru rahin itulah yang memiliki barang jaminan. Jadi, menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian bahwa jika faidah-faidah terkait dengan kepentingan murtahin, seperti penitipan (wadi’ah) barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanya adalah murtahin, bukan rahin. (Imam Syaukani, As-Sailul Jarar, hlm. 275-276).

Ketiga, dalam gadai emas terjadi akad rangkap, yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Bagi kami akad rangkap tidak boleh menurut syara’, mengingat terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata,”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengomentari hadits Ahmad tersebut,”Para periwayat hadits ini adalah orang-orang kepercayaan (rijaluhu tsiqat).” Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah. (Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/308).
Memang sebagian ulama telah membolehkan akad rangkap. Namun perlu kami sampaikan, ulama yang membolehkan pun, telah mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang bersifat non komersial (seperti qardh atau rahn) dengan akad yang komersial (seperti ijarah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24).
Berdasarkan tiga alasan tersebut, gadai emas haram hukumnya. Kami tegaskan pula, fatwa DSN MUI mengenai gadai emas menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan oleh kaum muslimin. Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawie)

bolehkah seorang nasabah menerima hadiah dari bank melalui undian?


Betulkah Khilafah Akan Kembali?

Betulkah Khilafah Akan Kembali?
Soal:
Ada sebagian pihak yang mempersoalkan QS. an-Nur: 55 yang berisi janji Allah tentang akan berdirinya kembali Khilafah, dengan menyatakan, bahwa janji tersebut sudah berlalu bagi Nabi saw. dan para Sahabat, sehingga tidak akan terjadi lagi. Benarkah demikian?

Jawab:
Pertama: al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw., berisi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat. Itu artinya, al-Quran, tidak hanya berlaku untuk zaman Nabi dan para sahabat, tetapi hingga akhir zaman. Karena itu, meski ada momentum tertentu yang terjadi pada zaman itu, dan karenanya ayat atau surat tertentu diturunkan, ayat atau surat itu tidak hanya berlaku untuk saat itu, jika maknanya umum. Dari sinilah para ulama kemudian menggariskan kaidah:

«اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ»
Yang menjadi patokan makna adalah mengikuti keumuman lafal, bukan berdasarkan sebabnya yang spesifik.

Sebagai contoh, ayat li’an (QS an-Nur [24]: 6) yang diturunkan terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ’.[1] Meski peristiwanya terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah dan istrinya, ayat ini berlaku umum, dan tetap berlaku hingga Hari Kiamat.
Kedua: seruan (khithâb) yang dinyatakan oleh Allah kepada Nabi saw., tidak hanya berlaku untuk beliau, tetapi juga berlaku bagi umatnya, kecuali apa yang ditetapkan sebagai kekhususan bagi Nabi saw.[2] Dalam hal ini, para ulama menyatakan:

«خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأِمَّتِهِ»
Seruan untuk Rasul saw. merupakan seruan yang juga berlaku bagi umatnya.[3]

Ketiga: mengenai QS an-Nur [24] ayat 55:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٥٥﴾
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan dengan sesuatu pun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.

Al-‘Allâmah al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. dan para sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. Mereka pun bisa meletakkan senjata dan hidup aman.[4]
Meski demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya untuk Nabi saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat Muhammad saw. sepeninggal mereka.[5] Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
«هَذِهِ الْجُمْلَةُ مُقَرِّرَةٌ لِمَا قَبْلَـهَا مِنْ أَنَّ طَاعَتَهُمْ لِرَسُوْلِ اللَّـهِ [صلم] سَبَبٌ لِـهِدَايَتِهِمْ، وَهَذَا وَعْدٌ مِنَ اللَّـهِ سُبْحَانَهُ لِمَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ، وَعَمِلَ الأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ بِالاِسْتِخْلاَفِ لَـهُمْ فِي الأَرْضِ لِمَا اِسْتَخْلَفَ الذِّيْنَ مِنْ قَبْلِـهِمْ مِنَ الأُمَمِ، وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ الأُمَّةِ. وَقِيْلَ: هُوَ خَاصٌّ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ الإيْمَانَ، وَعَمِلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُّ بِهِمْ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ، وَمَنْ عَمِلَ بِكِتَابِ اللَّـهِ، وَسُنَّةِ رَسُوْلِـِه، فَقَدْ أَطاَعَ اللَّـهَ وَرَسُوْلَـهُ»
Kalimat ini menegaskan apa yang dinyatakan sebelumnya, bahwa ketaatan mereka kepada Rasulullah saw. merupakan sebab bagi mereka mendapatkan hidayah. Ini merupakan janji dari Allah SWT bagi siapa saja yang beriman kepada Allah dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan (Khilafah) di muka bumi kepada mereka, sebagaimana Dia memberikan kekuasaan kepada umat-umat sebelum mereka. Ini merupakan janji yang berlaku umum untuk seluruh umat. Ada yang mengatakan, “Ini khusus untuk sahabat.” Namun, tidak ada alasan untuk mengartikan demikian, karena iman dan amal salih itu tidak hanya khusus untuk mereka. Sebaliknya, janji itu bisa berlaku bagi tiap umat, dan siapa saja yang mengamalkan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya. dia sejatinya telah mentaati Allah dan Rasul-Nya.[6] 

Keumuman cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât”. Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya.[7] Bahkan dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul saw. dan umatnya.[8]
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan, bahwa janji Allah di dalam QS an-Nûr [24]: 55 ini telah dipenuhi oleh Allah SWT dengan memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. dan para sahabat memang benar. Namun, tidak berarti menafikan keumuman janji tersebut bagi generasi berikutnya. Buktinya, negara yang diwariskan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu, yaitu Khilafah Islam, telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga negara itu dihancurkan tahun 1924 M.
Demikian juga, setelah janji tersebut dipenuhi oleh Allah SWT kepada generasi sebelum kita, tidak berarti janji tersebut tidak lagi berlaku untuk kita, khususnya setelah negara yang didirikan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu telah tiada. Sebaliknya, janji itu tetap berlaku hingga Hari Kiamat, yang akan diberikan kepada orang yang memenuhi kriteria, “beriman dan beramal salih”, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Râzî, al-Baidhâwî hingga as-Syaukânî, dan para mufassir lain.
Apalagi jika kita melihat makna ayat di atas, misalnya:

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
(Dia) sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka.

Para mufassir menyatakan, bahwa makna “yumakkinanna lahum dînahum” (Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka) adalah kemenangan Islam atas agama-agama lain. Dalam konteks kemenangan Islam atas Yahudi, Nasrani, Majusi dan Paganisme jelas janji ini telah dipenuhi oleh Allah SWT. Namun, dalam konteks kemenangan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme jelas belum. Padahal isme-isme tersebut termasuk dalam cakupan “dîn” yang dimaksud oleh ayat ini. Ini artinya, janji Allah di dalam ayat tersebut juga meliputi janji memenangkan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme.
Demikian juga makna kalimat berikutnya:

وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ
(Dia) benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.

Kondisi orang yang beriman dan beramal shalih saat ini tidak seperti yang dinyatakan dalam ayat tersebut yang bisa hidup aman, tidak diliputi ketakutan dan kecemasan, serta menjalankan agama mereka dengan aman, tidak dipaksa untuk menyekutukan Allah dengan yang lain. Sebaliknya, mereka semuanya hidup di dalam dâr al-kufur, dan dipaksa oleh rezim boneka untuk menjalankan sistem kufur, menyukutukan Allah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum, dan sebagainya. Ini juga membuktikan, bahwa janji Allah tersebut tetap berlaku bagi kita.
Yang perlu dicatat, janji Allah untuk memberikan kemenangan dan kedaulatan kepada Islam, keamanan dan kedamaian kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, berupa waw, yang berarti, tartîb (urut). Kalimat “wa layumakkinanna lahum” dan “wa layubaddilannahum” jatuh setelah kalimat “la yastakhlifannahum” (benar-benar Dia akan memberikan kekuasaan [Khilafah] kepada mereka). Ini artinya, bahwa janji kemenangan dan kedaulatan Islam, keamanan dan kedamaian itu terwujud setelah berdirinya Khilafah. Urut-urutannya demikian, yaitu Khilafah berdiri, baru Islam teguh dan menang, kemudian hidup menjadi aman dan damai.
Tarkîb (konstruksi) kalimat ayat tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita, bahwa Islam tidak mungkin tegak dan berdaulat, tanpa Khilafah. Demikian juga, tidak mungkin kaum Muslim bisa mengenyam kehidupan yang aman dan damai, kecuali dalam naungan Khilafah.
WalLahu a’lam. []

Hukum Membunuh Untuk Membela Diri

Hukum Membunuh Untuk Membela Diri
Maraknya pencurian dan perampokan di minimarket belum juga berhenti. Di antara pelakunya adalah oknum TNI. Dwi Widarto, seorang  anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas di KRI Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban¸ saat duel dengan salah seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban, Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu (28/10) malam. Dan ternyata, pelaku berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi perampokan di sejumlah tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret Balongsari, Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo (SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012).
Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri .  Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.
Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat, khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa.
Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam al-wadh’iyyah al-muta’alliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll.
Sebagai contoh, pembunuhan yang dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.
Hukum dan Tahapan Pembelaan  Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan
Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.
Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).
Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya, (Lihat:  al-Badai’: 7/93, mughnil muhtaj: 4/1966-197, bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni: 329-331, ).
            Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:
فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين
Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)
Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.
Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:
من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)
Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)
Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.
Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي)
Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:
من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد)
 ”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad)
Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut  madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:
كن خير ابني آدم (رواه أبو داود)
jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).
Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri,  sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur  yang lain berpegang pada firman Allah Swt:
{ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة}
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)
Dan firman Allah Swt:
{فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله }
Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)
‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan mudah.  Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram, (Lihat: (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608).
Tidak Ada Sanksi
Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di  atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Saw:
من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)
 ”siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya (HR. al-hakim)
Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya.
Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya:
يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم)
Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka” (HR. Muslim).
Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam  perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).
Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. Wallahu a’lam bi as-showab. (Abu Muhtadi/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)

Penyelenggaraan Ibadah Haji di Dalam Negara Khilafah

Penyelenggaraan Ibadah Haji di Dalam Negara Khilafah
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Allah SWT telah menetapkan haji sebagai fardhu ‘ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah SWT menyatakan dalam Alquran, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali ‘Imran [03]: 97). Nabi SAW bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). Mengenai syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima: (1) Islam; (2) berakal; (3) baligh; (4) merdeka (bukan budak); (5) mampu. Mampu itu sendiri, dijelaskan dalam hadits Nabi, meliputi dua: (1) bekal (az-zad); (2) kendaraan (ar-rahilah) (HR ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar). (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).
Bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikanya, maka dia dinyatakan tidak berdosa, karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, maka dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).

Penyelenggaraan Haji
Selain masalah hukum syara’, yang terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i, yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah dan Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara.
Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan derivasi dari hukum syara’, tentu tidak boleh menabrak hukum syara’ itu sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syara’, khususnya ketentuan tentang usia baligh. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan. Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat) dan ditangani oleh orang yang profesional.
Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum Muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:
1-      Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Karena ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jamaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nidzam, sur’ah fi al-injaz dan ditangani oleh orang yang profesional, maka urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik. Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.
2-      Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
3-      Penghapusan visa haji dan umrah: Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syara’ tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Karena seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.
4-      Pengaturan kuota haji dan umrah: Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika negara Khilafah mempunyai data base seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.
5-      Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah: Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jamaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah di masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.

Manasik Haji dan Umrah
Selain aspek ijra’i,  yang tidak kalah penting tentu pelaksanaan manasiknya itu sendiri. Hanya saja, karena ini menyangkut kaifiyyah manasik, maka negara tidak akan mengadopsi tatacara tertentu dalam pelaksanaan manasik. Sebaliknya diserahkan kepada masing-masing individu jamaah. Namun demikian, untuk memastikan manasik ini berjalan dengan baik, bimbingan dan pendampingan bisa dilakukan. Khususnya bagi yang membutuhkan. Karena itu, Khilafah akan menyiapkan para pembimbing dan pendamping jamaah haji dalam jumlah yang memadai.
Mulai tanggal 8 Dzulhijjah, sarana dan prasarana di Mina telah dipersiapkan, termasuk akomodasi dan logistik yang dibutuhkan oleh jamaah yang hendak melaksanakan Tarwiyah. Demikian juga Arafah, yang digunakan oleh para jamaah haji saat wukuf, dan Muzdalifah yang digunakan mabit tanggal 9 Dzulhijjah. Demikian juga Mina yang digunakan untuk melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit, baik bagi yang mengambil Nafar Awwal (11-12 Dzulhijjah) maupun Tsani (11-13 Dzulhijjah) dipersiapkan sedemikian oleh negara, sehingga manasik yang dilakukan jamaah di tempat tersebut bisa dilaksanakan dengan sempurna.
Negara tidak hanya bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan logistik, tetapi juga transportasi massal yang memadai dan efektif, sehingga jamaah tidak terjebak kemacetan sehingga menganggu jadwal mereka. Dari Makkah-Mina (8 Dzulhijjah) untuk melakukan Tarwiyah; Mina-Arafah (9 Dzulhijjah) untuk melakukan Wukuf; Arafah-Muzdalifah (9-10 Dzulhijjah) untuk melakukan Wukuf-Mabit, Muzdalifah-Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit; Mina-Makkah-Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan Thawaf Ifadhah-Sai dan Mabit, Mina-Makkah (12-13 Dzulhijjah) kembali ke Baitullah bagi Nafar Awwal maupun Tsani, selanjutnya untuk melakukan Thawaf Wada’.
Secara Khusus, Khalifah akan menyampaikan khutbah ‘Arafah, di Masjid Namirah, dan memimpin Wukuf para jamaah. Di Arafah, negara akan memasang fasilitas sound system yang memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh jamaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan khutbah Arafah Khalifah. Pesan Khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khutbah saat Wukuf, yaitu Khutbah Khalifah, bukan khutbah sendiri-sendiri. Satu bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara.
Mereka pun bisa menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada Khalifah, terhadap para kepala daerah mereka masing-masing, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar terhadap para walinya. Wallahu a’lam. (mediaumat.com, 31/10/2012)

Mungkinkah Dari Demokrasi Lahir UU Islami?

Mungkinkah Dari Demokrasi Lahir UU Islami?
Soal:
Apakah ada produk perundangan-undangan yang dihasilkan melalui sistem demokrasi yang benar-benar Islami?
Jawab:
Undang-undang (qânûn) didefinisikan sebagai perintah dan larangan yang wajib dipedomani di suatu negara. Dengan mengalisis karakter hukum syariah yang dinyatakan dalam sumber syariah Islam, serta memperhatikan sirah Nabi saw., maka tampak ada dua kategori perundang-undangan (qawânîn), kaidah (qawâ’id) dan hukum (ahkâm) yang mengatur masyarakat Islam.
Pertama: perundang-undangan (qawânîn) yang dalam pengambilannya, para penguasa dan kaum Muslim tidak boleh meninggalkan sumber-sumber syariah, dan melihat sumber-sumber lain, apapun alasannya. Ini bisa didefinisikan dengan hukum dan perundang-undangan syariah (qawânîn tasyrî’iyyah).  Perundang-undangan yang masuk wilayah tasyri’ ini seperti UUD, UU Parpol, UU Perkawinan, UU Perdata dan Pidana, UU Pornografi dan Pornoaksi, UU Perbankan, dan lain-lain.
Kedua: perundang-undangan (qawânîn) dan hukum (ahkâm), dimana syariah menyerahkan kepada para penguasa dan individu Muslim untuk mengambilnya, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang menjadi pandangannya dari manapun sumbernya, dengan catatan tidak menegasikan atau bertentangan dengan syariah. Kategori ini disebut hukum dan perundang-undangan administrasi (qawânîn ijrâ’iyyah).  Perundang-undangan yang masuk wilayah ijrâ’i ini, seperti peraturan lalu lintas.
Dalam konteks perundang-undangan yang pertama, satu-satunya sumber yang sah adalah wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. Ini berbeda dengan kategori perundang-undangan yang kedua;  perundang-undangan ini diserahkan kepada manusia, karena menyangkut teknis dan administrasi, dan termasuk dalam wilayah uslûb yang mubah. Tentu dengan catatan, jika tidak bertentangan dengan syariah. Hanya saja, meski berbeda sumber dan rujukannya, proses pengambilan pendapat yang digunakan untuk menyusun perundang-undangan tersebut harus tetap mengikuti ketentuan Islam dalam mengambil pendapat.
Di sinilah bedanya Islam dengan sistem demokrasi. Jika dalam sistem demokrasi, proses pengambilan pendapat tidak dipilah, antara mana pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah, dan mana yang masuk wilayah qawânîn ijrâ’iyyah. Semuanya diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Adapun dalam sistem Islam, pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah diambil berdasarkan mana pendapat yang paling kuat dalilnya, tanpa melihat apakah pendapat tersebut didukung oleh suara mayoritas atau tidak. Selain itu, satu-satunya yang berhak menyusun dan mengundang-undangkan bukanlah parlemen, tetapi kepala negara (Khalifah). Ini juga berlaku dalam qawânîn ijrâ’iyyah.
Karena itu, bisa dikatakan, bahwa semua perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi ini sejatinya bertentangan dengan sistem Islam, karena beberapa alasan. Pertama: dari aspek sumber perundang-undangan (mashâdir tasyrî’). UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan Islam sebagai sumbernya. Di Indonesia, misalnya, UU yang dihasilkan harus bersumber dari UU yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan dengannya, seperti UUD 45 dan Pancasila. Karena itu, sekalipun UU tersebut diklaim bersumber dari syariah, ketika UU tersebut diterima, alasannya bukan karena kesesuaiannya dengan syariah, melainkan karena tidak bertentangan dengan UU di atasnya, atau bertentangan dengan sumber perundang-undangan yang ada.
Kedua: dari aspek standar (maqâyis).  UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan halal dan haram sebagai standarnya, melainkan asas manfaat (benefit). Sebagai contoh, UU Perbankan Syariah. UU ini disusun untuk mengakomodasi kepentingan kaum Muslim yang menginginkan dirinya bebas dari perbankan konvensional, yang menggunakan sistem riba. Memang benar riba dihilangkan, tetapi di sana ada nisbah (prosentasi keuntungan), sebagaimana dalam kasus mudharabah. Memang riba dihilangkan, tetapi di sana ada ujrah dari jasa penggunaan uang, sebagaimana dalam kasus Dana Talangan Haji. Ini semua merupakan hîlah (siasat) untuk mendapatkan keuntungan, yang semestinya tidak sah, namun disiasati agar menjadi absah, karena standar yang digunakan bukan halal dan haram, melainkan asas manfaat.
Ketiga: dari aspek proses penyusunannya (tasyrî’ wa taqnîn). UU yang lahir dalam sistem demokrasi jelas prosesnya berbeda dengan UU yang lahir dari sistem Islam. Di dalam sistem demokrasi, semua UU digodok dan dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Ini jelas berbeda dengan Islam:
1-     Dalam masalah hukum syariah, Islam menetapkan bahwa UU harus bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. Pasal-perpasal di dalam UU ini disusun berdasarkan dalil yang paling kuat (râjih).
2-     Rancangan UU tersebut, setelah terbukti dalilnya paling kuat, diadopsi oleh Khalifah (kepala negara) sebagai satu-satunya pihak yang memegang otoritas dalam mengadopsi hukum untuk dijadikan UU.
3-     Jika di kemudian hari terbukti ada kelemahan dalam pasal-perpasal UU yang diadopsi oleh Khalifah itu, tugas untuk mengoreksinya ada di tangan Mahkamah Mazhalim.
Sebagai produk pemikiran, UU jelas berbeda dengan madaniyyah, seperti mobil, HP maupun yang lain. Boleh dan tidaknya mengambil dan memanfaatkan  madaniyyah ditentukan oleh, apakah madaniyyah tersebut bertentangan atau tidak dengan peradaban Islam. Jika bertentangan maka hukum mengambil dan memanfaatkannya jelas haram. Contoh, lukisan makhluk hidup dan patung.
Berbeda dengan UU, sebagai produk pemikiran, UU bukanlah madaniyyah, tetapi merupakan bagian dari hadhârah (peradaban) itu sendiri. Karena itu, kriteria apakah UU tersebut sesuai atau tidak dengan syariah Islam tidak cukup dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa UU tersebut islami. Karena selain kriteria sesuai dengan syariah Islam, dan tidak bertentangan dengannya, juga harus ada dua kriteria lagi, yaitu:
1-     UU tersebut harus dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniyy[un] ‘alâ al-‘aqîdah al-Islâmiyyah). Dengan kata lain, akidah Islam benar-benar menjadi dasar dan pondasi dalam menyusun UU tersebut. Dengan akidah Islam dijadikan sebagai dasar dan pondasinya, maka UU tersebut tidak akan mengandung pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
2-     UU tersebut juga harus terpancar dari akidah Islam (yanbatsiqu ‘an ‘aqîdah al-Islâmiyyah). Ini dibuktikan dengan adanya dalil yang bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dengan kata lain, setiap pasal-perpasal yang ada di dalamnya diambil dari dalil-dalil syariah tersebut.
Jika kedua kriteria di atas bisa dipenuhi, maka produk UU yang dihasilkan bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah). Namun jika tidak, maka produk UU tersebut tidak layak disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah) meski disertai lebel syariah, seperti UU Perbankan Syariah, Bursa Efek Syariah, dan sebagainya.
Dalil mengenai kriteria pertama adalah firman Allah SWT:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Menjadikan Nabi saw. sebagai hâkim, berarti menjadikanya sebagai sumber hukum. Orang yang tidak bersedia atau keberatan menjadikan Nabi saw. sebagai sumber hukum dianggap tidak beriman. Artinya, jika dia benar-benar beriman, maka dia akan bersedia dan tidak keberatan menjadikan Nabi saw. sebagai sumber hukum. Itu artinya, bahwa iman atau akidah Islam itu merupakan dasar bagi hukum dan perundang-undangan.
Nabi saw. juga bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبْعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Lihat: Tafsir al-Qurthubi, XVI/166).
Adapun dalil mengenai kriteria kedua adalah firman Allah SWT:
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Nabi saw. juga bersabda:
مَن أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa saja yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama)-ku ini, sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka sesuatu itu pasti tertolak (HR al-Bukhari).
Larangan Allah SWT mengambil selain Islam sebagai agama (tuntunan hidup) menunjukkan, bahwa hanya Islamlah yang harus dipedomani dalam hidup. Menjadikan selain Islam sebagai pedoman hidup jelas tidak akan diterima. Kedua  nas ini juga menjadi dalil, bahwa hanya Islam yang boleh dijadikan dasar, acuan, pedoman dan standar dalam mengatur kehidupan, termasuk membuat perundang-undangan.
Inilah dua kriteria yang menjadi dasar bagi seorang Muslim dalam menilai, apakah produk UU tersebut islami atau tidak. Pertama, dilihat dari aspek apakah UU tersebut dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniyy[un] ‘alâ al-‘aqîdah al-islâmiyyah) atau tidak. Kedua, dari aspek apakah UU tersebut juga terpancar dari akidah Islam (yanbatsiqu ‘an ‘aqîdah al-islâmiyyah) atau tidak. Jika kedua kriteria tersebut ada pada suatu UU, maka UU tersebut bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah). Namun, jika tidak, maka perundang-undangan tersebut tidak bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah).
WalLahu a’lam. []

Siksaan Mengerikan di Hari Pembalasan

Siksaan Mengerikan di Hari Pembalasan
(Tafsir QS al-Ghasyiyah [88]: 1-7)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ *وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ *عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣)تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً *تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ *لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلا مِنْ ضَرِيعٍ *لا يُسْمِنُ وَلا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ *
Sudah datangkah kepada engkau berita (tentang) Hari Pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina; bekerja keras lagi kepayahan; memasuki api yang sangat panas (neraka); diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas; mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar (QS al-Ghasyiyah [88]: 1-7).
Surat ini dinamakan al-Ghâsyiyah, diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat yang terdiri atas dua puluh enam ayat ini termasuk Makkiyyah.1 Bahkan menurut asy-Syaukani, Ibnu ‘Athiyah, dan al-Alusi, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.2 Rasulullah saw. biasa membaca surat ini dan surat al-A’la pada saat shalat Id dan shalat Jumat. Dari Nu’man bin Basyir ra.:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ)
Rasulullah saw. membaca dalam shalat dua Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan shalat Jumat surat ‘Sabbihisma Rabbika al-‘Alâ’ dan  ‘Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah’ (HR Muslim).
Jika dalam surat sebelumnya, yakni surat al-‘Ala telah diberitakan secara global tentang orang Mukmin dan kafir, surga dan neraka, maka dalam surat ini perkara tersebut diberitakan lebih luas dan detail.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah (Sudah datangkah kepada engkau berita [tentang] Hari Pembalasan?). Secara bahasa, pengertian al-ghâsyiyah adalah semua yang menutupi sesuatu, seperti halnya penutup pelana.3 Dalam ayat ini, kata tersebut berarti Hari Kiamat. Demikian penafsiran az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan lain-lain.4 Menurut asy-Syaukani dan al-Alusi, ini merupakan pendapat jumhûr al-mufassirîn. 5 Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa al-ghâsyiyah merupakan salah satu nama Hari Kiamat.6 Disebut al-ghâsyiyah karena Hari Kiamat itu taghsyâ al-khalâiq bi ahwâliha (menyelubungi makhluk dengan menakutkan mereka).7 Di antara dalilnya adalah firman Allah SWT:
يَوْمَ يَغْشَاهُمُ الْعَذَابُ
Pada hari mereka ditutup oleh azab (QS al-Ankabut [29]: 55).
Penafsiran lain diberikan Said bin Jubair dan Muhammad bin Kaab. Keduanya mengatakan bahwa al-ghâsyiyah adalah neraka yang menutupi wajah orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَغْشَى وُجُوهَهُمُ النَّارُ
Muka mereka ditutup oleh api neraka (QS Ibrahim [14]: 50).
Dikatakan Ibnu Jarir, tidak ada yang mengabarkan kepada kita bahwa al-ghâsyiyah itu adalah ghâsyiyah-nya kiamat atau ghâsyiyah-neraka. Keduanya merupakan ghâsyiyah (penutup, penyelubung) yang menyelubungi manusia dengan kesedihan, ketakutan, dan kesusahan. Penutup tersebut menutupi orang-orang kafir dengan angin, kabut dan asap yang panas di wajah. Tidak ada yang lebih absah dari semua pendapat tersebut daripada dikatakan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dan sebagaimana telah disebutkan keumumannya.8
Adapun kata hal pada awal ayat ini berarti qad (sungguh). Dengan demikian ayat ini berarti: Qad ja’âka yâ Muhammad hadîts al-ghâsyiyah (sungguh telah datang kepada engkau, wahai Muhammad, berita tentang Hari Kiamat).9 Ibnu Abi Hatim dari Amru bin Maimun ra. Berkata: Rasulullah saw. pernah melewati seorang wanita yang sedang membaca: Hal atâka hadîts al-ghâsyiyah. Beliau lalu berdiri seraya mendengarkan dan bersabda, “Ya, sungguh telah datang kepada aku.”10
Kemudian diberitakan mengenai nasib segolongan manusia pada hari itu. Allah SWT berfirman: Wujûh[un] yawma‘idz[in] khâsyi’ah (Banyak muka pada hari itu tunduk terhina). Kata yawma’idzin (ketika itu) menunjuk pada Hari Kiamat. Adapun al-khâsi’ah berarti al-dzalîlah,11atau al-dzalîlah al-khâdhi’ah (yang hina lagi tertunduk).12 Dikatakan ar-Razi, kehinaan tampak dalam wajah karena itu merupakan kebalikan dari al-kibr (kemuliaan) yang menjadi tempat kepala dan otak.13 Mengenai wajah yang tunduk terhina pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT:
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ
(Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan (QS al-Qalam [68]: 43).
Selanjutnya disebutkan: ‘Âmilah nâshibah (bekerja keras lagi kepayahan). Dhamîr ayat ini kembali pada wujûh (wajah-wajah). Namun, yang dimaksudkan adalah para pemilik wajah tersebut.14 Kata âmilah berarti al-latî ta’malu al-a’mâl (yang mengerjakan berbagai perbuatan). Adapun nâshibah adalah at-ta’ab (kelelahan);15 atau seperti dikemukakan oleh ar-Razi, bermakna al-du`ûb fî al-a’amal ma’a al-ta’ab yang terus-menerus mengerjakan perbuatan yang disertai dengan kepayahan).16
Ada beberapa penjelasan tentang waktu terjadinya peristiwa yang diberitakan ayat ini. Pertama: terjadi di akhirat. Dikatakan Ibnu Jarir, âmilah yakni âmilah di neraka; dan nâshibah di dalamnya. Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Qatadah.17 Pada Hari Kiamat kelak mereka memang dibebani dengan perbuatan yang amat meletihkan, seperti diseret dengan rantai dan belenggu yang berat. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta (QS al-Haqqah [69]: 32).
Kedua: terjadi di dunia. Atha‘ dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mengerjakan amal dan keletihan di dunia atas dasar selain Islam, baik dari para penyembah berhala maupun kafir Ahlul Kitab seperti para pendeta dan lain-lain. Allah SWT tidak menerima jerih-payah mereka yang berada dalam kesesatan. Mereka masuk neraka pada Hari Kiamat. Pendapat Said bin Jubair dan Zaid bin Aslam.18
Ketiga: ada yang terjadi di dunia dan ada pula yang terjadi di akhirat. Ikrimah dan as-Sudi mengatakan bahwa ‘âmilah (bekerja keras) di dunia dengan kemaksiatan dan nâshibah  (merasakan kepayahan) di neraka dengan azab dan belenggu.19
Lalu Allah SWT berfirman: Tashlâ nâr[an] hâmiyah (memasuki api yang sangat panas [neraka]). Ibnu ‘Abbas, al-Hasan dan Qatadah menafsirkan nâr[an] hâmiyah sebagai hârrah] syadîdah (sangat panas).20 Inilah tempat kembali mereka di akhirat, neraka.
Kemudian diberitakan tentang gambaran siksa di neraka. Allah SWT berfirman: Tusyqâ min ‘ayn ‘âniyah (diberi minum [dengan air] dari sumber yang sangat panas). Kata al-âni berarti yang panasnya mencapai puncaknya. Berasal dari al-înâ` yang berarti at-ta`khîr (mengakhirkan).21 Di antaranya adalah firman Allah SWT:
يَطُوفُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيمٍ آنٍ
Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang memuncak panasnya (QS ar-Rahman [55]: 44).
Para pemilik wajah tersebut diberi minum dari minuman mata air yang dipanaskan hingga mencapai puncak paling panas.22 Alih-alih bisa menhilangkan haus dan menyegarkan mereka, minuman itu justru menambah siksa bagi mereka.
Selanjutnya diberitakan tentang makanan yang diperuntukkan bagi mereka. Allah SWT berfirman: Laysa lahum tha’âm illâ min dharî’ (Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri). Dikatakan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, dharî’ adalah sebuah pohon di neraka. Ikrimah menyebut pohon itu memiliki duri yang tembus ke bumi.23 Ibnu Zaid menafsirkan adh-dharî’ sebagai asy-syawk min an-nâr (duri dari api). Dikatakan juga bahwa di dunia adh-dharî’ di dunia adalah duri kering yang tidak ada daunnya. Orang Arab menyebutnya sebagai adh-dharî’. Adapun di akhirat, duri dari api.24
Allah SWT berfirman: Lâ yusminu wa lâ yughnî min jû’ (yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar). Artinya, adh-dharî’ tidak menggemukkan bagi pemakannya. Bagaimana bisa orang yang makan duri bisa gemuk? Para mufassir mengatakan bahwa ketika ayat ini turun, orang-orang musyrik berkata, “Sesungguhnya unta kami juga gemuk dengan memakan duri.” Kemudian turun ayat ini. Mereka juga telah berdusta karena sesungguhnya unta digembalakan dengan rumput hijau. Apabila rumput itu kering, unta-unta itu pun tidak mau memakannya.25
Bukan hanya tidak menggemukkan, bahkan sama sekali tidak mengenyangkan. Wa lâ yughnî min jû’ berarti tidak mengenyangkan atau menghilangkan kelaparan yang menimpa mereka.26
Ancaman Mengerikan
Ayat-ayat ini menceritakan secara detail azab neraka yang amat dahsyat di neraka. Para penghuni neraka itu wajahnya tertunduk diliputi kehinaan. Mereka diterpa  keletihan tiada henti akibat berbagai siksa yang ditimpakan kepada mereka.
Mereka dimasukkan ke dalam neraka yang dipenuhi dengan api yang menyala-nyala. Mereka tidak diberi minuman kecuali minuman yang menambah siksa bagi mereka, yakni minuman yang berasal dari air mendidih yang amat panas hingga mencapai batas puncak paling panas. Allah SWT juga berfirman:
كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
Sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS Muhammad [47]: 15).
Demikian pula makanan. Dalam surat ini ditegaskan bahwa tidak ada makanan buat mereka kecuali adh-dharî’, makanan yang tidak membuat mereka menjadi gemuk dan kenyang. Sebab, sesungguhnya itu bukanlah makanan. Itu adalah azab yang menambah kepedihan mereka. Dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:
وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا
Makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih (QS al-Muazzammil [73]: 13).
Semua itu merupakan ancaman sangat mengerikan. Bagi siapa pun yang menggunakan akalnya, tidak akan berani melakukan tindakan yang dapat menjerumuskan dirinya tercebur ke dalam neraka. Betapa pun besar kenikmatan yang didapat di dunia, tak akan membuat berselera untuk mendapatkan jika akhirnya harus menjadi penghuni neraka. Sebab, siksa yang bakal diterima jauh lebih dahsyat daripada kenikmatan dunia.
Dalam ayat ini memang tidak dijelaskan secara lahiriah siapakah para pemilik wajah yang tunduk terhina itu. Kendati demikian, telah jelas siapakah sesungguhnya mereka. Sebab, ini dijelaskan dalam banyak ayat al-Quran. Mereka adalah pelaku kekufuran, kemaksiatan dan kejahatan. Allah SWT berfirman:
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ *يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ *وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ *
Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada Hari Pembalasan. Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu  (QS Al Infithar [82]: 14-16).
Maka dari itu, selagi masih diberikan kesempatan, para pelaku kejahatan itu hendaknya segera bertobat sebelum menyesal. Penyesalan tidaklah berguna.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Shaikh Sayyid Qutb Rahimahullâh : Islam Hanya Mengenal Dua Jenis Masyarakat: Islami dan Jahiliyah

Shaikh Sayyid Qutb Rahimahullâh : Islam Hanya Mengenal Dua Jenis Masyarakat: Islami dan Jahiliyah
Masyarakat Islami adalah masyarakat yang di dalamnya mereka menerapkan Islam, akidah dan ibadahnya, syariah dan sistemnya, serta akhlak dan perilakunya. Sementara masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang di dalamnya mereka tidak menerapkan Islam, tidak diatur berdasarkan akidah Islam dan persepsinya, tidak menerapkan nilai dan timbangannya, sistem dan syariahnya, serta akhlak dan prilakunya.
Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang menyebut diri mereka Muslim, sedangkan syariah Islam bukanlah konstitusi bagi masyarakat ini, sekalipun mereka shalat, puasa dan berhaji ke Baitullah! Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang menciptakan sendiri Islam untuk dirinya, yakni bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT, dan dijelaskan oleh Rasulullah, serta bukan semisal yang disebutnya Islam modern!
Shaikh Sayyid Qutb Rahimahullâh
www.facebook.com / TheReturnOfIslamicCaliphate

Hukum Membawa Id Card Dengan Lafal Allah ke Dalam Toile

Hukum Membawa Id Card Dengan Lafal Allah ke Dalam Toilet
Tanya :
Ustadz, bolehkah membawa ID Card (semisal tanda peserta atau panitia) yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet? Makruh atau haram? (Fahmi Amhar, Cibinong)
Jawab :
Disunnahkan melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah, baik berbentuk cincin, tanda panitia/peserta (ID Card), koin, maupun yang lainnya sebelum seseorang memasuki toilet. Jika tidak melepas, hukumnya tidak haram namun termasuk khilaful aula, yaitu menyalahi yang lebih utama. Jika tidak melepas sebaiknya ID Card itu diletakkan dalam wadah tertutup (mastur) seperti tas atau saku baju.
Dalil kesunnahannya, hadits Anas ra bahwa Rasulullah SAW jika hendak memasuki khala` (tempat membuang hajat), beliau melepaskan cincinnya. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Nasa`i). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/157; Imam Nawawi, Al Majmu’, 2/110). Dalam kitab As Shahihain (Bukhari dan Muslim) terdapat hadits yang menjelaskan pahatan pada cincin Rasulullah SAW itu berbunyi “Muhammad Rasulullah“. (Al Majmu’, 2/110).
Berdasarkan hadits Anas ini, Imam Syirazi penulis kitab Al Muhadzdzab sebagaimana dikutip Imam Nawawi, berkata bahwa jika seseorang hendak memasuki tempat membuang hajat (al khala`) sedang dia membawa sesuatu yang mengandung dzikir kepada Allah SWT, maka yang mustahab (sunnah) adalah ia melepaskannya. Imam Nawawi juga menukilkan pendapat Imam Mutawalli dan Imam Rafi’i, bahwa hukum sunnah ini tak berbeda apakah lafal dzikir itu tertulis pada cincin, koin dinar, koin dirham, ataupun pada yang lainnya.  (Al Majmu’, 2/110). Imam Shan’ani menyatakan pendapat serupa bahwa hukum sunnah ini tidak khusus untuk cincin, melainkan bersifat umum untuk segala benda yang dikenakan yang mengandung dzikir kepada Allah (kullu malbusin fiihi dzikrullah). (Subulus Salam, 1/157).
Inilah dalil sunnahnya melepas segala atribut yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet. Jika seseorang tidak melepasnya, jumhur ulama mengatakan hukumnya makruh. (Ahmad Salim Malham, Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyah Al Khashshah bi Al Qur`an, hlm. 439). Namun kami berpendapat, lebih tepat disebut khilaful aula, bukan disebut makruh. Sebab dalil larangan makruh itu tak ada. Yang ada adalah dalil perintah sunnah untuk melepas sesuatu yang mengandung lafal Allah. Jika seseorang tak mengerjakan perbuatan sunnah, tak berarti dia telah mengerjakan perbuatan yang makruh. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyah, 3/228).
Sebagian ulama dari mazhab Maliki mengharamkan membawa sesuatu yang mengandung lafal Allah ke dalam toilet, dengan alasan lafal Allah adalah bagian mushaf. (Ad Dardir, As Syarh Al Kabir, 1/107). Pengarang kitab Kasyaful Qana’ menyebutkan dalam hal ini sebagian mushaf hukumnya sama dengan mushaf utuh. (Kasyaful Qana’, 1/59). Memang benar membawa mushaf ke dalam toilet hukumnya haram. Tapi berdasarkan hadits Anas ra di atas, yang lebih tepat adalah membedakan hukum antara membawa mushaf dengan membawa selain mushaf (seperti cincin dan semisalnya) ke dalam toilet. (Ahmad Salim Malham, ibid., hlm. 439-440).
Pendapat yang mengharamkan ini mungkin bertolak dari pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Dawud, Nasa`i, dan Baihaqi yang mendhaifkan hadits Anas ra. Namun Imam Tirmidzi mengatakan hadits Anas adalah hadits hasan sahih gharib. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 2/110). Pendapat Imam Tirmidzi ini didukung Imam Shan’ani yang menerangkan hadits Anas tersebut telah diperkuat oleh syahid (hadits serupa dengan jalur periwayatan lain) yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Al Hakim. (Subulus Salam, 1/157).
Maka, berdasarkan hadits Anas ra ini, yang tepat adalah membedakan hukum membawa mushaf ke dalam toilet yang hukumnya haram, dengan membawa sesuatu selain mushaf (seperti ID Card) yang hukumnya tidak haram. Wallahu a’lam. [ ]
sub Judul

KEJAHATAN SEKSUAL: Sebab dan Solusinya dalam Pandangan Islam

KEJAHATAN SEKSUAL: Sebab dan Solusinya dalam Pandangan Islam
Oleh: Roni Ruslan
(Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)
Mukaddimah
Maraknya kejahatan seksual saat ini tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, dimana kejahatan tersebut tumbuh dan berkembang. Kejahatan seksual, termasuk pelecehan seksual terhadap kaum perempuan, bukan merupakan fenomena tunggal, dan berdiri sendiri. Tetapi dipicu oleh banyak faktor. Di Mesir, menurut laporan http://www.digital.ahram.org.eg disebutkan, bahwa setiap tahun ada 20,ooo kasus perkosaan. Menurut laporan yang sama, 90% pelakunya adalah pengangguran. Sebelum ini, kita juga menyaksikan demo besar-besaran di India yang menuntut perlindungan terhadap kaum perempuan dari tindak kejahatan seksual.
Fenomena ini jelas bukan merupakan fenomena tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku kejahatannya, tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya. Namun, fenomena ini merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, baik di Barat maupun di negeri-negeri kaum Muslim. Sistem Kapitalisme, dengan azas manfaatnya (naf’iyyah), telah melahirkan kebebasan bertingkah laku (hurriyyah syakhshiyyah), kebebasan berekspresi (hurriyah ta’bîr), kebebasan beragama (hurriyah tadayyun), kebebasan memiliki (huriyyah tamalluk) di tengah-tengah masyarakat. Inilah sistem yang paling bertanggungjawab terhadap lahir dan berkembangnya fenomena saat ini.
Kejahatan Seksual: Fenomena Komplek
Kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) ini pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang membuncah. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi. Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan jenis) bagi masing-masing pria dan wanita.
Maraknya perempuan yang berpakaian minim, dan mengumbar aurat, bukan hanya rambut dan leher, tetapi belahan dada, bahkan tidak jarang hingga buah dada, diikuti dengan perut dan pusarnya, hingga paha sampai betis dan tumitnya, semuanya itu merupakan fakta yang bisa merangsang lawan jenisnya, yaitu kaum pria. Ditambah maraknya gambar, film, tayangan dan jejaring sosial yang menayangkan adegan seks. Semuanya ini tentu menjadi pemicu lahirnya rangsangan seks yang begitu kuat. Rangsangan ini kemudian diikuti fantasi seks hingga mendorong tindakan. Tindakan ini bisa menjerumuskan pelakunya dalam kejahatan seks, mulai dari pelecehan hingga perkosaan.
Harus diakui, ini merupakan dampak dari sistem sosial Kapitalis (an-nidhâm al-ijtimâ’î ar-ra’samâlî), yang membuka kebebasan bertingkah laku (hurriyah syakhshiyyah), dimana hubungan antara pria dan wanita begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas pria dan wanita tanpa batas ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi orang-orang yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam, tetapi bagi yang tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang lemah. Terjadilah tindak perkosaan (jarîmah ightishâb) itu.
Juga perlu dicatat, sistem sosial Kapitalis ini juga tidak berdiri sendiri, karena sistem ekonomi Kapitalis (an-nidhâm al-iqtishâdî ar-ra’samâli) yang juga memberikan kontribusi. Terkait dengan barang dan jasa yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat, sistem ini tidak mempunyai standar baku, selain azas manfaat (benefit), dimana setiap barang dan jasa yang mempunyai nilai guna (utility value) bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan, tanpa melihat halal dan haram. Barang dan jasa bisa dianggap mempunyai nilai guna (utility value), jika ada yang menginginkan (raghbah). Karena itu, gambar, film termasuk sex toys dan layanan seks diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan bisa menjadi komoditas bisnis yang sangat menggiurkan.
Belum lagi kebebasan memiliki (hurriyah tamalluk) barang dan jasa tersebut yang memang dijamin oleh sistem ekonomi Kapitalis ini. Di satu sisi, sistem ekonomi ini juga melahirkan banyak orang sibuk, dengan tingkat tekanan yang tinggi (stress). Pada saat yang sama, agama tidak dijadikan sebagai pondasi kehidupan, sebagai dampak dari Sekularisasi, maka solusi yang mereka tempuh adalah dugem, minum dan hiburan yang menawarkan layanan seks semalam. Di lain pihak, sistem ekonomi ini melahirkan banyak pengangguran dan orang-orang kepepet. Dengan tingkat tekanan hidup dan rangsangan seksual yang tinggi, didukung dengan tidak adanya pondasi agama, maka cara singkat dan paling mudah adalah memangsa orang-orang lemah di sekitar mereka. Terjadilah perkosaan terhadap anak-anak di bawah umur, dan sebagainya. Di sisi lain, karena tekanan hidup yang sama, kaum perempuan tidak jarang menjadi komoditas seks yang dijajakan. Terjadikan praktik prostitusi, mulai dari prostitusi jalanan hingga hotel berbintang. Semuanya ini jelas merupakan dampak sistemik dari sistem Kapitalis ini.
Solusi Islam: Ganti Rezim dan Sistem
Diakui atau tidak, sistem Kapitalis ini bisa berjalan karena ada yang menerapkan, baik suka atau terpaksa. Bagi kebanyakan kaum Muslim, boleh jadi mereka menerapkan sistem ini karena terpaksa dan dipaksa. Tetapi, tentu tidak bagi para penguasa, baik yang duduk di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena mereka adalah para penguasa yang menjadi penyelenggara negara, dan bebas menentukan pilihan sistem apa yang akan mereka terapkan.
Ketika sistem Kapitalis ini mereka pilih, maka diakui atau tidak, sesungguhnya para penguasa itu merupakan antek negara-negara Kapitalis penjajah. Karena itu, ketika umat Islam ini menyadari kebobrokan sistem yang diterapkan di tengah-tengah mereka, maka mereka juga harus sadar, bahwa sistem ini masih diterapkan karena ada rezim yang menerapkannya. Maka, mengganti sistem yang bobrok itu dengan sistem Islam adalah solusi, tetapi itu bukan satu-satunya. Karena di sana masih ada rezim yang menjadi kaki tangan negara-negara penjajah. Karena itu, mereka juga harus diganti dengan orang-orang yang ikhlas dan amanah. Inilah solusi satu-satunya yang akan bisa mengakhiri mata rantai kejahatan skesual tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana Islam menyelesaikan kejahatan seperti ini? Maka, bisa dikembalikan kepada tiga pihak: individu, masyarakat dan negara. Dengan diterapkannya sistem Islam, dan dijadikannya Islam sebagai dasar kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara, maka fakta hingga fantasi seksual sebagaimana yang marak saat ini tidak akan ada lagi. Interaksi di tengah-tengah masyarakat yang melibatkan pria dan wanita juga diatur sedemikian, sehingga berbagai pintu pelecehan, perzinaan hingga perkosaan tersebut akan tertutup rapat. Selain sistem tersebut, negara juga menerapkan sanksi yang tegas dan keras terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan tersebut.
Islam juga memberikan hak kepada individu yang menjadi korban pelecehan hingga perkosaan tersebut untuk melakukan perlawanan. Nabi saw bersabda, “Man qutila duna ‘aradhihi fahuwa syahid.” (Siapa saja yang terbunuh, karena membela kehormatannya, maka dia pun mati syahid) (Hr. ). Hadits ini berisi ikhbâr (berita), tetapi dengan konotasi amr (perintah). Karena itu, siapa saja yang kehormatannya dinodai, harus melakukan perlawanan. Jika karena itu, dia terbunuh, maka dia pun dinyatakan sebagai orang yang mati syahid. Perintah yang sama juga berlaku untuk keluarga korban, bukan hanya korban. Pada zaman Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab, ada seorang perempuan hendak diperkosa, kemudian dia melawan dengan cara memukul pelakunya dengan batu hingga tewas. Ketika perempuan yang menjadi korban ini diajukan ke pengadilan, dan terbukti bahwa tindakannya membunuh pelaku tadi karena membela diri dari tindak perkosaan yang hendak dilakukan terhadap dirinya, maka ‘Umar pun membebaskannya. Ini di satu pihak.
Sanksi Tegas untuk Pelaku
Di pihak lain, Islam juga memberlakukan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku tindak perkosaan tersebut. Dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijulid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’ menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Imam Malik berkata, “Menurut kami pria yang memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, jika perempuan tersebut wanita merdeka, maka pelakunya wajib membayar mahar yang sepadan denganya. Jika wanita tersebut budak, maka pelakunya wajib membayar kurang dari harga (budak)-nya. Sanksi ini berlaku bagi pelaku perkosaan, sementara korban perkosaan tidak ada sanksi apapun.” (Malik, al-Muwatha’, Juz II/734)
Hal yang sama dinyatakan oleh Imam as-Syâfi’î. Selain kewajiban membayar mahar, juga sanksi had zinâ. Pendapat ini juga dinyatakan Imam al-Laits, dan diriwayatkan bahwa Sayyidina ‘Alî bin Abî Thâlib juga menyatakan hal yang sama. Sedangkan Imam Abû Hanîfah dan Sufyân at-Tsaurî menyatakan, bahwa pelakunya hanya dikenai sanksi had zinâ, sementara mahar tidak wajib dia bayar. Perlu dicatat, bahwa had zinâ ini merupakan hak Allah (haqqu-Llah), sedangkan mahar adalah hak manusia (haqq[un] Adami). Dalam hal ini, kedua-duanya boleh dikumpulkan dalam satu hukuman, sebagaimana orang yang mencuri, selain dikenai sanksi potong tangan (had sariqah), yang merupakan haqqu-Llah, juga diwajibkan mengembalikan harga yang dicuri, yang merupakan haq[un] Adami. (Lihat, al-Muntaqâ Syarah al-Muwatha’, Juz V/268-269).
Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan, “Para ulama’ sepakat, bahwa pria yang memperkosa wajib dikenai sanksi had zina, jika bisa dibuktikan dengan pembuktian yang mengharuskan had tersebut, atau si pelaku mengakuinya. Jika tidak, maka dia harus dikenai sanksi (maksudnya, jika had zina tidak bisa diberlakukan, karena dia tidak mengaku, tidak ada 4 saksi, maka hakim bisa menjatuhkan sanksi dan ta’zir kepadanya yang bisa mencegahnya dan orang seperti dia melakukan perkosaan). Bagi korban tidak ada sanksi, jika benar bahwa pelaku memaksanya dan menindihnya (sehingga dia tidak berdaya), antara lain diketahui melalui jeritan dan teriakan minta tolong perempuan tersebut.”  (Ibn ‘Abd al-Bârr, al-Istidzkâr, Juz VII/146).
Ini jika pelaku perkosaan tersebut melakukan kejahatannya tanpa menakuti, mengancam dan menghunus senjata kepada korban. Jika dia menakuti, mengancam dan menghunus senjata, maka tindakan pelaku bisa dimasukkan dalam kategori hirâbah. Maka, bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an (Q.s. al-Maidah: 33).
Wallahu a’lam.

Hukum Menggunakan Ganja Sebagai Penyedap Makanan

Hukum Menggunakan Ganja Sebagai Penyedap Makanan

Tanya :
Ustadz, bolehkah menggunakan ganja sekedar untuk penyedap makanan? (Abdul Aziz, Jakarta)
Jawab :
Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) untuk penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut. Keharamannya didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.
Dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab : al hasyisy) adalah hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah RA bahwa Nabi SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir) (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).
Sebagian ulama menilai hadits ini dha’if (lemah), misalnya penulis  kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib Al Arna`uth. Namun kami lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang menghukumi hadits ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib Al Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al Khamr min Al ‘Asl, syarah hadits no 5263; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab “At Takhdiir”; Ahmad Fathi Bahnasy, Al Khamr wal Mukhaddirat fi Al Islam, hlm. 169).
Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadits di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 342; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35).
Maka dari itu, hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).
Keharaman ganja ini menurut kami bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).
Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasannya apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak. Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208).
Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al waqi’), namun bukan illat keharaman ganja.
Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan : inna al ‘ibadat wa al math’umat wa al malbusat wa al masyrubat wa al akhlaq laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nash. (sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja). (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55). Wallahu a’lam.[]
Sumber: Mediaumat

3 MARET 1924

3 MARET 1924
3 Maret 1924 (28 Rajab 1342 ) merupakan tanggal penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Pada saat itu , secara resmi Khilafah Islamiyah dibubarkan oleh Kamal at Tartuk, seorang  keturunan Yahudi, yang merupakan agen Inggris.
Sejak saat itu umat Islam, tidak lagi memiliki institusi politik yang menyatukan umat Islam diseluruh dunia. Umat Islam tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state), yang membuat umat Islam lemah.
Padahal adalah perkara yang qot’i (pasti) di dalam Islam tentang kewajiban adanya persatuan umat  yang hanya akan terwujud secara riil  dengan kesatuan negara yaitu Khilafah. Kesatuan Khilafah , berarti kesatuan kepemimpinan, yakni satu Kholifah untuk seluruh kaum muslimin di dunia.
Wajibnya adanya satu kholifah untuk seluruh dunia, ditegaskan oleh Rosululllah tentang larangan adanya dua kholifah. Rosulullah SAW bersabda : “Jika dibai’at dua orang Kholifah maka bunuhlah  yang terakhir dari keduanya” HR Muslim.
Berkaitan tentang masalah ini , Imam an-Nawawi dalam Syarh an-Nawâwî ‘alâ Shahîh Muslim, XII/232, berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Sejak saat itu umat Islam tidak lagi memiliki institusi negara khilafah yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Ketiadaan Khilafah telah membuat demikian banyak hukum-hukum Allah SWT terutama dalam perkara mu’amalah yang terabaikan.  Dalam masalah ekonomi, politik, pendidikan, peradilan , uqubat (sanksi), umat Islam tidak lagi secara totalitas mendasarkan kepada Al Qur’an dan as Sunnah.
Umat Islam disebagian besar negeri Islam diatur oleh hukum-hukum kufur yang banyak diantaranya justru berasal dari penjajah mereka sendiri. Padahal menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan adalah kewajiban setiap muslim yang merupakan bukti keimanannya kepada Allah SWT dan Rosul-Nya.
Sejak saat itu umat Islam juga tidak lagi memiliki  pelindung umat.  Penguasa-penguasa negeri Islam yang lemah saat ini , alih-alih melindungi mereka justru menjadi pembantai rakyat mereka sendiri. Seperti yang terjadi saat ini di Suriah rezim Basyar assad dan begundal-begundalnya, membantai rakyatnya, memperkosa muslimah, memutuskan hubungan listrik dan air. Saat ini lebih dari 90 ribu telah menjadi korban kekejaman Assad.
Bukan hanya tidak melindungi rakyat dan negaranya, penguasa-penguasa  negeri Islam yang menjadi boneka-boneka Barat malah membiarkan rakyatnya sendiri dibunuh oleh negara-negara imperialis. Rezim pengkhianat Pakistan membiarkan pesawat-pesawat tanpa awak (drone) menjatuhkan bom-bom yang membunuh rakyat sipil termasuk anak-anak. Demikian juga penguasa Yaman, Saudi, dan antek-antek Barat lainnya.  Saat ini lebih dari 1 juta umat Islam yang terbunuh di Irak, Afghanistan , Pakistan, Yaman, Mali dan negeri-negeri Islam lainnya, akibat kebuasan  negara-negara imperialis ini.
Penguasa  boneka seperti di Sudan dan Indonesia membiarkan Barat memecah belah negeri-negeri Islam , Sudan Selatan memisahkan diri Sudan. Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia. Sementara Papua dan Aceh juga berpotensi untuk melepaskan diri.
Mereka juga menjual kekayaan alam negeri-negeri Islam untuk kepentingan elit-elit politik , keluarga, dan kroni-kroni rezim yang berkuasa. Neger-negeri Islam yang kaya minyak, batu bara, emas, dan tambang lainnya, malah diberikan kepada perusahan-perusahan swasta baik lokal maupun asing . Di sisi lain mereka membiarkan rakyat mereka sendiri kelaparan dan hidup dalam kemiskinan.
Padahal dalam Islam adalah sudah sangat jelas, barang-barang tambang  yang melimpah itu adalah milik rakyat karena masuk dalam katagori milkiyah ‘amah (pemilikan umum). Seharusnya dikelola  oleh negara dengan baik, transparan, professional, dan hasilnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Karena itu, seruan kepada umat untuk meninggalkan sistem kapitalisme sekuler secara total , baik liberalisme dalam ekonomi, atau demokrasi dalam politik, pluralisme dalam sistem bermasyarakat menjadi sangat penting. Karena sistem kapitalisme ini merupakan produk negara-negara penjajah  yang menjadi pangkal derita umat Islam.
Demikian juga seruan untuk kembali menegakkan Khilafah untuk menggantikan sistem kapitalisme ini menjadi sangat penting.  Sudahlah , sudah lebih selama 89 tahun umat Islam hidup dalam sistem kufur dengan penguasa pengkhianat yang menjadi boneka Barat. Kehidupan umat Islam sudah sangat menderita. Apalagi sistem kapitalisme Barat sendiri sedang sekarat menyusul kematian sistem sosialism komunisme.
Padahal umat Islam haram hukumnya lebih dari 3 hari hidup tanpa Khilafah. Apa yang dilakukan Umar ra. adalah berwasiat kepada ahlusy-syura dan memberi mereka masa jeda (jelang waktu) selama tiga hari untuk memilih khalifah penggantinya. Bahkan Umar ra. berwasiat bahwa jika dalam tiga hari khalifah belum disepakati, maka orang yang menentang hendaklah dibunuh. Umar ra. juga mewakilkan kepada lima puluh orang dari kaum Muslim Anshar untuk melaksanakan itu, yaitu membunuh orang yang menentang khalifah terpilih. Padahal mereka semua adalah ahlusy-syura dan para Sahabat senior. Semua itu dilihat dan didengar langsung oleh para Sahabat dan tidak terdapat satu riwayat pun bahwa ada seorang dari mereka menentang atau mengingkari ketetapan Umar ra. ini. Dengan demikian, menjadi Ijmak Sahabat bahwa kaum Muslim tidak boleh kosong dari khalifah lebih dari tiga hari. Ijmak Sahabat dalah dalil syariah, sebagaimana al-Quran dan as-Sunnah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 27).
Maka pilihan yang paling rasional sekaligus syar’I (sesuai dengan hukum Islam) adalah kembali kepada Khilafah. Keberadaan Khalifah dalam penegakan syariah merupakan tâj al-furûdh (mahkota dari semua kewajiban).  Menegakkan Khilafah merupakan kewajiban yang paling penting. Al-Hashkifi al-Hanafi berkata: Menegakkan Khilafah merupakan kewajiban yang paling penting. Oleh karena itu, para Sahabat Nabi saw.  Mendahulukan kewajiban ini atas pemakaman jenazah pemilik mukjizat (Rasulullah saw.) (Al-Hashkifi, ad-Durr al-Mukhtâr, hlm. 75).
Umar bin Khaththab ra., dalam Shahîh al-Bukhâri, hadis nomor 6829, juga pernah menyatakan, “Aku takut manusia hidup dalam waktu lama (tanpa Khalifah) sehingga ada yang berkata, ‘Saya tidak menemukan had rajam dalam Kitabullah.’ Akibatnya, ia menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan.” Na’udzubillahi min dzalik(Farid Wadjdi)