Mungkinkah Dari Demokrasi Lahir UU Islami?
Soal:
Apakah ada produk perundangan-undangan yang dihasilkan melalui sistem demokrasi yang benar-benar Islami?
Jawab:
Undang-undang (qânûn)
didefinisikan sebagai perintah dan larangan yang wajib dipedomani di
suatu negara. Dengan mengalisis karakter hukum syariah yang dinyatakan
dalam sumber syariah Islam, serta memperhatikan sirah Nabi saw., maka
tampak ada dua kategori perundang-undangan (qawânîn), kaidah (qawâ’id) dan hukum (ahkâm) yang mengatur masyarakat Islam.
Pertama: perundang-undangan (qawânîn)
yang dalam pengambilannya, para penguasa dan kaum Muslim tidak boleh
meninggalkan sumber-sumber syariah, dan melihat sumber-sumber lain,
apapun alasannya. Ini bisa didefinisikan dengan hukum dan
perundang-undangan syariah (qawânîn tasyrî’iyyah). Perundang-undangan yang masuk wilayah tasyri’ ini seperti UUD, UU Parpol, UU Perkawinan, UU Perdata dan Pidana, UU Pornografi dan Pornoaksi, UU Perbankan, dan lain-lain.
Kedua: perundang-undangan (qawânîn) dan hukum (ahkâm),
dimana syariah menyerahkan kepada para penguasa dan individu Muslim
untuk mengambilnya, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang menjadi
pandangannya dari manapun sumbernya, dengan catatan tidak menegasikan
atau bertentangan dengan syariah. Kategori ini disebut hukum dan
perundang-undangan administrasi (qawânîn ijrâ’iyyah). Perundang-undangan yang masuk wilayah ijrâ’i ini, seperti peraturan lalu lintas.
Dalam konteks perundang-undangan yang
pertama, satu-satunya sumber yang sah adalah wahyu, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijmak Sahabat
dan Qiyas. Ini berbeda dengan kategori perundang-undangan yang kedua;
perundang-undangan ini diserahkan kepada manusia, karena menyangkut
teknis dan administrasi, dan termasuk dalam wilayah uslûb yang
mubah. Tentu dengan catatan, jika tidak bertentangan dengan syariah.
Hanya saja, meski berbeda sumber dan rujukannya, proses pengambilan
pendapat yang digunakan untuk menyusun perundang-undangan tersebut harus
tetap mengikuti ketentuan Islam dalam mengambil pendapat.
Di sinilah bedanya Islam dengan sistem
demokrasi. Jika dalam sistem demokrasi, proses pengambilan pendapat
tidak dipilah, antara mana pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah, dan mana yang masuk wilayah qawânîn ijrâ’iyyah. Semuanya diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Adapun dalam sistem Islam, pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah
diambil berdasarkan mana pendapat yang paling kuat dalilnya, tanpa
melihat apakah pendapat tersebut didukung oleh suara mayoritas atau
tidak. Selain itu, satu-satunya yang berhak menyusun dan
mengundang-undangkan bukanlah parlemen, tetapi kepala negara (Khalifah).
Ini juga berlaku dalam qawânîn ijrâ’iyyah.
Karena itu, bisa dikatakan, bahwa semua
perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi ini sejatinya
bertentangan dengan sistem Islam, karena beberapa alasan. Pertama: dari aspek sumber perundang-undangan (mashâdir tasyrî’).
UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan Islam
sebagai sumbernya. Di Indonesia, misalnya, UU yang dihasilkan harus
bersumber dari UU yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan
dengannya, seperti UUD 45 dan Pancasila. Karena itu, sekalipun UU
tersebut diklaim bersumber dari syariah, ketika UU tersebut diterima,
alasannya bukan karena kesesuaiannya dengan syariah, melainkan karena
tidak bertentangan dengan UU di atasnya, atau bertentangan dengan sumber
perundang-undangan yang ada.
Kedua: dari aspek standar (maqâyis).
UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan halal
dan haram sebagai standarnya, melainkan asas manfaat (benefit). Sebagai
contoh, UU Perbankan Syariah. UU ini disusun untuk mengakomodasi
kepentingan kaum Muslim yang menginginkan dirinya bebas dari perbankan
konvensional, yang menggunakan sistem riba. Memang benar riba
dihilangkan, tetapi di sana ada nisbah (prosentasi keuntungan), sebagaimana dalam kasus mudharabah. Memang riba dihilangkan, tetapi di sana ada ujrah dari jasa penggunaan uang, sebagaimana dalam kasus Dana Talangan Haji. Ini semua merupakan hîlah
(siasat) untuk mendapatkan keuntungan, yang semestinya tidak sah, namun
disiasati agar menjadi absah, karena standar yang digunakan bukan halal
dan haram, melainkan asas manfaat.
Ketiga: dari aspek proses penyusunannya (tasyrî’ wa taqnîn).
UU yang lahir dalam sistem demokrasi jelas prosesnya berbeda dengan UU
yang lahir dari sistem Islam. Di dalam sistem demokrasi, semua UU
digodok dan dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Ini jelas berbeda
dengan Islam:
1- Dalam masalah hukum syariah,
Islam menetapkan bahwa UU harus bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijmak
Sahabat dan Qiyas. Pasal-perpasal di dalam UU ini disusun berdasarkan
dalil yang paling kuat (râjih).
2- Rancangan UU tersebut, setelah
terbukti dalilnya paling kuat, diadopsi oleh Khalifah (kepala negara)
sebagai satu-satunya pihak yang memegang otoritas dalam mengadopsi hukum
untuk dijadikan UU.
3- Jika di kemudian hari terbukti
ada kelemahan dalam pasal-perpasal UU yang diadopsi oleh Khalifah itu,
tugas untuk mengoreksinya ada di tangan Mahkamah Mazhalim.
Sebagai produk pemikiran, UU jelas berbeda dengan madaniyyah, seperti mobil, HP maupun yang lain. Boleh dan tidaknya mengambil dan memanfaatkan madaniyyah ditentukan oleh, apakah madaniyyah
tersebut bertentangan atau tidak dengan peradaban Islam. Jika
bertentangan maka hukum mengambil dan memanfaatkannya jelas haram.
Contoh, lukisan makhluk hidup dan patung.
Berbeda dengan UU, sebagai produk pemikiran, UU bukanlah madaniyyah, tetapi merupakan bagian dari hadhârah
(peradaban) itu sendiri. Karena itu, kriteria apakah UU tersebut sesuai
atau tidak dengan syariah Islam tidak cukup dijadikan alasan untuk
menyatakan bahwa UU tersebut islami. Karena selain kriteria sesuai
dengan syariah Islam, dan tidak bertentangan dengannya, juga harus ada
dua kriteria lagi, yaitu:
1- UU tersebut harus dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniyy[un] ‘alâ al-‘aqîdah al-Islâmiyyah).
Dengan kata lain, akidah Islam benar-benar menjadi dasar dan pondasi
dalam menyusun UU tersebut. Dengan akidah Islam dijadikan sebagai dasar
dan pondasinya, maka UU tersebut tidak akan mengandung pemikiran yang
bertentangan dengan Islam.
2- UU tersebut juga harus terpancar dari akidah Islam (yanbatsiqu ‘an ‘aqîdah al-Islâmiyyah).
Ini dibuktikan dengan adanya dalil yang bersumber dari wahyu, yaitu
al-Quran dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu
Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dengan kata lain, setiap pasal-perpasal yang
ada di dalamnya diambil dari dalil-dalil syariah tersebut.
Jika kedua kriteria di atas bisa dipenuhi, maka produk UU yang dihasilkan bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah). Namun jika tidak, maka produk UU tersebut tidak layak disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah) meski disertai lebel syariah, seperti UU Perbankan Syariah, Bursa Efek Syariah, dan sebagainya.
Dalil mengenai kriteria pertama adalah firman Allah SWT:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Menjadikan Nabi saw. sebagai hâkim,
berarti menjadikanya sebagai sumber hukum. Orang yang tidak bersedia
atau keberatan menjadikan Nabi saw. sebagai sumber hukum dianggap tidak
beriman. Artinya, jika dia benar-benar beriman, maka dia akan bersedia
dan tidak keberatan menjadikan Nabi saw. sebagai sumber hukum. Itu
artinya, bahwa iman atau akidah Islam itu merupakan dasar bagi hukum dan
perundang-undangan.
Nabi saw. juga bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبْعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Lihat: Tafsir al-Qurthubi, XVI/166).
Adapun dalil mengenai kriteria kedua adalah firman Allah SWT:
Siapa saja yang mencari agama selain
Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi (QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Nabi saw. juga bersabda:
مَن أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa saja yang mengada-adakan
(perkara baru) dalam urusan (agama)-ku ini, sesuatu yang tidak terdapat
di dalamnya, maka sesuatu itu pasti tertolak (HR al-Bukhari).
Larangan Allah SWT mengambil selain
Islam sebagai agama (tuntunan hidup) menunjukkan, bahwa hanya Islamlah
yang harus dipedomani dalam hidup. Menjadikan selain Islam sebagai
pedoman hidup jelas tidak akan diterima. Kedua nas ini juga menjadi
dalil, bahwa hanya Islam yang boleh dijadikan dasar, acuan, pedoman dan
standar dalam mengatur kehidupan, termasuk membuat perundang-undangan.
Inilah dua kriteria yang menjadi dasar bagi seorang Muslim dalam menilai, apakah produk UU tersebut islami atau tidak. Pertama, dilihat dari aspek apakah UU tersebut dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniyy[un] ‘alâ al-‘aqîdah al-islâmiyyah) atau tidak. Kedua, dari aspek apakah UU tersebut juga terpancar dari akidah Islam (yanbatsiqu ‘an ‘aqîdah al-islâmiyyah) atau tidak. Jika kedua kriteria tersebut ada pada suatu UU, maka UU tersebut bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah). Namun, jika tidak, maka perundang-undangan tersebut tidak bisa disebut sebagai perundang-undangan syariah (qawânîn syar’iyyah).
WalLahu a’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar