KH Shiddiq al-Jawi: Islam Menolak Demokrasi
GM,
Kajian Umum Online
6:40 AM
Pengantar:
Wacana demokrasi di kalangan Muslim,
termasuk para tokohnya, saat ini didominasi oleh opini bahwa demokrasi
kompatibel dengan Islam, dan sebaliknya. Alasannya antara lain karena
unsur demokrasi terpenting adalah syura atau
musyawarah yang memang disyariatkan dalam Islam. Demokrasi juga sering
dikait-kaitkan dengan transparansi, keadilan, kesamaan di depan hukum,
kesejahteraan dan hal-hal positif lainnya. Semua itu tentu merupakan
kemaslahatan yang juga ingin diwujudkan oleh Islam.
Namun, pendapat berbeda telah lama
dikemukakan oleh Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir justru melihat demokrasi
bertentangan sama sekali dengan Islam, mulai dari asas hingga cabangnya.
Bukan hanya bertentangan dengan Islam, demokrasi pun telah banyak
menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Jika demikian, apa alasan
rasionalnya bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam? Mana pula
bukti-bukti bahwa demokrasi menghasilkan banyak malapetaka kemanusiaan?
Lalu bagaimana umat Islam seharusnya bersikap terhadap demokrasi?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancari KH Shiddiq al-Jawi dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut pertikan wawancaranya.
Sebagian
kaum Muslim beranggapan demokrasi tidak bertentangan dengan Islam,
karena substansi demokrasi adalah prinsip kekuasaan rakyat, yaitu
rakyatlah yang memilih pemimpin yang memegang kekuasaan. Bagaimana
pendapat Ustadz?
Memang ada yang berpendapat seperti itu,
seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh ad-Dawlah. Saya
katakan, pendapat ini ada benarnya pada satu segi. Namun, secara umum
pendapat itu tetap tidak benar. Ada benarnya, karena dari segi kekuasaan
atau pemerintahan, Islam memang memberikan kekuasaan itu menjadi milik
umat. Inilah yang disebut prinsip as-sulthan li al-ummah. Dalilnya adalah hadis-hadis pembaiatan khalifah oleh umat. Jadi, memang ini sekilas mirip dengan prinsip demokrasi rule from the people atau
pemerintahan dari rakyat. Namun, tetap ada bedanya, karena dalam Islam
rakyat memilih penguasa untuk menjalankan syariah. Sebaliknya, dalam
demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum buatan
rakyat, bukan hukum syariah.
Jadi, pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi
itu ada benarnya dalam satu sisi, namun pendapat beliau secara umum saya
anggap tetap tidak benar. Tampaknya beliau luput memperhatikan prinsip
lainnya dalam demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, yang justru amat
bertolak belakang dengan Islam. Kalau kedaulatan dikatakan ada di tangan
rakyat, artinya kewenangan tertinggi untuk menetapkan hukum ada di
tangan manusia. Ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, karena dalam
Islam yang berhak menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanyalah
Allah saja. Ingat firman Allah: In al-hukmu illa lilLah (QS
al-An’am [6]: 57). Jadi dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat,
tetapi di tangan syariah, karena syariah itu adalah wujud konkret dari
hak Allah membuat hukum.
Ada juga yang berpendapat, demokrasi itu substansinya adalah musyawarah, dan itu kan justru disyariatkan?
Banyak orang bicara seperti itu.
Misalnya, Presiden RI pertama, Soekarno. Dia pernah bilang demokrasi
bagi umat Islam adalah musyawarah. Saya menentang Soekarno, juga
menentang pendapat keliru seperti ini. Pertama,
karena musyawarah dalam Islam itu tidak pas kalau dikomparasikan dengan
demokrasi. Musyawarah itu artinya adalah pengambilan pendapat menurut
ajaran Islam (akhzdur ra‘yi fi al-Islam).
Adapun demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dari Barat. Jadi
membandingkan atau menyamakan musyawarah dengan demokrasi menurut saya nggak level, istilahnya tidak apple to apple.
Mestinya demokrasi itu dibandingkan dengan sistem pemerintahan Islam,
yaitu Khilafah, bukan dengan musyawarah. Ini yang pertama. Kedua,
kalau demokrasi dengan musyawarah tetap dibandingkan, akan banyak
perbedaannya. Dalam hal siapa yang berperan serta musyawarah beda dengan
demokrasi. Al-Quran menegaskan, peserta musyawarah hanyalah Muslim,
bukan non-Muslim. Ayat wa syawirhum fi al-amri (bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam segala urusan, QS Ali ‘Imran [3]: 159), juga ayat wa amruhum syura baynahum (urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka, QS Syura’ []: 38), menunjukkan sebenarnya kata “mereka” (hum),
adalah kaum Muslim saja, tidak mencakup kaum non-Muslim. Sebaliknya,
dalam demokrasi, yang berperan serta tidak ada batasannya, bisa siapa
saja, Muslim atau non-Muslim. Ketiga,
dalam hal kriteria pendapat yang diambil juga berbeda. Dalam demokrasi,
kriterianya adalah suara mayoritas untuk semua persoalan. Dalam Islam,
kriterianya tidak selalu suara mayoritas. Untuk persoalan-persoalan
teknis sederhana yang hukumnya mubah, kriterianya memang suara
mayoritas. Namun, dalam persoalan-persoalan normatif yang menyangkut
hukum, kriterianya bukan suara mayoritas, melainkan dalil syar’i, yakni mana dalil syar’i yang
paling kuat. Untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan
keahlian, kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat
yang paling benar, yang datang dari para ahlinya.
Namun,
dengan demokrasi itu ada keterbukaan, terbuka kesempatan mengoreksi,
pemerataan kesempatan dan rakyat bisa memperjuangkan haknya. Jadi,
jatanya, demokrasi itu tetap penting. Bagaimana komentar Ustadz?
Apa yang disebut sebagai keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya itu tidak dapat menjadi
dalil untuk mengadopsi demokrasi atau dalil atas kebolehan umat Islam
berperan serta dalam sistem demokrasi. Mengapa? Karena hal-hal yang
disebut tadi hanyalah persoalan cabang dari persoalan pokoknya, yaitu
demokrasi. Selama demokrasi sebagai persoalan pokoknya bertentangan
dengan Islam, maka demokrasi tetap tak boleh diambil atau diamalkan umat
Islam, meski dalam persoalan cabangnya tidak bertentangan dengan Islam.
Analoginya begini. Agama Kristen konon mengajarkan kasih sayang kepada
sesama, mengajarkan kepedulian kepada manusia yang menderita atau
terkena musibah. Saya tanya, apakah lalu boleh seorang Muslim memeluk
agama Kristen dengan alasan toh Islam
juga mengajarkan kasih sayang dan kepedulian kepada sesama? Tetap tidak
boleh, bukan? Karena kasih sayang atau kepedulian itu kan cuma
persoalan atau ajaran cabang dalam Kristen, yang mungkin secara
lahiriah tak bertentangan dengan Islam. Jadi, yang perlu dilihat bukan
persoalan cabangnya itu, melainkan justru persoalan pokok dalam akidah
Kristen itu sendiri, semisal teologi Trinitas yang jelas-jelas kufur dan
bertentangan secara total dengan Tauhid (QS al-Maidah [5]: 72-73).
Lalu bagaimana mau melakukan perubahan kalau tidak melalui sistem demokrasi?
Perubahan seperti apa dulu? Kalau yang
dimaksud adalah perubahan yang bersifat parsial, misalnya perubahan
kebijakan atau kultur tertentu pada departemen tertentu, semisal pada
Departemen Pertanian atau Departemen Sosial, mungkin ada benarnya masuk
demokrasi itu dikatakan penting. Namun, jika yang dimaksud adalah
perubahan total, yaitu mengganti sistem demokrasi menjadi sistem
Khilafah demi menerapkan syariah secara kaffah,
dan inilah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam kini, maka masuk
sistem demokrasi itu bukan saja tidak penting, tetapi justru akan
mempertahankan demokrasi yang seharusnya segera digantikan dengan sistem
Khilafah.
Kalau
kita tidak masuk dalam sistem demokrasi, katanya nanti kondisi umat
makin buruk dan umat makin terzalimi. Bagaimana, Ustadz?
Siapa bilang? Mana buktinya? Itu kan cuma
asumsi yang tidak berdasar fakta sama sekali. Pendapat itu kalau di
balik, artinya kondisi umat akan lebih baik dan makin mendapat keadilan
(tak dizalimi), jika umat Islam masuk sistem demokrasi. Faktanya tidak
demikian. Justru pada era reformasi yang katanya lebih demokratis
dibanding era Orde Baru, rakyat Indonesia yang notebene mayoritasnya
umat Islam, kondisinya tidak lebih baik. Angka kemiskinan, utang
pemerintah, korupsi, dekadensi moral, dominasi asing dalam politik dan
ekonomi, menjadi makin gila-gilaan justru di era reformasi sekarang.
Padahal banyak orang Islam di parlemen dan kabinet. Jadi, apakah dengan
jumlah partai politik yang lebih banyak saat ini kondisi umat menjadi
lebih baik? Apakah dengan peran serta orang Islam dalam lembaga
legislatif (DPR dan MPR) yang dipilih langsung oleh rakyat, kondisi umat
lebih baik? Apakah dengan peran serta umat Islam memilih langsung
presiden dan wakil presiden, memilih langsung kepala daerahnya dalam
Pilkada, membuat kondisi umat lebih baik? Tidak bukan?
Namun,
kalau tidak masuk demokrasi, nanti kekuasaan dikuasai non-Muslim dan
orang-orang yang rusak dan itu akan mendatangkan dharar (bahaya) bagi
umat. Padahal dharar kan harus dihilangkan?
Memang benar ada kaidah fikih: izalah dharar fardh[un],
menghilangkan bahaya adalah fardhu. Namun, tidak tepat kalau kaidah ini
diterapkan untuk mewajibkan masuk sistem demokrasi demi mencegah bahaya
berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama,
karena walaupun benar dominasi non-Muslim atau orang rusak adalah
bahaya bagi umat Islam, perlu diingat, bahaya itu tidak muncul dengan
sendirinya, melainkan muncul karena adanya sumber bahaya, yaitu sistem
demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasilah yang memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menimpakan bahaya kepada umat Islam. Jadi, sistem
demokrasi itulah yang mestinya lebih patut dan lebih utama untuk
dihilangkan, bukan bahaya-bahaya lainnya sebagai ekses sistem demokrasi.
Jadi, kaidah fikih tadi semestinya diterapkan untuk mewajibkan
penghapusan sistem demokrasi sebagai induk bahaya, bukan untuk
mewajibkan peran serta umat dalam sistem demokrasi untuk sekadar
menghilangkan bahaya-bahaya lain yang muncul sebagai ekses sistem
demokrasi. Kedua,
jika sistem demokrasi berpotensi menimbulkan bahaya berupa dominasi
non-Muslim atau orang rusak, ini berarti, sistem demokrasi telah menjadi
sarana (wasilah) pada sesuatu yang haram, yaitu munculnya bahaya. Jadi,
kaidah fikih yang relevan untuk menghukumi sistem demokrasi adalah: al-wasilah ila al-haram muharramah (segala
sarana menuju yang haram hukumnya diharamkan). Jadi, sistem demokrasi
itu hukumnya haram, karena dapat menimbulkan sesuatu yang haram, yaitu
bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak.
Ada
yang bilang kalau belum bisa diambil semuanya, ya jangan ditinggalkan
semuanya. Sebab, ada kaidah fikih: ma la yudraku kulluhu la yutraku
kulluhu. Bagaimana, Ustadz?
Begini. Penerapan kaidah itu ada
syaratnya, yaitu hanya boleh diterapkan untuk perbuatan-perbuatan halal
yang sesuai syariah, bukan untuk perbuatan yang diharamkan syariah.
Jadi, tidak boleh diterapkan dalam kasus, misalnya, kalau tidak mampu
mencuri mobil, maka curilah spionnya saja, jangan ditinggalkan semuanya.
Apakah ini bisa dibenarkan? Tidak bukan? Jadi, kaidah tadi tidak boleh
diterapkan untuk perbuatan yang diharamkan syariah. Maka dari itu, harus
dijawab lebih dulu, masuk ke dalam sistem demokrasi, misalnya dalam
kasus seorang Muslim menjadi anggota lembaga legislatif, apakah
perbuatan yang dihalalkan atau diharamkan? Menurut saya, hukumnya haram,
karena haram hukumnya melegislasikan hukum yang bukan syariah Islam.
Kecuali masuknya bukan untuk melegislasi hukum, tetapi sekadar
menjalankan fungsi pengawasan (muhasabah) dan untuk berdakwah, maka hukumnya boleh. Itu dijelaskan dalam salah satu kitab Hizbut Tahrir, yakni An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam halaman
84-85. Jadi, jika masuknya Muslim dalam lembaga legislatif adalah
perbuatan yang haram, tentu tidak boleh kita menerapkan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Kekeliruan yang amat fatal kalau kita menerapkan kaidah ini untuk melegitimasi perbuatan yang sudah diharamkan syariah.
Bukankah dalam demokrasi pun bisa lahir peraturan-peraturan yang tidak bertentangan dengan Islam?
Yang wajib diamalkan umat Islam itu
hanyalah hukum syariah. Apabila ada peraturan atau hukum atau
undang-undang yang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi peraturan itu
tidak bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah, maka bagaimana pun status
peraturan itu adalah tetap bukan hukum syariah. Contoh di Rusia dulu
pernah ada undang-undang yang melarang bunga bank. Apakah ini hukum
syariah? Jelas bukan, karena undang-undang itu tentu tidak bersumber
dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi demokrasi tetap harus kita tolak
walaupun dengan demokrasi bisa lahir undang-undang yang diklaim tak
bertentangan dengan Islam. Karena peraturan yang diperlukan umat Islam
adalah peraturan yang lahir dari Islam itu sendiri, yaitu undang-undang
yang secara materil adalah hukum syariah semata.
Masuk
ke sistem demokrasi itu hanya untuk alat perjuangan, sedangkan secara
sikap tetap menolak demokrasi. Bagaimana dengan pendapat semacam ini?
Bagi umat Islam, alat perjuangan itu
harus yang halal, bukan yang haram. Menggunakan alat yang haram untuk
mencapai tujuan yang halal, hukumnya tetap haram dan berdosa, tidak
halal. Kaidah fikih menyebutkan: la yutawashshalu ila al-halal bi al-haram (tidak boleh mencapai yang halal dengan menggunakan sarana yang haram). Ini disebut dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam karya Syaikh Ahmad Mahmud halaman 101.
Jadi bagaimana kita bisa tetap memperjuangkan Islam, memperjuangkan nasib umat dan merealisasi perubahan dan perbaikan ke depan?
Perjuangan yang sahih bukanlah melalui
demokrasi, melainkan mencontoh Rasulullah saw., yaitu menekuni jalan
dakwah melalui aktivitas perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang ideologi (shira’ fikri), serta berupaya melakukan thalabun-nushrah (mencari dukungan) dari pihak-pihak yang mampu menyerahkan kekuasaan untuk menegakkan Khilafah demi tegaknya syariah secara kaffah. Inilah satu-satunya cara yang wajib ditempuh umat. Tak ada yang lain. []
[www.globalmuslim.web.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar