Ilusi Demokrasi (1 )
Kajian Umum Online 7:52 AM
Orang sering mengatakan, apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera.Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Bukan benar-benar terbaik, tetapi terbaik di antara yang buruk (the best among the worst).
Dengan kemampuan memberikan ruang cukup
luas pada aspirasi rakyat, penghargaan pada keragamaan atau pluralitas
dengan tetap memberikan kebebasan, baik kebebasan berpendapat dan
berkelompok, maupun kebebasan berekspresi, demokrasi dipercaya bisa
mengakomodasi kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk dalam
memperlakukan kelompok rakyat miskin dan kaya sehingga kesejahteraan
bersama bisa diwujudkan. Namun,
dalam kenyataannya justru demokrasilah dengan Kapitalismenya itu yang
menjadi penyebab utama terjadinya konsentrasi kekayaan dan timbulnya
ketimpangan serta proses pemiskinan di tengah masyarakat. Bagaimana bisa?
Seperti telah banyak dipahami, inti dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (sovereignty belongs to people), yang perwujudannya tampak pada dua perkara.Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua,
dalam pemilihan pemimpin. Dengan kewenangan (wakil) rakyat menyusun
peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin, diyakini bahwa
peraturan perundangan yang dihasilkan akan selaras dengan kepentingan
rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerja demi rakyat. Namun, yang terjadi tidaklah demikian.
Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan
menjadi penguasa baik di level negara maupun di level distrik (propinsi
dan kota/kabupaten) diperlukan biaya yang tidak sedikit. Nah, kebutuhan akan dana yang besar inilah yang kemudian menjadi pangkal timbulnya masalah. Ambil contoh Amerika Serikat. Di
negara yang dianggap sebagai kampiunnya demokrasi, dalam Pemilu baru
lalu, untuk biaya kampanye, Obama dikabarkan menghabiskan paling
sedikit 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 triliun). Rivalnya, Mitt Romney juga menghabiskan jumlah kurang lebih sama. Keadaan
serupa terjadi di Indonesia. Pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam
Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, misalnya, secara resmi
menyatakan telah menghabiskan dana Rp 1,3 triliun untuk pencalonannya
sebagai gubernur Jawa Timur. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, yang dikeluarkan oleh calon presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.
Lalu untuk calon anggota legislatif (caleg), biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit.Wakil
Ketua DPR dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, dalam penelitian untuk
disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg
mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari Pemilu ke Pemilu cenderung meningkat. Biaya caleg tahun 2009, misalnya, naik 3,5 lipat dibanding tahun 2004. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka miliaran.
Pertanyaannya, darimana semua dana itu diperoleh? Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah berbeda. Kondisi ini tentu memberikan implikasi serius. Pertama,
kebijakan pemerintah yang dibentuk melalui proses politik seperti itu
pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang
telah mendukungnya. Kedua,
peraturan perundangan yang dihasilkan oleh anggota parlemen, terutama
yang berkaitan dengan ekonomi, juga akan cenderung berpihak kepada
pemilik modal. Itu dilakukan sebagai kompensasi atau sebagai jalan untuk mendapatkan dana guna mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Akhirnya,
mereka menjadikan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki itu
sebagai alat untuk memperoleh uang karena gaji resmi yang diterima jauh
dari kebutuhan.
Oleh karena itu, bisa dimengerti bila kemudian banyak kepala daerah dan anggota parlemen tersangkut perkara korupsi. DPR bahkan dinilai sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi. Sepanjang
tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota DPRD provinsi dan 998
orang anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut kasus korupsi. Lalu 17 dari 33 Gubernur yang ada, dan 148 walikota/bupati juga menjadi tersangka korupsi.
Akhirnya, demokrasi semakin jauh dari realisasi politik “demi kepentingan rakyat.” Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak
heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih
cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang tidak
lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan
sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisihkan.
Keadaan inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi di berbagai negara di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, dari tahun 1980 hingga 2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD. Pada kurun waktu yang sama, pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke 17.500 USD.
Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.
Data lain memperlihatkan, total
pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen
(2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011). Kekayaan
40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliar
USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara dengan kekayaan 60%
penduduk atau 140 juta orang.
Dalam konteks global, terjadi pula kecenderungan peningkatan ketimpangan kekayaan. Hingga
tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki
35,6% kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3
kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global. Maka
tak heran, dalam demo yang marak terjadi di berbagai negara Barat
menyusul krisis ekonomi yang tak kunjung surut, mereka membawa poster
atau spanduk berbunyi: “Capitalism is not working”, “Capitalism is merely for 1%, we are the 99%”.
Konsentrasi kekayaan hanya pada kelompok
kecil itu tentu saja mengakibatkan melajunya proses pemiskinan dan
peningkatan jumlah orang miskin di dunia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga naik 200% sejak 1980-an. Kemiskinan adalah pembunuh massal yang sangat kejam. Dilaporkan 22.000 anak-anak di dunia meninggal tiap hari akibat tidak cukup mendapatkan makan, air bersih dan layanan kesehatan. Belum
lagi mereka yang terpaksa hidup seadanya, tanpa tempat tinggal yang
layak, nutrisi yang mencukupi dan layanan pendidikan dan kesehatan yang
semestinya.
Jadi, mengharap dari sistem demokrasi lahir kesejahteraan bersama adalah sebuah ilusi besar. Ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu. Oleh
karena itu, mestinya kita tidak ragu untuk meninggalkan demokrasi yang
telah tampak jelas kebusukannya, dan berjuang dengan sungguh-sungguh
untuk tegaknya syariah. Yakinlah, hanya dengan penerapan syariah secarakaffah di bawah naungan Daulah Khilafah saja kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud. Bukan
hanya sekadar sejahtera, melainkan juga kesejahteraan yang mulia karena
hal itu dilahirkan dari kegiatan ekonomi halal saja dan kegiatan
ekonomi haram sama sekali tidak mendapat tempat dalam sistem ini.
WalLahu’alam bi ash-shawwab. [Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar