Minggu, 09 Maret 2014

Hadits janji khilafah dhoif

Hadits Janji Rosululullah SAW Akan Kembalinya Khilafah Dhoif ? March 4th, 2014 by farid PERKATAAN IMAM BUKHARI “FIIHI NAZHAR” MENGENAI SEORANG PERAWI HADITS TIDAK SELALU MELEMAHKAN HADITSNYA Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi Pendahuluan   Di kalangan para pejuang syariah dan Khilafah, sangat terkenal hadits yang menerangkan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jalan kenabian). Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :   تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت   “Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17). Hadits di atas walau statusnya oleh para ahli hadits dinilai antara shahih atau hasan, namun ada pihak yang berpandangan hadist itu lemah (dhaif). Mereka berhujjah bahwa salah satu perawi (periwayat) hadits yang bernama Habib bin Salim adalah perawi yang lemah, dengan alasan Imam Bukhari mengomentari Habib bin Salim dengan berkata, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Menurut mereka, inilah sebabnya Imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut, sehingga akibatnya “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.   Maksud Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar” Sebelum membahas perkataan Imam Bukhari “fiihi nazhar” untuk Habib bin Salim, perlu kiranya diketahui sekilas sanad hadits di atas, untuk mengetahui posisi Habib bin Salim dalam rantai periwayatan hadits tersebut dari Rasulullah SAW. Sanad hadits di atas adalah sebagai berikut; Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Dawud Al Thayalisi, dari Dawud bin Ibrahim Al Wasithi, dari Habib bin Salim, dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah bin Al Yaman, dari Rasulullah SAW. (Lihat Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430). Jadi posisi Habib bin Salim adalah antara Dawud bin Ibrahim Al Wasithi dan Nu’man bin Basyir. Yang menjadi titik kritis adalah kredibilitas Habib bin Salim, dan apakah Habib bin Salim ini mendengar langsung hadits dari Nu’man bin Basyir atau tidak. Memang benar bahwa Imam Bukhari pernah mengomentari Habib bin Salim dengan perkataannya “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Hal itu dikatakan oleh Imam Bukhari pada saat menceritakan biografi (tarjamah) Habib bin Salim dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir juz 2 halaman 318. Telah berkata Imam Bukhari (radhiyallahu ‘anhu) :   حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان، روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر، وهو كاتب النعمان، فيه نظر   “Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu dipertimbangkan.” (Imam Bukhari, At Tarikh Al Kabir, 2/318). Mengenai perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) ini, sudah banyak ulama yang menafsirkannya. Secara umum, ungkapan tersebut memang berarti jarh (penilaian tidak kredibel) kepada seorang periwayat hadits, sehingga akibatnya dapat melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut.   Imam Al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah Al Alfiyah :   فلان فيه نظر، وفلان سكتوا عنه:  يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه   “[Perkataan] “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan/tak dikomentari oleh para ulama), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh Imam Bukhari mengenai periwayat hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Imam ‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz 2/11). Imam Adz Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya MizanuI I’tidal :   قوله: فيه نظر، وفي حديثه نظر، لا يقوله البخاري إلا فيمن يتهمه غالبا   “Perkataan dia (Imam Bukhari) : “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan), tidaklah diucapkan oleh Imam Bukhari kecuali mengenai orang-orang yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Imam Adz Dzahabi, MizanuI I’tidal, 1/3-4). Kedua kutipan di atas menunjukkan kaidah umum dari perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), yang memang menunjukkan kelemahan kredibilitas periwayat hadits. Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan Imam Bukhari tersebut bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Dikarenakan terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya. Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, Imam Bukhari sendiri menilai shahih hadits yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) bisa jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya.  Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Kabir (1/33) bahwa Imam Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada Imam Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Nabi SAW dalam dua shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi SAW membaca kedua surat itu. Maka berkata Imam Bukhari,”Itu hadits shahih.’ (Arab : huwa hadiits shahiih). (Lihat Imam Tirmidzi, Al ‘Ilal Al Kabir,1/33. Matan hadits secara lengkap dikemukakan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan At Tirmidzi, Juz 5 hlm. 243). Ini jelas menunjukkan Imam Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika Imam Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.     Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa Imam Bukhari tetap menshahihkan hadits yang perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah Ad Durais dalam kitabnya Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’ (Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, tt) halaman 120, hal itu karena Imam Bukhari tidak sampai derajat yakin bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa`) atau mendengar (as samaa’) hadits dari Nu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk) apakah Habib bin Salim pernah bertemu/mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Ketidakyakinan Imam Bukhari itu tercermin dari deskripsi biografi Habib bin Salim yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri, yaitu menggunakan perkataan عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man). Sebagaimana sudah dikutip sebelumnya, Imam Bukhari berkata :   حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان “Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man… (At Tarikh Al Kabir, 2/318). Kalimat عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man) adalah kalimat yang tidak jelas (ghairu sharih), yang berbeda dengan kebiasaan Imam Bukhari ketika dia meyakini seorang periwayat hadits mendengar dari periwayat sebelumnya. Jika Imam Bukhari yakin Habib bin Salim mendengar dari periwayat sebelumnya (Nu’man bin Basyir), niscaya kalimat yang akan digunakan adalah sami’a al nu’maan (dia telah mendengar Nu’man), bukan ‘an al Nu’man. Terlebih lagi bahwa dalam kitab Tahdziibul Kamaal (2/374) disebutkan bahwa Habib bin Salim telah memasukkan periwayat lain antara dirinya dengan Nu’man bin Basyir. Inilah kiranya yang membuat Imam Bukhari berada dalam keraguan mengenai Habib bin Salim.  (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais,  Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121). Namun ketidakyakinan Imam Bukhari ini tak berarti Imam Bukhari secara mutlak tidak mempercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi Imam Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa Imam Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib) bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa`) atau mendengar (samaa’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin. Ada dua alasan untuk itu; pertama, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula (bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis akan sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan Imam Bukhari tetap menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais,  Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).  Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan tetapnya kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya, yakni adanya penilaian shahih dari Imam Bukhari terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak. Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Habib bin Salim tidaklah mengapa (laa ba`sa bihi). Menurut Ibnu ‘Adi, tak ada matan-matan hadits Habib bin Salim yang munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah), melainkan telah terjadi idhtirab (kerancuan) pada sanad-sanad hadits yang diriwayatkan darinya. Tetapi Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hiban menilai Habib bin Salim tsiqah. (Lihat Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8). Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib Al Arna`uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Imam Dzahabi pada Juz 12 halaman 439 (Beirut : Mu`assah Ar Risalah, cetakan IV, tahun 1986). Di antaranya adalah sebagai berikut : Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’iin. Imam Abu Dawud dan Tirmidzi juga tidak meninggalkan haditsnya. Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud As Shan’ani. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Imam Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Imam Ibnu Hiban memasukkan namanya dalam kitabnya At Tsiqaat. Imam An Nasa`i juga meriwayatkan hadits darinya. Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid Al Hammani. Imam Bukhari menilainya “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan). Tetapi Imam Nasa`i berkata, dia tsiqah. Ibnu ‘Adi mengatakan,”Aku tidak melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan. Dan seterusnya banyak sekali. Jadi, penilaian Imam Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidaklah berarti hadits yang diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya, yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).       Kesimpulan Hadits akan datangnya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah derajatnya berkisar antara shahih dan hasan. Penilaian sementara pihak bahwa hadits itu dhaif karena Imam Bukhari menilai Habib bin Salim dengan sebutan “fiihi nazhar”, adalah tidak tepat. Karena perkataan imam Bukhari “fiihi nazhar” mengenai seorang perawi hadits, tidaklah selalu melemahkan hadits yang diriwayatkannya. Maka dari itu, penilaian bahwa hadits akan datangnya Khilafah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah adalah hadits dhaif, sungguh sangat gegabah dan tidak berlandaskan ilmu yang mendalam. Landasannya lebih kepada hawa nafsu yang condong kepada kebatilan dan kesesatan, yaitu memberi legitimasi palsu kepada sistem sekular saat ini yang dipaksakan secara kejam kepada umat Islam. Wallahu a‘lam bi al shawab. (04/02/2014).   = = = KH. M. Shiddiq Al-Jawi, anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Dosen Ulumul Hadits dan Ushul Fiqih di STEI Hamfara, Jogjakarta; Pimpinan PP Hamfara Jogjakarta. Baca juga : Kembalinya Khilafah: Isyarat Nubuwah Kembalinya Khilafah Adalah Bisyarah Nabawiyyah Untuk Kita Ma’al Hadîts Syarîf: Khilafah Membentuk Masyarakat Islami Tanggapan Terbuka terhadap Ketua MK : Khilafah itu Pernah Ada dan akan Kembali Tegak ! Jawab Soal: Hadits Bisyarah Posted in Headline, Tsaqofah, Tsaqofah Islam | No comments Previous post: Uni Emirat Arab Habiskan Miliaran Dolar Perangi Kelompok Islamis Next post: Sejarah Singkat Imperialisme AS Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Senin, 03 Maret 2014

Soal jawab tentang jangka waktu syirkah

Soal Jawab Tentang Jangka Waktu Syirkah dan Hukum Jual Beli Lelang February 17th, 2014 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban pertanyaan: 1. Jangka Waktu Syirkah 2. Bay’ al-Muzayadah (Jual Beli Lelang) Kepada Hanin Islem   Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Bagaimana kondisi Anda syaikhuna al-fadhil dan ‘alimuna al-jalil? Saya memohon kepada Allah agar berada pada keadaan yang terbaik. Pertanyaan saya: Pertama, apakah asy-syarik (mitra syirkah) bisa keluar dari syirkah kapan saja ia inginkan? Perlu diketahui bahwa ada jangka waktu tertentu yang disepakati sebelumnya yaitu satu tahun. Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, semoga Allah memberkahi Anda. Kedua, didirikan balai lelang umum untuk penyelenggaraan bay’ al-muzayadah (lelang). Di situ terjadi penawaran harga yang meningkat diantara para pedagang hingga mencapai harga tertinggi berkali-kali lipat dari harga dasar yang menyebabkan kerugian sebagian pedagang. Apakah secara syar’iy boleh pedagang menambah penawaran harga sampai pada derajat yang menyebabkan kerugian pesaingnya dan pada beberapa kondisi membuatnya bangkrut? Mohon disertai dengan dalil-dalil dan rinciannya, semoga Allah memberkahi Anda. Ketiga, untuk mencegah terus meningkatnya penawaran harga, dilakukan kesepakatan di antara pedagang di pelelangan umum dan swasta sebelum terjadi lelang. Yakni sebagian memberikan harta kepada sebagian yang lain, agar tidak terjadi tawaran yang terus meningkat diantara mereka di dalam lelang atau harga tidak sampai pada batas tertinggi. Apa hukum harta yang diberikan di antara para pedagang itu? Apa hukum aktivitas perdagangan seperti ini? Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda. Saya mohon maaf karena panjangnya dan banyaknya pertanyaan. Saya tahu besarnya beban tanggung jawab Anda. Semoga Allah menolong Anda dan memberikan kemenangan melalui tangan Anda. Semoga Allah menyiapkan ahlu nushrah untuk Anda sebagaimana dahulu Allah menyiapkannya untuk kekasih-Nya al-Mushthafa saw.   Jawab: Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Pertama, pertanyaan Anda tentang jangka waktu dalam syirkah: Syirkah secara bahasa adalah percampuran dua bagian atau lebih di mana tidak bisa dibedakan lagi satu dari yang lain. Syirkah secara syar’iy adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat di dalamnya untuk melakukan aktivitas finansial dengan maksud memperoleh laba. Akad syirkah mengharuskan adanya ijab dan qabul secara bersama, seperti semua akad lainnya. Ijab adalah salah satu pihak mengatakan kepada pihak lain aku bersyirkah denganmu dalam hal demikian, sementara pihak lain mengatakan aku terima… Akan tetapi akad itu harus mengandung makna berserikat atas sesuatu. Syirkah hukumnya boleh. Rasulullah SAW diutus dan masyarakat bermuamalah dengannya lalu Rasul SAW menyetujuinya. Maka persetujuan beliau SAW terhadap muamalah masyarakat itu merupakan dalil syar’iy atas kebolehannya. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda: «إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا» “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku menjadi pihak ketiga dari dua orang yang bersyirkah selama yang satu tidak mengkhianati yang lain, dan jika dia mengkhianatinya maka Aku keluar dari keduanya.”   Penyebutan jangka waktu di dalam akad syirkah bukan keharusan. Syirkah tidak perlu jangka waktu dalam pengakadannya. Akan tetapi syirkah itu terakadkan dan tidak ada kemajhulan di dalam akadnya, sehingga memerlukan penentuan jangka waktu seperti ijarah misalnya. Adapun ijarah menjadi majhul jika tidak disebutkan jangka waktunya, sehingga tidak terakadkan (dengan sempurna) kecuali disebutkan jangka waktu, baik jangka waktu saja terpisah dari lainnya harian, bulanan, tahunan… ataupun berkaitan dengan pekerjaannya sendiri misal ijarah membangun dinding, atau menggali sumur sehingga jangka waktunya berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan. Pembubaran syirkah bergantung pada keinginan para syarik. Dua orang syarik yang mengakadkan syirkah atas aktivitas tertentu, bisa membubarkan syirkah itu kapan saja. Di dalam Nizham al-Iqtishâdiy disebutkan sebagai berikut: (Syirkah secara syar’iy termasuk al-‘uqûd al-jâ`izah. Syirkah itu batal dengan kematian salah seorang dari dua orang yang bersyirkah, atau dia gila atau dihijr atas kelemahan akalnya. Atau syirkah itu bubar dengan pembubaran oleh salah satu dari keduanya jika syirkah itu terdiri dari dua orang. Sebab syirkah adalah ‘aqdun jâ`izun maka dengan semua itu batal seperti halnya wakalah. Jika salah seorang dari kedunya mati dan ia memiliki pewaris yang rasyîd (tidak lemah akal), maka pewarisnya itu berhak menggantikannya di dalam syirkah dan mengizinkan mitra syirkahnya dalam melakukan tasharruf. Pewarisnya itu juga berhak meminta pembagian. Jika salah seorang dari kedua mitra syirkah meminta pembubaran (fasakh), maka bagi mitra syirkah lainnya wajib memenuhi permintaan itu. Jika mitra syirkah itu banyak dan salah seorang dari mereka meminta pembubaran, sementar yang lain ingin mempertahankan, maka syirkah yang ada dibubarkan dulu, lalu diperbaharui diantara yang masih bertahan. Hanya saja harus dibedakan antara syirkah mudharabah dengan lainnya. Dalam syirkah mudharabah, jika pengelola meminta aset syirkah dijual, sementara pemodal (shahibul mal) meminta pembagian, maka permintaan pengelola yang dipenuhi. Sebab haknya ada dalam laba, sementara laba itu tidak akan tampak kecuali dalam penjualan aset. Sedangkan dalam jenis syirkah lainnya, jika salah satu meminta dibagi dan yang lain meminta dijual, maka yang dipenuhi adalah permintaan dibagi, bukan dijual). Ini yang kami tabanni dalam hal terakadkannya syirkah tanpa disebutkan jangka waktu. Dimana jangka waktu itu bukan keharusan untuk keabsahan aqad syirkah. Adapun jika disebutkan jangka waktu di dalam syirkah tersebut, maka ini telah diperselisihkan oleh para fukaha. Anda boleh bertaklid kepada mujtahid yang ijtihadnya menenteramkan Anda dalam masalah tersebut. Saya kutipkan pendapat sebagian mujtahid mu’tabar dalam masalah tersebut: -                      Boleh ditentukan jangka waktu mudharabah menurut hanafiyah dan hanabilah. Yakni ditentukan jangka waktu untuk syirkah mudharabah. Dan jika berakhir jangka waktu itu selesailah syirkah tersebut. -                      Malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah tidak menerima penentuan waktu. Sebab hukumnya seperti yang dikatakan oleh malikiyah: tidak ada jangka waktu. Masing-masing dari keduanya boleh meninggalkannya kapan saja ia mau. Dan karena penentuan jangka waktu –seperti yang dikatakan syafi’iyah- menyebabkan kesempitan terhadap pengelola dalam aktifitasnya. An-Nawawi menyebutkan di Raudhah ath-Thalibin: tidak dijadikan patokan di dalam al-qiradh “mudharabah” penjelasan jangka waktu …   Kedua, pertanyaan Anda tentang bay’ al-muzâyadah: Bay’ al-muzâyadah adalah boleh. Yakni penjual menawarkan barangnya kepada para pembeli dan ia menjualnya kepada orang yang membayar paling tinggi. Yang demikian: Ibn Majah telah mengeluarkan dari Anas bin Malik: «أَنَّ رَجُلاً مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُهُ فَقَالَ: لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ؟ قَالَ: بَلَى، حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ، قَالَ: ائْتِنِي بِهِمَا، قَالَ: فَأَتَاهُ بِهِمَا، فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا، قَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ، فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الأَنْصَارِيَّ…» “Bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Nabi saw bertanya kepada beliau. Beliau bertanya, “Engkau punya sesuatu di rumahmu?” Ia berkata: “Benar, sebuah alas pelana, kami pakai sebagian dan kami hamparkan sebagian; dan sebuah gelas yang kami gunakan untuk minum air.” Nabi bersabda, “Bawa keduanya kepadaku.” Anas berkata, “Maka ia membawanya kepada Nabi saw, dan beliau mengambil keduanya darinya. Kemudian Nabi saw besabda, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan satu dirham.” Nabi bersabda: “Siapa yang menambah atas satu dirham?” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan dua dirham.” Maka Nabi memberikan keduanya kepada orang itu dan beliau mengambil darinya dua dirham dan beliau berikan kepada laki-laki anshar itu…” Akan tetapi tidak boleh an-najasy dalam jual beli ini. Yakni menambah penawaran harga bukan untuk membeli, akan tetapi untuk memperdaya orang lain agar membelinya dengan harga tinggi… Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: «…وَلاَ تَنَاجَشُوْا…» “Jangan kalian saling menawar untuk meninggikan harga (an-najasy)” Al-Bukhari juga mengeluarkan dari Ibn Umar ra. Ia berkata: «نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ» “Nabi saw melarang an-najasy” An-najasy adalah menambah harga barang padahal ia tidak membelinya. Yakni menambah tawaran harga pada suatu barang dengan maksud tidak ingin membelinya, tetapi untuk mengkondisikan orang lain yang menawarnya, agar menduga tidak bisa mendapat barang tersebut, jika tidak melebihi tawarannya; sehingga ia tertipu dan menambah tawaran harganya agar ia bisa membelinya. Demikian juga tidak boleh para pembeli bersepakat diantara mereka untuk merendahkan harga barang. Dan mereka bersepakat untuk tidak membayar lebih dari harga yang rendah… dan tidak menambah dari harga itu. Hal itu agar penjual menjual dengan harga murah tersebut. Sebab ia tidak mendapati pedagang yang mau membayar lebih tinggi…  Biasanya para pedagang sepakat dengan pedagang lain yang memberinya harta sebagai imbalan agar tidak menambah tawaran dari harga yang ia bayar; sementara ia membayar harga yang rendah untuk barang tersebut sedangkan para pedagang lainnya mau membayar harga yang lebih rendah dari harga itu sesuai kesepakatan di antara para pedagang itu. Lalu penjual itu pun menjual barangnya kepada pedagang yang menawar dengan harga murah itu, sebab semua pedagang lainnya hanya mau membayar harga lebih murah, di mana itu sesuai kesepakatan dengan pedagang yang membeli tersebut. Ini termasuk dalam bab al-khadî’ah. Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Zirru dari Abdullah ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: «مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ» “Siapa yang menipu maka dia bukan bagian dari golongan kami dan makar dan tipudaya di neraka.” Ishhaq bin Rahuwaih telah mengeluarkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: «الْمَكْرُ وَالْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ» “Makar dan tipudaya di neraka” Dan juga dikeluarkan oleh al-Bazar di Musnad-nya. Demikian juga Allah SWT melarang merugikan manusia pada hak-hak mereka. Maka para pedagang menampakkan bahwa nilai barang itu rendah. Hal itu untuk menipu pemilik barang, sehingga ia menjualnya dengan harga murah. Allah SWT berfirman: ﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾ “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (26: 183) Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsirnya untuk ayat tersebut: [﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾ الْبَخْسُ النَّقْصُ. وَهُوَ يَكُونُ فِي السِّلْعَةِ بِالتَّعْيِيبِ وَالتَّزْهِيدِ فِيهَا، أَوِ الْمُخَادَعَةِ عَنِ الْقِيمَةِ، وَالِاحْتِيَالِ فِي التَّزَيُّدِ فِي الْكَيْلِ وَالنُّقْصَانِ مِنْهُ. وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ..  “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” Al-Bakhsu adalah an-naqshu (pengurangan). Dan itu terjadi pada barang dengan mencacatnya dan merendahkan tentangnya, atau menipu tentang nilai, dan melakukan muslihat dalam menambah takaran dan menguranginya. Semua itu termasuk aktifitas memakan harta dengan jalan yang bathil…” selesai. Karena itu, jika para pedagang bersepakat di antara mereka untuk membeli barang si Fulan dengan harga murah, dan dia memberi mereka harta sehingga mereka tidak menaikkan tawaran harga dari harga yang ia inginkan. Dengan ungkapan lain, para pedagang sepakat untuk membayar harga lebih kecil dari harga yang diinginkan orang itu untuk membeli barang tersebut dengan imbalan orang itu membayar harta kepada mereka. Aktifitas ini haram. Sebab ini masuk dalam Bab al-Khadî’ah (tipudaya) terhadap pemilik barang untuk dibeli dengan harga murah. Dan harta yang diabil oleh pedagang itu dari para pedagang lainnya adalah haram.   Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 12 Rabiuts Tsani 1435 H 12 Februari 2013 M http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_33244   Baca juga : Jawab Soal Tentang Hukum Akad Murabahah Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti Jawaban Pertanyaan Seputar Hukum-hukum terkait Jual Beli Hukum Pemanfaatan Darah dan Jual Beli Virus Soal Jawab tentang Masjid, Qiyas, dan Hadiah Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Pasca Kelud Meletus, Warga Ngancar Mengadu Belum Dapat Bantuan Makanan Next post: Qodho Mashalih Kelud Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Pemilu majelis umat dalam negara Khilafah

Pemilu Majelis Umat Dalam Negara Khilafah February 26th, 2014 by kafi Oleh: Hafidz Abdurrahman Negara Khilafah adalah khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam negara khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara demokrasi. Karena itu, di dalam negara khilafah tidak ada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden dan kabinetnya, jika menganut sistem presidensiil. Atau dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya, jika menganut sistem parlementer. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen, dan yudikatif oleh lembaga kehakiman (peradilan). Namun, pembagian seperti ini tidak ada dalam negara khilafah. Karena itu, negara khilafah tidak mengenal parlemen model negara demokrasi. Parlemen dalam negara demokrasi berfungsi membuat UU, mengangkat dan memberhentikan presiden (perdana menteri), serta fungsi check and balance. Sementara Majelis Umat dalam negara khilafah tidak mempunyai otoritas membuat UU, karena otoritas ini sepenuhnya di tangan khalifah. Majelis Umat bisa mengangkat khalifah, tetapi tidak berhak memberhentikannya. Karena otoritas untuk memberhentikannya ada di tangan Mahkamah Mazalim. Demikian juga fungsi check and balance, memang sepenuhnya di tangan Majelis Umat, namun pandangan mereka ada tidak selamanya mengikat. Pemilu Majelis Umat Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai lembaga legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain/pengaduan) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri atas  pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi. Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan: 1-      Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya. 2-      Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali. Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat. Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam negara khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggata Majelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah. Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hak untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu. Pemilu Majelis Wilayah dan Majelis Umat Secara teknis, negara khilafah bisa membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada di setiap daerah. Komisi ini mempunyai hirarki struktural hingga ke pusat. Di pusat, komisi ini dipimpin oleh seorang ketua, sebut saja ketua KPU Pusat. Dialah yang diberi tugas oleh khalifah untuk menjalankan pelaksanaan pemilu dalam tenggat waktu tertentu. Waktunya bisa sebulan, atau kurang. Majelis Wilayah yang dipilih per wilayah ini dipilih, setelah penduduk wilayah tersebut mencalonkan nama-nama calon Anggota Majelis Wilayah. Nama-nama yang dicalonkan, baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri, kemudian diverifikasi terkait dengan kesediaannya menjadi calon, termasuk kriteria dan persyaratannya. Setelah terkonfirmasi, maka mereka ditetapkan oleh KPU setempat maju dalam pemilihan Anggota Majelis Wilayah. KPU pun menyediakan ruang bagi mereka untuk melakukan kampanye, baik untuk mengampanyekan diri mereka sendiri, maupun orang lain. Kampanye ini bertujuan untuk memperkenalkan visi, misi dan agenda calon Anggota Majelis Wilayah tersebut. Selain itu, rakyat pun telah mengetahui rekam jejak mereka, sehingga mereka bisa menilai secara obyektif kelayakan calon tersebut. Setelah itu, penduduk di wilayah tersebut memilih calon sesuai dengan kuota wilayahnya. Bisa berjumlah 1, 2, 3 atau 4 orang. Setelah selesai pemilihan, maka KPU menghitung hasil perolehan suara pemilihan di wilayahnya secara transparan dan terbuka, sehingga tidak terjadi kecurangan. Setelah itu, hasilnya dipublikasikan. Setelah dipublikasikan secara resmi dan terbuka, maka KPU membuka dimulainya “Masa Komplain”. Tujuannya untuk menampung keberatan, baik karena faktor kualifikasi, kecurangan maupun yang lain. KPU, dalam hal ini, diberi otoritas oleh UU untuk membatalkan calon, jika terbukti tidak memenuni kualifikasi, melakukan kecurangan atau faktor lain yang bisa mendiskualifikasinnya. Begitu “Masa Komplain” ini berakhir, KPU akan mempublikasikan hasil pemilihan final Anggota Majelis Wilayah tersebut. Dengan demikian, mereka yang terpilih dan mendapatkan suara mayoritas ditetapkan oleh KPU sebagai Anggota Majelis Wilayah dalam periode 5 tahun, atau 6 tahun berikutnya, bergantung keputusan UU yang diadopsi oleh khalifah. Setelah Anggota Majelis Wilayah ini terpilih, maka mereka segera berkumpul untuk melakukan pemilihan Anggota Majelis Umat di antara mereka. Prosesnya hampir sama dengan pemilihan Majelis Wilayah di atas. Setelah semua tahapan tadi dilalui, maka Majelis Umat ini pun terbentuk, yang diisi oleh mereka yang menjadi Anggota Majelis Wilayah. Dengan terbentuknya Majelis Umat ini, maka Pemilu Majelis Umat ini telah berakhir dengan baik. Kesimpulan Pemilu dalam negara khilafah jelas berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi. Tujuan dan orientasinya pun berbeda. Hasilnya juga pasti berbeda. Islam nyatanya mempunyai sistem Pemilu yang jauh lebih baik, ketimbang sistem pemilu yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Semuanya ini membuka mata kita, bahwa Islam adalah satu-satunya ideologi, yang mempunyai sistem yang sempurna. Karena Islam datang dari Allah SWT. Dzat yang Maha Sempurna, dan Maha Tahu seluk beluk hamba-Nya.     Baca juga : Pemilu dalam Negara Khilafah Para Imam Masjid Berlomba Meminta Umat Islam Berpartisipasi Dalam Pemilu Prancis MHTI Cilacap Menyeru Majelis Ta’lim lebih Berperan dalam Kebangkitan Umat Forum Diskusi Muslimah ”Jaminan Aspirasi Rakyat Dalam Majelis Ummah ” Amerika Campur Tangan dalam Proses Pemilu Sudan Posted in Tsaqofah | No comments Previous post: Saat Kritik Tak Lagi Menggelitik Para Wakil Rakyat… Next post: Astaghfirullah, Sheikh Mesir Pro Rezim Militer Serukan Salib dan Potong Tangan Penantang as Sisi Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Seputar penetapan utsman sebagai khalifah

HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP VIDEO FOTO KEGIATAN Soal Jawab Seputar Telah Tetapnya Pendapat Pada Utsman ra. Sebagai Khalifah untuk Kaum Muslimin February 27th, 2014 by kafi سم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan: Seputar Telah Tetapnya Pendapat Pada Utsman ra. Sebagai Khalifah untuk Kaum Muslimin Kepada Mohamed Ali Bouazizi   Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Di dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah tepatnya pada paragraf pembatasan calon, pada halaman 31 dinyatakan: “… Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi kepada yang lain dan membatasi mereka pada dua orang, Ali dan Utsman… Setelah itu ia mengeksplorasi pendapat masyarakat dan akhirnya pendapat tetap pada Utsman sebagai khalifah.” Sementara pada halaman 33 dinyatakan “… lalu Abdurrahman bin ‘Awf memanggil Ali dan Utsman … kemudian ia mengambil tangan Ali.” Kenapa Ali sementara Utsman telah ditetapkan untuk khilafah? Saudaramu Bouazizi.   Jawab: Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Yang tampak jelas untuk Abdurrahman bin ‘Awf adalah bahwa masyarakat menginginkan Ali jika ia memutuskan dalam suatu kasus yang diajukan kepadanya dengan keputusan yang telah diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, jika kasus itu telah terjadi kasus serupa pada masa keduanya. Dan Ali tidak setuju sementara Utsman menyetujuinya. Ketika itu Utsman ditetapkan sebagai khalifah … Kalimat (dan Umar mencalonkan untuk kaum Muslimin enam orang dan ia batasi pada mereka, agar mereka memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan lima lainnya dan membatasi mereka pada dua orang: Ali dan Utsman setelah yang lain mewakilkan kepadanya. Dan setelah itu ia mengeksplorasi pendapat masyarakat dan tetaplah pendapat atas Utsman sebagai khalifah.). Kalimat itu tidak berarti bahwa Utsman telah ditetapkan sebagai khalifah pada saat Abdurrahman meminta masukan, akan tetapi Utsman ditetapkan sebagai khalifah ketika Ali menolak sementara Utsman menyetujui. Tampak bahwa yang rancu bagi Anda adalah anggapan Anda bahwa huruf ‘athaf diantara “istathla’a ra`ya an-nâs –ia mengeksplorasi pendapat masyarakat-“ dan “istaqarra ar-ra’yu ‘alâ utsmân khalîfatan –telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah-“. Anda menganggap bahwa huruf al-wâwu diantara keduanya adalah menunjukkan susunan dan segera terjadi. Padahal masalahnya tidak demikian. Huruf ‘athaf al-wâwu hanya menunjukkan ‘athaf –kata sambung-. Jika Anda katakan “jâ`a Umarun wa Khâlidun –Umar dan Khalid datang-“ bukan berarti bahwa keduanya datang bersama atau segera satu menyusul yang lain. Akan tetapi bisa jadi ada jeda waktu diantara keduanya. Yang ini datang sebelum zhuhur sedangkan yang itu datang setelah zhuhur. Begitulah, kalimat yang disebutkan “istathla’a ra`ya an-nâs –ia mengeksplorasi pendapat masyarakat-“ bisa saja telah selesai pada malam, dan “istaqarra ar-ra`yu ‘alâ Utsmân khalîfatan –telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah-“ terjadi pada waktu fajar setelah shalat Subuh dan setelah ditanyakan kepada Ali dan Utsman. Untuk menjelaskan apa yang terjadi, kami katakan: “Abdurrahman mengeksplorasi pendapat masyarakat” dan ia mendapati masyarakat menginginkan Ali jika Ali setuju atas syarat mereka, dan jika tidak maka Utsman jika dia setuju terhadap syarat-syarat mereka … Setelah itu Abdurrahman berkata: “maka panggilkan untukku Ali dan Utsman”, lalu ia menyodorkan kepada Ali syarat tersebut dan Ali tidak setuju. Kemudian ia menyodorkannya kepada Utsman dan ia setuju… Setelah itu maka hasilnya “wa istaqarra ar-ra’yu ‘alâ Utsmân khalîfatan –dan telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah.” Saya berharap masalah tersebut telah jelas.   Saudaramu   Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah   17 Rabiuts Tsani 1435 H 17 Februari 2014 M http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_33395   Baca juga : Jawab Soal: Seputar Tenggat yang Diperbolehkan bagi Kaum Muslimin untuk Menegakkan al-Khilafah Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan KR Medan: Satu Khalifah untuk 1,5 Milyar Kaum Muslimin Soal Jawab Seputar Aktivitas Pemerintahan dan Aktivitas Administratif Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Siapa Yang Memberi Pertolongan Kepada Kaum Muslimin di Afrika Tengah Next post: Ma’al Hadîts Asy-Syarîf: Mengikuti Cara Orang Yahudi dan Kristen Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Rabu, 05 Februari 2014

Menguak tabir V day

Telaah Kritis
Menguak Tabir Valentine’s Day
Oleh Asri Supatmiati
Hari Valentine (St. Valentine’s Day) sangat populer di negara-negara Eropa dan Amerika. Pada hari itu, kaum remaja merayakannya dengan hura-hura. Mereka datang ke pesta-pesta, berdansa semalam suntuk, saling memberi hadiah coklat, dan pergi bersama pasangannya ke tempat-tempat yang dianggap romantis. Bahkan hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri juga mereka lakukan. Naudzubillah min dzalik.
Bagaimana di Indonesia? Aroma Hari Valentine kini juga sangat menyengat di tanah air. Tak beda jauh dengan remaja-remaja luar negeri sana, mereka yang notabene muslim-muslimah ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang. Mereka menjiplak habis-habisan perilaku permisif dan serba halal yang dilakukan orang Barat. Pasangan muda-mudi saling memberikan kartu berisi ungkapan-ungkapan cinta, puitis dan romantis.
Sarat dengan ucapan yang membangkitkan syahwat.
Fenomena Valentine’s Day pun menjadi ajang bisnis menggiurkan. Para pelaku bisnis -ironisnya sebagian besar juga muslim- ikut andil dalam menyemarakkan hari kasih sayang. Diluncurkanlah produk-produk terbaru yang bernuansa ‘cinta’. Seperti parcel valentine, pernak-pernik serba pink, berbentuk daun waru, dan kartu valentine dengan berbagai desain lengkap dengan kata-kata puitis penuh ungkapan cinta.
Pusat perbelanjaan, hotel, restoran, kafe, outlet dan bahkan kantor-kantor juga dihiasi dengan nuansa valentine. Entah itu berupa spanduk berisi slogan-slogan, pita-pita, balon dan pernak-pernik serba pink. Bahkan mereka juga mengaitkan promosi produknya dengan Hari Valentine. Semisal dengan menggelar sale bertajuk ‘Memperingati Valentine’s Day, Sale Up to 70%’ atau ‘Ikuti Gebyar Undian Valentine’s Day.’
Tak kalah serunya, tempat hiburan seperti hotel, kafe atau restoran juga menggelar acara khusus bertajuk peringatan hari kasih sayang. Biasanya berupa acara dinner disertai hiburan live music, diiringi games yang diikuti pasangan muda-mudi, lalu dansa-dansi bersama, dan seterusnya.
Media massa pun cukup besar kontribusinya dalam ‘mempromosikan’ perayaan hari kasih sayang tersebut. Bagaimana tidak, pemberitaan pun dikait-kaitkan dengan Hari Valentine. Semisal dalam lead sebuah berita
tertulis ‘Menjelang peringatan Hari Valentine, omzet coklat naik tajam.’ Atau ‘Artis Ayu Kemayu merayakan Valentine’s Day bersama kekasih barunya’ atau ‘Biar romantis, pasangan artis Dona dan Doni menikah di Hari Valentine.’ Dan masih banyak lagi pemberitaan di media massa yang dikait-kaitkan dengan Valentine’s Day.
Sementara iklan-iklan produk yang juga dikaitkan dengan Valentine’s Day takkalah semaraknya, baik di media cetak maupun televisi. Dengan gencarnya pemberitaan dan iklan semacam itu, tentu saja opini tentang adanya Valentine’s Day dan keharusan untuk merayakannya semakin menguat. Otomatis remaja semakin merasa penting untuk terlibat di dalamnya. Jika tidak, dirinya akan merasa kuper, kuno dan tidak
trendy. Sebaliknya, dengan merayakan Valentine’s day mereka akan bangga karena menjadi remaja masa kini yang gaul dan tidak ketinggalan zaman.
Pada akhirnya orang tua akan semakin memberi kelonggaran kepada anak-anaknya untuk merayakan hari tersebut, karena menganggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai orang tua yang hidup di zaman modern, mereka tidak mau disebut ortu yang kolot sehingga membebek mengikuti apa saja selera anaknya. Bahkan tidak sedikit orang tua semacam itu yang juga ikut merayakan hari kasih sayang. Mereka yang mengaku sebagai ortu ‘modern’, layaknya pasangan muda-mudi saja, saling memberi hadiah pada pasangannya, bahkan memanfaatkan momen tersebut untuk bulan madu kembali. Well, Velantine’s Day benar-benar sudah menjadi epidemi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin dan muslimah.
Akibat Lemahnya Aqidah
Bila kita cermati, kaum muslimin ikut merayakan Valentine’s Day, karena minimnya pemahaman umat Islam tentang hakikat hari tersebut. Muslim-muslimah banyak yang tidak faham latar belakang dan sejarah munculnya Valentie’s Day yang notabene bukan dari Islam. Di sisi lain, pemahamam mereka terhadap ajaran Islam sendiri juga sangat lemah. Aqidah yang tidak menancap kuat dan ketidaktahuan akan hukum-hukum syariat Islam terkait dengan perbuatan, membuat umat Islam begitu bodoh dan mudah tertipu. Sehingga, begitu muncul produk atau aktivitas-aktivitas baru yang sebetulnya bertentangan dengan Islam, mereka tidak memiliki kemampuan menyaring, memilah atau membandingkan, apakah ini halal atau haram, boleh atau tidak. Akhirnya, tanpa mereka sadari mereka mengikuti saja arus yang mengalir di masyarakat.
Bukan itu saja, pengaruh lingkungan pergaulan juga cukup besar. Remaja yang biasa bergaul bebas muda-mudi, biasa pacaran, akan sangat terpesona dengan jargon hari kasih sayang. Sementara remaja baik-baik yang tadinya cuek dengan hari tersebut, bila bergaul dengan para aktivis Valentine’s Day, tentu saja mau tidak mau terpengaruh untuk ikut meramaikannya.
Hal ini juga tidak terlepas dari longgarnya pengawasan ortu. Bahkan ortu malah memberikan dukungan kepada anaknya untuk merayakan hari tersebut. Misal dengan dukungan dana untuk merayakannya, diberi
kelonggaran keluar pada tanggal 14 Februari, atau dibolehkan berdua-duaan dengan pasangannya.
Selain itu pola pendidikan yang tidak sesuai aturan agama menyebabkan anak mudah dipengaruhi oleh lingkungan yang kebanyakan melanggar norma-norma adat dan agama itu sendiri. Lengkaplah sudah dorongan bagi mereka untuk terjerumus ke dalam lembah kesalahan. Semua itu dilakukan dengan dalih modernitas, trendy dan gaul. Batasan halal-haram dan norma-norma agama dicampakkan begitu saja. Itulah potret umat di masa kini yang begitu memprihatinkan.
Sejarah Valentine
Perayaan Hari Kasih Sayang ini memiliki perpaduan sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dan Roma kuno. Dan memang ada beberapa versi yang menjelaskan asal muasal perayaan Valentine’s Day. Salah satu versi
menyebutkan, dahulu ada seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius yang secara diam-diam menentang kebijakan pemerintahan Kaisar Claudius II (268-270 M) kala
itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Karena itu, ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial. Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda-mudi yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Namun ibarat pepatah sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh juga. Demikian pula dengan aksi yang dilakukan Valentine, lambat laun pun tercium oleh Claudius II.
Valentine harus menanggung perbuatannya, dijebloskan ke penjara dan diancam hukuman mati. Dalam legenda ini, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini- “From Your Valentine.”
Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yang dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Sementara itu, The Encyclopedia Britannica, Vol. 12 halaman 242 menyebutkan, kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat The World Book Encyclopedia, 1998).
Sejak itu mengirimkan kartu bertuliskan “Be My Valentine” menjadi tradisi mengikuti hari kasih sayang. Sekitar 200 tahun sesudah kisah di atas, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Februari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine. Gelar Saint atau Santo diberikan karena kebaikan dan ketulusannya menolong muda-mudi yang jatuh cinta untuk melangsungkan pernikahan. Untuk mengagungkan St. Valentine yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai ‘upacara keagamaan’.
Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara keagamaan’ tersebut mulai berangsur-angsur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Lupercalia” yang jatuh pada tanggal 15 Februari. Ya, versi lain tentang Valentine menjelaskan bahwa hari itu berkaitan dengan tradisi kuno bangsa Romawi. Dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari, yang merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. Dan sehari setelahnya yaitu tanggal 15 Februari merupakan perayaan Lupercalia.
Pada perayaan Lupercalia inilah, remaja-remaja lelaki dan perempuan harus dipisahkan satu sama lain. Namun, pada malam sebelum Lupercalia, nama-nama anak perempuan Romawi yang sudah ditulis di atas kertas dimasukkan ke dalam botol. Nah, setiap anak lelaki akan menarik sebuah kertas. Dan anak perempuan yang namanya tertulis di atas kertas itulah yang akan menjadi pasangannya selama festival Lupercalia berlangsung, keesokan harinya. Kadang-kadang, kebersamaan tersebut bertahan hingga lama. Akhirnya, pasangan tersebut saling jatuh cinta dan menikah di kemudian hari.
Dalam legenda ini ada pula sosok yang disebut Cupid (berarti: the desire), yakni si bayi bersayap dengan panah yang digambarkan sebagai lambing cinta. Cupid ini adalah putra Nimrod The Hunter, dewa Matahari. Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri.
Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani, pesta Lupercalia kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga
dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu ‘kasih sayang’ itu mulai bersemi ‘bagai burung jantan dan betina’ pada tanggal 14 Februari.
Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang berarti ‘galant atau cinta’. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Namun dengan berkembangnya zaman, legenda tentang seorang martir bernama St. Valentino terus bergeser jauh dari pengertian sebenarnya.
Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine melalui greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado (bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1.700 tahun yang lalu. Dan sayangnya, umat Islam pun turut serta mengikuti dan membebek saja. Padahal jelas-jelas sejarah perayaan itu sendiri sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam, dan bahkan sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena justru bermula dari ajaran agama lain.
Maksiat dan Sia-sia
Terlepas dari sejarah lahirnya Valentine’s Day yang nyata-nyata bukan dari Islam, bila kita tilik perayaan Valentine’s Day, maka seluruhnya melanggar syara’. Tidak ada sedikitpun nilai kebaikan dari perayaan
tersebut. Meskipun dengan alasan mengungkapkan kasih-sayang kepada sesama, tetap bukan alasan pembenaran bagi perayaan Hari Valentine. Tengok saja, Valentine’s Day umumnya dirayakan oleh pasangan
muda-mudi. Seorang pemuda yang menyukai lawan jenisnya, akan mengirimkan kartu ucapan selamat, bunga mawar merah atau memberi hadiah coklat kepada cewek idamannya itu. Jelas ini aktivitas yang
tidak dibenarkan dalam Islam karena dapat membangkitkat syahwat, sementara mereka belum terikat dengan tali pernikahan yang dapat menjadi penyalurannya.
Sementara pasangan muda-mudi yang sudah saling dimabuk asmara, lebih parah lagi. Mereka akan merayakannya berdua-duaan, menyepi, bermesra-mesraan dan tak jarang diakhiri dengan hubungan suami-istri. Na’udzubillahi min zalik. Jelas ini aktivitas yang diharamkan oleh Allah. Mereka sudah melakukan dosa berkhalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram), mendekati zina dan bahkan berzina itu
sendiri.
Padahal Allah Swt melarang keras umat-Nya untuk mendekati zina, apalagi sampai berzina beneran. Ingatlah firman Allah Swt yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu
perbuatan tercela dan jalan yang buruk.” (Al-Isra:32). Sebagian remaja lainnya membenarkan Hari Valentine karena toh merayakannya beramai-ramai dan nggak sampai berzina. Misalnya sekadar jalan-jalan bareng ke tempat wisata, makan-makan rame-rame di kafe atau nonton live music di hotel. Inipun tetap melanggar Islam karena Allah melarang kita untuk berikhtilat alias bercampur baur laki-laki perempuan yang tidak ada keperluan syar’i. Ini juga termasuk aktivitas hura-hura yang sangat dibenci Allah Swt.
Bagaimana dengan perayaan Valentine’s Day yang dilakukan sepasang suami istri? Setali tiga uang alias sama saja. Dalam hal ini mereka terkena hukum tasyabuh, yakni mengikuti kebiasaan orang kafir. Ya, sebab Valentine’s Day adalah hari raya milik orang kafir yang tidak boleh diikuti kaum muslimin. Perayaan hari besar adalah menyangkut masalah aqidah dan sama sekali tidak ada toleransi dalam hal ini.
Alquran maupun Sunnah secara syar’i melarang tasyabuh dalam segala bentuk dan sifatnya, baik masalah aqidah, ibadah, budaya, maupun tingkah laku. Allah berfirman dalam Surat An-Nisaa: 115 yang artinya:
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
Rasulullah juga bersabda “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alayhi amrunaa fa huwa raddun” yang artinya: “Siapa saja melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka perbuatan itu akan tertolak” (HR Bukhari).
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine s Day mengatakan: merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: pertama, ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syariat Islam. Kedua, ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) –semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum,  berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya.
Lebih dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup orang kafir akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati pada mereke. Allah Swt telah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Lalu bagaimana dengan ucapan Be My Valentine? Ken Sweiger dalam artikel Should Biblical Christians Observe It? (www.korrnet.org) mengatakan kata Valentine berasal dari Latin yang berarti “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa.” Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhannya bangsa Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my
Valentine”, hal itu berarti memintanya menjadi Sang Maha Kuasa dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut syirik alias menyekutukan Allah Swt.
Kalau sekadar memberi ucapan selamat merayakan Hari Valentine? Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati haram hukumnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu menunjukkan dukungan dan restunya pada ritual agama lain. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan: Rasulullah Saw saat keluar menuju perang Khaibar, melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath. Biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah
Saw bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan
mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
Jelaslah, tidak ada sedikitpun kebolehan bagi umat Islam untuk mengikuti kebiasaan orang kafir. Menyerupai orang kafir sama halnya dengan ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah
nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap rakaat shalatnya
membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.“(Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan
sesat itu dengan sukarela.
Senjata Melenakan Umat
Di abad milenium ini, Valentine’s Day sejatinya sengaja dijajakan ke penjuru dunia sebagai bagian dari skenario liberalisasi (kebebasan). Hari Kasih Sayang sengaja dicekokkan ke benak umat Islam untuk
melenakan mereka dengan aktivitas yang melanggar syara’. Dengan aktivitas ini, sedikit demi sedikit umat Islam diarahkan untuk semakin menjauh dari aqidah Islam.
Allah telah berfirman yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS Al-Baqaroh: 120)
Jelas sudah bahwa mereka senantiasa benci kepada kita kecuali kita berpartisipasi pada acara ritual mereka, model pakaian dan pola pikir yang mereka miliki. Perayaan valentine adalah salah satu sarana mereka untuk memurtadkan kita secara perlahan tapi pasti, tanpa kita sadari. Karena itu, wahai kaum muslimin dan muslimah, jangan tertipu slogan kasih sayang yang menjerumuskan.[]
Asri Supatmiati, Jurnalis.

     
Baca juga :
HTI Sukabumi Demo Tolak Valentine Day
Menguak Keimanan Yahudi dan Nasrani
Muslim Rusia Tolak Perayaan Valentine
Koreksi Atas Artikel Sabili: “Menguak Hizbut Tahrir”
Menyingkap Tabir Hubungan Israel Dengan Sudan Selatan
Komentar:

Nama(required)

E-Mail(required)

Website

Comments

Pamankedua - 13 Feb 2010
ALLAH SWT lah yg Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan Maha Memiliki Ilmunya dalam menanamkan Rasa Kasih Sayang kepada Kepribadian kita agar kita dapat mengenal ALLAH SWT, dapat sujud padanya, cerdas, baik terhadap sesama, dan masih banyak hal lain yg menguntungkan kita, jadi buat apa kita ikut-ikutan sesuatu yg tidak jelas yg mengarah pada kekafiran. Rugilah orang yg mengabaikan ajaran islam.
amirullah - 17 Feb 2010
saya sependapat Valentine’s Day dalam Islam tidak ada..kasih sayang dalam Islam tidak setahun sekali dan bentuknya tidak seperti itu…bentuk kasih sayang dalam yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW..salah satunya bentuk kasih kita terhadap anak yatim piatu
meri septiani - 20 Feb 2010
Saya juga tidak menyetujui adanya hari valentine ini karena merusak moral anak bangsa,trimakasih ya mbak atas pembahsan nya..salam kenal saya meri dari NAD saya juga sudah dari bagian HT..
suyuti - 25 Feb 2010
saya harap saudaraq yang se iman mari kita berbondong bondong untuk menentang hari kemaksyiatan tersebut. kenpa sampai demikian? karna PELINDUNG UMMAT kita sedang tertidur yaitu khilafah. butuh komitmen dan perjuangan kita untuk membangukannya. khilafahlah yang akan mencegah budaya barat untuk masuk di pemikiran kaum muslimin. ALLAHU AKBAR
ImamAman - 18 Mar 2010
Januari 1978 saat usia 16 tahun, saya mendapat kiriman kalender saku dari VOA, disitu tertera valentine day, waktu itu saya bingung hari raya apa pula ini. Saat itu valentine sama sekali belum terdengar dikalangan remaja Indonesia, tapi sekarang …….valentine sudah menjadi semacam “wabah” ini hal aneh, budaya Indonesia sekarang berada pd persimpangan jalan, terlebih lagi media massa di negara ini sudah sangat westernitatif, merekalah yang mem”blow-up” valentine ini.
wylda - 14 Feb 2011
valentine itu memang setan modern yang telah disiapkan oleh kaum kafir sbg peluru terhada para remaja muslim,, nudubillah klo qta smpai terjebak oleh hal2 yang g pntg itu!
Ivan anti valentine - 14 Feb 2011
Peringatan hari kasih sayang bagi seorang muslim adalah tgl 10 muharrom dimana kita berbagi sebagian harta kita kepada anak yatim piatu atau kita membagikan sebagian harta kita pada saat zakat maal atau fitrah. Itu adalah hakikat hari kasih sayang bagi seorang muslim. Tgl. 14 februari bukan “HARI KASIH SAYANG” tetapi “HARI NAFSU”
Nur Alam - 14 Feb 2011
Tinggalkan hal-hal yg jauh dari ajaran/anjuran Al-Qur’an dan Hadit’s. Thank’s Wassalam Tabe
Arif Fajar - 09 Feb 2012
moga anak2 muda islam tdak terjebak oleh valentine yg merupakan budaya kafir…..
Linda Yuliana - 12 Feb 2012
Islam agama yang mengajarkan cinta dan kasih, namun dalam mengekspresikannya, tetap ada bingkai-bingkai/ aturan2 tertentu yang perlu diperhatikan :
1. Niatnya harus ikhlas karena Allah
2. Sesuai dengan hukum syara’ (contoh: pengungkapan cinta, kasih sayang dalam Islam antara laki2 dan perempuan yang bukan mahram hanya dihalalkan setelah adanya ikatan “PERNIKAHAN”, bukan dengan jalan melakukan ‘free sex’ seperti yang biasa dilakukan pada acara ‘Valentine Day’
Dhan - 14 Feb 2012
“Barang siapa yang menyerupai (adat/kebiasaan) suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut” (Al-Hadits)
release
Jum'at, 24/01/14 9:05 WIB
PERNYATAAN MUSLIMAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA “Tragedi TKW: Ketika Perempuan Menjadi Tumbal Devisa Negara”
Nomor: 63/PN/01/14                   Jakarta, 24 Januari 2014/22 Rabi’ul Awal 1435 H
PERNYATAAN MUSLIMAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA
“Tragedi TKW: Ketika Perempuan Menjadi Tumbal Devisa Negara”
Perlakuan tak manusiawi yang dialami Erwiana Sulistyaningsih TKI di Hongkong telah menyita perhatian semua pihak. Ratusan ribu TKI menunjukkan solidaritas dengan menggelar aksi protes dan berbagai …
Index  >

Sabtu, 01 Februari 2014

Cara khilafah mensikapi bencana

Ditangkal dan Tawakal, Inilah Cara Khilafah Mensikapi Bencana January 21st, 2014 by kafi Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar Banjir kembali terjadi dan kembali menelan korban . Di Jakarta, banjir sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran.  Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah. Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik.  Kita punya 129 gunung api aktif.  Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika.  Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik.  Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung. Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar.  Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana.  Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak belajar ke Indonesia.  Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru dihadapi dengan sebatas tawakal. Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak? Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam.  Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan.  Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.  Sementara itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan gempa.  Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar (variolla) atau pes.  Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad.  Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan. Untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa Muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan.  Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering.  Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim.  Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung kota.  Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun.  Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi. Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini.  Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.  Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang. Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani.  Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan bendungan.  Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.  Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya.  Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun.  Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?”  Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di rumah dan hartanya diawasi negara.  Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi Bapak Optika.  Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya.  Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika.  Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan. Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa.  Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.  Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil.  Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh. Jadi bencana-bencana alam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar tawakkal.  Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana.  Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat.  Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk.  Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan. Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat.  Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting.[] Baca juga : Banjir Jakarta: Bukan Bencana Alam Tapi Bencana Keserakahan Penguasa dan Pengusaha Inilah Cara Khilafah Kelola SDA Manajemen Bencana Model Khilafah Islamiyyah Para Caleg Manfaatkan Bencana Situ Gintung Kebijakan Khilafah Mengatasi Banjir Posted in Headline, Seputar Khilafah | 1 comment Previous post: Negara-negara Barat dan Arab Menjanjikan 2,4 Miliar Dolar Untuk Membantu Suriah Next post: Komunitas Muslim Inggris: Islam dan Pemeluknya Dikriminalisasi, Umat Wajib Bersatu 1 comment on this post. Bang I-Dje: January 21st, 2014 at 18:25 Subhanallah…. Kami Rindu Daulah Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Rabu, 29 Januari 2014

Memoar amir dipenjara

Memoar dari Penjara dan Indahnya Persahabatan bersama Amir Hizbut Tahrir, Al-Alim –Al-Jalil Sheikh Ata bin Khalil Abu al- Rashtah
Oleh:  Salim al- Amr

Bagian Pertama
Majalah Al – Waie edisi Arab menerima beberapa memoar dari yang terhormat, Salim al- Amr. Kami telah mempublikasikan sebagian dari memoar itu, karena Insya Allah di dalamnya terdapat pelajaran dan manfaat bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Kami menyampaikan terima-kasih dan penghargaan kepada Saudara Salim untuk memoar yang ekspresif dan menggugah ini. Kami memohon kepada Allah SWT untuk memberikan kepadanya apa yang yang akhirnya akan datang, dan semoga Allah menjaganya dari segala keburukan dan kejahatan.
Memoar Penjara dan Penghargaan Persahabatan (1)
Awalnya dimulai dari Penjara Gurun Sawaqa di Yordania. Hari itu saya tidak tahu tentang Hizbut Tahrir kecuali beberapa perkara yang membuat saya meremehkan dan membenci. Semoga Allah mengampuni orang yang menjadi penyebab atas masalah ini!
Pada pagi hari itu, berita datang ke penjara bahwa seorang tahanan bernama Ata Abu al- Rashtah [Abu Yasin] akan dipindahkan dari Penjara Juwaideh ke Penjara Gurun Sawaqa. Hal ini tidak begitu menjadi masalah bagi saya sebagaimana pentingnya hal itu bagi para syabab  (anggota) Hizbut Tahrir yang berada di ruang sebelah depan ruangan kami. Saya menyaksikan wajah-wajah ceria mereka, hanya karena mereka mendengar tentang kedatangannya. Saya mengetahui dari mereka bahwa ia adalah juru bicara resmi Hizbut Tahrir. Namun siapa dari kami yang mengenalnya?
“Bagaimana anda tidak kenal siapa orang ini, dia adalah salah seorang dari sangat sedikit orang yang menulis tentang ekonomi Islam!” seru teman saya (Ahmad al – Sa’oub, yang merupakan saudara saya seiman – dalam melawan orang-orang Yahudi). Tentu saja, Ahmad termasuk yang rajin membaca koran sampai-sampai kami mengatakan bahwa kami membeli koran seharga dua puluh sen dan dia membacanya seharga satu dinar! Bahkan iklan kecil tidak akan luput dari perhatiannya.
Ketika itu saya berada di sebuah ruangan dengan orang-orang yang disebut sebagai  orang ‘Afghan Yordania’. Kasus ini adalah satu kasus yang rumit di mana banyak orang yang tidak bersalah dizhalimi. Pada saat itu, kasus kami diberi nama sebagai ‘Kasus Wadi Mujib’. Singkatnya, kasus kami adalah suatu operasi syahid melawan para turis Yahudi yang datang ke Yordania, yang dilakukan pada ulang tahun pertama pembantaian yang dilakukan di Masjid Ibrahimi tanggal 24 Februari 1995, namun operasi gagal, dan saya dijatuhi hukuman mati, kemudian dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa.
Pemikiran saya pada saat itu lebih dekat kepada Salafi jihadi, karena itu terdapat perbedaan yang sangat jauh dalam pemikiran antara saya dan Hizbut Tahrir. Saya mengakui bahwa saya belum matang secara intelektual pada saat itu. Saya tidak peduli tentang pemikiran (fikr) atau mengetahui apa artinya. Kami tidak tahu terminologi yang kami dengar dari Syabab Hizbut Tahrir dan tidak mau memperhatikannya karena kami sangat meremehkan /mengolok-olok arti kata pemikiran (fikr). Ketika kami melihat Abu Yasin dan para pengikutnya pindah dari satu ruangan ke ruangan untuk menunaikan kewajiban kepada salah seorang dari mereka. Salah seorang teman kami berkata sinis : “Ini adalah pemimpin mereka yang megajarkan tentang pemikiran kepada mereka”. Kami pun menertawakan mereka dan dengan naif.
Di saat kami sibuk dengan masalah-masalah internal kami dan mencari berita tentang amnesti umum yang kami dengar dari waktu ke waktu, sambil berharap untuk keluar dari penjara, para Syabab Hizbut Tahrir sibuk menyerap ilmu dari Abu Yasin. Mereka, seperti yang dijelaskan oleh penulis Abdullah Abu Rumman ketika dia dipenjara karena isu roti, “mereka menulis sebuah buku setiap minggu.” Realitas mereka juga digambarkan oleh Profesor Hamza al – Aneed, pada saat dikunjungi keluarganya. Dia berkata kepada keluarganya:  bahwa bersama kami ada Abu Yasin, yang selalu memberi  kajian secara berkelanjutan. Karena itu berita tentang amnesti umum tidak menyibukan mereka (para syabab). Mereka meyakini bahwa penjara adalah qadaa’ dari Allah.  Jarang sekali ada permasalahan internal di antara mereka. Sheikh Atha telah membuat mereka sibuk dengan kajian dan menulis. Beliau mengajar mereka bahasa arab dan ushul fiqih. Ketika kami pergi berolah raga banyak dari mereka yang pergi ke perpustakaan penjara untuk membenamkan waktu mereka mempelajari kitab-kitab tafsir  dan meminjam buku karena mereka igin menjalankan tugas kewajiban yang ditugaskan kepada mereka (oleh Abu Yasin).
Memoar Penjara dan  Penghormatan Persahabatan (2)
Kadang-kadang kami terkena konflik, sebagai akibat dari perkelahian dengan pihak administrasi penjara yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini biasanya terjadi karena saudara-saudara Salafi Jihadi (negara menyebut kasus mereka sebagai kasus baiat kepada imam). Mereka menganggap para polisi adalah kumpulan thaghut, sehingga wajar terjadi permusuhan, yang membuat hidup kami selalu dalam keadaan konflik di dalam penjara, dikarenakan bentrokan diantara orang-orang seperti ini dan para penjaga tahanan dan polisi.
Kemudian, administrasi penjara berusaha menekan kami dengan melemparkan gas air mata untuk memecah belah kami. Mereka memutuskan untuk membagi kami ke dalam kamar-kamar kecil, yang tersebar di dua lantai, sehingga dapat mengurangi banyak masalah. Situasi saat itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis dan wartawan Abdullah Abu Rumman dalam sebuah artikel yang ditulisnya ketika dia dibebaskan dari penjara dengan judul, “Pemimpin di Penjara ” (Wa fi al- sujuun ‘umara’) .
Karena saya bertanggung jawab sebagai pimpinan para tahanan, saya melayani sekelompok tahanan dari gerakan-gerakan yang berbeda : orang-orang Yordania Afghanistan, orang-orang dari gerakan yang berbeda, dan dari Hizbut Tahrir, karena sebagian dari mereka berada di sel saya, di antaranya adalah Tariq al – Ahmar, serta insinyur Laith Shubeilat. Abu Musab al-Zarqawi juga seorang pemimpin dari sebuah kelompok. Walid Hijazi adalah pemimpin Syabab Hizbut Tahrir di dalam sel termasuk Abu Yasin, karena Abu Yasin menolak untuk menjadi pemimpin. Malah dia sering berusaha untuk menjadikan Syabab sebagai pemimpin, dan membimbing mereka pada beberapa perkara.
Pada saat Sholat Jumat, kami biasa shalat di kamar. Berkali-kali kami mendengar khutbah Jumat dari Sheikh Ata dan kadang-kadang dari Abu Muhammad al- Maqdisi. Ini terjadi sebelum kami dibagi ke dalam kamar-kamar kecil. Khotbah Abu Yasin  sangat memukau sehingga mempengaruhi sebagian kelompok salafi.  Kemudian para pemimpin kelompok salafi menyadari hal ini, sehingga mereka membuat masalah untuk memisahkan kelompoknya dari syaikh Atha. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Abu Yasin kerap memberikan pelajaran secara rutin di kamar kami mengenai ushul fiqh yang biasa dihadiri sebagian Syabab di dalam ruangan. Pelajaran rutin lainnya diberikan oleh Saudara Shabeita, juga dari Hizbut Tahrir, mengenai bahasa Arab. Namun sayangnya kami tidak menaruh perhatian besar terhadap pelajaran ini.
Abu Yasin selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berdiskusi dengan orang-orang lain di kamar yang berbeda, baik pada saat ada yag sakit atau pada situasi berkabung. Beliau tidak pernah  putus asa. Dia biasa menasehati teman-temannya dengan Wasiat Rasulullah SAW sahabat-sahabatnya,
«صلْ من قطعك، واعفُ عمّن ظلمك»
“Sambungkanlah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu dan maafkanlah  orang yang menzalimimu”.
Dia biasa mengabaikan pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya oleh orang-orang lain dari gerakan-gerakan lain dan tidak meresponnya kecuali dengan kebaikan.
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.(QS Fussilat : 34 )
Saat itu kami biasa mengejek para Syabab Hizbut Tahrir itu namun pada saat yang sama kami juga biasa mencintai mereka. Sebagian dari kami biasa menggoda mereka dengan mengatakan, “Kamu Syabab Hizbut Tahrir, ketika kamu pergi untuk minum kopi kamu meminta kepada pelayan untuk membawakan anda satu cangkir teh dan membawakan juga dua orang untuk berdiskusi.” Saya melihat Abu Yasin menertawakan gurauan ini, yang disampaikan oleh teman saya Idul Jahaleen (dari kasus orang ‘Afghan Yordania’), yang telah kehilangan kedua kakinya dalam usaha meledakkan bioskop – semoga Allah memberinya kesehatan. Dr. Ali al – Faqir, yang biasa duduk dalam lingkaran pengajian Abu Yasin dan belajar Usul, akan mengatakan kepada kami untuk bersikap adil, ketika kami hanya berdua: saudaraku, jika ada orang yang layak dihormati, maka itu adalah Abu Yasin. (Hal ini termasuk ke dalam pengakuan jujur tentang seseorang).
Setelah dua tahun di penjara, gambaran mulai jelas bagi saya sedikit demi sedikit. Saya bisa melihat hal-hal secara obyektif. Saya terutama melihat bertambahnya masalah-masalah internal hanya karena alasan-alasan sepele, suatu hal yang membuat saya membuang-buang waktu saja. Saya kemudian menulis permintaan kepada administrasi penjara untuk mengirimkan saya ke lantai dua, ruangan tempat para Syabab Hizbut Tahrir itu. Permohonan saya disetujui, namun dibatalkan beberapa jam kemudian! Jadi saya tinggal di sana hanya semalam, kemudian kembali ke ruangan asal saya. Duh, sungguh kebahagiaan yang belum terlaksana.
Dari waktu ke waktu, kami mengucapkan selamat tinggal kepada Syabab yang dibebaskan, dan menjadi kebiasaan untuk merayakan saat pembebasan mereka. Bersama dengan sipir penjara, saya mengorganisir malam pelepasan sebagian dari mereka, saya ikut tidur di kamar-kamar mereka, untuk mempersembahakan bebrapa nyanyian/nasyid untuk merayakan pembebasan mereka.
Kemudian datanglah hari ketika Allah SWT memberikan kehormatan kepada saya untuk berjumpa dengan Amir Hizbut Tahrir dan Syababnya dalam satu sel, ketika kami dipindahkan ke Penjara Salt (di utara – barat Jordan) yang dibagi-bagi ke dalam sel-sel yang tidak tersinari matahari. Di dalam sel itu terdapat tempat tidur yang terbuat dari dua lantai beton dan setiap sel memiliki empat tingkat, yakni delapan tahanan dalam sebuah ruangan.
Jika dibandingkan dengan Penjara Sawaqa, Penjara Salt merupakan ujian yang lebih berat. Suasanaya pun berubah, tempatnya sangat sempit, kelembabannya berlipat dan permasalahan-pun meningkat. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa saya adalah orang yang paling banyak mendapatkan manfaat karena perpindahan ini, meskipun semua orang tahu bahwa mereka membawa saya dengan jarak dua kali lipat jauhnya dari keluarga saya, karena saya berasal kota Karak. Dengan karunia Allah, berubahlah kesulitan di penjara ini menjadi kenikmatan tersendiri.
Memoar Penjara dan Indahnya Persahabatan (3)
Setiap penjara memiliki suasana yang berbeda. Meskipun kurangnya pelayanan dan sel-sel kecil di Penjara Salt, kami mulai terbiasa dengan tempat itu. Penjara bukanlah hanya tembok. Terkadang seseorang bisa mengubah kesulitan di penjara menjadi nikmat, karena kehendaknya sendiri, meskipun terdapat banyak rintangan.
Pada saat itu Abu Yasin hendak mengucapkan selamat tinggal pada sebagian besar Syabab Hizbut Tahrir di penjara itu. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali hanya sedikit, yang semuanya akan segera bebas karena hukuman mereka berakhir. Saya ingat mereka adalah Walid Hijazi, Suhaib Ja’ara, dan Abdul al- Rahim Abu ‘ Alba. Ini adalah apa yang terjadi; dalam beberapa minggu mereka akan berada di luar tembok penjara, menghirup udara kebebasan.
Tak seorang pun dari Syabab yang tersisa di ruangan kecuali Abu Yasin. Betapa menyakitkan dan menyedihkan ketika seseorang ditinggal seorang diri terisolasi, tanpa seorang teman di dalam ruangan. Terhadapnya saya mengulang-ulang syair yang berbunyi:
Orang-orang yang aku cintai telah pergi & Aku tersisa menyendiri seperti sebilah pedang
Di sini saya memutuskan untuk pindah ke kamarnya, terutama karena sekarang hal ini sudah menjadi lebih mudah.
Saya juga teringat akan perkataan seorang penyair :
Jika angin-anginmu telah berhembus, maka manfaatkanlah & karena bagi setiap kegaduhan pasti ada ketenangan
Ada banyak alasan atas keputusan saya ini, di antarannya:  suasana kedamaian di dalam ruangan Abu Yasin; melayani seorang pria yang sudah beruban. Maka Dia memang layak untuk dilayani -Karena di antara wujud menganggungkan Allah adalah menghormati seorang Muslim yang telah tua dan mengormati Ahli Al-Qur’an -, keluasan hati yang menjadi ciri khas Abu Yasin. Suatu hari saya melihat ada seorang pemuda yang banyak berbuat buruk kepadanya, namun dia tidak memperdulikannya.
Setelah pindah ke selnya, saya mulai memperhatikan pria itu dari dekat, bagaimana cara dia makan, bagaimana cara dia minum, bagaimana cara dia melakukan wudhu, bagaimana cara dia beribadah, dan bagaimana cara dia berurusan dengan orang-orang. Saya melihat Islam terwujud dalam kenyataan di dalam sel itu. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Abu Yasin adalah orang yang dihormati semua orang. Dia selalu menyambut anda dengan senyum. Ketika dia berwudhu dia tidak menyia-nyiakan air, dia akan menutup keran beberapa kali selama wudhu’ saat dia bergerak dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain. Saya akan bertanya kepadanya, “Abu Yasin, apakah anda khawatir air di penjara akan habis?” “Air ini adalah milik umum”, dia akan menjawab, “air harus dilestarikan dan jangan di sia-siakan.”
Dia biasa menyambut semua orang dengan salam, namun beberapa tahanan dari gerakan-gerakan lain tidak akan membalas salamnya, suatu hal yang membuatnya sedih. Dia akan berkata kepada saya, “Bagaimana mentalitas seperti itu ditangani ketika negara Islam berdiri? “Dia diam sebentar dan kemudian berkata, “Tidak ada solusi untuk hal ini, setelah pembentukan Khilafah, kecuali bahwa mereka ditempatkan di perbatasan untuk berperang melawan musuh.”
Hanya ada satu televisi di penjara, untuk semua orang. Televisi itu selalu berada di ruang makan. Abu Yasin pergi ke sana hanya untuk menonton berita pukul delapan dan kemudian akan kembali ke selnya.
Suatu hari salah seorang tahanan lain, dari keluarga Tahhan, yang bukan dari Syabab Hizbut Tahrir (dia dipenjara karena membawa senjata) berkata kepada saya, “Saudaraku, anda tidak tahu betapa saya menghormati orang ini (Ata). Saya telah melihatnya lebih dari sekali menangis setelah mendengarkan buletin berita, terutama ketika dia mendengar berita yang menyakitkan dari Aljazair dan pembunuhan yang terjadi di sana.”
Karena saya berasal dari klan Amr yang terkenal dari kota Karak, sebagian panglima militer yang berasal dari selatan berupaya mendekati saya; kami biasa pergi ke halaman untuk beristirahat di belakang penjara. Kadang-kadang sipir penjara pun keluar bersama kami.
Suatu hari, seorang panglima militer dari klan al- Shabtat al – Tufayla mengatakan kepada saya bahwa dia telah menghabiskan masa pengabdiannya pada Dinas Keamanan Preventif, sebelum dipindahkan ke penjara itu. Setelah mulai keakraban dan persahabatan tumbuh diantara kami, dia berkata kepada saya, “Salim, menurut pendapat anda, siapa yang paling berbahaya bagi rezim Yordania dari orang-orang yang ada di sini? “Jawaban saya singkat: kelompok  ‘kesetiaan kepada  Imam’ (yaitu ‘Salafi Jihadi’) lalu ‘Peledak Ajloun’. Dia sedikit tertawa dan kemudian berkata, “Semua orang itu tidak bisa melemahkan kami. “Kemudian dia berkata, ” Apakah anda melihat bahwa orang itu (Abu Yasin) berjalan di sana sendirian, tidak ada seorangpun di antara kamu yang memperhatikannya.” “Ya,” jawab saya . “Dia adalah yang paling berbahaya dari anda bagi rezim Yordania.”
Saya kemudian menyadari bahwa kenyataan ini tidak seperti yang terlihat. Sebagian Petinggi militer sering datang dengan diam-diam ke sel itu untuk duduk bersama Abu Yasin, ketika mereka yakin tidak ada penjaga keamanan penjara.  Saya kemudian menyadari bahwa nushroh (adanya perlindungan/pertolongan dari para pemegang kekuasaan) itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Saya juga  yakin bahwa banyak dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanan mereka (maksudnya banyak orang yang berada di lingkungan rejim pemerintah yang tidak mendukung rejim itu, dan siap memberikan dukungannya kepada para pengemban dakwah)
Dahulu saya dulu tidak mampu membedakan antara Mubtada (subjek) dengan Khabar (predikat) dalam ilmu nahwu. Suatu hari, Abu Yasin berkata kepada saya, “Mengapa anda tidak memanfaatkan waktu anda dan belajar bahasa Arab? ” Saya menjawab, “Ini adalah pelajaran yang sulit yang saya tidak mengerti, lupakan saja”. Maka Abu Yasin berkata : “Yang harus anda lakukan adalah membawa mushaf al- Quran, buku catatan, dan pena, kemudian serahkan sisanya kepada saya. Anda akan belajar itu, Insya Allah”. Saya-pun menentangnya, bahwa dia akan membuang-buang waktu di tempat yang salah. Namun, dia bersikeras untuk mengajariku bahasa Arab. Mengapa tidak, ini adalah bahasa Al-Qur’an dan kunci untuk memahaminya dan menggali hukum-hukumnya.
Pada akhirnya, saya meyakinkan sebagian narapidana lain untuk belajar bahasa Arab, dan kami mulai pada metode lama sekolah Qur’an (katatib). Kami mulai membedakan antara Kalimah Isim, Kalimah Fi’il, dan Harf, dan bahwa Jumlah  itu adalah suatu ungkapan yang berfaidah dan bermakna (Kalaamun Mufiidun Dzuu Ma’nan) . Sebagian besar contoh yang dia gunakan adalah dari Al-Qur’an, demikian juga tugas-tugas yang dia berikan kepada kami. Pada akhirnya, setelah beberapa minggu kami menjalani tes yang saya tidak pernah bermimpi pernah mampu menyelesaikannya di masa lalu – Yakni menyelesaikan i’rab Surat al – Anfal (mengurai kata dan kalimat) secara sempurna, dan saya bisa melakukannya. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang terbaik atas pelajaran yang diajarkannya! (diterjemahkan riza/yasin, sumber: alwaie bahasa arab edisi 324)