Minggu, 09 Maret 2014

Hadits janji khilafah dhoif

Hadits Janji Rosululullah SAW Akan Kembalinya Khilafah Dhoif ? March 4th, 2014 by farid PERKATAAN IMAM BUKHARI “FIIHI NAZHAR” MENGENAI SEORANG PERAWI HADITS TIDAK SELALU MELEMAHKAN HADITSNYA Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi Pendahuluan   Di kalangan para pejuang syariah dan Khilafah, sangat terkenal hadits yang menerangkan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jalan kenabian). Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :   تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت   “Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17). Hadits di atas walau statusnya oleh para ahli hadits dinilai antara shahih atau hasan, namun ada pihak yang berpandangan hadist itu lemah (dhaif). Mereka berhujjah bahwa salah satu perawi (periwayat) hadits yang bernama Habib bin Salim adalah perawi yang lemah, dengan alasan Imam Bukhari mengomentari Habib bin Salim dengan berkata, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Menurut mereka, inilah sebabnya Imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut, sehingga akibatnya “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.   Maksud Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar” Sebelum membahas perkataan Imam Bukhari “fiihi nazhar” untuk Habib bin Salim, perlu kiranya diketahui sekilas sanad hadits di atas, untuk mengetahui posisi Habib bin Salim dalam rantai periwayatan hadits tersebut dari Rasulullah SAW. Sanad hadits di atas adalah sebagai berikut; Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Dawud Al Thayalisi, dari Dawud bin Ibrahim Al Wasithi, dari Habib bin Salim, dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah bin Al Yaman, dari Rasulullah SAW. (Lihat Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430). Jadi posisi Habib bin Salim adalah antara Dawud bin Ibrahim Al Wasithi dan Nu’man bin Basyir. Yang menjadi titik kritis adalah kredibilitas Habib bin Salim, dan apakah Habib bin Salim ini mendengar langsung hadits dari Nu’man bin Basyir atau tidak. Memang benar bahwa Imam Bukhari pernah mengomentari Habib bin Salim dengan perkataannya “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Hal itu dikatakan oleh Imam Bukhari pada saat menceritakan biografi (tarjamah) Habib bin Salim dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir juz 2 halaman 318. Telah berkata Imam Bukhari (radhiyallahu ‘anhu) :   حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان، روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشروخالد بن عرفطة وإبراهيم بن مهاجر، وهو كاتب النعمان، فيه نظر   “Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man, dan meriwayatkan [hadits] darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin Al Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu dipertimbangkan.” (Imam Bukhari, At Tarikh Al Kabir, 2/318). Mengenai perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) ini, sudah banyak ulama yang menafsirkannya. Secara umum, ungkapan tersebut memang berarti jarh (penilaian tidak kredibel) kepada seorang periwayat hadits, sehingga akibatnya dapat melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut.   Imam Al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah Al Alfiyah :   فلان فيه نظر، وفلان سكتوا عنه:  يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه   “[Perkataan] “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fulan sakatuu ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan/tak dikomentari oleh para ulama), merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh Imam Bukhari mengenai periwayat hadits yang haditsnya ditinggalkan.” (Imam ‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz 2/11). Imam Adz Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya MizanuI I’tidal :   قوله: فيه نظر، وفي حديثه نظر، لا يقوله البخاري إلا فيمن يتهمه غالبا   “Perkataan dia (Imam Bukhari) : “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan), tidaklah diucapkan oleh Imam Bukhari kecuali mengenai orang-orang yang dia tuduh [tidak kredibel] pada galibnya.” (Imam Adz Dzahabi, MizanuI I’tidal, 1/3-4). Kedua kutipan di atas menunjukkan kaidah umum dari perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), yang memang menunjukkan kelemahan kredibilitas periwayat hadits. Namun dalam kasus Habib bin Salim, perkataan Imam Bukhari tersebut bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Dikarenakan terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya. Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, Imam Bukhari sendiri menilai shahih hadits yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) bisa jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya.  Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Kabir (1/33) bahwa Imam Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada Imam Bukhari mengenai suatu hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Nabi SAW dalam dua shalat Ied dan shalat Jum’at telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka Hadiistul Ghaasiyah, dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi SAW membaca kedua surat itu. Maka berkata Imam Bukhari,”Itu hadits shahih.’ (Arab : huwa hadiits shahiih). (Lihat Imam Tirmidzi, Al ‘Ilal Al Kabir,1/33. Matan hadits secara lengkap dikemukakan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan At Tirmidzi, Juz 5 hlm. 243). Ini jelas menunjukkan Imam Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika Imam Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.     Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa Imam Bukhari tetap menshahihkan hadits yang perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah Ad Durais dalam kitabnya Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’ (Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, tt) halaman 120, hal itu karena Imam Bukhari tidak sampai derajat yakin bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa`) atau mendengar (as samaa’) hadits dari Nu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk) apakah Habib bin Salim pernah bertemu/mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Ketidakyakinan Imam Bukhari itu tercermin dari deskripsi biografi Habib bin Salim yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri, yaitu menggunakan perkataan عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man). Sebagaimana sudah dikutip sebelumnya, Imam Bukhari berkata :   حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان “Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man… (At Tarikh Al Kabir, 2/318). Kalimat عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man) adalah kalimat yang tidak jelas (ghairu sharih), yang berbeda dengan kebiasaan Imam Bukhari ketika dia meyakini seorang periwayat hadits mendengar dari periwayat sebelumnya. Jika Imam Bukhari yakin Habib bin Salim mendengar dari periwayat sebelumnya (Nu’man bin Basyir), niscaya kalimat yang akan digunakan adalah sami’a al nu’maan (dia telah mendengar Nu’man), bukan ‘an al Nu’man. Terlebih lagi bahwa dalam kitab Tahdziibul Kamaal (2/374) disebutkan bahwa Habib bin Salim telah memasukkan periwayat lain antara dirinya dengan Nu’man bin Basyir. Inilah kiranya yang membuat Imam Bukhari berada dalam keraguan mengenai Habib bin Salim.  (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais,  Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121). Namun ketidakyakinan Imam Bukhari ini tak berarti Imam Bukhari secara mutlak tidak mempercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi Imam Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa Imam Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib) bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa`) atau mendengar (samaa’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin. Ada dua alasan untuk itu; pertama, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula (bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis akan sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan Imam Bukhari tetap menilai shahih hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais,  Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).  Ini adalah indikasi pertama yang membuktikan tetapnya kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya, yakni adanya penilaian shahih dari Imam Bukhari terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak. Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Habib bin Salim tidaklah mengapa (laa ba`sa bihi). Menurut Ibnu ‘Adi, tak ada matan-matan hadits Habib bin Salim yang munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah), melainkan telah terjadi idhtirab (kerancuan) pada sanad-sanad hadits yang diriwayatkan darinya. Tetapi Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hiban menilai Habib bin Salim tsiqah. (Lihat Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8). Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib Al Arna`uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Imam Dzahabi pada Juz 12 halaman 439 (Beirut : Mu`assah Ar Risalah, cetakan IV, tahun 1986). Di antaranya adalah sebagai berikut : Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’iin. Imam Abu Dawud dan Tirmidzi juga tidak meninggalkan haditsnya. Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud As Shan’ani. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Imam Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Imam Ibnu Hiban memasukkan namanya dalam kitabnya At Tsiqaat. Imam An Nasa`i juga meriwayatkan hadits darinya. Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid Al Hammani. Imam Bukhari menilainya “fii hadiitsihi nazhar” (haditsnya perlu dipertimbangkan). Tetapi Imam Nasa`i berkata, dia tsiqah. Ibnu ‘Adi mengatakan,”Aku tidak melihat haditsnya munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan. Dan seterusnya banyak sekali. Jadi, penilaian Imam Bukhari “fiihi nazhar” kepada seorang perawi, tidaklah berarti hadits yang diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa jadi para Ahli Hadits lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya, yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).       Kesimpulan Hadits akan datangnya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah derajatnya berkisar antara shahih dan hasan. Penilaian sementara pihak bahwa hadits itu dhaif karena Imam Bukhari menilai Habib bin Salim dengan sebutan “fiihi nazhar”, adalah tidak tepat. Karena perkataan imam Bukhari “fiihi nazhar” mengenai seorang perawi hadits, tidaklah selalu melemahkan hadits yang diriwayatkannya. Maka dari itu, penilaian bahwa hadits akan datangnya Khilafah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah adalah hadits dhaif, sungguh sangat gegabah dan tidak berlandaskan ilmu yang mendalam. Landasannya lebih kepada hawa nafsu yang condong kepada kebatilan dan kesesatan, yaitu memberi legitimasi palsu kepada sistem sekular saat ini yang dipaksakan secara kejam kepada umat Islam. Wallahu a‘lam bi al shawab. (04/02/2014).   = = = KH. M. Shiddiq Al-Jawi, anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Dosen Ulumul Hadits dan Ushul Fiqih di STEI Hamfara, Jogjakarta; Pimpinan PP Hamfara Jogjakarta. Baca juga : Kembalinya Khilafah: Isyarat Nubuwah Kembalinya Khilafah Adalah Bisyarah Nabawiyyah Untuk Kita Ma’al Hadîts Syarîf: Khilafah Membentuk Masyarakat Islami Tanggapan Terbuka terhadap Ketua MK : Khilafah itu Pernah Ada dan akan Kembali Tegak ! Jawab Soal: Hadits Bisyarah Posted in Headline, Tsaqofah, Tsaqofah Islam | No comments Previous post: Uni Emirat Arab Habiskan Miliaran Dolar Perangi Kelompok Islamis Next post: Sejarah Singkat Imperialisme AS Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Senin, 03 Maret 2014

Soal jawab tentang jangka waktu syirkah

Soal Jawab Tentang Jangka Waktu Syirkah dan Hukum Jual Beli Lelang February 17th, 2014 by kafi بسم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban pertanyaan: 1. Jangka Waktu Syirkah 2. Bay’ al-Muzayadah (Jual Beli Lelang) Kepada Hanin Islem   Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Bagaimana kondisi Anda syaikhuna al-fadhil dan ‘alimuna al-jalil? Saya memohon kepada Allah agar berada pada keadaan yang terbaik. Pertanyaan saya: Pertama, apakah asy-syarik (mitra syirkah) bisa keluar dari syirkah kapan saja ia inginkan? Perlu diketahui bahwa ada jangka waktu tertentu yang disepakati sebelumnya yaitu satu tahun. Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, semoga Allah memberkahi Anda. Kedua, didirikan balai lelang umum untuk penyelenggaraan bay’ al-muzayadah (lelang). Di situ terjadi penawaran harga yang meningkat diantara para pedagang hingga mencapai harga tertinggi berkali-kali lipat dari harga dasar yang menyebabkan kerugian sebagian pedagang. Apakah secara syar’iy boleh pedagang menambah penawaran harga sampai pada derajat yang menyebabkan kerugian pesaingnya dan pada beberapa kondisi membuatnya bangkrut? Mohon disertai dengan dalil-dalil dan rinciannya, semoga Allah memberkahi Anda. Ketiga, untuk mencegah terus meningkatnya penawaran harga, dilakukan kesepakatan di antara pedagang di pelelangan umum dan swasta sebelum terjadi lelang. Yakni sebagian memberikan harta kepada sebagian yang lain, agar tidak terjadi tawaran yang terus meningkat diantara mereka di dalam lelang atau harga tidak sampai pada batas tertinggi. Apa hukum harta yang diberikan di antara para pedagang itu? Apa hukum aktivitas perdagangan seperti ini? Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda. Saya mohon maaf karena panjangnya dan banyaknya pertanyaan. Saya tahu besarnya beban tanggung jawab Anda. Semoga Allah menolong Anda dan memberikan kemenangan melalui tangan Anda. Semoga Allah menyiapkan ahlu nushrah untuk Anda sebagaimana dahulu Allah menyiapkannya untuk kekasih-Nya al-Mushthafa saw.   Jawab: Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Pertama, pertanyaan Anda tentang jangka waktu dalam syirkah: Syirkah secara bahasa adalah percampuran dua bagian atau lebih di mana tidak bisa dibedakan lagi satu dari yang lain. Syirkah secara syar’iy adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat di dalamnya untuk melakukan aktivitas finansial dengan maksud memperoleh laba. Akad syirkah mengharuskan adanya ijab dan qabul secara bersama, seperti semua akad lainnya. Ijab adalah salah satu pihak mengatakan kepada pihak lain aku bersyirkah denganmu dalam hal demikian, sementara pihak lain mengatakan aku terima… Akan tetapi akad itu harus mengandung makna berserikat atas sesuatu. Syirkah hukumnya boleh. Rasulullah SAW diutus dan masyarakat bermuamalah dengannya lalu Rasul SAW menyetujuinya. Maka persetujuan beliau SAW terhadap muamalah masyarakat itu merupakan dalil syar’iy atas kebolehannya. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda: «إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا» “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku menjadi pihak ketiga dari dua orang yang bersyirkah selama yang satu tidak mengkhianati yang lain, dan jika dia mengkhianatinya maka Aku keluar dari keduanya.”   Penyebutan jangka waktu di dalam akad syirkah bukan keharusan. Syirkah tidak perlu jangka waktu dalam pengakadannya. Akan tetapi syirkah itu terakadkan dan tidak ada kemajhulan di dalam akadnya, sehingga memerlukan penentuan jangka waktu seperti ijarah misalnya. Adapun ijarah menjadi majhul jika tidak disebutkan jangka waktunya, sehingga tidak terakadkan (dengan sempurna) kecuali disebutkan jangka waktu, baik jangka waktu saja terpisah dari lainnya harian, bulanan, tahunan… ataupun berkaitan dengan pekerjaannya sendiri misal ijarah membangun dinding, atau menggali sumur sehingga jangka waktunya berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan. Pembubaran syirkah bergantung pada keinginan para syarik. Dua orang syarik yang mengakadkan syirkah atas aktivitas tertentu, bisa membubarkan syirkah itu kapan saja. Di dalam Nizham al-Iqtishâdiy disebutkan sebagai berikut: (Syirkah secara syar’iy termasuk al-‘uqûd al-jâ`izah. Syirkah itu batal dengan kematian salah seorang dari dua orang yang bersyirkah, atau dia gila atau dihijr atas kelemahan akalnya. Atau syirkah itu bubar dengan pembubaran oleh salah satu dari keduanya jika syirkah itu terdiri dari dua orang. Sebab syirkah adalah ‘aqdun jâ`izun maka dengan semua itu batal seperti halnya wakalah. Jika salah seorang dari kedunya mati dan ia memiliki pewaris yang rasyîd (tidak lemah akal), maka pewarisnya itu berhak menggantikannya di dalam syirkah dan mengizinkan mitra syirkahnya dalam melakukan tasharruf. Pewarisnya itu juga berhak meminta pembagian. Jika salah seorang dari kedua mitra syirkah meminta pembubaran (fasakh), maka bagi mitra syirkah lainnya wajib memenuhi permintaan itu. Jika mitra syirkah itu banyak dan salah seorang dari mereka meminta pembubaran, sementar yang lain ingin mempertahankan, maka syirkah yang ada dibubarkan dulu, lalu diperbaharui diantara yang masih bertahan. Hanya saja harus dibedakan antara syirkah mudharabah dengan lainnya. Dalam syirkah mudharabah, jika pengelola meminta aset syirkah dijual, sementara pemodal (shahibul mal) meminta pembagian, maka permintaan pengelola yang dipenuhi. Sebab haknya ada dalam laba, sementara laba itu tidak akan tampak kecuali dalam penjualan aset. Sedangkan dalam jenis syirkah lainnya, jika salah satu meminta dibagi dan yang lain meminta dijual, maka yang dipenuhi adalah permintaan dibagi, bukan dijual). Ini yang kami tabanni dalam hal terakadkannya syirkah tanpa disebutkan jangka waktu. Dimana jangka waktu itu bukan keharusan untuk keabsahan aqad syirkah. Adapun jika disebutkan jangka waktu di dalam syirkah tersebut, maka ini telah diperselisihkan oleh para fukaha. Anda boleh bertaklid kepada mujtahid yang ijtihadnya menenteramkan Anda dalam masalah tersebut. Saya kutipkan pendapat sebagian mujtahid mu’tabar dalam masalah tersebut: -                      Boleh ditentukan jangka waktu mudharabah menurut hanafiyah dan hanabilah. Yakni ditentukan jangka waktu untuk syirkah mudharabah. Dan jika berakhir jangka waktu itu selesailah syirkah tersebut. -                      Malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah tidak menerima penentuan waktu. Sebab hukumnya seperti yang dikatakan oleh malikiyah: tidak ada jangka waktu. Masing-masing dari keduanya boleh meninggalkannya kapan saja ia mau. Dan karena penentuan jangka waktu –seperti yang dikatakan syafi’iyah- menyebabkan kesempitan terhadap pengelola dalam aktifitasnya. An-Nawawi menyebutkan di Raudhah ath-Thalibin: tidak dijadikan patokan di dalam al-qiradh “mudharabah” penjelasan jangka waktu …   Kedua, pertanyaan Anda tentang bay’ al-muzâyadah: Bay’ al-muzâyadah adalah boleh. Yakni penjual menawarkan barangnya kepada para pembeli dan ia menjualnya kepada orang yang membayar paling tinggi. Yang demikian: Ibn Majah telah mengeluarkan dari Anas bin Malik: «أَنَّ رَجُلاً مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُهُ فَقَالَ: لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ؟ قَالَ: بَلَى، حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ، قَالَ: ائْتِنِي بِهِمَا، قَالَ: فَأَتَاهُ بِهِمَا، فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا، قَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ، فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الأَنْصَارِيَّ…» “Bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Nabi saw bertanya kepada beliau. Beliau bertanya, “Engkau punya sesuatu di rumahmu?” Ia berkata: “Benar, sebuah alas pelana, kami pakai sebagian dan kami hamparkan sebagian; dan sebuah gelas yang kami gunakan untuk minum air.” Nabi bersabda, “Bawa keduanya kepadaku.” Anas berkata, “Maka ia membawanya kepada Nabi saw, dan beliau mengambil keduanya darinya. Kemudian Nabi saw besabda, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan satu dirham.” Nabi bersabda: “Siapa yang menambah atas satu dirham?” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan dua dirham.” Maka Nabi memberikan keduanya kepada orang itu dan beliau mengambil darinya dua dirham dan beliau berikan kepada laki-laki anshar itu…” Akan tetapi tidak boleh an-najasy dalam jual beli ini. Yakni menambah penawaran harga bukan untuk membeli, akan tetapi untuk memperdaya orang lain agar membelinya dengan harga tinggi… Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: «…وَلاَ تَنَاجَشُوْا…» “Jangan kalian saling menawar untuk meninggikan harga (an-najasy)” Al-Bukhari juga mengeluarkan dari Ibn Umar ra. Ia berkata: «نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ» “Nabi saw melarang an-najasy” An-najasy adalah menambah harga barang padahal ia tidak membelinya. Yakni menambah tawaran harga pada suatu barang dengan maksud tidak ingin membelinya, tetapi untuk mengkondisikan orang lain yang menawarnya, agar menduga tidak bisa mendapat barang tersebut, jika tidak melebihi tawarannya; sehingga ia tertipu dan menambah tawaran harganya agar ia bisa membelinya. Demikian juga tidak boleh para pembeli bersepakat diantara mereka untuk merendahkan harga barang. Dan mereka bersepakat untuk tidak membayar lebih dari harga yang rendah… dan tidak menambah dari harga itu. Hal itu agar penjual menjual dengan harga murah tersebut. Sebab ia tidak mendapati pedagang yang mau membayar lebih tinggi…  Biasanya para pedagang sepakat dengan pedagang lain yang memberinya harta sebagai imbalan agar tidak menambah tawaran dari harga yang ia bayar; sementara ia membayar harga yang rendah untuk barang tersebut sedangkan para pedagang lainnya mau membayar harga yang lebih rendah dari harga itu sesuai kesepakatan di antara para pedagang itu. Lalu penjual itu pun menjual barangnya kepada pedagang yang menawar dengan harga murah itu, sebab semua pedagang lainnya hanya mau membayar harga lebih murah, di mana itu sesuai kesepakatan dengan pedagang yang membeli tersebut. Ini termasuk dalam bab al-khadî’ah. Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Zirru dari Abdullah ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: «مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ» “Siapa yang menipu maka dia bukan bagian dari golongan kami dan makar dan tipudaya di neraka.” Ishhaq bin Rahuwaih telah mengeluarkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: «الْمَكْرُ وَالْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ» “Makar dan tipudaya di neraka” Dan juga dikeluarkan oleh al-Bazar di Musnad-nya. Demikian juga Allah SWT melarang merugikan manusia pada hak-hak mereka. Maka para pedagang menampakkan bahwa nilai barang itu rendah. Hal itu untuk menipu pemilik barang, sehingga ia menjualnya dengan harga murah. Allah SWT berfirman: ﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾ “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (26: 183) Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsirnya untuk ayat tersebut: [﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾ الْبَخْسُ النَّقْصُ. وَهُوَ يَكُونُ فِي السِّلْعَةِ بِالتَّعْيِيبِ وَالتَّزْهِيدِ فِيهَا، أَوِ الْمُخَادَعَةِ عَنِ الْقِيمَةِ، وَالِاحْتِيَالِ فِي التَّزَيُّدِ فِي الْكَيْلِ وَالنُّقْصَانِ مِنْهُ. وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ..  “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” Al-Bakhsu adalah an-naqshu (pengurangan). Dan itu terjadi pada barang dengan mencacatnya dan merendahkan tentangnya, atau menipu tentang nilai, dan melakukan muslihat dalam menambah takaran dan menguranginya. Semua itu termasuk aktifitas memakan harta dengan jalan yang bathil…” selesai. Karena itu, jika para pedagang bersepakat di antara mereka untuk membeli barang si Fulan dengan harga murah, dan dia memberi mereka harta sehingga mereka tidak menaikkan tawaran harga dari harga yang ia inginkan. Dengan ungkapan lain, para pedagang sepakat untuk membayar harga lebih kecil dari harga yang diinginkan orang itu untuk membeli barang tersebut dengan imbalan orang itu membayar harta kepada mereka. Aktifitas ini haram. Sebab ini masuk dalam Bab al-Khadî’ah (tipudaya) terhadap pemilik barang untuk dibeli dengan harga murah. Dan harta yang diabil oleh pedagang itu dari para pedagang lainnya adalah haram.   Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 12 Rabiuts Tsani 1435 H 12 Februari 2013 M http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_33244   Baca juga : Jawab Soal Tentang Hukum Akad Murabahah Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti Jawaban Pertanyaan Seputar Hukum-hukum terkait Jual Beli Hukum Pemanfaatan Darah dan Jual Beli Virus Soal Jawab tentang Masjid, Qiyas, dan Hadiah Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Pasca Kelud Meletus, Warga Ngancar Mengadu Belum Dapat Bantuan Makanan Next post: Qodho Mashalih Kelud Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Pemilu majelis umat dalam negara Khilafah

Pemilu Majelis Umat Dalam Negara Khilafah February 26th, 2014 by kafi Oleh: Hafidz Abdurrahman Negara Khilafah adalah khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam negara khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara demokrasi. Karena itu, di dalam negara khilafah tidak ada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden dan kabinetnya, jika menganut sistem presidensiil. Atau dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya, jika menganut sistem parlementer. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen, dan yudikatif oleh lembaga kehakiman (peradilan). Namun, pembagian seperti ini tidak ada dalam negara khilafah. Karena itu, negara khilafah tidak mengenal parlemen model negara demokrasi. Parlemen dalam negara demokrasi berfungsi membuat UU, mengangkat dan memberhentikan presiden (perdana menteri), serta fungsi check and balance. Sementara Majelis Umat dalam negara khilafah tidak mempunyai otoritas membuat UU, karena otoritas ini sepenuhnya di tangan khalifah. Majelis Umat bisa mengangkat khalifah, tetapi tidak berhak memberhentikannya. Karena otoritas untuk memberhentikannya ada di tangan Mahkamah Mazalim. Demikian juga fungsi check and balance, memang sepenuhnya di tangan Majelis Umat, namun pandangan mereka ada tidak selamanya mengikat. Pemilu Majelis Umat Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai lembaga legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain/pengaduan) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri atas  pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi. Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan: 1-      Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya. 2-      Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali. Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat. Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam negara khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggata Majelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah. Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hak untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu. Pemilu Majelis Wilayah dan Majelis Umat Secara teknis, negara khilafah bisa membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada di setiap daerah. Komisi ini mempunyai hirarki struktural hingga ke pusat. Di pusat, komisi ini dipimpin oleh seorang ketua, sebut saja ketua KPU Pusat. Dialah yang diberi tugas oleh khalifah untuk menjalankan pelaksanaan pemilu dalam tenggat waktu tertentu. Waktunya bisa sebulan, atau kurang. Majelis Wilayah yang dipilih per wilayah ini dipilih, setelah penduduk wilayah tersebut mencalonkan nama-nama calon Anggota Majelis Wilayah. Nama-nama yang dicalonkan, baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri, kemudian diverifikasi terkait dengan kesediaannya menjadi calon, termasuk kriteria dan persyaratannya. Setelah terkonfirmasi, maka mereka ditetapkan oleh KPU setempat maju dalam pemilihan Anggota Majelis Wilayah. KPU pun menyediakan ruang bagi mereka untuk melakukan kampanye, baik untuk mengampanyekan diri mereka sendiri, maupun orang lain. Kampanye ini bertujuan untuk memperkenalkan visi, misi dan agenda calon Anggota Majelis Wilayah tersebut. Selain itu, rakyat pun telah mengetahui rekam jejak mereka, sehingga mereka bisa menilai secara obyektif kelayakan calon tersebut. Setelah itu, penduduk di wilayah tersebut memilih calon sesuai dengan kuota wilayahnya. Bisa berjumlah 1, 2, 3 atau 4 orang. Setelah selesai pemilihan, maka KPU menghitung hasil perolehan suara pemilihan di wilayahnya secara transparan dan terbuka, sehingga tidak terjadi kecurangan. Setelah itu, hasilnya dipublikasikan. Setelah dipublikasikan secara resmi dan terbuka, maka KPU membuka dimulainya “Masa Komplain”. Tujuannya untuk menampung keberatan, baik karena faktor kualifikasi, kecurangan maupun yang lain. KPU, dalam hal ini, diberi otoritas oleh UU untuk membatalkan calon, jika terbukti tidak memenuni kualifikasi, melakukan kecurangan atau faktor lain yang bisa mendiskualifikasinnya. Begitu “Masa Komplain” ini berakhir, KPU akan mempublikasikan hasil pemilihan final Anggota Majelis Wilayah tersebut. Dengan demikian, mereka yang terpilih dan mendapatkan suara mayoritas ditetapkan oleh KPU sebagai Anggota Majelis Wilayah dalam periode 5 tahun, atau 6 tahun berikutnya, bergantung keputusan UU yang diadopsi oleh khalifah. Setelah Anggota Majelis Wilayah ini terpilih, maka mereka segera berkumpul untuk melakukan pemilihan Anggota Majelis Umat di antara mereka. Prosesnya hampir sama dengan pemilihan Majelis Wilayah di atas. Setelah semua tahapan tadi dilalui, maka Majelis Umat ini pun terbentuk, yang diisi oleh mereka yang menjadi Anggota Majelis Wilayah. Dengan terbentuknya Majelis Umat ini, maka Pemilu Majelis Umat ini telah berakhir dengan baik. Kesimpulan Pemilu dalam negara khilafah jelas berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi. Tujuan dan orientasinya pun berbeda. Hasilnya juga pasti berbeda. Islam nyatanya mempunyai sistem Pemilu yang jauh lebih baik, ketimbang sistem pemilu yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Semuanya ini membuka mata kita, bahwa Islam adalah satu-satunya ideologi, yang mempunyai sistem yang sempurna. Karena Islam datang dari Allah SWT. Dzat yang Maha Sempurna, dan Maha Tahu seluk beluk hamba-Nya.     Baca juga : Pemilu dalam Negara Khilafah Para Imam Masjid Berlomba Meminta Umat Islam Berpartisipasi Dalam Pemilu Prancis MHTI Cilacap Menyeru Majelis Ta’lim lebih Berperan dalam Kebangkitan Umat Forum Diskusi Muslimah ”Jaminan Aspirasi Rakyat Dalam Majelis Ummah ” Amerika Campur Tangan dalam Proses Pemilu Sudan Posted in Tsaqofah | No comments Previous post: Saat Kritik Tak Lagi Menggelitik Para Wakil Rakyat… Next post: Astaghfirullah, Sheikh Mesir Pro Rezim Militer Serukan Salib dan Potong Tangan Penantang as Sisi Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id

Seputar penetapan utsman sebagai khalifah

HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP VIDEO FOTO KEGIATAN Soal Jawab Seputar Telah Tetapnya Pendapat Pada Utsman ra. Sebagai Khalifah untuk Kaum Muslimin February 27th, 2014 by kafi سم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau   Jawaban Pertanyaan: Seputar Telah Tetapnya Pendapat Pada Utsman ra. Sebagai Khalifah untuk Kaum Muslimin Kepada Mohamed Ali Bouazizi   Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Di dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah tepatnya pada paragraf pembatasan calon, pada halaman 31 dinyatakan: “… Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi kepada yang lain dan membatasi mereka pada dua orang, Ali dan Utsman… Setelah itu ia mengeksplorasi pendapat masyarakat dan akhirnya pendapat tetap pada Utsman sebagai khalifah.” Sementara pada halaman 33 dinyatakan “… lalu Abdurrahman bin ‘Awf memanggil Ali dan Utsman … kemudian ia mengambil tangan Ali.” Kenapa Ali sementara Utsman telah ditetapkan untuk khilafah? Saudaramu Bouazizi.   Jawab: Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Yang tampak jelas untuk Abdurrahman bin ‘Awf adalah bahwa masyarakat menginginkan Ali jika ia memutuskan dalam suatu kasus yang diajukan kepadanya dengan keputusan yang telah diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, jika kasus itu telah terjadi kasus serupa pada masa keduanya. Dan Ali tidak setuju sementara Utsman menyetujuinya. Ketika itu Utsman ditetapkan sebagai khalifah … Kalimat (dan Umar mencalonkan untuk kaum Muslimin enam orang dan ia batasi pada mereka, agar mereka memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan lima lainnya dan membatasi mereka pada dua orang: Ali dan Utsman setelah yang lain mewakilkan kepadanya. Dan setelah itu ia mengeksplorasi pendapat masyarakat dan tetaplah pendapat atas Utsman sebagai khalifah.). Kalimat itu tidak berarti bahwa Utsman telah ditetapkan sebagai khalifah pada saat Abdurrahman meminta masukan, akan tetapi Utsman ditetapkan sebagai khalifah ketika Ali menolak sementara Utsman menyetujui. Tampak bahwa yang rancu bagi Anda adalah anggapan Anda bahwa huruf ‘athaf diantara “istathla’a ra`ya an-nâs –ia mengeksplorasi pendapat masyarakat-“ dan “istaqarra ar-ra’yu ‘alâ utsmân khalîfatan –telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah-“. Anda menganggap bahwa huruf al-wâwu diantara keduanya adalah menunjukkan susunan dan segera terjadi. Padahal masalahnya tidak demikian. Huruf ‘athaf al-wâwu hanya menunjukkan ‘athaf –kata sambung-. Jika Anda katakan “jâ`a Umarun wa Khâlidun –Umar dan Khalid datang-“ bukan berarti bahwa keduanya datang bersama atau segera satu menyusul yang lain. Akan tetapi bisa jadi ada jeda waktu diantara keduanya. Yang ini datang sebelum zhuhur sedangkan yang itu datang setelah zhuhur. Begitulah, kalimat yang disebutkan “istathla’a ra`ya an-nâs –ia mengeksplorasi pendapat masyarakat-“ bisa saja telah selesai pada malam, dan “istaqarra ar-ra`yu ‘alâ Utsmân khalîfatan –telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah-“ terjadi pada waktu fajar setelah shalat Subuh dan setelah ditanyakan kepada Ali dan Utsman. Untuk menjelaskan apa yang terjadi, kami katakan: “Abdurrahman mengeksplorasi pendapat masyarakat” dan ia mendapati masyarakat menginginkan Ali jika Ali setuju atas syarat mereka, dan jika tidak maka Utsman jika dia setuju terhadap syarat-syarat mereka … Setelah itu Abdurrahman berkata: “maka panggilkan untukku Ali dan Utsman”, lalu ia menyodorkan kepada Ali syarat tersebut dan Ali tidak setuju. Kemudian ia menyodorkannya kepada Utsman dan ia setuju… Setelah itu maka hasilnya “wa istaqarra ar-ra’yu ‘alâ Utsmân khalîfatan –dan telah tetap pendapat pada Utsman sebagai khalifah.” Saya berharap masalah tersebut telah jelas.   Saudaramu   Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah   17 Rabiuts Tsani 1435 H 17 Februari 2014 M http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_33395   Baca juga : Jawab Soal: Seputar Tenggat yang Diperbolehkan bagi Kaum Muslimin untuk Menegakkan al-Khilafah Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan KR Medan: Satu Khalifah untuk 1,5 Milyar Kaum Muslimin Soal Jawab Seputar Aktivitas Pemerintahan dan Aktivitas Administratif Soal Jawab Seputar Zakat Pertanian dan Rikaz Posted in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah | No comments Previous post: Siapa Yang Memberi Pertolongan Kepada Kaum Muslimin di Afrika Tengah Next post: Ma’al Hadîts Asy-Syarîf: Mengikuti Cara Orang Yahudi dan Kristen Leave a comment Name (required) Mail (required, but not published) Website Comment HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390 Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372, Email: info@hizbut-tahrir.or.id