Jumat, 31 Mei 2019

Hadits Rasulullah ditinjau dari berbagai aspeknya

Hadits Rasulullah Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya

Oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami

Hadits secara istilahi disepakati sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir/diamnya beliau. Hadits dari aspek jumlah silsilah atau jalur penuturannya bisa dibagi menjadi dua (2) jenis, yaitu mutawatir dan ahad, sebagaimana pendapat para penulis kitab Musthalah al-Hadîts, yakni para Imam: Ibn Shalah, an-Nawawi, dan Ibn Hajar. (Lihat: Ibn Shalah, ‘Ulûm al-Hadîts “Muqaddimah Ibn Shalâh”, h. 267; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, I/64; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, XX/415). Adapun dari aspek diterima atau ditolaknya sebuah hadits ditinjau dari kualitas sanad, rawi, dan matannya menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian tersebut sudah masyhur di kalangan ulama. Namun dalam mengkaji hadits - hadits Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, para Ulama memiliki alur pembahasan yang beragam sesuai dengan fokus kajiannya, apakah ditinjau dari Ilmu Ushul, Ilmu Hadits, ataukah Ilmu Fiqih.

A. Hadits Dalam Tinjauan Ilmu Ushul

Ilmu Ushul mengkaji kedudukan Hadits Rasulullah` shallallâhu 'alaihi wa sallam apakah dapat digunakan sebagai hujjah ataukah tidak, serta bagaimana peranannya dalam membangun pemikiran Islam, termasuk kaitannya dengan al-Quran, sehingga dapat menolak kesalahan sebagian pihak yang terkategori Inkar Sunnah. Dari aspek ini, Hadits diposisikan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai wahyu, sehingga berkaitan dengan status keimanan seseorang. Dengan kata lain, kelompok Inkar Sunnah, yakni yang menolak Hadits secara mutlak termasuk kaum Kafir, jika sebelumnya Muslim maka dinyatakan Murtad. Pada intinya, Ilmu Ushul mengkaji seputar pembagian Hadits menjadi Mutawatir dan Ahad, serta hubungan keduanya.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi) yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan Hadits Ahad adalah hadits yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir, baik diriwayatkan oleh seorang, dua orang, tiga orang ataukah lebih pada masing-masing tingkatan sanad (thabaqat). 
Hadits Mutawatir bersifat qath’i dari sisi tsubut-nya, yakni dipastikan berasal dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan berfaidah menghasilkan al-‘ilm adh-dharuri, yakni ilmu yang meyakinkan dan wajib diamalkan, serta kafir orang yang mengingkarinya. Adapun mengenai Hadits Ahad apakah bersifat qath’i atau zhanni, maka para para Ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dengan berbagai rinciannya. Mengenai  hal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) pendapat, yakni (1) qath’i secara asal, dinisbahkan kepada Zhahiriyyah, Imam al-Harits al-Muhasibi dan Imam al-Karabisi asy-Syafi’i’; (2) qath’i apabila disertai qarinah yang menguatkan, dinisbahkan kepada Jumhur Hanabilah, Imam Ibn Shalah asy-Syafi’i, dan Imam al-Amidi asy-Syafi’i; dan zhanni secara asal, tidak menghasilkan keyakinan, dinisbahkan kepada Jumhur Muhadditsin, Fuqaha, dan Ahli Ushul (Lihat: an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, I/64; Ibn Abdil Barr, at-Tamhîd, I/7; Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, I/107). Dinukil dari al-Muhallâ-nya Imam Ibn Hazm azh-Zhahiri sebagai berikut:

هل يوجب خبر الواحد العدل العلم مع العمل أو العمل دون العلم ؟ قال أبو محمد: قال أبو سليمان والحسين، عن أبي علي الكرابيسي، والحارث بن أسد المحاسبي وغيرهم، أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله (ص) يوجب العلم والعمل معا، وبهذا نقول: وقد ذكر هذا القول أحمد بن إسحاق المعروف بابن خويز منداد، عن مالك بن أنس. وقال الحنفيون والشافعيون وجمهور المالكيين وجميع المعتزلة والخوارج: إن خبر الواحد لا يوجب العلم، ومعنى هذا عند جميعهم أنه قد يمكن أن يكون كذبا أو موهوما فيه، واتفقوا كلهم في هذا، وسوى بعضهم بين المسند والمرسل.

Dengan demikian, jika terbukti suatu Hadits terkategori Ahad, maka Ulama berbeda pendapat apakah “diyakini” bahwa Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam berkata, berbuat, atau mendiamkan demikian ataukah sekedar “diduga kuat”? Jika suatu Hadits Ahad diperkuat oleh qarinah tertentu semisal disepakati Syaikhan atau diterima Umat, apakah tetap hanya “diduga kuat” ataukah menjadi “diyakini”? Pendapat ketiga dipilih oleh Syaikhuna Taqiyyuddin an-Nabhani al-Azhari, yakni secara asal berfaidah zhanni, bukan qath’i. Imam al-Hafizh an-Nawawi asy-Syafi’i dalam syarah-nya terhadap Shahîh Muslim menisbahkan pendapat tersebur kepada Jumhur, yakni para Sahabat, Tabi’in, dan generasi setelahnya dari kalangan Muhadditsin, Fuqaha, dan Ahli Ushul. Hal senada disebutkan pula Imam al-Hafizh Ibn Abdil Barr al-Maliki dalam syarah-nya terhadap al-Muwattha`. Syaikhuna Taqiyyuddin an-Nabhani al-Azhari menjelaskan dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Juz I) bahwa Hadits Ahad yang terbukti Shahih maka  dibenarkan secara zhanni, yakni tidak dinyatakan kafir yang menolaknya, namun tidak boleh didustakan. Perlu dipahami bahwa barangsiapa yang menolak Hadits Ahad secara mutlak baik dalam pemikiran “teoritis” maupun amal “praktis”, maka pada hakikatnya dia termasuk Inkar Sunnah karena apa yang disebut Hadist Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pada umumnya merupakan Hadist Ahad, bukan Mutawatir.
Oleh karena itu, apabila suatu Hadits Ahad dinilai maqbul oleh seorang Ulama maka pihak yang berbeda pendapat tidak boleh dianggap “menolak Hadits Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam”, karena memungkinkan adanya penilaian yang berbeda. Demikian pula apabila suatu Hadits Ahad dinilai mardud, maka pihak yang berbeda pendapat tidak dianggap “berdusta atas nama Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam”, karena masih memungkinkan dinisbahkan kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, kecuali jika telah disepakati sebagai Hadits Maudhu’, terutama dalam aspek matan-nya.

B. Hadits Dalam Tinjauan Ilmu Hadits

Ilmu Hadits didefinisikan sebagai ilmu mengenai berbagai aturan untuk mengetahui berbagai kondisi sanad Hadits dan matan-nya. Ilmu Hadits terbagi dua (2), yakni: riwâyah dan dirâyah. Jenis pertama terkait upaya penukilan, periwayatan, dan pemeliharaan hadits, sedangkan jenis kedua terkait mekanisme penelitian terhadap diterima atau ditolaknya sebuah hadits. Pada intinya, kajian riwâyah  bertujuan umtuk membedakan antara apa yang disandarkan kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan selain beliau dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, yakni menentukan apakah suatu riwayat terkategori marfu’, mauquf, ataukah maqthu’; sedangkan kajian dirâyah bertujuan untuk meneliti validitas dari berbagai riwayat tersebut, yakni apakah terkategori shahih, hasan, ataukah dha’if.
Hadits Marfu’ adalah hadits yang akhir sanadnya disandarkan langsung kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam”. Hadits Mauquf adalah hadits yang akhir sanadnya disandarkan kepada salah seorang dari para Sahabat radhiyallâhu ‘anhum. Hadits Marfu’ hukman, yakni Hadits Mauquf yang dianggap sebagai Hadits Marfu’ berdasarkan kriteria tertentu. Hadits Maqthu’ adalah hadits yang akhir sanadnya disandarkan kepada salah seorang Tabi’in rahimahumullâh.
Hadits Shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syudzûdz dan tidak ada ‘illah tercela. Hadits Hasan ialah hadits yang diterima oleh banyak ulama dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha (Imam al-Khatthabi) atau hadits yang dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz (Imam at-Tirmidzi) atau hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang derajat dhabith-nya lebih ringan dari orang yang serupa hingga akhir sanad, tidak ada syudzûdz, maupun ‘illah (Imam Ibn Hajar). Syaikhuna Taqiyyuddin an-Nabhani al-Azhari dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Juz I) menempatkan ketiga definisi tersebut sebagai penjelasan yang saling melengkapi. Adapun Hadits Dha’if ialah hadits yang tidak didapati syarat shahih dan tidak pula didapati syarat hasan, sebagian diantaranya terkategori Dha’if Syadid, yakni Munkar, Matruk, dan Maudhu’.
Dengan demikian, Ulama Muhadditsin berperan dalam menghimpun dan menyeleksi hadits - hadits yang terkategori Hadits Marfu’, termasuk marfû’ hukman terutama bersandar pada penelitian terhadap sanad dan perawi. Adapun terkait matan hadits, maka yang ditinjau ialah apakah ditemukan adanya lafad atau makna suatu matan yang dinilai “bertentangan” dengan hadits lain, terutama jika terkategori sebagai gharib atau tafarrud. Imam Al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wa al-Mutafaqqih meriwayatkan dari Ubaidillah ibn ‘Amr, sebagai berikut:

جاء رجل إلى الأعمش فسأله عن مسألة وأبو حنيفة جالس فقال الأعمش : يا نعمان قل فيها فأجابه فقال الأعمش : من أين قلت هذا ؟  فقال : من حديثك الذي حدثتناه قال : نحن صيادلة وأنتم أطباء 

Demikianlah, Imam al-A’masy yang dikenal sebagai Muhadditsin menyebutkan dirinya sebagai “apoteker” sedangkan Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai Fuqaha sebagai “dokter”. Dapat dikatakan bahwa peran utama dari Ulama Muhadditsin ialah men-takhrij hadits, bukanlah men-syarah, sehingga yang dikenal dari kajian hadits selain takhrij hadits ialah Thabaqât ar-Ruwâh, al-Jarh wa at-Ta’dîl, dan ‘Ilal al-Hadîts.

C. Hadits Dalam Tinjauan Ilmu Fiqih

Ilmu Fiqih adalah ilmu yang mengkaji berbagai perkara syar’i yang bersifat praktis, digali dan disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian, Ilmu Fiqih merupakan kajian tentang hukum - hukum suatu perbuatan. Dalam kajian fiqih, dalil kedua setelah al-Quran adalah hadits - hadits Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun diantara para Fuqaha yang menolak kehujjahan hadits sebagai dalil syariah, termasuk di dalamnya kalangan Ahli Ra’yi. Para Fuqaha men-syarah hadits - hadits yang mengandung aspek tasyri’ setelah diketahui takhrij-nya, yakni didapatkan informasi bahwa hadits yang akan diistinbath merupakan Hadits Marfu’ dan terkategori Shahih atau Hasan, yang keduanya disepakati sebagai hadits yang layak digunakan sebagai hujjah dalam amal.
Adapun mengenai layak atau tidaknya Hadits Dha’if digunakan sebagai hujjah dalam amal, maka para Ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dengan berbagai rinciannya. Para Ulama bersepakat jika terbukti bertentangan dengan Hadits Shahih ataupun Hasan atau dalil lain yang lebih kuat, maka tidak dapat digunakan sebagai hujjah dalam amal; sedangkan jika tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, maka sebagian ulama menjadikan hadits tersebut sebagai dalil asal, semisal Imam Ahmad dan Imam Abu Daud; sebagian lain menjadikannya sebagai dalil penguat, semisal Imam asy-Syafi’i dan yang lainnya; serta sebagian lain tidak menjadikannya sebagai hujjah, semisal Imam Ibn al-‘Arabi (Lihat: as-Suyuthi, at-Tadrîb ar-Râwî, I/350-351; Mahmud Sa’id Mamduh, at-Ta’rîf, I/121-125, VII/20-25).
Perlu dipahami bahwa tidaklah tepat pendapat yang menegasikan peranan para Fuqaha secara mutlak dalam penentuan diterima atau ditolaknya suatu hadits. Para Ulama menjadikan pendapat Fuqaha sebagai sandaran yang mu'tabar sebagaimana dinukil Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrîb ar-Râwî sebagai berikut:

قال بعضهم: يحكم للحديث بالصحة إذا تلقاه الناس بالقبول وإن لم يكن له إسناد صحيح .قال ابن عبد البر في الاستذكار: لما حكي عن الترمذي أن البخاري صحح حديث البحر: «هو الطهور ماؤه» ، وأهل الحديث لا يصححون مثل إسناده، لكن الحديث عندي صحيح؛ لأن العلماء تلقوه بالقبول. وقال في التمهيد: روى جابر عن النبي صلى الله عليه وسلم: «الدينار أربعة وعشرون قيراطا» ، قال: وفي قول جماعة العلماء وإجماع الناس على معناه غنى عن الإسناد فيه. وقال الأستاذ أبو إسحاق الإسفراييني: تعرف صحة الحديث إذا اشتهر عند أئمة الحديث بغير نكير منهم. وقال نحوه ابن فورك، وزاد بأن مثل ذلك بحديث: «في الرقة ربع العشر وفي مائتي درهم خمسة دراهم» . وقال أبو الحسن بن الحصار في تقريب المدارك، على موطأ مالك: قد يعلم الفقيه صحة الحديث إذا لم يكن في سنده كذاب بموافقة آية من كتاب الله أو بعض أصول الشريعة، فيحمله ذلك على قبوله والعمل به،

Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh dalam at-Ta’rîf bi Auhâm man Qassam as-Sunan ila Shahih wa Dh’aif menukil pendapat Syaikh al-Islam Imam Ibn Daqiq al-‘Id dalam al-Ilmâm bi Ahâdîts al-Ahkâm sebagai berikut:

وشرطي فيه ان لا اورد فيه الا حديث من وثقه امام من مزكي رواة الأخبار وكان صحيحا على طريقة بعض اهل الحديث الحفاظ او بعض أئمة الفقه النظار

Karena itu, tidak diperlukan adanya klaim bahwa ulama atau madzhab tertentu dianggap lebih istiqamah dalam mengamalkan hadits, sedangkan selainnya dianggap banyak menolak hadits dan mengutamakan pendapatnya (ra’yu) atau fanatik dalam membela madzhabnya. Padahal, sangat dimungkinkan hadits yang dijadikannya sebagai dalil dinilai mardud atau setidaknya mengandung ‘illah (kelemahan tersembunyi). Jika suatu hadits tidak diamalkan sebuah madzhab, bisa jadi hadits tersebut dianggap mardud, mansukh, atau marjuh, sesuai metodologi ushuliyyah yang dipilihnya. Dimungkinkan pula, hadits tersebut merupakan hadits yang di dalamnya terdapat ikhtilaf, baik dalam aspek sanad, rawi, maupun matannya, serta bisa jadi hadits tersebut belum diketahui oleh pihak yang tidak mengamalkannya.  Dimungkinkan pula, hadits tersebut dinilai maqbul, namun istinbath-nya berbeda, semisal dalam memahami wajh ad-dilâlah-nya atau mengenai mafhûm-nya. Apalagi jika berkaitan ta’lîl dan ma’qûl an-nash, yakni aspek ada-tidaknya illat yang layak untuk membangun Qiyas.

Khatimah

Dengan demikian, sebuah hadits dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yakni (1) qath’i dan zhanni ditinjau dari Ilmu Ushul, (2) maqbul dan mardud ditinjau dari Ilmu Hadits,  serta (3) ma’mul dan ghair ma’mul ditinjau dari Ilmu Fiqih. Dalam berbagai tinjauan tersebut, sebagian diantaranya merupakan perkara yang termasuk ikhtilaf yang mu’tabar. Apalagi dalam rincian penentuan apakah sebuah hadits terkategori mutawatir ataukah ahad, serta shahih, hasan ataukah dha’if memungkinkan terjadinya ikhtilaf. Pada umumnya, berbagai hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah  shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak termasuk sebagai sesuatu yang disepakati para Ulama, bukan hanya antara Muhadditsin dengan selainnya, namun juga diantara sesama Muhadditsin. Wallahu A’lâm.

Purwakarta, 26 Ramadhanvb 1440 H/ 31 Mei 2019 M

Rabu, 01 Mei 2019

Memahami ke hujjahan sirah Nabawiyah

*MANHAJ SIRAH NABAWIYAH*
_(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi ﷺ. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal:  (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang maqbul.

*Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits*

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani رحمه الله dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah سبحانه وتعالى untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan. 

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,

وتعتبر السيرة من أهم ما يجب على المسلمون العناية به، لأنها تحوي أخبار الرسول- صلى الله عليه وسلم -، من أعماله وأقواله وسكوته وأوصافه، وهذه كلها تشريع كالقرآن، فالسيرة مادة من مواد التشريع، ولذلك تعتبر جزءاً من الحديث، وما صح فيه عن النبي – صلى الله عليه وسلم – رواية ودراية يعتبر دليلاً شرعياً، لأنه من السنة، هذا فضلاً عن الاقتداء بالرسول – صلى الله عليه وسلم – مأمورون به من الله تعالى ، قال الله تعالى { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } . فالعناية بالسيرة وتتبعها أمر شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352)

“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi ﷺ, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah ﷺ diperintahkan Allah سبحانه وتعالى. Allah سبحانه وتعالى berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.

Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,

أن القدامى كانت طريقتهم في السيرة والتاريخ تعتمد على رواية الأخبار، وقد بدأ المؤرخون شفوياً، وبدأ الجيل الأول الذي شاهد أعمال الرسول - صلى الله عليه وسلم - أو سمع عنها ورواها يرويها لغيره، وتحملها عنه الجيل الذي بعده، وقيّد بعضهم منها أحاديث متفرقة كالتي تُرى في كتب الحديث حتى الآن، حتى إذا جاء القرن الثاني رأينا بعض العلماء يبدءون في جمع أخبار السيرة، وضم بعضها إلى بعض، وتدوين ذلك بطريق الرواية، بذكر اسم الراوي، ومن روى عنه، تماماً كما يفعل في الحديث. ولذلك يستطيع علماء الحديث ونُقّاده أن يعرفوا أخبار السيرة الصحيحة المقبولة من الضعيفة المردودة بمعرفتهم الرواة والسند. وهذا هو المعتمد عند الاستشهاد بالسيرة إذا كان صحيحاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352)

“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dha’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,

بخلاف المؤلفين في السيرة حديثاً، فإنهم يسردون الحوادث فقط دون ذكر رواتها، ولذلك لا يعتمد على كتبهم كمصدر للسيرة، إلا إذا كان المؤلف يحقق عند كتابته للأخبار المروية في كتابه من أخبار السيرة، وكان من الموثوقين وإلا فلا يُستشهد بقوله بل يُرجع في الحادثة التي يذكرها إلى كتب السيرة المروية بطريق الرواية، أو إلى كتب الحديث، لأن أخبار النبي - صلى الله عليه وسلم - من السنّة لا تؤخذ إلا إذا كانت صحيحة. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352-353)

“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)

*Pengujian Sirah Nabawiyah*

Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.

Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.

Dalam Kitab Tahdzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq. Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.

Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.

Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.

Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah. Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah, yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.

Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .

Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.

Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.

Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.

*Mendudukkan Tarikh Islam*

Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.

Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,

أما ما حصل من الصحابة فإنه هو موضع البحث، لأن إجماع الصحابة دليل شرعي، لأن هنالك وقائع كثيرة تجددت بتجدد الحياة، وعولجت مشاكل من قبل الصحابة، فلابد من معرفتها من ناحية تشريعية، فتاريخ الصحابة مادة من مواد التشريع. وإن كثيراً من شؤون الجهاد، ومعاملة أهل الذمة، والخراج والعشر، ومعرفة كون الأرض عشرية أم خراجية، أي أيها فتح صلحاً وأيها فتح عنوة، والأمان، والهدنة، وأحكام الغنائم والفيء وأرزاق الجند، وما شاكل ذلك، كله حوادث وأحكام صارت عملية في الدولة، فلابد من معرفتها لاتخاذ ما أجمع عليه الصحابة دليلاً شرعياً يحتج به. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355)

“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.

ولاعتبار ما أنفرد به الصحابي حكماً شرعياً لمجتهد من المجتهدين، وللائتناس بما كان عليه الصحابة، لا سيما الخلفاء الراشدين، من تسيير الحكم والإدارة والسياسة. فإنهم خير من آتاه الله عقلية حكم، وخير من يفهم تطبيق الأحكام في الدولة على الرعية، مسلمين كانوا أو ذميين، مسلمين كانوا أو ذميين. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355)

“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355).

*Metode Dakwah Nabi*

Mengikuti metode dakwah Nabi dapat dilakukan dengan memahami kitab sirah dan kitab-kitab hadits. Tergambar secara jelas bagaimana tahapan dawah Nabi sebelum hijrah. Mulai tahapan pertama hingga tahapan terakhir. Termasuk di dalamnya adalah aktivitas thalab al-nushrah di akhir tahapan kedua jika tahapan dakwah dibagi menjadi tiga (marhalah tatsqif, marhalah tafa'ul ma'a al-ummah dan istilam al-hukm). Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,

في هذا الحال أمر الله تعالى نبيه بطلب النصرة. جاء في فتح الباري (ج7/ ص220): أخرج الحاكم وأبو نعيم والبيهقي عن عليِّ بن أبي طالب - رضي الله عنه - قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ إِلَى مِنَى» وروى ابن كثير عن علي - رضي الله عنه - قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ حَتَّى دَفَعْنَا إِلَى مَجْلِسٍ مِنْ مَجَالِسِ الْعَرَبِ» والعرض على القبائل يعني أن يعرض النبي صلى الله عليه وآله وسلم نفسه ودعوته على رؤساء القبائل ليقدموا الحماية والسند له ولدعوته. التغيير (ص : 56)

Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.

Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha'sha'ah berikut,

أرأيتَ إنْ نَحْنُ بَايَعْنَاكَ عَلَى أَمْرِكَ، ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ عَلَى مَنْ خَالَفَكَ، أَيَكُونُ لَنَا الْأَمْرُ مِنْ بَعْدِكَ؟ قَالَ: الْأَمْرُ إلَى اللَّهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ. قَالَ: فَقَالَ لَهُ: أفَتُهدَف نحورُنا لِلْعَرَبِ دُونَكَ، فَإِذَا أَظْهَرَكَ اللَّهُ كَانَ الْأَمْرُ لِغَيْرِنَا! لَا حَاجَةَ لَنَا بِأَمْرِكَ؛ فَأَبَوْا عَلَيْهِ.  سيرة ابن هشام (2/ 272)

“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)

Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah ﷺ wafat.

Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau ﷺ meminta nushrahnya:

وإنما نزلنا بين ضرتين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما هاتان الضرتان»؟ قال: أنهار كسرى ومياه العرب، وإنما نزلنا على عهد أخذه علينا كسرى لا نحدث حدثا ولا نؤوي محدثا، وإني أرى هذا الأمر الذي تدعو إليه مما تكرهه الملوك، فإن أحببت أن نؤويك وننصرك مما يلي مياه العرب فعلنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما أسأتم في الرد إذ أفصحتم بالصدق، وإن دين الله لن ينصره إلا من أحاطه من جميع جوانبه» دلائل النبوة للبيهقي (2/ 297), الثقات لابن حبان (1/ 88), كنز العمال (12/ 521)

“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah ﷺ pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).

Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.

Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad.

*Catatan Akhir*

Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah. Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk.

Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’.

Bandung, 8 Oktober 2018
@raudhah tsaqafiyyah