Minggu, 06 Desember 2020

Hukum Wanita Muslimah Ikut DemoOleh: KH Shiddiq Al Jawi

Hukum Wanita Muslimah Ikut Demo

Oleh: KH Shiddiq Al Jawi

Demonstrasi (muzhaharat) adalah penyampaian pendapat atau perasaan di hadapan publik secara berjama’ah baik kepada penguasa, partai politik, maupun kepada pihak-pihak lainnya. (Abdurrahman Sa’ad Al Syatsri, Al Muzhaharat fi Mizan Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 6; Muhyiddin Al Qarahdaghi, At Tashil Al Syar’i Li Al Al Muzhaharat As Silmiyyah, hlm. 3).

Kami akan jelaskan dulu hukum demonstrasi secara umum, baru hukum demonstrasi bagi wanita muslimah. Mengenai hukum demonstrasi secara umum, ada dua pendapat ulama kontemporer. Pertama, mengharamkan, misalnya pendapat Nashiruddin Al Albani, Abdurrahman bin Sa’ad Al Syatsri, Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi, Abdul Aziz bin Baz, dan Shalih Al Fauzan. Demonstrasi diharamkan antara lain karena dianggap memberontak kepada penguasa (al khuruuj ‘ala waliy al amr) dan banyak menimbulkan berbagai penyimpangan syariah seperti ikhtilat (campur baur pria dan wanita) dan berbagai mudharat (seperti perusakan fasilitas publik).

Kedua, membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya pendapat Yusuf Qaradhawi, Ziyad Ghazzal, M. Abdullah Al Mas’ari, dan Muhyiddn Al Qarahdaghi. Mereka membolehkan demonstrasi karena dianggap sebagai cara (uslub) dalam amar ma’ruf nahi munkar atau menyampaikan nasehat kepada penguasa, dengan syarat-syarat tertentu misalnya tujuan demonstrasi harus sesuai syariah, dan tidak disertai hal-hal yang diharamkan seperti ikhtilat dan menggunakan kekerasan/senjata. (Lihat Abdurrahman bin Sa’ad Al Syatsri, Al Muzhaharat fi Mizan Al Syari’ah Al Islamiyyah, hlm. 14-47; Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Ahzab fi Ad Dawlah Al Islamiyyah, hlm.15-27; M. Abdulah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam,hlm. 39-59; Muhyiddin Al Qarahdaghi, At Tashil Al Syar’i Li Al Al Muzhaharat As Silmiyyah, hlm.5-19).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang membolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat tertentu. Karena bolehnya demonstrasi sesungguhnya sudah tercakup dalam dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar atau menyampaikan nasehat kepada penguasa. (M. Abdulah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 5).

Namun bolehnya demonstrasi tersebut wajib dibatasi dengan 3 (tiga) syarat agar tidak terjadi penyimpangan syariah; (1) tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah, misal mengajak penguasa menerapkan syariah. Dalil syarat ini kaidah fiqih “Al Wasail tattabi’u al maqashid fi ahkamihaa”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (M.Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99). (2) demonstrasi wajib dilaksanakan secara damai, yakni tidak menggunakan kekerasan/senjata. Dalilnya larangan Nabi SAW untuk menggunakan senjata dalam menasehati penguasa,”Barangsiapa yang menghunus senjata atas kami maka dia bukan golongan kami.” (man hamala ‘alayna as silah falaysa minna). (HR Bukhari 6480 & Muslim 161). (3) demonstrasi tidak boleh disertai segala hal-hal yang diharamkan syariah, misalnya merusak fasilitas publik, ikhtilat, dan tabarruj. Dalilnya dalil-dalil umum yang melarang melakukan segala hal yang diharamkan.

Hukum demonstrasi untuk wanita muslimah adalah boleh, mengikuti hukum bolehnya demonstrasi secara umum tersebut. Hanya saja, ditambah 4 (empat) syarat lagi; (1) diizinkan oleh suami (atau ayah bagi yang belum nikah)  (lihat QS An Nisaa: 34); (2) mengenakan busana muslimah yang sempurna (jilbab dan khimar/kerudung) (lihat QS An Nuur: 31 & Al Ahzab: 59); (3) tidak tabarruj (misalnya mengenakan baju yang ketat)  (lihat QS An Nuur: 60); (4) tidak mengeluarkan suara tak pantas yang dapat membangkitkan syahwat (lihat QS Al Ahzab: 32).
Wallahu a’lam.

Jumat, 06 November 2020

*BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 166*20 Rabiul Awwal 1442 H/6 November 2020 M*UMAT WAJIB MEMBELA KEHORMATAN NABI SAW.*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 166*
20 Rabiul Awwal 1442 H/6 November 2020 M


*UMAT WAJIB MEMBELA KEHORMATAN NABI SAW.*

Pada 2 September 2020, Majalah _Charlie Hebdo_ kembali menerbitkan karikatur penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. Bukan kali pertama majalah sayap kanan ini menghina Nabi saw. dan ajaran Islam. Walaupun mendapatkan banyak kecaman dari berbagai negara, nyatanya Pemerintah Prancis mendukung ulah majalah tersebut. Pemerintah Prancis pimpinan Emmanuel Macron _la’natulLâh_ pun sengaja memajang kartun penghinaan Nabi Muhammad saw. tersebut di dinding gedung pemerintah daerah di negara tersebut dan di tempat-tempat umum. 

Tak hanya itu. Islamofobia kronis yang dihembuskan penguasa Prancis telah menyulut kebencian warganya terhadap kaum Muslim. Hingga pada 18 Oktober 2020, terjadi peristiwa penusukan kepada dua orang Muslimah di bawah menara Eiffel. Mereka ditikam beberapa kali hingga menembus paru-parunya, hanya karena mereka berhijab. Bahkan pelaku menyebut Muslimah tersebut dengan panggilan “orang Arab kotor” _(Republika,_ 22/10/2020).

Prancis saat ini menjadi ‘musuh bersama’ bagi umat Islam di seluruh dunia. Demonstrasi menentang Prancis, _Charlie Hebdo_ dan Macron marak di sejumlah negara. Pantas, bahkan wajib, umat Islam marah.   


*Wajib Mengagungkan Rasulullah saw.* 

Iman pada kenabian Muhammad saw. wajib diikuti dengan mencintai dan memuliakan sosoknya. Cinta seorang Muslim kepada beliau harus di atas cinta kepada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Nabi saw. bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

_Belum sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia_ (HR al-Bukhari).

Mencintai Nabi saw. hukumnya fardhu. Mari kita memperhatikan kisah ‘Umar bin al-Khaththab ra., sebagaimana penuturan Sahabat Abdullah bin Hisyam ra.: Kami pernah mengiringi Nabi saw. Beliau menggandeng tangan Umar bin al-Khaththab ra. Kemudian Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun, selain diriku.” Baginda Nabi saw.  menjawab, “Tidak. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu sendiri.” Lalu Umar berkata kepada beliau, “Sungguh, kalau begitu, sekarang, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku sendiri.” Beliau lalu bersabda, “Sekarang (baru engkau benar), wahai Umar.” (HR al-Bukhari).

Allah SWT pun mengancam—dengan azab-Nya yang keras—siapa saja yang cintanya kepada Rasul saw. terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain (Lihat: QS at-Taubah [9]: 24).

Di sisi lain, banyak keutamaan yang kelak Allah SWT berikan untuk siapa saja yang mempertahankan _mahabbah_ (cinta) kepada Allah dan Nabi-Nya di atas segalanya. Di antaranya, mereka kelak akan dikumpulkan bersama beliau di surga-Nya kelak. Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Kapan Hari Kiamat itu?” Beliau balik bertanya, _“Apa yang sudah engkau siapkan untuk menghadapinya?”_ Dia menjawab, “Tidak ada, kecuali aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

_Engkau akan bersama dengan yang engkau cintai_ (HR al-Bukhari).
 
Orang yang mencintai Allah SWT dan Nabi-Nya juga akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabda beliau: 

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا…

_Ada tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman (di antaranya): Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya…_ (HR al-Bukhari dan Muslim).

Konsekuensi iman dan cinta kepada Baginda Nabi saw. adalah senantiasa mengagungkan beliau dan ajaran beliau sekaligus mentaati semua perintah beliau. Taat kepada beliau sama dengan taat kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

_Siapa saja yang mentaati Rasul, sungguh ia telah mentaati Allah_ (TQS an-Nisa’ [4]: 80). 

Menyimpang dari perintah Rasulullah saw. akan mendatangkan azab bagi pelakunya. Allah SWT berfirman: 

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

_Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih_ (TQS an-Nur [24]: 63).

Terkait itu, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah berkata: 
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

_Aku tidak membiarkan satu pun yang Rasulullah saw. amalkan kecuali aku amalkan juga. Sebabnya, aku takut jika aku meninggalkan perintahnya sedikit saja, aku akan menyimpang._

Ibnu Baththah _rahimahulLâh,_ tatkala mengomentari perkataan Abu Bakar ra. di atas, mengatakan, “Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling jujur seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi saw.” (Ibnu Baththah, _Al-Ibânah_ (1/246).  

Alhasil, jelas setiap Muslim wajib selalu mengagungkan Rasulullah saw. sekaligus mentaati semua perintahnya.


*Dosa Besar Menista Rasulullah saw.*

Karena kedudukan Baginda Rasulullah saw. yang sangat agung di sisi Allah SWT, tindakan menista _(istihza’)_ kemuliaan beliau adalah haram dan termasuk dosa besar. Tindakan demikian sama saja dengan menyakiti Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT melaknat pelakunya, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا

_Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan_ (TQS al-Ahzab [33]: 57).

Apa saja yang terkategori menistakan Baginda Nabi saw.? Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan batasan tindakan menghujat beliau yaitu: kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Ibn Taimiyah, _Ash-Sharîm al-Maslûl ala Syâtim ar-Rasûl,_ I/563). 

Al-Qadhi Iyadh juga menjelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi saw. Di antaranya: mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri beliau ada kekurangan; mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya; menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau menyejajarkan beliau dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya. Orang yang melakukan demikian termasuk orang yang telah menghujat Rasul saw. (Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, hlm. 428). 


*Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi saw.*

Besarnya dosa menghina Baginda Nabi saw. bisa dilihat dari konsekuensi hukumannya yang sangat keras dan tegas, yakni hukuman mati. Al-Qadhi Iyadh menuturkan, ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi saw. adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Al-Qadhi Iyadh, _Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ,_ hlm. 428).

Al-Qadhi Iyadh menegaskan, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi saw.

Dalam Islam, hukuman mati atas penghina Baginda Nabi saw. dilakukan oleh Imam/Khalifah atau yang mewakilinya (Lihat: Al-Kasani,  _Bada’i as-Shana’i’,_ 9/249).

Khalifah tidak akan tinggal diam jika ada yang menghina Rasulullah Muhammad saw. Pasalnya, Khalifah memang wajib menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasulullah saw. serta ajaran Islam dan simbol-simbolnya. 

Jika pelakunya negara seperti Prancis saat ini, Khalifah tidak segan-segan untuk menyerukan pasukannya dan kaum Muslim untuk berjihad melawan negara tersebut. Hal ini pernah dilakukan pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah, di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1876-1918). Pada saat itu, Prancis merancang drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang menghina Nabi Muhammad saw. Drama teater yang sudah dipersiapkan akhirnya dibatalkan setelah Khalifah Abdul Hamid II mengultimatum dan mengancam Pemerintah Prancis dengan seruan jihad.


*Umat Wajib Marah*

Karena itu, atas penghinaan kepada Baginda Rasulullah saw., umat Islam wajib marah. Ulama besar Buya Hamka _rahimahulLâh_ mempertanyakan orang yang tidak muncul _ghirah_-nya ketika agamanya dihina. Beliau tegas menyatakan, _“Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.”_

Karena itu pula, marilah kita bela agama kita. Mari kita bela kehormatan Nabi kita yang mulia. Sungguh Nabi kita yang mulia telah berjuang membela nasib kita agar menjadi hamba-hamba Allah SWT yang layak mendapatkan _jannah_-Nya kelak. 

Ketahuilah orang-orang kafir tak akan pernah berhenti melakukan penyerangan terhadap agama ini. Sayangnya, agama ini sungguh tak akan dapat terlindungi dari serangan mereka jika umat tak memiliki pelindung yang kuat. Pelindung itu tidak lain adalah _Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah._ 

_WalLâhu a’lam._ [] 


*Hikmah:*

Imam Syafii rahimahulLâh berkata:

مَنِ اسْـتُغْضِبَ وَ لَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ

_Siapa saja yang dibuat marah, namun tidak marah, ia adalah (seperti) keledai._
(Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 9/143). []

Kewajiban Khilafah Menurut Imam Madzhab

Kewajiban Khilafah Menurut Imam Madzhab 

AL-IMAM AHMAD BIN HAMBAL ASY SYAIBANI (w. 241 H) 

Dalam keterangan Al-Imam Abu Bakar al Khallal (w. 311 H):

سئل عن حديث النبي صلى الله عليه وسلم《 من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية 》ما معناه؟
قال أبو عبد الله: تدري ما الإمام؟ الإمام الذي يجمع المسلمون عليه كلهم. يقول هذا إمام، فهذا معناه.

"Beliau (Al-Imam Ahmad bin Hambal) pernah ditanya tentang hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
'Barang siapa mati dengan tanpa memiliki seorang "imam" maka kematiannya seperti kematian jahiliyyah'.¹ apakah artinya?

Maka Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad bin Hambal) menjawab: tahukah anda apa itu "al-imam"? "al-imam" adalah orang yang memimpin umat Islam seluruhnya. Bila dikatakan: 'dia adalah seorang imam', maka inilah artinya.²

دفع إلينا محمد بن عوف بن سفيان الحمصي قال سمعت أحمد بن حنبل يقول: والفتنة: إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس.

Telah datang kepada kami Muhammad bin 'Auf bin Sufyan al-Himshi, dia berkata: aku mendengar Ahmad bin Hambal pernah berkata: kekacauan akan terjadi apabila tidak ada imam/khalifah yang memelihara urusan kaum muslim.³"

____

¹sanad hadits adalah hasan

²sanad tafsiran hadits tersebut adalah shahih

³sanad atsar tersebut adalah shahih

Abu Bakar al Khallal. 1989. As-Sunnah (Riyadh: Dar Ar-Rayah) hlm 80-81

Pentahqiq:
Dr. Athiyyah Az Zahrani

Fawaid:
• "Al-Imam" dalam hadits tersebut artinya adalah khalifah, yaitu pemimpin umum umat Islam seluruhnya.

• Wajib hukumnya mewujudkan seorang imam/khalifah, dengan qarinah adanya dzamm (celaan) atas kondisi kematian tanpa memiliki seorang imam/khalifah, yaitu seperti kematian jahiliyyah (dalam keadaan berdosa).

• Selain itu ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan kekacauan, malapetaka, dan huruhara, sebagaimana hal itu terjadi selepas runtuhnya khilâfah Turki Utsmani pada 1342H/1924M. Pembantaian atas kaum muslim Palestina, Irak, Afghanistan, Suriah, Myanmar, dsb, perampasan kekayaan alam di negeri-negeri Islam, penistaan agama, kriminalisasi ajaran Islam, dsb, terjadi tanpa ada khalifah yang melindungi dan membela.

(Azizi Fathoni)

CHANNEL TELEGRAM: 
https://t.me/tsaqofah_id

*TSAQOFAH.ID*
_Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam_

Follow, like, comment, and share:
https://yubi.id/tsaqofahid
===

Rabu, 28 Oktober 2020

CARA MENGUKUR CINTA PADA RASULULLAH

*CARA MENGUKUR CINTA PADA RASULULLAH*

Sahl bin Abdullah berkata:
Tanda cinta pada Allah adalah cinta pada al Quran. Tanda cinta pada Allah dan al Quran adalah cinta pada Nabi صلّى اللّه عليه و سلم. Tanda cinta pada Nabi adalah cinta sunnahnya (jalan hidup dan syariat Nabi). Tanda cinta pada sunnah Nabi adalah cinta akhirat. Tanda cinta akhirat adalah benci dengan dunia. Tanda benci pada dunia adalah tidak menumpuk harta dunia kecuali sekedar untuk bekal menuju kehidupan akhirat. (Asy-Syifa bi Ta'rîf Huqûq al Mushthafa, al 'allamah al Qadhi Abi Fadhl 'Iyadh bin Musa, hal. 504)

Tanda cinta Nabi adalah cinta syariat Islam, menjalankan, mendakwahkan dan tidak menghalangi tegaknya syariat Nabi صلّى اللّه عليه و سلم

Semoga kita termasuk umat Nabi Muhammad yang cinta pada beliau. Dikuatkan menjalankan sunnahnya dan semoga kita juga dicintai Nabi, mendapat syafaatnya dan dikumpulkan di jannah bersama beliau صلّى اللّه عليه و سلم. 
آمين يا رب العالمين

(Wahyudi Ibnu Yusuf)
===

CHANNEL TELEGRAM: 
https://t.me/tsaqofah_id

WEBSITE:
https://tsaqofah.id

*TSAQOFAH.ID*
_Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam_

Follow, like, comment, and share:
https://yubi.id/tsaqofahid
===

Jumat, 16 Oktober 2020

BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 163*28 Shafar 1442 H-16 Oktober 2020 M*SAATNYA KEMBALI PADA HUKUM ALLAH SWT*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 163*
28 Shafar 1442 H-16 Oktober 2020 M


*SAATNYA KEMBALI PADA HUKUM ALLAH SWT*
Siapapun yang jujur pasti akan mengakui bahwa negeri ini makin terpuruk. Nyaris di semua bidang. Tak terkecuali di bidang perundang-undangan. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka) yang baru saja disahkan oleh DPR makin menyempurnakan keterpurukan di bidang perundang-undangan. 

UU Cilaka ini kontroversial.  Memicu pro-kontra. Memacu konflik antara rakyat dan Pemerintah/DPR. Pasalnya, Pemerintah/DPR mengklaim UU ini demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat menuding UU tersebut sangat merugikan mereka dan hanya menguntungkan para pengusaha.

Sebelumnya, ada UU Minerba yang makin memberikan keleluasaan kepada asing dan aseng untuk makin menguasai kekayaan alam milik rakyat. Ada UU KPK yang justru makin melemahkan KPK dan makin ramah terhadap para koruptor, dll. Selain UU, sejumlah RUU pun dinilai bermasalah. Seperti RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), dll. 

Intinya, banyak UU/RUU yang bermasalah. Selain beraroma sekular dan liberal, banyak UU/RUU yang hanya menguntungkan asing dan aseng, memperkuat oligharki kekuasaan dan abai terhadap kepentingan rakyat kebanyakan.


*Pangkal Keterpurukan*
Sesungguhnya pangkal keterpurukan negeri ini adalah penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme meniscayakan penolakan terhadap campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Karena itu dalam sistem sekular, hukum-hukum Allah SWT senantiasa dipinggirkan. Bahkan dicampakkan.

Pilar utama sekularisme adalah demokrasi. Demokrasi meniscayakan hak membuat hukum ada di tangan manusia. Itulah yang disebut kedaulatan rakyat. Karena itu secara teoretis, dalam demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang menentukan hitam-putih, benar-salah, baik-buruk dan halal-haram.

Namun, secara faktual tidaklah demikian. Demokrasi nyaris selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Mereka inilah yang selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat. Dengan demikian rakyat sendiri sesungguhnya tidak memiliki kedaulatan. Akhirnya, kedaulatan rakyat hanya jargon kosong belaka. Pasalnya, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal.

Lihatlah negeri ini. Kekuatan para pemilik modal atau para cukong sering berada di balik pembuatan banyak UU. Para cukong pula yang diyakini berada di balik pengesahan Omnibus Law/UU Cilaka oleh DPR/Pemerintah. UU ini diyakini hanya menguntungkan para cukong yang jumlahnya segelintir dan sebaliknya merugikan mayoritas rakyat. Akibatnya, rakyat sering tertindas justru dalam sistem demokrasi.

Di sisi lain, kedaulatan rakyat—jika pun ada—justru merupakan akar persoalan sekaligus merupakan cacat bawaan demokrasi. Pasalnya, rakyat adalah manusia yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dan godaan setan yang terkutuk. Karena itu dalam demokrasi, menyerahkan timbangan baik-buruk atau halal-haram kepada manusia jelas sebuah kesalahan fatal.

Dengan kedaulatan rakyat sebagai inti, demokrasi mengklaim bahwa segala keputusan hukum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas rakyat. Namun, dalam praktiknya, karena pada faktanya Parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik, yang didukung oleh para pemilik modal, suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang sesungguhnya minoritas. Tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.

Karena itu wajar jika kemudian banyak UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir dari Parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan mereka yang sesungguhnya minoritas itu. Tidak mewakili kepentingan mayoritas rakyat. Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, termasuk Omnibus Law/UU Cilaka dll jelas lebih berpihak kepada para pemilik modal bahkan pihak asing dan merugikan mayoritas rakyat. 


*Kembali pada Hukum Allah SWT*

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

_Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya_ (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini setidaknya mengandung empat pengertian. Pertama: Perintah kepada kaum Mukmin untuk mentaati Allah SWT, Rasul-Nya dan ulil amri yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Menjelaskan makna ayat di atas, Imam as-Sa’di menyatakan: “(Dalam ayat ini) Allah SWT memerintahkan kaum Mukmin untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Tidak lain dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi larangan keduanya.   Allah SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk mentaati ulil amri, yakni para pemimpin manusia baik para amir, penguasa atau para mufti (ulama).  Pasalnya, urusan agama dan dunia mereka tidak akan baik kecuali dengan taat dan tunduk kepada ulil amri. Ini sebagai konsekuensi atas ketaatan kepada Allah harapan untuk meraih ridha-Nya. Dengan syarat, ulil amri tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika ulil amri memerintahkan kemaksiatan kepada Allah SWT, tentu tidak ada ketaatan kepada mereka. Sebabnya, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada _Al-Khaliq_ (Allah SWT)...” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183). 
_Kedua:_ Perintah kepada kaum Mukmin untuk mengembalikan semua urusan—termasuk semua perselisihan, khususnya antara rakyat dan ulil amri—kepada al-Quran dan as-Sunnah (yakni hukum-hukum Allah SWT/syariah Islam). Melanjutkan penjelasan ayat di atas, Imam as-Sa’di menjelaskan: “(Dalam ayat ini) Allah SWT kemudian memerintahkan untuk mengembalikan semua yang diperselisihkan oleh manusia, baik menyangkut pokok-pokok agama (ushuluddin) maupun cabang-cabang agama, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni pada Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya (as-Sunnah). Sebabnya, di dalam keduanya ada solusi/penyelesaian bagi seluruh persoalan yang diperselisihkan…Di atas Kitabullah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya pula tegaknya bangunan agama (Islam) ini...” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183). 
_Ketiga:_ Keharusan mengembalikan semua persoalan kepada Allah SWT (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) merupakan konsekuensi keimanan. Menjelaskan ayat di atas, Imam as-Sa’di melanjutkan: “Mengembalikan (segala persoalan, _red_.) pada al-Quran dan as-Sunnah merupakan syarat keimanan. Karena itulah, pada kalimat selanjutnya Allah SWT menyatakan: …’_jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir’_. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak mengembalikan semua persoalan/perselisihan pada al-Quran dan as-Sunnah bukanlah Mukmin yang hakiki, tetapi Mukmin yang beriman kepada _thaghut_.” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183. Lihat pula: Al-Jazairi, _Aysar at-Tafasir_, 1/274;  asy-Syaukani, _Fath al-Qadir_, 2/166). 
_Keempat:_  Penegasan atas keunggulan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Imam as-Sa’di lalu menutup penjelasan ayat ini dengan menyatakan: “Hal demikian (mengembalikan semua persoalan pada al-Quran dan as-Sunnah, _red._) adalah sikap yang paling baik dan paling bagus. Pasalnya, hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya pastilah hukum terbaik, paling adil dan paling layak bagi manusia baik terkait urusan agama mereka maupun urusan dunia mereka…” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183. Lihat pula: Asy-Sya’rawi, _Tafsir asy-Sya’rawi_, 1/1614).


*Syariah Membawa Berkah*

Jelas, mengembalikan semua urusan dan persoalan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kewajiban kaum Mukmin. Artinya, al-Quran dan as-Sunnah wajib dijadikan rujukan kehidupan. Konsekuensinya, semua urusan kehidupan wajib diatur dengan syariah Islam. Apalagi urusan perundang-undangan yang mengatur kehidupan banyak orang. Wajib menggunakan syariah Islam. Ini adalah bukti keimanan setiap Muslim.

Lagi pula, tidak ada yang lebih baik dari syariah Islam. Sebabnya, syariah Islam berasal dari Allah SWT, Pencipta manusia. Pencipta pasti lebih hebat daripada yang dicipta. Pencipta pasti lebih tahu daripada yang dicipta. Apalagi sebagai Pencipta, Allah SWT tidak punya kepentingan apapun dengan syariah-Nya selain demi kemaslahatan manusia. Ini adalah bentuk kasih-sayang-Nya kepada manusia. Sebaliknya, hukum buatan manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsunya dan sarat dengan ragam kepentingan dirinya. Mahabenar Allah Yang berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 

_Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?_  (TQS al-Maidah [5]: 50).  []


*Hikmah:*

Rasulullah saw. bersabda:

«بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا»

_Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan hari yang gelap. (Saat itu) pada pagi hari seseorang beriman, tetapi pada sore harinya ia menjadi kafir. Pada sore hari seseorang beriman, tetapi pada pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamanya dengan harta dunia._
(HR Muslim). []

Kamis, 15 Oktober 2020

Nasihat Jumat oleh Ustad Hafidz Abdurrahman :

Nasihat Jumat oleh Ustad Hafidz Abdurrahman :

Jangan merendahkan diri Anda, keluarga Anda, anak Anda, juga teman-teman Anda sebagai orang yang gagal dalam hidup.

Bagi pengemban dakwah, harus selalu menanamkan keyakinan, "Sukses dalam hidup. Dunia dan akhirat."

Kesulitan hidup, kekurangan, kemiskinan, termasuk masalah rumah tangga dan anak, adalah bagian dari ujian yang harus diatasi dan diselesaikan. Bukan indikasi kegagalan.

Semua orang pernah mengalami kesulitan, hatta Rasulullah dan keluarganya. Tapi, semua diatasi dan diselesaikan dengan baik.

Menyelesaikan kekurangan tidak harus menjadi kaya. Tapi, ridha dan qanaah pada apa yang Allah berikan adalah bagian dari cara mengatasi masalah.

Jangan pernah merasa gagal. Jauhkan pikiran dan perasaan itu dari hidup Anda.

Senin, 12 Oktober 2020

Hanya ‎Islam ‎yg ‎mampu ‎melindungi ‎kaum ‎buruh ‎buletin ‎kaffah ‎edisi ‎162‎

Perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Dalam Islam, ijarah adalah: ‘aqd[un] ‘ala manfa’at[in] bi ‘iwadh[in] (akad/kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan/kompensasi tertentu).

Ijarah (perburuhan) adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain firman Allah SWT:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Jika mereka (mantan istri) menyusui (anak-anak) kalian demi kalian maka berikanlah kepada mereka upahnya (TQS ath-Thalaq [65]: 6).

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan dalil kebolehan upah-mengupah atas suatu jasa.

Terkait ayat di atas, Ibnu Jarir ath-Thabari juga menuliskan: jika mantan istri kalian menyusui anak-anak kalian dengan upah maka bayarkanlah upah mereka sebagai jasa penyusuan terhadap mereka.

Dalil lainnya adalah riwayat dari Ibnu Syihab  bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah mempekerjakan seorang musyrik Quraisy dari Bani Dayl sebagai penunjuk jalan saat keduanya hijrah dari Makkah ke Madinah.

Nabi saw. juga bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang majikan membayar upah buruh manakala telah selesai pekerjaannya. Hadis ini pun menunjukkan bahwa Nabi saw. membolehkan aktivitas ijarah (perburuhan).

Dalil lainnya adalah Ijmak Sahabat yang juga menunjukkan kebolehan aktivitas perburuhan.

Dengan demikian ijarah (perburuhan) adalah salah satu cara kepemilikan harta yang sah/halal menurut syariah Islam.

Beberapa Ketentuan Syariah dalam Perburuhan

Dalam akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan: (1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan; (2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa; (3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan (4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja.

Semua jasa yang halal dalam Islam boleh  di-ijarah-kan. Misal: jasa dalam industri makanan, garmen, otomotif, konsultan, pendidikan, dsb.

Sebaliknya, jasa-jasa yang haram terlarang pula untuk di-ijarah-kan. Misal: jasa pembuatan miras (minuman keras) dan yang berhubungan dengan miras (seperti: menjadi bartender, jasa pengangkutannya, jasa pembuatan kemasannya, dsb). Contoh lain: riba dan jasa yang berhubungan dengan muamalah ribawi (seperti: menjadi pegawai perbankan, leasing, dll). Contoh lainnya: jasa menjadi perantara suap-menyuap, makelar kasus, dsb.

Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua pihak yang berakad. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُو

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (TQS al-Maidah [5]: 1).

Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya serta besaran upah dan hak-hak mereka. Nabi saw. bersabda:

مَن اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ

Siapa saja yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia memberitahukan upahnya kepada buruh tersebut (HR Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah).

Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah buruh. Rasulullah saw. bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Islam Melindungi Kaum Buruh

Syariah Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal: Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan. Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu. Bahkan di masyarakat Eropa yang standar gajinya terlihat besar, gaji buruh juga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, biaya hidup mereka juga besar. Inilah kelicikan sistem Kapitalisme.

Dalam Islam, besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula. Meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, berbeda pula upah yang diberikan. Misal: tukang gali sumur yang bekerja di lapisan tanah yang keras semestinya mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan serupa di tanah yang lunak.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.:

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

Negara Wajib Melindungi Rakyat

Di Tanah Air regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja.

Acapkali dengan dukungan negara, para pengusaha kapitalis berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi keuntungan perusahaan. Praktik-praktik seperti itu sudah lazim di negara-negara kapitalis.

Para pengusaha kapitalis yang rakus akan membuka usaha di negara-negara berkembang yang memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya-raya, sedangkan buruh menderita.

Padahal untuk kawasan Asia Tenggara, upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan Filipina (142 US$), Laos (140 US$) dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp 2,92 juta perbulan. Jumlah itu tentu jauh dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum di Tanah Air. Jika UU Omnibus Law Cipta Kerja benar merugikan buruh, akan semakin terpuruklah nasib mereka di Tanah Air.

Inilah bedanya dengan negara dalam Islam. Khilafah Islam hadir untuk mengurusi dan melindungi kepentingan semua anggota masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari).

Khilafah adalah negara yang bertanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Khilafah yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat; memberikan lapangan pekerjaan, menjamin kebutuhan hidup seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjaga keamanan mereka.

Khilafah juga akan menertibkan para pengusaha yang berlaku zalim kepada para pekerja mereka. Bagi Khilafah, kesejahteraan rakyat di atas kepentingan para pengusaha.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

—***—

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ

Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah seorang pemimpin yang adil. Sebaliknya, orang yang paling Allah benci dan paling jauh kedudukannya dari sisi-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim.(HR at-Tirmidzi). []

Kamis, 08 Oktober 2020

KONFLIK KEPENTINGAN SELESAI DENGAN IKUTI MAUNYA ALLAH

#KONFLIK KEPENTINGAN SELESAI DENGAN IKUTI MAUNYA ALLAH
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Mengapa ada konflik kepentingan? Karena setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Celakanya, dia yang harus membuat aturan untuk mengatur kepentingannya sendiri. Dia pula yang menjalankan, dan bahkan mengadili ketika ada sengketa

Ketika tiga pilar, legislasi, eksekusi dan judikasi digenggam satu orang, maka konflik kepentingan itu sangat kuat. Itu kata Lord Acton. Karena itu, Montesque mengusulkan supaya ketiga kekuasaan itu dipisahkan saja. Muncullah konsep Trias Politica. Akhirnya lahir Demokrasi yang menjalankan konsep Montesque. Nyatanya, tetap saja. Korup. Jadi di mana masalahnya?

Masalahnya sebenarnya ada pada satu titik. Siapa yang membuat hukum? Di tangan siapa kedaulatan? Islam menetapkan, kita hanya boleh tunduk kepada Allah dan hukumnya. Bukan kepentingan kita maupun orang lain. Karena itu, tidak ada konflik kepentingan, karena semua mengikuti "maunya" Allah. Allah Maha Tahu apa yang telah, sedang dan yang akan datang

Dari sini, Islam membangun kedaulatannya bukan di tangan manusia, tapi di tangan Allah. Karena itu, semua tunduk kepada Allah. Mulai dari kepala negara, kepala daerah, semua pejabat, dan rakyat, tunduk kepada Allah

Pada saat yang sama, kekuasaan di tangan umat. Posisi umat harus tetap kuat, karena umat sebagai kontrol kekuasaan. Sebaliknya, seluruh aparatur negara menjalankan amanahnya melayani kepentingan manusia, tanpa melihat, agama, suku, kelamin dan usia. Semua dilayani dengan sama, sebagai manusia yang harus dipenuhi haknya

Mengapa? Karena itu perintah Allah. Mereka harus adil seadil-adilnya. Karena kalau dzalim, mereka dituntut, baik di dunia maupun di akhirat. Diadili dan dihukum dengan hukum Allah

Coba, Utsman minta diqishash budaknya. Minta dijewer telinganya, karena pernah menjewer telinga budaknya. Setelah dieksekusi, dia katakan, alhamdulillah sudah bebas dari qishah di akhirat

Umar selalu ingat, kalau pernah melakukan "kesalahan kecil" kepada rakyatnya. Tak hanya minta maaf, bahkan memberinya hadiah. Meski rakyatnya sudah maafkan dan melupakannya

Tak ada konflik kepentingan. Di situlah, keadilan tegak. Hanya satu jalan, dengan Islam.

Rabu, 07 Oktober 2020

KETIKA DADA SESAK, SAAT KEZALIMAN MERAJALELA, BACA AYAT INI

KETIKA DADA SESAK, SAAT KEZALIMAN MERAJALELA, BACA AYAT INI

KH. Hafidz Abdurahman

Coba renungkan, rahasia di balik pilihan kata, yang boleh jadi dalam bahasa kita diterjemahkan sama, tetapi fakta pemikirannya berbeda. Perhatikan baik-baik, ketika Allah menggunakan "Najjainakum" dengan, "Fa Anjainakum" (Kami selamatkan kalian) pada konteks yang berbeda

Pertama, Allah gunakan, "Najjainakum" (Kami selamatkan kalian) dari kezaliman dan kekejaman Fir'aun dan pasukannya

وَإِذۡ نَجَّیۡنَـٰكُم مِّنۡ ءَالِ فِرۡعَوۡنَ یَسُومُونَكُمۡ سُوۤءَ ٱلۡعَذَابِ یُذَبِّحُونَ أَبۡنَاۤءَكُمۡ وَیَسۡتَحۡیُونَ نِسَاۤءَكُمۡۚ وَفِی ذَ ٰ⁠لِكُم بَلَاۤءࣱ مِّن رَّبِّكُمۡ عَظِیمࣱ

Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu. [Q.s. Al-Baqarah: 49]

Kedua, Allah gunakan, "Fa Anjainakum" (Kami selamatkan kalian)

وَإِذۡ فَرَقۡنَا بِكُمُ ٱلۡبَحۡرَ فَأَنجَیۡنَـٰكُمۡ وَأَغۡرَقۡنَاۤ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan [Q.s. Al-Baqarah: 50]

Apa bedanya? Perhatikan, Allah menggunakan bentuk kata kerja, dengan wazan Fa'ala-Yufa'ilu, Najjaina, karena waktunya panjang dan lama. Bertahun-tahun

Sedangkan, "Fa Anjainakum" dengan wazan, "Af'ala-Yuf'ilu", karena menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari Laut Merah tidak membutuhkan waktu lama, tapi singkat

Karena itu, bersabar terhadap kezaliman orang zalim membutuhkan waktu panjang. Sekaligus menguji kebenaran iman dan komitmen kita. Tetapi, yang pasti, Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya

Cara Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya juga di luar nalar, meski ada hukum sebab akibat yang harus dilakukan sebagai syarat, yaitu memukulkan tongkat ke laut, sehingga Allah membelah, dan terbelahlah laut itu (Q.s. al-Syu'ara': 63)

Allah hendak mengajari kita, agar hati kita 100% hanya bersandar kepada-Nya. Juga ikhtiar sebaik mungkin, sebagai hujjah kita kelak.

CHANNEL TELEGRAM: 
https://t.me/tsaqofah_id

*TSAQOFAH.ID*
_Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam_

Follow, like, comment, and share:
https://yubi.id/tsaqofahid

Senin, 05 Oktober 2020

ISLAM ITU RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

#ISLAM ITU RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

KH. Hafidz Abdurrahman

Islam rahmatan li al-'Alamin itu sudah sering kita dengar. Tapi, gambaran faktanya seperti apa? Tidak jelas. Akhirnya, Islam rahmatan li al-'Alamin hanya jargon, bahkan klaim dan stempel kelompok tertentu

Istilah, "Rahmatan li al-'Alamin" adalah, "Jalban lil al-Mashalih" (terwujudnya kemaslahatan), dan "Daf'an 'an al-Mafasid" (tercegahnya kerusakan). Itulah makna Islam rahmatan li al-'Alamin. Tapi, dua makna itu hanya bisa diwujudkan, jika Islam diterapkan secara kaffah

Kemaslahatan yang diwujudkan Islam, ketika diterapkan secara kaffah, ada empat. Pertama, kemaslahatan Dharuriyah (vital). Kedua, kemaslahatan Hajiyah (kebutuhan). Ketiga, kemaslahatan Tahsiniyah (kebaikan). Keempat, kemaslahatan Takmiliyah (pelengkap)

Kemaslahatan Dharuriyah, seperti Hifdhu al-Nafs (terjaganya jiwa), terwujud karena penghormatan Islam pada jiwa, dan sanksi Qishash bagi yang menghilangkannya. Hifdhu al-Mal (terjaganya harta), terwujud karena harta dilindungi, haram mencuri, dll, serta sanksi potong tangan bagi pencuri. Hifdhu al-Aql (terjaganya akal), terwujud dengan larangan khamer, narkoba dan sanksi yang keras kepada produsen, distributor dan konsumen

Tak hanya itu, Hifdhu al-Karamah (terjaganya kehormatan), terwujud dengan larangan menuduh berzina, dan sanksi keras bagi pelakunya, dengan cambuk 80 kali, dan ditolak kesaksiannya seumur hidup. Hifdhu an-Nasl (terjaganya keturunan), dengan larangan zina, wajibnya menikah untuk memenuhi naluri seksual, sanksi keras bagi pelakunya, dengan cambuk atau rajam sampai mati. Hifdhu ad-Din (terjaganya agama), terwujud dengan larangan murtad, dan sanksi hukum bunuh bagi yang murtad. Semua ini cobtoh kemaslahatan vital yang dibituhkan manusia

Semua kemaslahatan itu bisa diwujudkan dengan sempurna, jika pintu pelanggarannya ditutup. Ini adalah Kemaslahatan Takmiliyah. Misalnya, zina dilarang, maka pintunya harus ditutup. Video porno, ikhtilath, pacaran, membuka aurat, memandang lawan jenis dengan syahwat, dan sebagainya harus dilarang. Kalau tidak, maka kemaslahatan vital itu tak akan terwujud

Selain kemaslahatan Takmiliyah, ada kemaslahatan Hajiyah dan Tahsiniyah

####

KEMASLAHATAN ISLAM YANG DIBUTUHKAN MANUSIA

Sebagai agama dan sistem yang sangat ideal dan sempurna, Islam memang luar biasa. Tak hanya menjaga jiwa, harta, akal, kehormatan, keturunan, agama dan negara, Islam juga memastikan semua bentuk pelanggaran ke sana ditutup rapat-rapat

Kemaslahatan yang pertama disebut Maslahat Dharuriyah. Sedangkan yang kedua disebut Maslahat Takmiliyah

Tak hanya itu, di sana ada kemaslahatan lain, yaitu Maslahat Hajiyah. Maslahat yang dibutuhkan manusia. Misalnya, Islam menetapkan hukum asal (azimah), shalat 4 rakaat, tidak dijamak, diqashar, harus berdiri, tidak boleh duduk. Dalam kondisi bepergian jauh, misalnya antar negara, dengan jarak tempuh 10-12 jam misalnya, shalat dengan cara normal sulit dikerjakan. Maka, Islam memberi rukhshah. Boleh shalat 2 rakaat, bagi yang asalnya 4. Boleh dijamak, diqashar, sambil duduk, bahkan dengan tayamum, misalnya. Semua ini merupakan maslahat yang dibutuhkan manusia dalam kondisi tertentu

Islam juga mengajarkan bersuci, sebelum berwudhu, dengan mencuci tangan, berkumur dan istintsaq. Berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Mandi untuk menghilangkan hadas besar. Ketika kencing, tidak boleh di lubang, atau di dalam air yang diam, tidak mengalir. Bersuci harus dengan air mutlak, tidak boleh dengan air musta'mal, mutanajis atau air yang suci tapi tidak mensucikan. Seperti Coca Cola, Fanta, Sprite, Kopi, Teh Botol dan sebagainya. Semuanya ini disebut Maslahat Tahsiniyyah

Termasuk adab, akhlak dan sopan santun dalam berperilaku, bisa disebut Maslahat Tahsiniyyah. Maslahat yang terkait dengan keindahan dan kebaikan hidup manusia

Semua bentuk kemaslahatan tadi mengambarkan wajah Islam sebagai rahmat bagi alam semeseta.

https://t.me/tsaqofah_id
===

Minggu, 04 Oktober 2020

*BULETIN KAFFAH - EDISI 161*Tgl. 14 Shafar 1442 H / 2 Oktober 2020*MENGUTAMAKAN KESELAMATAN RAKYAT*

*BULETIN KAFFAH - EDISI 161*
Tgl. 14 Shafar 1442 H / 2 Oktober 2020

*MENGUTAMAKAN KESELAMATAN RAKYAT*


Islam sangat menghargai nyawa manusia. Karena itu Islam sangat memperhatikan penjagaan nyawa manusia. Allah SWT berfirman:

مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (TQS al-Maidah [5]: 32).
  

Nabi saw. pun pernah bersabda:

«لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ»
Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).


Para ulama menempatkan upaya memelihara nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, semisal hukuman qishash atau diyat dalam pembunuhan, diyat dalam serangan terhadap organ, dsb. Juga larangan atas segala hal yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.

Islam juga menempatkan penjagaan atas harta (hifzhu al-mâl) pada posisi yang tinggi. Penjagaan terhadap harta kepemilikan bahkan disandingkan dengan penjagaan terhadap nyawa. Jika seseorang, demi mempertahankan hartanya, sampai menemui kematian, dia dinilai syahid akhirat. 

Dalam keadaan normal, kedua maksud syariah itu, yakni penjagaan atas nyawa dan harta, bisa dilaksanakan secara berbarengan dan beriringan. Namun, dalam keadaan tertentu, yang satu harus diutamakan atas yang lain. Allah SWT berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Siapa saja yang terpaksa (memakan yang haram), sementara dia tidak ingin (memakan yang haram itu) dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya (TQS al-Baqarah [2]: 173).


Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, menjelaskan, “Siapa saja yang tertimpa darurat kelaparan hingga terpaksa memakan apa yang diharamkan itu...maka tidak ada dosa bagi dirinya.”

Imam al-Qurthubi menyebutkan, jika orang yang tertimpa darurat itu menemukan bangkai dan makanan milik orang lain yang di dalamnya tidak ada penyakit, maka dia tidak halal makan bangkai, tetapi boleh memakan makanan milik orang lain itu. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm). 

Semua itu mengisyaratkan bahwa jika penjagaan atas nyawa dan penjagaan harta tidak bisa dilaksanakan sekaligus, maka penjagaan atas nyawa lebih dikedepankan daripada penjagaan atas harta.

Patokan itu berlaku dalam perkara individu maupun urusan masyarakat. Bahkan dalam urusan masyarakat mesti lebih diperhatikan lagi. Sebabnya, jika yang terancam adalah kelangsungan kehidupan dan keselamatan masyarakat banyak, tentu dampaknya akan jauh lebih besar. 


*Pilkada di Tengah Pandemi*

Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan makin tak terkendali. 

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tentu saja bakal mengundang masyarakat terlibat dalam banyak keramaian. Dari mulai pendaftaran paslon (pasangan calon), masa kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, pengumuman pemenang hingga pelantikan paslon. Penerapan protokol yang ketat dalam Pilkada tak menjamin bakal mengurangi ancaman penyebaran virus Covid-19. Apalagi protokol tersebut sudah terbukti banyak dilanggar pada saat pendaftaran paslon (pasangan calon). 

Karena itu Pilkada di tengah pandemi jelas bakal makin mengancam kesehatan, keselamatan dan kelangsungan kehidupan masyarakat.

Anehnya, Komisi II DPR bersama Mendagri Tito Karnavian, KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat bahwa tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang (DetikNews, 21/9). 

Dengan dalih demi menjaga hak konstitusi rakyat, Pilkada serentak akan tetap dilakukan di 270 daerah. Selain itu, Mendagri mengklaim penyelenggaraan Pilkada 2020 bisa membangkitkan kondisi perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Anggaran untuk Pilkada 2020 mencapai Rp 20,46 triliun. Sebesar Rp 15,23 triliun dari APBD. Sisanya sekitar Rp 4,77 triliun dari APBN. Anggaran itu diklaim akan menjadi sarana meningkatkan program padat karya yang bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi Indonesia.


*Bukan Demi Kepentingan Rakyat*

Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat (Kompas.com, 24/9/2020), ada beberapa alasan mengapa Pilkada 2020 tetap diselenggarakan meski masih masa pandemi Covid-19. Pertama: Kepentingan kepala daerah yang sedang mencalonkan diri kembali di Pilkada tahun ini. Diketahui, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, lebih dari 200 daerah diikuti oleh petahana. Boleh jadi para petahana tersebut merasa yakin lebih mudah memenangkan Pilkada pada masa seperti sekarang ini. Kedua: Kepentingan partai politik. Praktik mahar politik sudah menjadi rahasia umum dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Ketiga: Ada dugaan kuat bahwa pengambil kebijakan tentang Pilkada mempunyai jagoan sehingga Pilkada pada akhirnya diputuskan tetap berlanjut meskipun wabah Covid-19 semakin merajalela. Pasalnya, jika Pilkada ditunda, maka kans jagoan pemangku kebijakan itu untuk menang akan semakin kecil. Keempat: Tidak menutup kemungkinan adanya peran pengusaha dalam keputusan penyelenggaraan Pilkada. 

Sebelumnya desakan agar Pilkada serentak 2020 ditunda datang dari berbagai pihak. Dua ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah mendesak agar pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditunda. Komnas HAM juga merekomendasikan agar pelaksanaan tahapan Pilkada  2020 ditunda. Namun nyatanya, semua desakan tersebut tak digubris sama sekali oleh Pemerintah. 

Alhasil, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi bisa dipastikan hanya demi kepentingan elit, bukan demi kepentingan rakyat. 


*Klaster Baru*

Data kasus Covid-19 menunjukkan, pandemi sama sekali belum bisa dikendalikan. Tren kasus masih meningkat. Berdasarkan data Satgas Covid-19, jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 sejak 10 September rata-rata di atas 3.500 kasus baru perhari. Puncaknya pada 25/9 sebanyak 4.823 kasus baru. Lalu turun hingga pada 28/9 ada 3.509 kasus baru. Namun kemudian, pada 29/9 kembali naik menjadi 4.002 kasus baru. 

Menurut epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman (Liputan6.com, 12/9/2020), Pilkada 2020 berpotensi besar menjadi klaster baru Covid-19. Pasalnya, pengendalian pandemi Covid-19 secara nasional belum terkendali. Ini terbukti dari positivity rate yang selalu di atas 10 persen. Artinya, laju penyebaran sangat tinggi, dan masih banyak orang pembawa virus Covid-19 belum terdeteksi karena umumnya tidak bergejala. Para epidemiolog lainnya juga menyarankan Pilkada ditunda.

Apalagi secara aturan belum semua siap. Protokol pencegahan Covid banyak dilanggar. Selama masa pendaftaran calon 4-6 September saja terjadi ratusan pelanggaran. Umumnya terkait dengan kerumunan massa. Kepatuhan terhadap protokol, termasuk wajib pakai masker dan physical distancing, masih kedodoran. Bahkan per 10 September dilaporkan ada 60 calon kepala daerah yang positif Covid-19. Sejumlah penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga positif Covid-19.

Dengan kondisi seperti itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember nanti bukan tidak mungkin akan menjadi klaster baru dan benar-benar menjadi bom penyebaran Covid-19. 

Tentu semua pihak tidak mengharapkan hal itu terjadi. Namun, menilik kondisi yang ada, kekhawatiran itu sangat beralasan dan bukan hal yang berlebihan.


*Membangkitkan Ekonomi?*

Alasan bahwa Pilkada bisa membangkitkan ekonomi tentu sangat diragukan. Kebijakan yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan ekonomi nyatanya memble. Saat ini, negeri ini sudah memasuki resesi. Pertumbuhan ekonomi kuartal ke-II minus 5,32%. Lebih dua kali lipat dari prediksi berbagai pihak. Kuartal ke-III 2020 (Juli-September) diprediksi minus hingga 2,9 persen. Pertumbuhan negatif masih akan berlangsung di kuartal ke-IV.

Andai Pilkada benar bisa menggeliatkan ekonomi—dan ini masih sangat diragukan—maka tetap saja menjadi tak berarti jika dibarengi dengan lonjakan Covid-19. Pasalnya, lonjakan kasus pasti lebih menyulitkan secara ekonomi. Biaya penanganan pandemi pun bakal makin membengkak. Pandemi juga bisa berkepanjangan. Ibaratnya, orang sakit menjadi menahun. Kalaupun ekonomi sedikit bergerak, jika rakyat banyak yang sakit bahkan mati, jadi tak berarti.

Jelas, Pilkada serentak yang tetap dilaksanakan mengisyaratkan bahwa kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat tidak menjadi prioritas Pemerintah. Yang lebih dikedepankan adalah kepentingan politik, kelompok, kekuasaan dan ekonomi. Ini adalah kebijakan khas kapitalis. Sebaliknya, panduan Islam tidak diperhatikan sama sekali. 

Padahal jelas, solusinya hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah.   

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:


Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan (kemaksiatan) manusia. Dengan itu Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian akibat kemaksiatan yang mereka lakukan itu, agar mereka kembali (kepada  Allah). 
(QS ar-Rum [30]: 41). []


===Kanal Resmi===
*Buletin Dakwah Kaffah*

Website : http://buletinkaffah.id/
Instagram : https://www.instagram.com/buletindakwahkaffah/
FB : https://fb.me/buletindakwahkaffah/
Twitter : https://twitter.com/kaffahofficial
Telegram : t.me/buletinkaffah2017
Spotify : Buletin Kaffah
WA Bot : https://kaffah.press/bot

Sabtu, 03 Oktober 2020

BEKERJA MENJADI SATPAM DI BANK

BEKERJA MENJADI SATPAM DI BANK

Oleh : KH. M Shiddiq AlJawi

Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dapat dirinci menjadi dua hukum sebagai berikut :

Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram. Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

1. Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba :

(1) bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya;

(2) bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

(3) bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

(4) bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah.

2. Contoh pekerjaan yang tidak terkait lanagsung dengan riba:

Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai:
(1) pimpinan bank
(2) akuntan bank, 
(3) auditor bank. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisir data nasabah sampai merapikan data jaminan nasabah.

Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadits dari Ibnu Mas’ud RA bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim).

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dll), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan ;

(1) sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apapun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

(2) sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadits Ibnu Mas’ud RA, yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93).

Berdasarkan penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh). Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahu a’lam.

Rabu, 30 September 2020

DENGAN ALJABAR DIA KULAMAR

DENGAN ALJABAR DIA KULAMAR

https://www.youtube.com/watch?v=2Q9kayYvjdg

Suatu hari, Al Khawarizmi ditanya tentang calon istri terbaik. Kemudian dia menjawab dengan menggunakan rumusnya.
“Agama itu nilainya 1, sedangkan hal lain nilainya 0.
Jika wanita itu shalihah dan baik agamanya, maka nilainya 1.
Jika dia cantik, tambahkan 0 di belakangnya. Jadi nilainya 10.
Jika dia kaya, tambahkan 0 lagi di belakangnya. Jadi nilainya 100.
Jika dia keturunan orang baik-baik dan terhormat, tambahkan 0 lagi. Jadi nilainya 1000.

Sebaliknya jika dia cantik, kaya dan nasabnya baik tetapi tidak punya agama, nilainya hanya 0.
Berapa pun 0 dihimpun, ia tetap 0”

Demikianlah jawaban hebat dengan matematika. Al Khawarizmi mengajarkan kepada kita - memahami tuntunan hadits dengan pendekatan matematika - mencari istri hendaklah menjadikan agama sebagai pertimbangan utama. Jika agamanya baik, maka yg lain akan menjadi kebaikan yg berlipat ganda. Namun jika agamanya tidak ada, tidak berguna segala kelebihan wanita.
Maka jika engkau bertanya wanita manakah yg terbaik untuk menjadi istri, sesuai rumus Al Khawarizmi, jawabannya adalah pertama-tama carilah wanita shalihah barulah engkau perhitungkan kelebihan-kelebihan lainnya.

Masya Allah...

Minggu, 27 September 2020

AjariAnakmuMenutupAuratSejakDini

---
#AjariAnakmuMenutupAuratSejakDini

Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman

Mendidik anak menjadi anak shalih dan shalihah itu dilakukan sejak dini. Bahkan sejak belum menikah. Kog bisa? 

Kalau tidak percaya, coba baca buku pendidikan anak yang paling lengkap, hampir pasti dimulai dari fase sebelum menikah. Fase memilih pasangan yang tepat, shalih-shalihah untuk melahirkan anak-anak yang juga shalih dan shalihah

Bahkan ada ungkapan yang selalu saya sampaikan, "Tafaqqahu qabla an tazawwaju." (Kamu harus menjadi ahli fikih sebelum menikah). Mengapa? Karena menikah itu ibadah yang paling panjang dan lama. Maka, memilih pasangan yang tepat untuk mencetak generasi yang shalih dan shalihah adalah bagian dari ikhtiar dini untuk mendidik anak menjadi generasi rabbani

Bayangkan, kalau ibu dan bapaknya kepribadiannya rusak, moralnya amburadul, akan jadi apa anak yang lahir dari keluarga begini? Maka, Islam perintahkan memilih pasangan yang tepat sebelum bicara tentang pendidikan anak

Dari bapak dan ibu yang shalih dan faqih, lahir anak-anak yang shalih dan faqih. Sejak belum lahir sudah diperdengarkan tartil al-Qur'an. Ketika lahir, telinga kanan diadzankan, telinga kiri diiqamatkan. Kemudian ditahniq oleh orang alim yang shalih, agar keshalihan dan kealimannya menular. Usia 7 hari diaqiqahi, diberi nama yang baik, dikhitan dan diasuh dengan baik

Usia 0-6 tahun adalah Golden Age (usia emas). Di usia ini, mereka mulai diajari dan dididik agar belajar dan menghapal al-Qur'an. Mereka juga diajari bahasa ibu dan bahasa Arab, dengan makhraj dan lahjah yang benar. Hasilnya, sebelum usia 7 tahun sudah hapal al-Qur'an dan menguasai bahasanya

Saat usia 7 tahun, Nabi perintahkan untuk diajari shalat. Sebenarnya bukan hanya perintah shalat, tapi semua perintah untuk terikat dengan hukum Islam, seperti menutup aurat, dan kewajjban serta larangan yang lain. Jika melanggar, belum boleh dipukul, tetapi boleh ditakut-takuti, agar tidak melakukan pelanggaran

Di usia 10 tahun, jika melanggar, mereka baru boleh dipukul. Artinya, meski belum baligh, keterikatan pada hukum ditanamkan dengan kuat pada anak. Inilah yang menjadikan mereka disiplin dalam ketaatan

Semua dimulai dari rumah,  dari kedua orang tua yang shalih.

#pentingnyaMengkajiIlmuAgama.
#TerutamaUntukParaOrangTua.
#SelfReminder.

Jumat, 25 September 2020

SERTIFIKASI DA'I DAN DERADIKALISASI

*EDISI 160 - SERTIFIKASI DA'I DAN DERADIKALISASI*


Setelah mendapat protes dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk MUI, Kementerian Agama (Kemenag) RI mengganti judul program “Sertifikasi Da’i/Penceramah” menjadi “Da’i/Penceramah Bersertifikat”. Belakangan, program tersebut berganti tajuk lagi menjadi “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. Untuk pertama kalinya, Program Bimtek Penceramah Bersertifikat ini di-launching pada Jumat, 18/9/2020, dan dibuka langsung oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi.

Meski berganti judul, substansinya tetaplah sama. Persis seperti dilontarkan oleh Menteri Agama RI Fachrul Razi pada rencana awal program ini. Sama-sama dilandasi motif “deradikalisasi”. Saat itu Menag menyatakan bahwa program Penceramah Bersertifikat dimaksudkan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (Cnnindonesia, 03/09/2020). 

Dengan redaksi berbeda, Wamenag Zainut Tauhid, saat membuka Program “Bimtek Penceramah Bersertifikat”, antara lain mengatakan, “Penceramah agama bersertifikat ini bertujuan mengembangkan kompetensi para penceramah agama sehingga dapat memenuhi tuntutan zaman dan sekaligus meneguhkan perannya di tengah-tengah modernitas." Menurut Zainut, di era modernitas, agama dituntut untuk menjawab perkembangan itu dengan pemahaman moderat (Merdeka.com, 18/09/2020).


Adakah Da’i Radikal? 

Da’i/penceramah hakikatnya adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam apa adanya. Islam tentu bukan sekadar agama ritual, moral dan spiritual belaka. Islam pun mengatur ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dll. Alhasil, Islam adalah ajaran dan tatacara hidup yang lengkap dan paripurna (Lihat: TQS al-Maidah [5]: 3).

Karena itu merupakan kewajiban para da’i untuk mengajak umat agar mengamalkan seluruh ajaran Islam. Para da’i harus mendorong umat untuk mengamalkan Islam secara total. Tidak setengah-setengah. Tak hanya mengamalkan ajaran Islam seperti shalat, shaum, zakat dan haji saja. Namun juga mengamalkan ajaran Islam yang lain yang terkait muamalah, ‘uqubat (sanksi hukum Islam), jihad, termasuk ajaran Islam seputar kewajiban menegakkan khilafah. Sebabnya, memang demikian yang Allah SWT perintahkan kepada kaum Muslim:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).



Terkait ayat di atas, Syaikh Abu Bakar al-Jazairi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata “kaffat[an]” bermakna “jami’[an]”. Artinya:

لاَ يُتْرَكُ مِنْ شَرَائِعِهِ وَ مِنْ أَحْكِامِهِ شَيْءٌ
Tidak boleh sedikitpun syariah dan hukum Islam itu ditinggalkan (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97).


Lebih lanjut beliau menegaskan maksud ayat di atas:

يُنَادِيْ الْحَقُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِيْنَ آمِراً إِيَّاهُمْ بِالدُّخُوْلِ فِي اْلإِسْلاَمِ دُخُوْلاً شُمُوْلِيَّا بِحَيْثُ لاَ يَتَّخَيَّرُوْنَ بَيْنَ شَرَائِعِهِ وَأَحْكَامِهِ مَا وَافَقَ مَصَالِحَهُمْ وَأَهْوَاءَهُمْ قَبِلُوْهُ وَعَمِلُوْا بِهِ، وَمَا لَمْ يُوَافِقْ رَدُّوْهُ أَوْ تَركَوُهْ وَأَهْمَلُوْهُ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ أَنْ يَقْبِلُوْا شَرَائِعِ اْلإِسْلاَمِ وَأَحْكَامِهِ كَافَّةً.
Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang Mukmin dengan memerintah mereka untuk masuk Islam secara paripurna (total). Artinya, mereka tidak boleh memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukumnya. Apa saja yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Lalu apa saja yang tidak sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak, mereka tinggalkan dan mereka campakkan. Justru wajib atas mereka menerima seluruh syariah dan hukum Islam (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, 1/97).


Karena itulah para da’i yang menyampaikan semua ajaran Islam—termasuk khilafah, misalnya—tak layak dicap “radikal” dalam makna yang negatif. Lebih tidak layak lagi jika dilakukan upaya “deradikalisasi” terhadap mereka. Salah satunya melalui Program “Sertifikasi Da’i” atau Program “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. Jelas, jika motifnya “deradikalisasi”, ini adalah program yang ngawur.


Deradikalisasi: Proyek Usang dan Kontraproduktif

Sebagai kelanjutan dari isu terorisme dan kontra-terorisme, isu radikalisme dan upaya deradikalisasi bukanlah hal baru. Sudah dicetuskan sejak sekitar 10 tahun lalu. Pada tahun 2011, misalnya, Pemerintah pernah melakukan pelarangan terhadap buku-buku Islam tertentu yang dituding mengandung konten “radikal”. Saat itu ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia oleh Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI. Kesembilan buku itu rata-rata terkait dengan pembahasan syariah, jihad dan khilafah. Di antaranya adalah Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 (karangan Sayyid Quthb, Terbitan Gema Insani, 2001; Ikrar Perjuangan Islam (karangan DR Najih Ibrahim, Pustaka Al Alaq dan Al Qowam, 2009; Khilafah Islamiyah-Suatu Realita, Bukan Khayalan (karangan Prof. Dr. Syeikh Yusuf al-Qaradawi, PT Fikahati Aneka, 2000); Syariat Islam-Solusi Universal (karangan Prof. Wahbah Zuhaili, Pustaka Nuwaitu, 2004), dsb  (Eramuslim.com, 20/10/2011).


Belakangan, sebelum muncul Program Sertifikasi Da’i/Penceramah, Kemenag di bawah Fachrul Razi juga telah melakukan revisi atas sejumlah buku pelajaran di lingkungan Kemenag yang berkonten khilafah. Lagi-lagi motifnya tidak jauh dari “deradikalisasi”.

Jelas, upaya Pemerintah untuk terus melestarikan program deradikalisasi adalah upaya usang, selain kontraproduktif. Apalagi di tengah banyaknya isu penting yang seharusnya menjadi fokus Pemerintah seperti: penanganan bencana Covid-19 yang carut-marut, ekonomi yang makin loyo bahkan disinyalir sedang menuju resesi, korupsi yang makin menjadi-jadi, utang luar negeri yang makin tinggi, APBN yang terus mengalami defisit yang makin besar, dll. 


Tak Relevan

Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi kekerasan (baca: terorisme). Namun, sebetulnya tak ada bukti sama sekali bahwa aksi-aksi kekerasan diinspirasi oleh buku-buku Islam yang bertemakan syariah, jihad dan khilafah. Toh materi tersebut sudah lama terdapat di kitab-kitab di pesantren dan dikaji selama bertahun-tahun oleh para santri. Bahkan materi tentang khilafah, misalnya, juga sudah bertahun-tahun dijadikan materi resmi di buku-buku pelajaran Madrasah Aliyah di lingkungan Kemenag. Jika memang kitab-kitab pesantren dan buku-buku pelajaran agama itu memicu radikalisme, tentu harusnya radikalisme terjadi sejak puluhan tahun lalu. Faktanya, isu radikalisme baru muncul belakangan, sebagai kelanjutan dari isu terorisme global, yang dihembuskan AS. Isu ini lalu melahirkan war on terrorism (perang melawan terorisme) yang dilakukan AS. Tentu demi ambisi imperialismenya, khususnya atas Dunia Islam.

Demikian pula para da’i/penceramah yang dituding radikal. Tak satu pun dari mereka yang terbukti pernah melakukan aksi-aksi kekerasan. Apalagi terorisme. Yang ada, dan ini yang barangkali ditakutkan oleh Pemerintah, adalah banyaknya da’i/penceramah yang belakangan makin bersikap kritis terhadap Pemerintah. Tentu karena para da’i/penceramah—sebagai penyambung lidah umat—merasakan betul berbagai kezaliman yang dialami rakyat kebanyakan di bawah rezim sekular saat ini. Baik dalam bentuk kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, ketidakadilan dan diskriminasi atas umat Islam, dll.  

Alhasil, program deradikalisasi jelas program usang dan tak relevan untuk terus digulirkan. Termasuk dalam bentuk sertifikasi da’i/penceramah. Apapun judulnya.


Pemerintah Harus Belajar

Jelas, jika Pemerintah—termasuk oleh Kemenag—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menuai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya mendeskreditkan Islam.

Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim. Tentu ini tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. 

Karena itu yang harusnya dilakukan adalah: Pertama, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing dan aseng, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, LGBT, dll), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat. 

Kedua, Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera bangsa ini. Bukan malah menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman sekaligus menuding para pengusungnya sebagai kaum “radikal”. Jika itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memang tak mau belajar.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []


Hikmah:

Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. []
(TQS al-Anbiya’ [21]: 107)

MEREKA ADALAH RAHIB DI MALAM HARI, DAN KESATRIA DI SIANG HARI

#MEREKA ADALAH RAHIB DI MALAM HARI, DAN KESATRIA DI SIANG HARI

Karakter sahabat, generasi emas, generasi penakluk, dan pengemban risalah ke seluruh dunia itu digambarkan dengan dua frasa, "Ruhban al-Lail". Kalau malam, mereka seperti rahib. Mereka hanya sedikit tidur. Mereka menghidupkan malamnya, dengan bersujud, bermunajad dengan Rabb-nya

Malam mereka jadikan sebagai waktu menyendiri, bermesraan,  dan mengadukan keadaan mereka kepada kekasihnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka baca surat cinta-Nya, mereka hadirkan makna pemikirannya. Mereka hujamkan dalam kalbunya. Mereka visualisasikan di otak dan bashirah mereka

Kalam dan surat cinta-Nya itu benar-benar hidup di dalam hati dan kesadaran mereka. Itulah yang memandu hidup mereka. Itulah menghibur mereka di kala duka. Itulah yang menghidupkan asa, saat mereka nyaris putus asa melihat dunia yang fana. Karena kalam dan surat cinta yang digenggam erat itu, dia menatap hidup yang tak pasti dengan keyakinan pada janji-Nya

Maka, optimisme itu mewarnai hari-harinya, saat orang pesimis menatap kehidupan dunia. Dia selalu bersemangat. Selalu serius. Selalu terdepan. Siap menghadapi tantangan, hambatan, gangguan dan ancaman yang menghadangnya. Siang harinya, mereka benar-benar menjadi "Fursan an-nahar", kesatria pilih tanding tangguh, tahan banting, yang memiliki iman kepada yang ghaib, Qadha' dan Qadar, tawakkal, rizki dan ajal yang benar. Dia sabar, istiqamah dan teguh dengan perjuangannya

Itulah karakter mereka. Dari tangan generasi ini, seluruh Jazirah Arab, yang meliputi Saudi, UEA, Bahrain, Qatar, Oman, Yaman dan Kuwait berhasil diIslamkan dalam waktu 9 tahun. Tak sampai 15 tahun kemudian, seluruh Hijaz tak ada lagi orang miskin yang layak menerima zakat

Islam berhasil membebaskan Persia, dari kemusyrikan, Syam, dan Afrika, masuk ke Eropa, bahkan Asia. Asia Tengah hingga Timur Jauh. 2/3 belahan dunia dibebaskan Islam, dan 3 benua dipimpin peradaban emas, lebih dari 22 juta km2 wilayahnya terbentang di seluruh dunia

Semuanya itu diukir oleh generasi emas. Dengan karakter mereka, "Ruhban al-Lail wa Fursan an-Nahar", di malam hari bak rahib, di siang hari mereka adalah para kesatria luar biasa
https://www.instagram.com/p/CFannnKDnFv/?igshid=5f9ksjjsgw9e

Jumat, 18 September 2020

BAHAYA MEMUSUHI DAN MENYAKITI ULAMA*

*EDISI 159 - BAHAYA MEMUSUHI DAN MENYAKITI ULAMA*


Ulama adalah sosok yang Allah SWT muliakan. Sudah sepantasnya kaum Muslim juga memuliakan ulama. Melindungi dan menjaga mereka. Tidak memperolok-olok apalagi menyakiti mereka. 

Sayang, yang terjadi di Tanah Air, untuk kesekian kali terjadi serangan terhadap ulama dan tokoh Islam. Bukan saja diolok-olok. Bahkan nyawa mereka sampai terancam. Sebagian dari mereka ada yang dianiaya di rumah, di masjid, bahkan kini di tempat terbuka di tengah panggung dakwah. Sebagian luka-luka. Sebagian lagi bahkan dianiaya hingga wafat. Keadaan ini menggambarkan bahwa para ulama dan tokoh Islam belum bebas dari ancaman.


Kemuliaan Ulama

Maraknya ancaman terhadap para ulama dan tokoh Islam adalah sebuah ironi. Pasalnya, kita hidup di negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Setiap hari kita juga mendengar semakin banyak orang berani mengolok-olok ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pelecehan tersebut terutama ditujukan pada ulama dan tokoh Islam yang giat melaksanakan amar makruf nahi mungkar. 

Misalnya, baru-baru ini  seorang elit parpol menghina keberadaan MUI dengan menyebut lembaga ulama itu selevel dengan LSM. Bahkan ada kalimat yang bertendensi menyamakan ulama dengan binatang. “Sama seperti LSM urusan hewan, apakah pengurusnya laler dan kecoa? Gak, kan?” tutur politisi tersebut lancang.

Mulut-mulut kotor mereka terhadap para ulama jauh berbeda dengan predikat yang Allah SWT berikan. Ulama dalam timbangan agama adalah sosok yang istimewa. 

Pertama: Para ulama dinaikkan derajatnya oleh Allah SWT beberapa tingkat di atas manusia lain:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan (TQS al-Mujadilah [58]: 11).
 

Tidak ada manusia yang diberi kebaikan oleh Allah SWT melainkan para ulama. Sabda Nabi saw.:

مَن يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِّينِ
Siapa saja yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebaikan, Dia akan menjadikan dirinya faqih dalam agama (HR Muttafaq ‘alayhi).


Nabi saw. menyebutkan ketinggian derajat para ulama di dunia ini dibandingkan dengan segenap manusia. Sabda beliau:

إِنَّ مَثَلَ الْعُلَمَاءِ فِى الأَرْضِ كَمَثَلِ النُّجُومِ فِى السَّمَاءِ يُهْتَدَى بِهَا فِى ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ فَإِذَا انْطَمَسَتِ النُّجُومُ أَوْشَكَ أَنْ تَضِلَّ الهُدَاةُ
Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk kepada orang yang berada di gelap malam, di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk (HR Ahmad).


Kedua: Para ulama disebut oleh Rasulullah saw. sebagai pewaris para nabi. Di tengah umat ini, tak ada satu pun yang layak disebut pewaris para nabi melainkan para ulama. Sabda Nabi saw.:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sungguh ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).


Mengapa di dalam hadis ini disebut kata pewaris? Tidak menggunakan istilah yang lain?
Imam al-Munawi mengatakan, “Karena warisan itu berpindah kepada manusia yang paling dekat. Sosok manusia yang paling dekat dengan para nabi dalam urusan agama adalah para ulama yang berpaling dari dunia, menghadap akhirat dan kedudukan mereka terhadap umat adalah sebagai pengganti dari para nabi. Para ulama adalah orang yang memperoleh kebahagiaan dengan dua kebaikan: ilmu dan amal. Mereka pun mendapatkan dua keutamaan: kesempurnaan dan menyempurnakan.” (Al-Munawi, Faydh al-Qadir, 4/105).

Ketiga: Demikian besar derajat para ulama, Allah SWT berkenan memberi mereka kesempatan untuk memberikan syafaat pada Hari Kiamat. Sabda Nabi saw.:

يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ الشُّهَدَاءُ
Akan memberi syafaat pada Hari Kiamat tiga golongan: para nabi, ulama, lalu para syuhada (HR Ibnu Majah).


Keempat: Karena keberadaan para ulama pula agama ini terpelihara dan umat akan terjaga dari berbagai kesesatan. Jika para ulama telah tiada, ilmu akan lenyap dan umat pun akan mudah tergelincir dalam kesesatan. Sabda Nabi saw.:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ 
Sungguh Allah SWT tidak mencabut ilmu dengan mencabut ilmu itu dari  manusia. Namun, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama (HR al-Bukhari).


Demikian vital kehadiran dan peran ulama, kematian mereka adalah musibah berat bagi umat. Berpulangnya mereka tak bisa digantikan dengan mudah, bahkan oleh ribuan ahli ibadah sekalipun. Dalam mukadimah Kifayah al-Akhyar, dituliskan perkataan Umar bin al-Khaththab ra., “Kematian seribu ahli ibadah yang senantiasa bangun malam untuk shalat dan berpuasa pada siang hari lebih ringan dari kematian satu orang alim yang mengetahui apa yang Allah halalkan dan apa yang Dia haramkan.”

Inilah derajat agung yang hanya dimiliki para ulama.


Ulama Sejati

Tentu yang dimaksud dengan para ulama di sini bukan sekadar orang yang berilmu namun lancang kepada Allah SWT, memutarbalikkan hukum-hukum-Nya dan bersekutu dengan kezaliman. Ulama bukan semata mereka yang faqih fiddin (paham agama), tetapi pribadi-pribadi yang punya rasa takut paling tinggi kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ 
Sungguh di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (TQS Fathir [28]: 28).


Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, "Bukanlah yang dikatakan orang berilmu itu orang yang banyak hapal hadis. Akan tetapi, yang dinamakan orang berilmu adalah orang yang amat besar rasa takutnya (kepada Allah).”

Atas dasar inilah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang ayat di atas, “Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah, dialah orang alim. Ini adalah haq.” (Dari Kitab Majmu’ al-Fatawa,  7/539. Lihat juga: Tafsir al-Baydhawi, 4/418; Fath al-Qadir, 4/494).

Para ulama sejati ini disebut sebagai ulama akhirat. 

Di sisi lain ada yang dinamakan ulama dunia. Ibn al-Jauzi dalam Shaid al-Khatir menyebutkan, “Perbedaan antara ulama dunia dan ulama akhirat adalah: ulama dunia haus kekuasaan di dalam dunia dan suka mendapatkan harta plus gila pujian. Sebaliknya, ulama akhirat tidak mendahulukan itu semua. Mereka sangat takut dan sangat menyayangi siapa saja yang diuji oleh dunia.” (Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khathir, hlm. 14).

Ulama yang menjual agama untuk sampah dunia berupa harta dan ketenaran, menjilat kekuasaan serta memutarbalikkan ayat-ayat Allah justru kelak akan didera kehinaan dan siksaan pada Hari Akhir. Allah SWT telah memperingatkan umat akan bahaya sikap condong pada kezaliman dan para pelakunya (Lihat: QS Hud [11]: 113).

Imam Sayyid bin al-Musayyib juga mengingatkan dengan keras tentang para ulama yang mendatangi penguasa dengan tujuan menjilat, “Jika engkau melihat seorang alim mengelilingi penguasa, hati-hatilah terhadap dirinya karena dia adalah seorang pencuri.”


Bahaya Memusuhi Ulama

Karena itu para ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT, giat amar maruf nahi mungkar, berjuang untuk menegakkan agama-Nya wajib untuk diikuti dan pantang untuk dimusuhi apalagi dikriminalisasi. Dalam hadis qudsi Allah SWT menyatakan perang terhadap mereka yang mengganggu para wali-Nya:

 مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah mengumumkan perang kepada dirinya.” (HR al-Bukhari).


Hadis ini menjelaskan betapa kerasnya pembelaan Allah SWT kepada para wali-Nya. Yang dimaksud dengan wali Allah adalah orang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam beribadah. Imam Syafii menjelaskan, jika para ulama itu bukan wali-wali Allah, tentu tidak ada wali-Nya di muka bumi ini.

Tentang larangan menghina dan menyakiti ulama, Ikrimah, seorang tabi’in, berkata, “Janganlah kamu menyakiti seorang ulama. Siapa saja yang menyakiti ulama berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebabnya, ulama berkedudukan sebagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga Hari Kiamat nanti.” 

Al-Hafizh Ibnu Asakir, dalam kitab Tabyin Kadzib al-Muftari, juga mengingatkan bahwa daging ulama itu ‘beracun’. Siapa saja yang menghina, memfitnah, apalagi menyakiti para ulama akan mendapat balasan keras dari Allah SWT. Kata Ibnu Asakir, “Tidaklah saya tahu seseorang yang menghina ulama kecuali akan mati dalam keadaan su’ul khatimah karena sungguh daging ulama itu ‘beracun’.”

Begitu keras ancaman Allah SWT dan Rasul-Nya terhadap orang-orang yang memfitnah, memusuhi termasuk mengkriminalisasi para ulama dan pejuang Islam. Apalagi jika tindakan mereka disertai dengan pelecehan dan penistaan terhadap ajaran Islam seperti menangkap mereka yang mendakwahkan seruan penegakan syariah dan Khilafah Islam, bahkan menyamakan ajaran kekhilafahan dengan ajaran komunis.

Alhasil, sudah sepatutnya kaum Muslim bersatu membela para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang mukhlis dan tegar menegakkan kalimatullah. Umat wajib melindungi dan membela mereka. Tidak memandang ormas atau kelompok manapun. Selama ia istiqamah dan ikhlas memperjuangkan agama Allah, sudah menjadi tanggung jawab umat untuk membela dan melindungi mereka. [] 



Hikmah:


Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Orang-orang yang menyakiti kaum Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
(TQS al-Ahzab [33: 58). []

Senin, 14 September 2020

DAKWAH ITU WAJIB, TAK PERLU SERTIFIKAT

*EDISI 158 - DAKWAH ITU WAJIB, TAK PERLU SERTIFIKAT*


Kementerian Agama (Kemenag) berencana meluncurkan Program Penceramah Bersertifikat mulai akhir September 2020 (Republika, 7/9). 

Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Kamaruddin Amin, menyebut target peserta program ini adalah 8.200 penceramah untuk tahun ini. Terdiri dari 8.000 penceramah di 34 provinsi dan 200 penceramah di pusat.

Menag Fachrul Razi menyatakan Program Penceramah Bersertifikat dimaksudkan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (Cnnindonesia.com, 3/9).

Pada kesempatan yang berbeda, Waketum MUI, KH Muhyiddin Junaidi, menyampaikan bahwa MUI menolak tegas rencana Kemenag tentang sertifikasi para dai/penceramah ini (Republika, 7/9). 

KH Muhyiddin memandang kebijakan sertifikasi ulama itu kontraproduktif. Ia  khawatir, kebijakan tersebut berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan Pemerintah guna meredam ulama yang tak sejalan. Program ini berpeluang menimbulkan keterbelahan di tengah masyarakat. Bisa berujung konflik. Bisa memicu stigmatisasi negatif kepada penceramah yang tak bersertifikat.

Program Penceramah Bersertifikat ini pun berpotensi membatasi gerak dakwah. Beberapa masjid atau kegiatan bisa saja diintervensi agar hanya menggunakan penceramah yang bersertifikat.


Dakwah adalah Kewajiban

Di antara keistimewaan Islam dibandingkan dengan agama dan ideologi lain adalah Islam mewajibkan setiap Muslim untuk bertanggung jawab kepada saudaranya dan segenap umat manusia. Salah satu wujud tanggung jawab yang dimaksud adalah dakwah.

Dakwah adalah mengajak manusia ke jalan Allah SWT.  Di dalamnya termasuk seruan amar makruf nahi mungkar. Dengan dakwah manusia bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya terang Islam. 

Dakwah hukumnya wajib. Setiap pribadi Muslim yang telah baligh dan berakal, baik laki-laki maupun wanita, diperintahkan untuk berdakwah. Allah SWT berfirman: 

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Karena itu berdakwahlah dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepada kamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS asy-Syura [42]: 15).


Allah SWT pun berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik (TQS an-Nahl [16]: 125).


Rasulullah saw. pun bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat (HR al-Bukhari).


Lebih dari itu, Rasulullah saw. menyebut ‘inti’ dari agama ini (Islam) adalah nasihat. Beliau bersabda:

الدِّيْنُ نَصِيْحَةٌ
(Inti) agama (Islam) ini adalah nasihat (HR at-Tirmidzi).


Oleh karena itu tugas dan kewajiban dakwah berlaku umum atas setiap Muslim tanpa memandang profesi, status sosial maupun tingkat ilmunya. Dakwah bukan sekadar tugas dan kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan label “ulama”, “ustadz” atau nantinya dai yang bersertifikat dari penguasa. Karena itu pengemban dakwah tak perlu sertifikat dari penguasa.  Apalagi jika program dai “bersertifikat” tersebut malah mengaburkan esensi dakwah Islam dan menghalangi amar makruf nahi mungkar (termasuk kepada penguasa).

Setiap Muslim pada hakikatnya adalah penyambung tugas Rasulullah Muhammad saw. dalam menyampaikan risalah dakwah.  Risalah dakwah yang diemban Rasulullah saw. adalah ciri kemuliaan beliau.  Oleh karena itu setiap Muslim yang meneruskan aktivitas mengemban risalah dakwah juga akan memiliki kedudukan yang mulia. 

Allah SWT dan Rasul-Nya banyak memberikan dorongan dan pujian yang ditujukan kepada para pengemban dakwah dan penyampai hidayah-Nya. Allah SWT, misalnya, berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"  (TQS al-Fushilat [41]: 33).


Imam Hasan al-Bashri memberikan penjelasan terkait ayat di atas, bahwa mereka yang menyeru manusia ke jalan Allah adalah kekasih Allah, wali Allah dan pilihan Allah. Mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang mereka serukan.  Inilah kemuliaan yang akan diberikan kepada setiap Muslim yang berdakwah.

Rasulullah saw. pun bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدَى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يُنْقَصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah Allah, ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka (HR Muslim)


Dampak Bila Meninggalkan Dakwah

Kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat akan menimbulkan kerusakan mereka.  Penyimpangan dari aturan Islam akan berujung pada kebinasaan sebuah masyarakat.  
Nabi saw. bersabda:

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقًا، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
Perumpamaan orang yang menaati hukum-hukum Allah dan para pelanggarnya adalah bagaikan suatu kaum yang menumpang kapal. Sebagian menempati bagian atas dan sebagian lagi menempati bagian bawah. Yang berada di bagian bawah, jika ingin mengambil air, tentu harus melewati orang-orang di atasnya. Lalu mereka berkata, “Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.” Andai yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang yang ada di bagian bawah menuruti kehendak mereka, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang yang di bagian atas melarang orang yang ada di bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu (HR al-Bukhari).


Di sinilah pentingnya dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Dengan itu kemungkaran bisa segera dikendalikan sebelum membesar dan menghancurkan masyarakat seluruhnya.  

Keengganan melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar akan menimbulkan malapetaka dan bencana yang tidak terbatas hanya menimpa orang-orang yang berbuat kerusakan dan penyimpangan saja, tetapi juga akan menimpa seluruh masyarakat. Allah SWT berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Peliharalah diri kalian dari fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah, Allah amat keras siksaan-Nya (TQS al-Anfal [8]: 25).


Rasulullah Muhammad saw. juga menjelaskan dampak yang terjadi jika dakwah ditinggalkan:

وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menimpakan azab-Nya atas kalian. Lalu kalian berdoa kepada-Nya, tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).


Hadis tersebut memberikan dua pilihan yaitu: memilih dakwah atau memilih azab dan doa yang tak terkabul.  Tak ada pilihan ketiga. Artinya, siapapun yang meninggalkan dakwah akan mendapatkan azab dan doanya tidak terkabul. 

Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa jika dakwah dan amar makruf nahi mungkar ditinggalkan, akan muncul para penguasa jahat dan tidak menyayangi kaum Muslim (HR Al Bazzar dan ath-Thabrani).

Semua akibat buruk di atas sekaligus menjadi qarînah (indikasi) yang menegaskan bahwa dakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah wajib. Meninggalkannya merupakan dosa. 


Dosa Menghalangi Dakwah

Jika meninggalkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar saja berdosa, apalagi menghalangi aktivitas mulia ini. Menghalangi dakwah adalah perbuatan yang dicela oleh Allah SWT. Bahkan Allah SWT mengancam para penghalang dakwah dengan azab yang pedih: 

أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (18) الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ(19) أُولَٰئِكَ لَمْ يَكُونُوا مُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ۘ يُضَاعَفُ لَهُمُ الْعَذَابُ ۚ
Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Mereka itulah orang-orang yang tidak meyakini adanya Hari Akhirat. Mereka itu tidak mampu menghalang-halangi Allah untuk (mengazab mereka) di bumi ini. Sekali-kali tidak ada bagi mereka penolong selain Allah SWT. Siksaan itu dilipatgandakan atas mereka (TQS Hud [11]: 18-20).


Ayat ini jelas merupakan ancaman Allah SWT terhadap orang-orang yang menghalang-halangi dakwah. Mereka akan diazab oleh Allah SWT dengan azab yang keras.

Sungguh besar dosa orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan dakwah dan bersekutu dengan kemungkaran. Perbuatan tersebut adalah pengkhianatan terhadap Allah SWT, Rasul-Nya dan umat Islam.

WalLahu a’lam bi shawwab. []


Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tak mampu, dengan lisannya. Jika tak mampu, dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman. 
(HR Muslim). []