Jumat, 26 Juni 2020

UMAT HANYA BUTUH ISLAM! Buletin Kaffah No. 147 (04 Dzulqa'dah 1441 H/26 Juni 2020 M)

UIUMAT HANYA BUTUH ISLAM!

Buletin Kaffah No. 147 (04 Dzulqa'dah 1441 H/26 Juni 2020 M)

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tengah diusung DPR untuk disahkan. Namun, RUU ini mendapat penolakan keras dari masyarakat, khususnya elemen kaum Muslim. MUI, Muhammadiyah dan NU sepakat menolak pengesahan RUU tersebut. Penolakan ini diikuti dengan pernyataan sikap serupa oleh berbagai ormas dan MUI di berbagai daerah.

Menurut Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, RUU HIP sangat sekular dan ateistik. Selain itu Tap MPRS XXV/1966 yang melarang ajaran Komunisme tidak dimasukkan dalam konsideran RUU ini. Karena itu MUI menolak seluruh isi RUU tersebut.

Bahaya Laten Komunisme

Sosialisme-komunisme-marxisme jelas bertentangan dengan Islam. Sosialisme-komunisme-marxisme bertumpu pada materialisme. Materialisme adalah paham yang memandang kehidupan, manusia dan alam semesta merupakan materi yang mengalami evolusi internal. Materi ini tidak diciptakan. Ia ada dengan sendirinya. Karena itu tidak ada Pencipta (Tuhan) dan yang dicipta (makhluk). Dengan demikian dasar ideologi ini hakikatnya adalah ateisme.

Feuerbach, salah satu tokoh ateisme sekaligus Sosialisme-komunisme dengan lancang menyatakan: bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan hanyalah imajinasi dan angan-angan manusia.

Karl Marx, pencetus Marxisme, juga mengatakan bahwa hanya orang-orang irasional (tak berakal) yang mempercayai adanya Tuhan.

Ini bertentangan dengan realita kerumitan dan kompleksnya alam semesta, manusia dan kehidupan yang tak mungkin ada tanpa ada yang menciptakan. Dialah Allah SWT (Lihat: QS al-Insan [76]: 2; QS al-Mu'minun [23]: 14).
Komunisme mengambil jalan kekerasan untuk perubahan masyarakat. Marx mengatakan, “Kekerasan adalah ‘bidan’ untuk setiap masyarakat lama yang ‘hamil tua’ dengan masyarakat baru.”

Tak aneh pemerintahan komunis senantiasa banjir darah. Lenin membantai 500 ribu rakyat Rusia sepanjang 1917-1923. Stalin membantai 46 juta rakyat Rusia, termasuk di dalamnya 6 juta petani “kulak” sepanjang 1925-1953.  Mao Tsetung menjagal 50 juta penduduk RRC dalam kurun 1947-1976. Pol Pot membunuh 2,5 juta rakyat Kamboja. Najibullah mencabut nyawa 1,5 juta rakyat Afganistan sepanjang 1978-1987. Rezim komunis yang dibantu Rusia Sovyet menjagal 1 juta rakyat di berbagai Negara Eropa Timur, 150 ribu di Amerika Latin dan 1,7 juta rakyat di berbagai Negara Afrika. Di Tanah Air, sejarah PKI juga berlumuran darah, khususnya umat Islam.

Bahaya Nyata Kapitalisme

Namun, Sosialisme-komunisme bukan satu-satunya ancaman terhadap kaum Muslim. Masih ada Sekularisme-kapitalisme. Faktanya, pada hari ini justru hampir seluruh negeri Muslim di dunia, termasuk negeri ini, menerapkan ideologi dan sistem Sekularisme-kapitalisme. Padahal Sekularisme-kapitalisme juga bertentangan dengan ajaran Islam. Sayangnya, hal ini tidak banyak disadari oleh kaum Muslim.

Ideologi Sekularisme-kapitalisme bertentangan dengan Islam karena mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan dan negara (fashl ad-din ‘an al-hayah wa ad-dawlah). Ideologi Sekularisme-kapitalisme menolak syariah Islam dijadikan undang-undang dalam kehidupan. Padahal Allah SWT telah berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Dalam Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir antara lain dinyatakan: ”Berhukum pada selain hukum Allah berarti beralih pada hukum selain-Nya, seperti pada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar pada syariah Allah. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliah.” (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, 1/525).

Bahaya lain dari ideologi Sekularisme-kapitalisme adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia: kebebasan beragama, kebebasan kepribadian/perilaku, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berpendapat. Dengan payung hukum HAM dan demokrasi, warga negara berhak mendapat jaminan kebebasan. Negara berkewajiban memberikan jaminan kebebasan tersebut.

Dengan kebebasan beragama, orang bebas untuk berganti-ganti agama, tidak beragama bahkan membuat agama sendiri. Kasus Muslim yang berpindah agama (murtad) selalu ada tanpa ada pencegahan, apalagi penanganan secara hukum. Semua sah menurut aturan negara. Belum lagi keberadaan banyak kelompok sesat seperti Ahmadiyah dan Lia Eden yang justru tidak terusik oleh hukum. Tetap bebas beraktivitas dan mengumpulkan jemaah.

Kebebasan berpendapat melahirkan berbagai opini tanpa nilai baik buruk, termasuk menista agama.

Kebebasan perilaku juga telah merusak tatanan sosial masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33% remaja sudah pernah berzina. Para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah.

Kondisi ini berdampak pada kerusakan lain, yakni pembuangan bayi. Berdasar catatan IPW, selama 2018 terdapat 178 bayi yang baru dilahirkan dibuang. Jumlah ini naik 90 kasus dibandingkan dengan tahun 2016.
Selain melegalkan perzinaan, ideologi sekularisme-kapitalisme-liberalisme ini juga menghalalkan penyimpangan perilaku seksual seperti LGBT dan industri pornografi.

Kebebasan kepemilikan yang dibawa Kapitalisme pun terbukti telah merusak perekonomian masyarakat. Dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse dilaporkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa dan 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya, pembangunan yang dilakukan Pemerintah selama ini hanya dinikmati oleh sebagian orang-orang tajir di negeri ini.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa 80% tanah dikuasai konglomerat domestik, 13% dikuasai konglomerat asing dan hanya 7% yang dimiliki oleh masyarakat biasa.

Umat Hanya Butuh Islam

Bahaya laten Komunisme semestinya tidak membuat umat terlena akan bahaya nyata Kapitalisme yang telah terbukti merusak.

Tidak ada jalan keselamatan dan kesejahteraan serta mendatangkan keridhaan Allah SWT melainkan hanya Islam. Allah SWT telah memerintahkan manusia agar hanya memilih Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna menata dunia dan akhirat.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini; “Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini kare¬na Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka. Mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/22).

Karena itu umat tidak memerlukan sistem kehidupan lain selain Islam. Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna. Islam mengatur urusan dunia dan akhirat. Syariahnya mengatur urusan thaharah (bersuci) hingga siyasah (politik) dan imarah/imamah (pemerintahan).

Syariah Islam juga memberikan perlindungan pada kehidupan manusia secara utuh. Syariah Islam melindungi akidah, akal, darah dan jiwa, kelahiran dan keturunan, harta, kehormatan, keamanan dan negara. Perlindungan ini diberikan pula kepada warga non-Muslim (ahludz dzimmah).

Syariah Islam juga mengatur sebab kepemilikan harta dan jenis-jenis kepemilikan. Barang tambang, air dan enerji yang menjadi hajat hidup publik haram diprivatisasi. Semua itu milik umum yang harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan mereka. Sebaliknya, negara juga haram merampas kepemilikan individu meski dengan alasan kepentingan bersama, melainkan harus dengan penggantian yang setimpal.

Sistem pemerintahan Islam juga amat jelas dan memiliki contoh terbaik, yaitu Rasulullah saw. yang pernah memimpin Daulah Islam di Madinah dan Khulafaur-Rasyidin  yang memimpin Kekhilafahan Islam setelah beliau wafat. Nabi saw. bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Wajib kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin. Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian (HR Abu Dawud).

Salah satu Sunnah Rasulullah saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang utama tentu saja sistem pemerintahan Islam. Setelah era Daulah Islam pimpinan Rasulullah saw. berakhir, Khilafahlah satu-satunya sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh syariah Islam. Inilah yang dipraktikkan Khulafaur Rasyidin. Bukan yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah telah menyepakati kewajiban kaum Muslim menegakkan Khilafah ini. Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).

Karena itu Kekhilafahan bukanlah isme  atau ajaran buatan manusia, melainkan ketetapan syariah. Karena itu pula, menyebut Kekhilafahan dengan Khilafahisme—apalagi disamakan dengan komunisme, kapitalisme dan liberalisme—adalah pelecehan terhadap syariah Islam! []

—*—

Hikmah:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Hendaklah kamu menetapkan hukum di antara mereka menurut wahyu yang telah Alah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadalah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. Karena itu jika mereka berpaling, sungguh Allah bakal menimpakan musibah kepada mereka karena sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh kebanyakan manusia itu fasik. (TQS al-Maidah [5]: 49). []

—*—

Download File PDF:
http://bit.ly/kaffah147

Kamis, 25 Juni 2020

GORESAN TINTA SANG PEJUANG PERADABAN ISLAM

GORESAN TINTA SANG PEJUANG PERADABAN ISLAM

Oleh: Nurull Cahayaa (Pelajar dan Aktivis Dakwah Islam Kaffah)

Lagi dan lagi. Setiap buat konten dakwah, kerjain hal-hal yang berbau dakwah dan untuk amar ma'ruf nahi munkar tuh, pasti gak jauh jauh dari komenan orang-orang. Pasti. Yakin deh saya.

Dan yang paling banyak komenannya tuh kayak gini, "Kak, emang gak capek yah buat video-video sama tulisan-tulisan dan konten konten dakwah kayak gini? Padahal setiap hari nguras tenaga, energi kakak sama waktu kakak? Padahal gak dibayar sepeser pun juga kan? Intinya kakak gak capek yah?"

Pernah dapat komentar kayak di atas? Pastinya pernah donk, bahkan ada yang setiap saat dapat komen begitu. Nih kalau mau tau jawaban dari saya.

Buat apa capek dalam perihal menolong Agama Allah?

Gini deh, coba kalian beli makanan terus kalian bagiin makanan tersebut ke orang orang yang kurang mampu, sama anak yatim piatu atau sama yang membutuhkan banget deh. Terus kalau kalian habis bagiin makanan tersebut ke mereka, biasa kalian dapatin apa? Ucapan TERIMA KASIH 'kan? Atau DOA terbaik dari mereka. Maasya Allah banget 'kan?

Terus kalian pasti ngerasaiin, bahwa kalian tuh menjadi BERARTI buat mereka. Menjadi PENOLONG mereka 'kan?

Gini loh teman teman, kita menolong sesama manusia aja tuh udah ngerasa BERARTI. Udah ngerasa kita bisa menjadi penolong buat mereka. Kita bakalan ngerasa, "Ya Allah, ternyata aku berarti yah buat orang orang di sekitar aku. Ya Allah ternyata aku bisa menjadi orang yang bermanfaat juga untuk sesama." Dan lain-lain 'kan? Padahal itu nolong sesama manusia loh!

Apalagi kalau kita menolong Agama Allah, kita dakwah dan menyebarkan kebaikan agama Allah, apa itu gak membuat diri kita SANGAT BERARTI?

Saya gak pernah capek, saya gak pernah lelah bahkan gak ada niatan untuk nyerah dalam dakwah dan menyebarkan kebaikan agama Allah.

Gini loh teman-teman, capek dan lelah itu pasti di dunia karena hanyalah di surga tempat peristirahatan kita yang kekal.

Buat apa berhenti dan meninggal dalam keadaan menyia-nyiakan usia yang Allah berikan kalau bukan untuk kita berdakwah? Bertanya-tanya kan?

"Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya." (HR. Ahmad)

Ingat! Allah berfirman dalam Surat Muhammad ayat 7 yang berbunyi:

یَأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ یَنصُرۡكُمۡ وَیُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Saya menjadi sangat yakin dengan ayat di atas bahwasanya barangsiapa yang menolong agama Allah, menolong perjuangan agama Allah, menolong kelompok atau orang yang memperjuangkan agama Allah. Niscaya Allah akan menolongmu juga dan meneguhkan kedudukannya.

Alhamdulillah, akhirnya terbalaskan juga komentar teman-teman. Jazakumullahu khairan katsiran ^_^

#BebasShareDanCopasBilaBermanfaat😁

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah

Tanya :

Ustadz, mohon diberi pencerahan secara detail dalil mengenai pemisahan antara pria dan wanita pada walimahan agar saya bisa menjelaskan kepada orang tua. (Rahadian Rihadi, bumi Allah).

Jawab :

Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah wajib hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah haram hukumnya terjadi ikhtilat (campur baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima’) dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. (Sa’id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa`, hlm. 7)

Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua  alasan, yaitu ;

Pertama, adanya hukum umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb) maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah, kampus, sekolah, pantai, dsb). Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah, gedung, aula, hotel, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Alquran dan As Sunnah yang mengecualikan walimah dari hukum umum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan terjadinya ikhtilat antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilat dalam acara walimah. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).

Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya : (1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); (2) Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); (3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dengan kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus walimah sehingga dalam walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya. Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu : (1) menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah, dan (2) pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita. Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria itu, barulah hukum umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai ikhtilat (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan jual-beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilat dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah, hlm. 333-335). Wallahu a’lam.

Oleh K. H. M. Shidiq Al Jawi

Jumat, 19 Juni 2020

Futur Karena Dakwah Fardiyah?

Futur Karena Dakwah Fardiyah?

Oleh : Ustadz Iwan Januar

Bisakah kita berdakwah tanpa support jamaah? Mampukah kita berdiri di atas panggung dakwah tanpa kolektivitas jamaah? Bisakah seorang diri kita membangun peradaban tanpa keikutsertaan jiwa dan raga kita dalam sebuah kutlah dakwah?

Sulit rasanya menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan di atas. Tabiat manusia itu lemah, mudah tergelincir, membutuhkan ilmu, dan membutuhkan link pertemanan. Untuk membangun sebuah rumah yang besar saja tak bisa seorang diri, apalagi membangun peradaban. Maka, sungguh kita membutuhkan kawan dan pembimbing dalam mengarungi medan dakwah ini.

Sehebat apapun seseorang, tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan kolektivitas. Kebersamaan merupakan salah satu syarat perjuangan mencapai kemenangan. Dalam dunia bisnis hampir tak ada satu perusahaan yang tak menjalin kemitraan. Dalam dunia politik dan militer, negara-negara imperialis menjalin persekongkolan satu dengan lain untuk mencabik-cabik umat dan mencegah kebangkitan Islam.

Dalam dunia dakwah? Apalagi. Kebersamaan, keberjamaahan, kesatuan, unity atau apalah namanya adalah syarat untuk menggapai pertolongan Allah SWT. Penghulu umat ini, Rasulullah SAW. mewasiatkan akan kebaikan hidup berjamaah:

« اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثُلاَثٌ خَيْرٌ مِنِ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلاَثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِى إِلاَّ عَلَى هُدًى »

Dua orang lebih baik dari seorang, tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah). (HR. Ahmad)

Mari renungkan, ketika Allah memberikan kecerdasan dalam berdakwah, membuat fasih lisan kita menyampaikan kalimatullah, darimanakah semua itu ditempa? Hasil kecerdasan sendirikah, atau karena terasah dalam liqo-liqo yang dibantu oleh para guru yang mukhlis? Kita semua tahu jawabannya; itu karena jamaah, karena ada kawan dan para guru yang tulus hati membina hingga Allah mudahkan pemahaman kita.

Darimana pula Anda mendapatkan jaringan dakwah yang begitu luas hingga seantero negeri, bahkan mancanegara? Semua berawal dari pertemanan kita dalam jamaah. Satu dua atau tiga kawan memberi Anda panggung untuk menyampaikan kalimatullah karena mereka mempercayai Anda lebih fasih dan lebih pandai dari mereka. Maka mereka amanahkan panggung demi panggung dakwah agar dakwah ini berkembang lewat diri Anda sebagai bagian dari jamaah. Bukankah ini the power of relationship?

Sampai kemudian dunia mengenal Anda sebagai seorang juru dakwah yang handal. Kalimat-kalimat Anda cerdas dan berisi, menggelora dan membuat umat merasa terpuaskan, hingga Anda pun seolah menjadi ikon dakwah baru di antara para juru dakwah yang lain.

Namun disitulah sebenarnya perangkap dipasang. Ketika syaitan tak bisa menghentikan dakwah seorang hamba, mereka akan berusaha memisahkan seorang juru dakwah dari jamaahnya. Maka waspadailah penyakit hati juru dakwah yang bisa membuat seseorang terlepas dari jamaahnya. Tak jarang dan tak sedikit pengemban dakwah yang lepas dari orbit dakwah berjamaah karena hilang kesadaran berjamaah. Tanpa disadari satu persatu ikatan jamaah mereka lepaskan, sampai akhirnya muncul satu pemikiran; tak butuh lagi dakwah berjamaah.

Ada beberapa penyakit hati yang bisa membuat seorang juru dakwah tergelincir di jalan dakwah. Lepas kendali dan lepas dari orbit dakwah berjamaah.

/ Meremehkan Amal Jama’i /

Karena keasyikan dakwah secara pribadi, tak jarang seorang hamba meremehkan amal jama’i; liqo, kontak, dan segenap agenda dakwah berjamaah. Jarang hadir dalam agenda bersama bahkan mulai melanggar komitmen dakwah berjamaah. Inilah simpul awal yang terlepas dari kehidupan dakwah berjamaah, ketika seorang pengemban dakwah mulai meremehkan kedisplinan hidup berjamaah meski dengan alasan berdakwah (pribadi). Untuk ini mereka punya alasan yang seperti benar; saya juga berdakwah! Ironi.

/ Sibuk Dengan Citra Diri /

Dunia milenial menciptakan gaya hidup baru bagi manusia; brand mark! Sedihnya tak jarang mereka yang terlibat dalam dakwah juga ikut berlomba membangun brand image. Ingin menunjukkan dirinya adalah sosok penting, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang sebenarnya tak penting ke hadapan umat. Ia merasa umat harus tahu ketika ia minum kopi, makan bersama siapa, atau bahkan ketika ia bernafas dan memejamkan mata. Semua demi brand image.

Marilah kita renungkan bahwa yang harus kita muliakan dan agungkan adalah agama dan pribadi Nabi kita Muhammad SAW., bukan diri kita, keluarga kita atau bahkan orangtua kita. Sesungguhnya kemuliaan adalah milik Allah dan Ia akan berikan pada siapa saja yang Ia kehendaki:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (TQS. Ali Imran: 26)

/ Penyakit bahaya kelas /

Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Takattul Hizbiy menyebutkan salah satu bahaya yang bisa menimpa sebuah kutlah/jamaah dakwah adalah bahaya kelas, yaitu ketika sebuah jamaah merasa lebih hebat dan ingin dilayani umat. Bila pernyataan beliau kita jadikan pisau bedah dalam kehidupan pribadi para dai, hal inipun bisa terjadi. Seorang juru dakwah bisa lupa diri hingga merasa lebih tinggi derajatnya, lebih penting dibandingkan kawan-kawannya, bahkan merasa lebih unggul dibandingkan jamaahnya. Penyakit hati ini menyebabkan ia meremehkan segala keterikatan dengan jamaah, meremehkan nasihat dan teguran dari kawan-kawannya yang berada dalam jamaah. Ia merasa lebih penting berdiri di panggung dakwah di tempat lain, ketimbang duduk dalam agenda dakwah bersama. Bahkan ia merasa umat lebih memuliakan dia ketimbang jamaahnya. Hingga akhirnya ia marah pada saat jamaah mengingatkan dan menegurnya. Padahal semua dilakukan oleh jamaah karena rasa cinta dan sayang padanya.

/ Tak merasa bersalah /

Adalah nasihat klasik yang disampaikan para alim ulama, bila hati telah ternoda dosa lalu tak dimintai ampunan, lama kelamaan hati akan membeku. Ia tak tersentuh lagi dengan nasihat dan peringatan. Siapapun bisa mengalami hal itu termasuk para juru dakwah yang telah bergeser orbit dakwahnya dari dakwah jamaah menuju keasyikan dakwah pribadi. Berbagai pengabaian amanah dan agenda dakwah dalam berjamaah tak lagi menjadi perhatiannya. Bahkan ketidakdisplinannya dalam kehidupan berjamaah sudah dianggap biasa, ironinya ia sendiri marah ketika ada orang tidak menepati akad dengannya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Al-Jawabul Kafi menuliskan bahwa suatu dosa biasanya akan menuntut dosa yang lain dan akan menuntut eskalasi atau peningkatan. Waliyyadzu billah.

/ Mencari kesalahan jamaah /

Level lebih jauh dari bergesernya seorang dai dari orbit dakwah adalah ia mulai banyak mengeluhkan kondisi jamaah, seolah mencari pembenaran bahwa ia memang layak meninggalkan jamaah. Para sahabat pecinta dakwah, sedari awal kita harus sudah menyadari bahwa jamaah dakwah diisi oleh manusia biasa, yang tak luput dari kekurangan dan kehilafan. Dimanapun kita berada, selalu akan bertemu sosok-sosok yang penuh dosa dan khilaf. Namun itu bukan alasan kita menyalahkan jamaah lalu berpaling dari mereka, kecuali bila mereka sepakat melakukan kemungkaran. Bukankah bila rumah kita kurang layak maka tugas kita adalah ikut membenahinya, bukan malah meninggalkannya apalagi membumihanguskannya?

Ikhwah fillah, tulisan ini adalah pengingat bagi al-faqir pribadi dan ikhwan semua karena dorongan rasa cinta pada Allah. Luangkan waktu sejenak untuk merenung bahwa panggung demi panggung dakwah yang telah dibangun semua adalah karunia Allah yang dilimpahkan melalui perjuangan kawan-kawan dalam jamaah. Ada jasa guru-guru kita, ada jasa kitab-kitab yang telah dikaji bertahun-tahun. Saatnya menurunkan ego diri, membuang bahaya kelas, merendahkan hati dan menyemai lagi keikhlasan untuk menggelar tikar lalu duduk bersama kawan-kawan dalam jamaah. Karena rumah kita adalah jamaah dakwah, kita berasal dari sana dan kita pun ingin berkumpul bersama orang-orang saleh dalam jamaah kita.

Percayalah, andaipun kaki melangkah tuk pergi berlalu dan tak kembali, rumah itu takkan runtuh karena di dalamnya masih banyak orang-orang yang jauh lebih ikhlas, lebih bagus dalam beramal dibandingkan diri kita. Malah bisa jadi akan datang penghuni-penghuni baru yang lebih bersih dibandingkan hati dan tangan kita ini. Sesungguhnya kitalah yang membutuhkan jamaah. Mari kembali rapatkan hati dan barisan dalam rumah ini untuk memenangkan agama Allah bersama-sama.

إِنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذِئْبِ الْغَنَمِ يَأْخُذُ الشَّاذَّةَ وَالْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالشِّعَابَ وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَالْعَامَّةِ

“Sesungguhnya setan adalah serigala terhadap manusia seperti serigala menerkam kambing yang terasing, menjauh dan menyisih. Maka janganlah kalian menempuh jalan sendiri dan hendaklah kalian berjama’ah dan berkumpul dengan orang banyak.” (H.R. Ahmad)

SEKULARISME-RADIKAL HANYA MENGHASILKAN ‘NEW ABNORMAL’ Buletin Kaffah No. 146 (27 Syawal 1441 H-19 Juni 2020 M

SEKULARISME-RADIKAL HANYA MENGHASILKAN ‘NEW ABNORMAL’

Buletin Kaffah No. 146 (27 Syawal 1441 H-19 Juni 2020 M)

Salah satu isu konstroversial yang banyak menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah RUU-HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Kelompok sekular-radikal dicurigai berada di balik usulan RUU-HIP ini. Mereka inilah—bukan HTI—yang terbukti ingin ‘mengubah’ Pancasila meski dengan sekadar ‘memeras’ Pancasila menjadi Trisila, bahkan Ekasila. Apalagi mereka tidak mau mencantumkan dalam RUU-HIP itu konsiderans TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Larangan Penyebaran Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Melihat sejumlah pasalnya yang sangat radikal-sekular, jika RUU-HIP ini berhasil disahkan menjadi UU, boleh jadi UU tersebut akan makin mengokohkan sekularisme di negeri ini. Cita-cita umat Islam untuk diatur oleh syariah Islam pun akan makin sulit. Bahkan boleh jadi akan makin dimusuhi karena bakal dituding sebagai anti Pancasila. 

Kehidupan Normal Umat Islam

Bagi kaum Muslim, kehidupan yang normal tentu adalah kehidupan yang diatur dengan syariah Islam. Sebabnya, Islam bukan sekadar agama spiritual dan moral belaka. Islam pun tak melulu berurusan dengan persoalan-persoalan transendental (keakhiratan) saja. Islam sekaligus merupakan ideologi/sistem kehidupan. Artinya, Islam mengatur pula urusan keduniaan (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, dsb).

Karena itulah Allah SWT memerintah kita agar ber-Islam secara kaffah (total):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semuanya ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh nyata kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Menurut Imam al-Jazairi, dalam ayat ini Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang Mukmin dengan memerintah mereka agar masuk Islam secara total. Tidak boleh memilah-milah dan memilih-milih syariah dan hukum-hukum-Nya. Dalam arti (tidak boleh) syariah yang sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka terima dan mereka amalkan. Sebaliknya, syariah yang bertentangan dengan kepentingan dan hawa nafsu mereka, mereka tolak serta mereka tinggalkan dan campakkan (Al-Jazairi, Asyar at-Tafasir, 1/97).

Dengan demikian normalnya kaum Muslim hidup diatur hanya oleh syariah Islam. Inilah kehidupan yang dijalani oleh umat Islam selama tidak kurang dari 14 abad. Terhitung sejak zaman Baginda Nabi Muhammad saw. (sejak beliau mendirikan Daulah Islamiyah) hingga era Kekhilafahan Islam (Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, Khilafah Abasiyah dan Khilafah Utsmaniyah). Baru setelah Khilafah Utsmaniyah diruntuhkan pada tahun 1924 oleh Mustafa Kamal Attaturk—seorang sekular-radikal—yang didukung oleh Inggris, kehidupan kaum Muslim diatur oleh hukum-hukum Barat sekular. Tidak lagi diatur oleh syariah Islam, kecuali dalam urusan privat seperti ibadah ritual, pernikahan dan waris. Kondisi abnormal bagi kaum Muslim ini terus berlangsung hingga hari ini.

‘New-Abnormal’

Penerapan hukum-hukum Barat sekular atas kaum Muslim di seluruh dunia—yang menggantikan syariah Islam—tentu  adalah kecelakaan sejarah. Setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama: Faktor internal, yakni kemunduran Khilafah Utsmaniyah hingga berakhir dengan keruntuhannya. Kedua: Faktor eksternal, yakni kebangkitan Barat—dengan Kapitalisme-sekularnya—yang dibarengi dengan nafsu penjajahannya atas dunia, khususnya Dunia Islam. Penjajahan Barat tak hanya bermotif ekonomi (menguras kekayaan negara-negara jajahan). Penjajahan Barat juga bertujuan politik, yakni penyebaran dan penerapan akidah sekularisme—dengan kapitalisme dan demokrasinya—atas dunia, khususnya Dunia Islam. Selebihnya, penjahahan Barat juga dimanfaatkan untuk memuluskan misi kristenisasi di negara-negara terjajah, khususnya di Dunia Islam. Karena itulah penjajahan Barat identik dengan gold, glory dan gospel.

Sayang, ketidaknormalan (abnormalitas) kehidupan kaum Muslim yang telah berlangsung nyaris satu abad ini tak banyak disadari oleh umat Islam sendiri. Seolah-olah hidup di bawah naungan Kapitalisme global saat ini adalah normal. Seolah-olah kehidupan sekular—yang menihilkan peran agama (Islam) dalam mengatur kehidupan—bagi kaum Muslim saat ini adalah wajar. Seolah-olah kehidupan yang tidak diatur oleh syariah Islam saat ini bukan sesuatu yang abnormal.

Padahal jelas, bagi kaum Muslim, kehidupan sekular saat ini—yang tidak diatur oleh syariah Islam secara kaffah—adalah kehidupan yang tidak normal. Karena itu jika pasca karantina, bahkan pasca Corona, kaum Muslim tetap berkutat dengan sekularisme—yakni tetap menerapkan sistem kapitalisme-demokrasi—maka mereka sesungguhnya sedang menuju ‘new-abnormal’ (ketidaknormalan baru). Pasalnya, kehidupan sekular pasca Corona akan jauh lebih buruk. Sebabnya, Kapitalisme global telah gagal. AS—sebagai kampiun negara kapitalis—adalah contoh terbaik dalam hal ini.

Pandemi Corona (Covid-19) benar-benar menyingkap kebobrokan AS dengan Kapitalisme globalnya.

Di bidang kesehatan, misalnya, hampir seperempat orang dewasa AS tidak memiliki akses tunjangan medis. AS pun tidak punya rencana komprehensif untuk menanggulangi Corona. Karena itu dikhawatirkan penyebaran virus Covid-19 pada musim gugur 2020 mendatang akan berakhir menjadi musim dingin tergelap sepanjang sejarah modern.

Di bidang ekonomi, Gubernur Bank Sentral, Federal Reserve, Jerome Powell dan Menkeu Steven Mnuchin memberikan gambaran suram kehancuran ekonomi akibat pandemi.

Di bidang sosial, pandemi ini juga kian menyingkap rasisme sistemik yang mendera AS. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, 40 persen rumah tangga kulit hitam dan hampir 50 persen rumah tangga hispanik bermasalah dalam membayar tagihan dibandingkan dengan 21 persen rumah tangga kulit putih (Rand.org, 3/6/20).

Ironisnya, saat mayoritas penduduk AS menghadapi masalah ekonomi, kelompok terkaya justru diuntungkan. Laporan Americans for Tax Fairness menyebutkan kekayaan bersih miliuner AS tumbuh 15% dalam dua bulan lockdown hingga bertambah US$434 miliar (setara Rp 6.500 triliun).

Inilah kondisi abnormal yang dialami AS—juga umumnya negara-negara Barat—dengan Kapitalisme globalnya. Boleh jadi, pasca Corona, AS dan Eropa sesungguhnya sedang menuju ‘new-abnormal’. Bukan new-normal. ‘New-Abnormal’ ini sangat mungkin dialami oleh banyak negara di dunia. Termasuk negeri ini. Apalagi pasca Corona, banyak pengamat memprediksi bakal terjadi resesi global yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan berbagai krisis yang pernah dialami dunia sebelumnya. Tentu selama dunia tetap ada di bawah ideologi sekular, yakni Kapitalisme global, sebagaimana saat ini.

Kembali ke Ideologi Islam

Ideologi (Arab: mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hanya ada tiga di dunia ini yang layak disebut sebagai ideologi: Islam, Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme.

Sosialisme-Komunisme adalah ideologi yang didasarkan pada akidah materialisme. Materialisme memandang alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan materi belaka. Materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial. Karena itu tak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk) (Ghanim Abduh, 2003: 3).

Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya ateis (mengingkari Tuhan). Bahkan penganut ideologi Sosialisme-Komunisme—yang lahir dari akidah materialisme ini—memandang keyakinan terhadap Tuhan (agama) berbahaya bagi kehidupan. Dalam bahasa Lenin (1870-1924), keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan "minuman keras" spiritual.

Itulah mengapa para penganut ideologi Komunisme sangat memusuhi agama. Karena itu jika hari ini ada sekelompok orang yang selalu memusuhi agama (Islam) boleh jadi mereka sudah terasuki oleh paham komunis.

Berikutnya ideologi Kapitalisme. Dasarnya adalah akidah sekularisme. Sekularisme adalah paham yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Artinya, sekularisme mengakui keberadaan agama, tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan manusia. Yang punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri.

Secara historis, sekularisme adalah "jalan tengah" yang lahir di Eropa pasca Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Dari sekularisme inilah lahir ideologi Kapitalisme yang diterapkan di Eropa, lalu AS. Melalui imperalisme Barat, Kapitalisme kemudian dipaksakan untuk diterapkan di berbagai negara di dunia, termasuk negeri ini.

Adapun ideologi Islam dasarnya adalah akidah Islam. Akidah Islam meyakini keberadaan Tuhan (Allah SWT) sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia dengan syariah-Nya (QS al-An’am [6]: 57). Manusia hanya sekadar pelaksananya saja.

Alhasil, dunia yang normal sesungguhnya adalah dunia yang diatur hanya oleh syariah Islam. Karena itu bagi kaum Muslim, new-normal adalah saat mereka kembali ke pangkuan ideologi Islam, yakni saat mereka kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan malah mempertahankan sekularisme.  Apalagi sekularisme-radikal yang pasti hanya menghasilkan kehidupan ‘new-abnormal’. []

—*—

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []

—*—

Download File PDF:
http://bit.ly/kaffah146

Panglima termuda dalam Islam

USAMAH ibn Zaid termasuk sahabat kesayangan Rasulullah SAW. Dia dijuluki al-Hibb ibn al-Hibb yang berarti kekasih putra kekasih. Usamah lahir dan tumbuh di Makkah, tidak ada keyakinan dan kepercayaan yang ia kenal selain Islam. Nabi sangat mencintai dan sudah menganggapnya bagian dari keluarga besar beliau. Karena hubungan baik antara Nabi dan Zaid ibn Haritsah, ayah Usamah.


Rasulullah pernah bersabda, “Orang yang paling kucintai –selain Fatimah– adalah Usamah. Tak ada lagi selain keduanya.” Maksudnya, dari putra-putri beliau. Nabi juga pernah berkata, “Usamah ibn Zaid benar-benar orang yang paling kucintai.”


Ibu Usamah bernama Ummu Ayman, seorang budak kulit hitam asal negeri Habasyah, bekas budak yang sangat dekat dengan Rasulullah. Tak heran jika Nabi memperlakukannya dengan sangat baik, sampai kemudian membebaskannya dari status budak.



Usamah tumbuh dalam lingkungan rumah tangga Nabi, meski kala itu dakwah Islam baru tumbuh dan Nabi sering diintimidasi kaum Quraisy. Tetapi Nabi tidak pernah membiarkan Usamah tanpa pengawasan, hal ini membuktikan kecintaan betapa beliau sangat mencintai dan menyayangi Usamah. Usamah di hati beliau tak ubahnya Hasan dan Husain, Nabi sering memangkunya bersama dua cucu beliau itu.


Suatu hari Usamah pernah tergelincir di ambang pintu dan jatuh tersungkur, keningnya terluka. Nabi kasihan kepadanya lalu menyuruh Aisyah untuk mengusap darahnya. Aisyah menolak karena jijik. Lalu Nabi mendekati Usamah, menyesap darah luka tersebut sampai Usamah tidak lagi kesakitan.


Zaid ibn Haritsah gugur sebagai syahid dalam perang Mut’ah, Usamah pun terbujur kaku di hadapan Rasulullah. Beliau pun memeluk Usamah.


Usamah pun semakin tumbuh dewasa, menjadi pemuda yang kuat dan kekar. Begitu pula halnya dengan kecintaan Usamah kepada Nabi. Nabi terus mengawasi Usamah agar tidak jatuh kepada perbuatan yang tidak baik, Nabi juga tidak segan menegur dengan keras jika melihat Usamah melakukan sesuatu yang tidak baik.


Usamah pernah mengejar seorang laki-laki musyrik. Saat didapatinya, Usamah langsung mengangkat tombaknya. Laki-laki itupun ketakutan sambil cepat-cepat mengucap syahadat. Tetapi Usamah berpikir bahwa itu hanya siasat agar selamat. Usamah pun tetap membunuhnya.


Ketika kabar itu sampai kepada Nabi, beliau sedih. Beliau sama sekali tidak menyukai perbuatannya itu.


“Celaka kau, Usamah!” bentak Nabi. “Bagaimana kau bisa membunuh orang yang mengucap syahadat?” Nabi terus mengulang kata-kata itu, dan membuat Usamah cemas.


Ketika Nabi terbaring sakit –yang akhirnya beliau wafat– Usamah menginjak usia delapan belas tahun, sudah matang sebagi laki-laki.


Nabi memandang Usamah memiliki kemampuan dan keberanian untuk membawa bendera pasukan. Ia dipilih Nabi untuk memimpin pasukan ke Mut’ah –tempat dulu ayahnya gugur sebagai syuhada–


Sebagian sahabat pun merasa keberatan dengan penunjukan Usamah, mereka pikir Usamah masih terlalu muda untuk tugas ini. Karena masih banyak sahabat dari kalangan Anshar maupun Muhajirin.


Kabar keberatan para sahabat pun sampai kepada Nabi, beliau marah besar. Dalam sakitnya, beliau memaksakan keluar dan menjelaskan bahwasannya penunjukan itu atas kehendak Nabi, jika para sahabat membantah penunjukan itu, berarti mereka membantah penunjukan ayahnya yang dulu sebagai panglima perang. Pesan itupun terus diulang-ulang agar orang-orang mau menjalankan kepemimpinan dan misi Usamah sebagai panglima.



Tak lama setelah itu, sakit Rasulullah pun semakin parah.


Saat pasukan Usamah bergerak meninggalkan Madinah, tersiar kabar kondisi Nabi memburuk hingga pada akhirnya beliau wafat.


Usamah menangis di makam Rasulullah, ia begitu kehilangan. Namun, Usamah sudah memenuhi harapan Rasulullah sebagai panglima perang. Para sahabat pun begitu menghormati Usamah karena melihat posisinya di sisi Rasulullah. []


Sumber: Sahabat-Sahabat Cilik Rasulullah, karya Dr. Nizar Abazhah, terbitan Dar al-Fikr, Damakus: 2009., hal. 111, 112, 113, 114, 115, 115, 116, 117, 118.


Kamis, 18 Juni 2020

Khilafah Bukan Ancaman

Rokhmat S. Labib: Khilafah Bukan Ancaman

Pengantar Redaksi:
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Itulah yang ditegaskan oleh
Allah SWT dalam al-Quran (QS al-Anbiya’ [29]: 107). Syariah dan Khilafah adalah bagian terpenting dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin itu. Karena itu tak ada rahmatan lil ‘alamin tanpa Islam, tak ada Islam tanpa syariah dan tak ada syariah tanpa Khilafah sebagai institusi pelaksananya. Persoalannya, sampai hari ini, masih saja ada kalangan Muslim yang salah paham atau berpaham salah. Sebagian mereka justru menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman yang seolah-olah bertentangan dengan konsep Islam rahmatan lil ‘alamin.

Mengapa itu bisa terjadi? Mengapa syariah dan Khilafah dituduh sebagai ancaman, padahal keduanya merupakan bagian dari ajaran Islam? Mengapa pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) baru-baru ini mengadakan kampanye Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Apa latar belakang kampanye tersebut? Seiring dengan itu, mengapa pula HTI mengadakan Muktamar Tokoh Umat pada Bulan Rajab ini? Apa latar belakang dan tujuannya?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi kembali mewawancarai Ketua DPP HTI, Ustadz Rokhmat S. Labib.

Apa latar belakang HTI mengadakan kampanye Islam Rahmatan Lil ‘Alamin?

Kampanye ini bagian dari upaya kita untuk membangun opini umum di tengah masyarakat tentang syariah dan Khilafah. Ini kita lakukan dalam di setiap momentum dan kesempatan. Tak ada pembicaraan kecuali kita sampaikan tentang syariah dan Khilafah. Apalagi pada bulan Rajab, sengaja lebih kita gencarkan. Rajab kita pilih karena pada bulan inilah Khilafah Islam dibubarkan oleh Musthafa Kemal. Kita ingin mengingatkan memori umat tentang Khilafah.

Alhamdulillah, kesadaran dan persetujuan umat terhadap syariah dan Khilafah terus meningkat. Memang, masih ada saja penolakan, baik karena belum paham, salah paham, atau berpaham salah; juga karena terpengaruh oleh propaganda Barat yang tak henti menghalangi tegaknya Khilafah.

Di antara sekian banyak alasan penolakan, ada yang aneh. Menolak syariah dan Khilafah, tetapi menjadikan jargon sebagai alasannya. Jargon yang digunakan adalah Islam rahmatan lil ‘alamin. Karena rahmatan lil ‘alamin, menurut mereka, umat Islam harus menebarkan kasih sayang dan kedamaian kepada semua orang, termasuk orang-orang kafir. Islam rahmatan lil ‘alamin dipahami sebagai sikap moderat, toleran dan menjauhi kekerasan.
Bertolak dari pemahaman tersebut, ajaran Islam yang dianggap keras tidak boleh ditonjolkan. Kalau perlu, ditafsirkan ulang agar sejalan dengan karakteristik Islam yang moderat, toleran dan anti kekerasan itu. Karena itu jihad tidak boleh dimaknai perang, tetapi dikembalikan pada makna literalnya: bersungguh-sungguh. Berbagai hukum hudûd dan jinâyah, penerapan syariah dalam negara, dan lain-lain juga tidak boleh diterapkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin.

Pemahaman ini tentu harus ditolak. Bagaimana mungkin perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah yang telah diwajibkan oleh syariah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i lalu dianggap bertentangan dengan ide Islam rahmatan lil alamin? Tidak mungkin di dalam al-Quran ada pertentangan dan kontradiksi. Jika ada kontradiksi yang tidak bisa didamaikan, pasti ada yang salah.

Oleh karena itu, kita merasa perlu untuk meluruskan kesalahan ini dengan membuat kampanye yang menjelaskan makna yang benar tentang Islam rahmatan lil ‘alamin, yang erat kaitannya dengan penegakkan syariah dan Khilafah. Bertemulah dua kepentingan. Kepentingan untuk mengkampanyekan ide syariah dan Khilafah yang menjadi agenda utama perjuangan kita dan kepentingan untuk merespon gagasan salah yang sudah terlanjur beredar di tengah masyarakat.

Pesan apa yang diusung dalam kampanye itu dan apa targetnya?

Pesan utamanya kita ingin menegaskan bahwa syariah dan Khilafah bukanlah ancaman bagi negeri ini. Sebaliknya, keduanya justru merupakan solusi bagi negeri ini yang dirundung aneka masalah. Inilah solusi yang pasti benar dan adil karena berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil. Ini pula solusi yang akan melahirkan rahmat bagi seluruh alam.
Targetnya adalah semakin banyaknya umat yang setuju dan mendukung syariah dan Khilafah, bahkan tidak ragu-ragu ikut berjuang untuk menegakkannya. Masak umat masih percaya saja dengan demokrasi dan liberalisme yang terbukti membuat negeri ini makin terpuruk dan terjajah.

Bagaimana mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin itu di era modern ini?

Ya, terapkan saja syariah secara kâffah dalam naungan Khilafah. Hanya itu satu-satunya cara agar Islam mewujud menjadi rahmatan lil ‘alamin. Ini berlaku di semua zaman, mulai Islam diturunkan hingga akhir zaman.

Mengapa harus penerapan syariah?

Karena rahmatan lil ‘alamin itu adalah hikmah dari syariah secara keseluruhan dan sebagai satu-kesatuan. Ini ditegaskan dalam QS al-Anbiya’ ayat 107: Wamâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn. Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini menunjukkan bahwa syariah datang untuk menjadi rahmat bagi hamba. Hanya saja, keberadaan syariah sebagai rahmat itu adalah natîjah (hasil) dari syariah yang diterapkan. Konsekuensinya, syariah hanya akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin manakala diterapkan secara keseluruhan. Tidak boleh parsial. Jika hanya sebagian, rahmatan lil ‘alamin sebagai nâtijah-nya tidak akan terwujud.

Perlu ditegaskan, rahmatan lil ‘alamin itu bukan ‘illah atau faktor penyebab syariah diturunkan. Dengan demikian terwujud atau tidaknya rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan tidak mempengaruhi status kewajiban mengambil dan menerapkan syariah secara kâffah. Kewajiban mengambil dan menerapkan syariah ditegaskan dalam banyak nash lainnya. Di antaranya dalam QS al-Baqarah ayat 208: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]dkhulû fî as-silm kâffah (Wahai kaum beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya). Menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan Rasul-Nya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahnya, dan meninggalkan semua larangannya, selama mereka mampu mengerjakannya.”

Lalu mengapa harus Khilafah?

Karena ath-tharîqah asy-syar’iyyah al-wahîdah (metode syar’i satu-satu) untuk menerapkan syariah adalah Khilafah. Khilafah adalah institusi pelaksana syariah. Ini telah banyak diterangkan oleh para ulama mu’tabar. Imam Abu al-Qasim al-Naisaburi, misalnya, ketika menerangkan Surat an-Nur ayat 2 dalam tafsirnya berkata, “Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan pada firman-Nya: Fajlidû (Karena itu cambuklah) adalah imam (khalifah). Karena itulah mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah). Sebabnya, jika suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”

Oleh karena itu, hanya dengan Khilafah semua kewajiban syar’i dapat diterapkan. Tanpa Khilafah, sebagaimana saat ini, banyak sekali hukum syariah tidak bisa ditegakkan. Dengan demikian untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, mutlak harus ada Khilafah yang menegakkan syariah secara kâffah.
HTI juga menyelenggarakan acara Muktamar Tokoh Umat (MTU)1437 H secara serentak di lebih dari 60 kota di Indonesia.

Apa relevansi acara tersebut dengan kampanye Islam rahmatan lil ‘alamin?

Seperti tadi saya katakan, semua itu adalah bagian dari upaya kita membangun opini umum tentang syariah dan Khilafah. Perlu kami tegaskan, upaya ini dilakukan sebagai bentuk ittibâ’ (mengikuti) Rasulullah saw. Dalam mendirikan dawlah, ada sejumlah langkah yang ditempuh Rasulullah saw. yang sifat baku. Langkah ini termasuk hukum syariah yang wajib dikerjakan.

Di antaranya adalah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan membangun opini umum. Cara yang ditempuh berbagai macam. Beliau mengumpulkan penduduk Makkah di Bukit Shafa, mengumpulkan para sahabatnya dengan membentuk dua barisan mengelilingi Ka’bah, mengundang para kerabatnya, menyampaikan Islam di pasar-pasar, di sekitar ka’bah, dan tempat keramaian lainnya.

Ini pula yang kita teladani. Kita juga mengadakan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun opini umum. Hanya uslûb atau caranya disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kita mengadakan pawai, demonstrasi, diskusi, seminar, tabligh akbar, konferensi, muktamar, dan berbagai kegiatan umum lainnya.
Nah, dalam rangka itulah kita melakukan kampanye Islam rahmatan lil ‘alamin. Dalam konteks ini pula Muktamar Tokoh Umat kita adakan. Temanya sama dengan tema kampanye kita, yakni “Syariah dan Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin”.

Apa bedanya acara MTU yang diadakan dengan muktamar-muktamar yang sudah sering digelar sebelumnya?

Prinsipnya sama. Yang membedakan hanya bentuk kegiatan, penekanan tema, peserta yang diundang, dan hal-hal teknis lainnya. Namun, esensi dan tujuannya sama, yakni mendakwahkan Islam; secara spesifik, mengopinikan syariah dan Khilafah di tengah umat.

Untuk Muktamar Tokoh Umat, sebagaimana namanya, kita mengundang para tokoh umat dari berbagai kalangan. Tujuannya, agar syariah dan Khilafah diterima oleh mereka, menjadi cita-cita mereka, bahkan tuntutan mereka. Ketika umat dan para tokohnya bersatu menuntut syariah dan Khilafah ditegakkan, siapa yang bisa menghadang?

Sekuat apa pun rezim penguasa, jika rakyatnya sudah melepaskan dukungan, dia akan lemah dan ringkih. Apalagi tuntutan umat ini mendapatkan dukungan dari ahlul-quwwah, pemilik kekuatan yang sesungguhnya, maka tidak sulit mencabut kekuasaannya. Tentu semua itu terjadi atas izin Allah SWT.

Mengapa acara ini dirancang demikian? Apa arti strategis acara ini?

Asumsinya, setiap tokoh memiliki massa. Setidaknya, memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Suara dan sikapnya didengar oleh umat. Minimal di tempat dan komunitasnya. Oleh karena itu, yang kita undang dalam MTU ini adalah para tokoh umat dari berbagai kalangan dan komunitas. Ada ulama, kiai, dan asatidz yang menjadi rujukan dan panutan umat. Ada intelektual dan cendekiawan yang suaranya banyak didengar. Ada juga para pengurus ormas-ormas Islam, birokrat, tokoh muslimah, mahasiswa, dan lain-lain. Tak terkecuali, kita juga mengundang aparat keamanan dan militer.

Kita berharap, berkumpulnya para tokoh dalam muktamar ini dapat mempercepat tegaknya Khilafah. Ketika para tokoh tersebut menyatakan dukungannya terhadap syariah dan Khilafah, kita berharap dapat berpengaruh terhadap massanya. Bayangkan, kalau masing-masing mereka bisa menularkan pengaruhnya kepada 100 orang saja, maka tinggal dikalikan. Jika yang hadir di MTU di seluruh Indonesia sekitar 30 ribu orang, berarti kegiatan ini mampu memberikan pengaruh terhadap 3 juta orang. Padahal di antara mereka banyak ulama yang memiliki jumlah muhibbîn (pengikut) yang lebih dari itu.

Oleh karena itu, muktamar ini amat strategis. Jangan hanya dilihat berapa orang yang datang, tetapi lihatlah berapa banyak orang yang akan terpengaruh setelah muktamar ini selesai.

Jadi harapan HTI khususnya kepada para tokoh dan umumnya umat Islam?

Kita berharap semua tokoh itu mau tergerak hatinya dan ikut berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Demikian pula dengan seluruh umat Islam. Mereka diharapkan sadar bahwa ini adalah kewajiban. Bahkan Khilafah bukan hanya fardhu, tetapi tâj al-furûdh, mahkota kewajiban. Artinya, keberadaan Khilafah ini menjadi penentu bagi terlaksananya semua kewajiban.
Selain itu, toleransi waktu untuk menunaikan kewajiban ini, adâ‘u al-fardh, juga sudah lewat. Sebab, syariah hanya mengizinkan tiga hari umat Islam hidup tanpa Khilafah, sementara kita sudah 94 tahun hidup tanpa Khilafah. Dengan begitu, tokoh beserta umatnya diharapkan mau berjuang lebih semangat, serius dan bersungguh-sungguh.

Kita tentu sangat senang jika para tokoh itu mau bergabung dengan Hizb untuk berjuang bersama. Sebab, semakin banyak yang bergabung dalam barisan kita, apalagi para tokoh, tentu semakin membuat barisan kita menjadi lebih besar dan kuat.
Akan tetapi, jika tidak mau bergabung, kita berharap para tokoh tidak tinggal diam. Mereka berjuang di tempat masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. Meski berbeda organisasinya, suaranya tetap sama: syariah dan Khilafah.

Selain para tokoh beserta umatnya, kunci tegaknya Khilafah yang paling menentukan adalah dukungan para ahlul-quwwah, para pemilik kekuatan riil. Merekalah para panglima tentara dan perwira militer. Dengan kekuatannya, mereka bisa mengambil dan menyerahkan kekuasaan. Kita berharap, mereka bersedia meneladani Saad bin Muadz, pemimpin kabilah di Madinah, yang menyerahkan kekuasaannya Rasulullah saw. Jika mereka mengikuti jejaknya, insya Allah mereka akan mendapatkan pahala yang besar dan surga yang penuh dengan kenikmatan. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2016/04/29/rokhmat-s-labib-khilafah-bukan-ancaman/

Rabu, 17 Juni 2020

NEGARA KHILAFAH

NEGARA KHILAFAH

Apakah Negara Khilafah mempunyai model baku dari Nabi saw.? Atau model Negara Khilafah hanya rekaan para sahabat semata?

Jawab:

Pertama: Khilafah adalah penerus Negara Islam yang didirikan oleh Nabi saw. Ini dijelaskan oleh beliau:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ...

Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).

Hadis Nabi saw. ini menjelaskan bahwa Negara Islam yang didirikan Nabi saw. adalah negara nubuwwah, yang eranya berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Setelah Nabi saw. wafat, Negara Islam dilanjutkan oleh Khilafah yang mengikuti manhâj  nubuwwah. Nabi saw. sendiri menggunakan istilah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah untuk menjelaskan bahwa Khilafah ini adalah negara yang melanjutkan apa yang telah dibangun dan diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat baru sama sekali. Apalagi dituduh bahwa ini adalah negara hasil rekaaan para sahabat.

Penggunaan istilah Khilâfah adalah untuk menjelaskan bahwa negara ini mengganti atau melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi saw. Istilah ‘ala Minhâj an-Nubuwwahjuga digunakan untuk menjelaskan bahwa negara ini benar-benar hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat yang baru.

Kedua: Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat pengganti Nabi saw. (Khalifah) yang mengurus urusan agama dan dunia. Ini sebagaimana yang mereka lakukan di Saqifah Bani Sa’idah sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar. Beliau lalu dibaiat di Masjid Nabawi sebagai khalifah (pengganti Nabi saw.) yang pertama, yang mengurus urusan agama dan dunia.

Karena itu para ulama sepakat mendefisinikan Khilafah dengan istilah:1

الإِمَامَةُ [الخِلاَفَةُ] مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

Imamah [Khilafah] diadakan untuk menggantikan kenabian dalam urusan menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.

Dari Hadis Nabi saw., Ijmak Sahabat dan pendapat para ulama ini sebenarnya sudah jelas, bahwa Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas.

Hanya saja, masih ada yang mempertanyakan, jika memang Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas, mengapa para sahabat berselisih saat Nabi saw. wafat? Mengapa mereka tidak sepakat terhadap proses pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali bahkan sampai Muawiyah melakukan perebutan kekuasaan?

Dalam hal ini harus dibedakan antara uslûbdan tharîqah dalam pengangkatan Khalifah. Suksesi kepemimpinan dari Nabi saw. ke Abu Bakar dilakukan dengan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah adalah uslûb. Begitu juga suksesi kepemimpinan dari Abu Bakar ke ‘Umar. Yang dilakukan Abu Bakar adalah meminta pendapat penduduk Madinah, setelah terkumpul dan diketahui bahwa orang yang mereka inginkan menggantikan Abu Bakar adalah ‘Umar maka sebelum wafat, beliau pun memberikan wasiat kepada Umar. Begitu pun suksesi kepemimpinan dari ‘Umar ke ‘Ustman. Saat itu ada penunjukan lima  orang ditambah ‘Abdullah bin ‘Umar. Kemudian mereka melakukan musyawarah hingga terpilih ‘Utsman. Begitu juga suksesi kepemimpinan dari ‘Utsman ke ‘Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh militer kepada ‘Ali di Masjid Nabawi. Semua ini adalah bagian dari uslûb (perkara teknis), yang memang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun, meski uslûb-nya berbeda-beda, semuanya berpegang teguh pada satutharîqah (metode baku), yaitu baiat. Karena itu tidak satu pun khalifah yang terpilih dan diangkat menjadi khalifah kaum Muslim, kecuali pasti dibaiat. Dalam hal ini baiat tersebut ada dua: Pertama, baiat pengangkatan (in’iqâd). Kedua, baiat ketaatan (thâ’ah).

Dengan demikian jelas, Negara Islam atau Negara Khilafah mempunyai bentuk baku, termasuk dalam masalah suksesi kepemimpinan.

Memang dalam praktik pengambilan baiat tersebut ada yang tepat dan ada yang menyalahi aturan. Namun, ini masalah human error dan tidak ada kaitannya dengan sistem Islam atau sistem pemerintahannya itu sendiri karena sistemnya sudah jelas dan baku.

Sebagai contoh, kesalahan Muawiyah saat mengambil baiat dari umat untuk Yazid bin Muawiyah, yang dilakukan dengan menggunakan senjata dan harta. Ini jelas merupakan human error. Begitu seterusnya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Khilafah Bani Umayah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Karena itulah Nabi saw. mengisyaratkan dengan istilah, “mulk[an] ‘adhdh[an]” (kekuasaan yang mengigit/zalim).2

Ketiga: Dari aspek bentuk negara, sistem pemerintahan dan struktur, negara yang dibangun oleh Nabi saw. dan diwariskan kepada para sahabat juga jelas. Negara Khilafah adalah negara kesatuan, bukan federasi atau commenwealth. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda. Khilafah juga bukancommenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh Khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni.

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi. Sistem Khilafah dipimpin oleh Khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum (manusia setengah dewa), sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan Khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.

Struktur Khilafah pun unik. Masing-masing telah dinyatakan dan dicontohkan dalam Sunnah Nabi saw.3

Khalifah.

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah.4

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Rasulullah saw. serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Rasulullah saw.5

Mu’âwinûn at-Tafwîdh.

Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syariah.6

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw., “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika dia lupa, wazîr itu akan mengingatkan dia. Jika dia ingat, wazîr itu akan membantu dia.” (HR at-Tirmidzi).

Wuzarâ’ at-Tanfîdz.

Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan.7

Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi saw. (untuk kaum Yahudi) dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).

Wali (Gubernur).

Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73).

Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah saw. mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Amîrul Jihâd.

Departemen Peperangan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd. Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86).

Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib. Jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah. Jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”

Departeman Keamanan Dalam Negeri.

Departeman Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika Kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).

Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).

Departemen Luar Negeri.

Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Beliau mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).

Departemen Perindustrian.

Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian, baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106).

Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (QS al-Anfal [8]: 60) yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan.

Kedua, as-Sunnah. Rasulullah saw. pernah memerintahkan pendirian industry manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata, “Sungguh Nabi saw. menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”

Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un](Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82).

Peradilan.

Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109).

Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini ada dalilnya dalam as-Sunnah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117). Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qâdhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qâdhi(hakim).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373).

Kemaslahatan Umum.

Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).

Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara. Oleh karena itu perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).

Baitul Mal (Kas Negara).

Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim (Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15). Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Rasulullah saw. kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Khulafaur Rasyidin sesudah beliau juga kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.

Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135).

Penerangan.

Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 83) dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah, “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).

Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143).

Majelis Umat.

Majelis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Rasulullah saw. terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka (An-Nabhani, Muqaddi-mah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147).

Khatimah

Dengan demikian Negara Khilafah adalah negara yang sangat jelas bentuk, sistem pemerintahan dan strukturnya. Karena itu hanya orang yang buta saja yang tidak bisa melihatnya, atau dibutakan mata hatinya oleh Allah SWT, sehingga tidak mau tahu ajaran agamanya. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman MA]

Catatan kaki:

Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mesir, al-Wathan, 1298 H, hal. 3; ar-Ramli, Niyahatu al-Muhtaj, Syarah al-Minhaj, VII/389; al-Baidhawi, Mathali’ al-Andhar ‘ala Thawali’ al-Anwar, 228.
Ahmad dari Nu’man bin Basyir.
Struktur Negara Khilafah, bahwa Negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasi memiliki 13 struktur, bisa dilihat dalam kitab: An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 96; Hizb at-Tahrîr, hlm. 82; dan Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 18.
Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20.
Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 114.
Lihat, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55.
An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64.

*Abdullah bin Rawahah, Teladan Pemimpin Masa Depan yang Memiliki Banyak Keutamaan*

*Energizer Sahur #025*

*_Tomorrow is Senin_*
*_Senin is Fasting Time_*
*_Shaum is Back Again_*
*_Yeaaaaay_*

🍽️🍽️🍽️🍽️🍽️🍽️🍽️

*Abdullah bin Rawahah, Teladan Pemimpin Masa Depan yang Memiliki Banyak Keutamaan*

Figur kali ini adalah tentang seorang shahabat Anshar yang memiliki banyak keutamaan. Nama beliau adalah Abdullah. Beliau berkuniah Abu Muhammad, atau dikenal pula sebagai Abu Rawahah. Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Rawahah bin Tsa'labah bin Imri-il Qais bin Amr bin Imri-il Qais Al Akbar bin Malik bin Kaab bin Khazraj bin Al Haris Al Anshari Al Khazraji.

Ibu beliau bernama Kabsyah bintu Waqid bin Amr bin Al Ithnabah dari Bani Al Haris bin Al-Khazraj. Beliau memiliki saudari seayah dan seibu, bernama 'Amrah bintu Rawahah, ibu dari An Nu'man bin Basyir.

Dengan ini maka Abdullah bin Rawahah adalah paman An Nu'man bin Basyir dari jalur ibu.

Beliau adalah shahabat yang turut serta dalam berbagai peristiwa penting dalam Islam. Di antara peran penting Abdullah adalah keikutsertaan dalam bai'at 'Aqabah pertama menjadi salah satu dari dua belas orang yang menyatakan keIslaman dalam baiat tersebut. Beliau juga ikut serta pula dalam peristiwa baiat kedua.

Demikian pula peran penting beliau sebagai pendahulu dalam keislaman. Beliau memang salah seorang pendahulu Islam (assabiqunal awwalun). Termasuk shahabat yang pandai membaca dan menulis serta membuat syair.

Diketahui bahwa beliau adalah salah seorang juru tulis Nabi, dan beliau memiliki syair-syair yang berisi pembelaan terhadap Nabi dan Islam. Beliau, Hassaan bin Tsabit dan Kaab bin Malik dikenal sebagai para ahli syair Rasulullah di waktu itu. Rasulullah mempersaudarakan beliau dengan Al Miqdad bin Al Aswad.

*Semangat Ibadah*

Beliau adalah seorang ahli ibadah, seorang mujahid, yang banyak melakukan puasa dan salat. Diantara pujian Rasulullah kepadanya adalah sabda beliau:

رَحِمَا اللَّهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَة إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِي تَتَبَاهَى بِهَا الْمَلَائِكَةَ

"Semoga Allah merahmati Abdullah bin Rawahah, sungguh dia mencintai majelis-majelis yang para malaikat berbangga dengan majelis tersebut." [H.R. Ahmad]

Perhatikan kisah yang disebutkan oleh Abu Darda' berikut ini:

Abu Darda' pernah berkata, 'Aku berlindung kepada Allah untuk datang kepadaku satu hari tanpa mengingat Abdullah bin Rawahah. Dahulu apabila beliau bertemu denganku dari depan, beliau menepuk dadaku, di hari besok beliau bertemu denganku dari belakang sambil menepuk antara pundakku. Kemudian beliau berkata kepadaku; 'Wahai Uwaimir, marilah duduk, kita beriman sesaat'. Maka kami pun duduk lalu mengingat-ingat Allah semampu kami, kemudian ia mengatakan, 'Wahai Uwaimir inilah majelis keimanan'".

Diantara pujian Rasulullah juga adalah sabda beliau:

نِعْمَ الرَّجُلِ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَة

"Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Rawahah."

Di antara bentuk ketaatan beliau kepada Rasulullah tampak pada sebuah peristiwa, suatu saat beliau pernah hadir kepada Rasulullah yang sedang berkhutbah. Tiba-tiba Rasulullah berkata kepada yang hadir, "Duduklah kalian", maka Abdullah bin Rawahah pun langsung duduk persis di tempat beliau yang masih berada di luar masjid sampai selesai khutbah. Maka Rasulullah berkata kepadanya, "Semoga Allah menambahkanmu semangat dalam ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya."

Disebutkan oleh Abu Darda' bahwa beliau berkata: Sungguh kami telah bersama Nabi pada sebagian safar beliau, di hari yang sangat menyengat. Sampai-sampai seseorang sampai meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya. Dan tidaklah ada pada rombongan yang berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah." [H.R. Ahmad, Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Darda]

*Mujahid Sejati*

Sejak meletus peperangan antara pasukan muslimin dengan pasukan musyrikin dalam Perang Badar, beliau senantiasa turut andil di dalamnya. Mulai dari kesertaan beliau dalam Perang Badar, dimana setelah kaum muslimin mendapat kemenangan, beliau adalah utusan Rasulullah kepada penduduk Madinah untuk mengabarkan kemenangan kepada mereka dalam perang tersebut.

Beliau juga mengikuti Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar, peristiwa Hudzaibiyah, dan seluruh peristiwa peperangan bersama Rasulullah selain peristiwa Fathu Makkah.

Rasulullah juga pernah mengutus beliau dan pasukan berjumlah 30 penunggang kuda, untuk melakukan penyerangan di Khaibar di bulan Syawal tahun 6 H, untuk melumpuhkan kepemimpinan Usair bin Razim, seorang Yahudi yang mengganti kedudukan Abu Rafi' Salam bin Abil Haqiq.

Di sini tampak kepiawaian beliau dalam memimpin pertempuran yang hanya dengan 30 orang pasukan, beliau dapat membunuh Usair yang berada dalam perlindungan kaumnya. Rasulullah juga pernah menunjuk beliau sebagai wakil yang mengurusi kaum muslimin di Madinah saat beliau pergi berjihad.

*Akhir Kehidupan Yang Mulia Dalam Perang Mu'tah*

Pertempuran Mu'tah adalah pertempuran yang menakjubkan. Padanya ada keajaiban akan kekuasaan Allah atas apapun yang dikehendaki-Nya. Pasukan muslimin saat itu hanya sejumlah 3000 orang sedang kaum kafir berjumlah 200.000 orang.

Tiga orang muslimin berbanding dengan dua ratus orang kaum Nasrani. Sungguh perbandingan yang tidak seimbang.

Abdullah bin Rawahah menjadi panglima perang ketiga yang ditunjuk Rasulullah setelah Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib. Perang ini terjadi tahun ke-8 Hijriyah di bulan Jumadil Ula. Mu'tah sendiri adalah nama sebuah desa di daerah Balqa', wilayah Syam.

Dalam Perang Mu’tah `Abdullah bin Rawahah berpuasa, padahal dia mendapatkan giliran sebagai panglima pasukan. Giliran ketiga setelah Zaid bin Haritsah dan Ja`far ra. ‘Abdullah bin Rawahah, mujahid sejati yang gemar berpuasa berkata, “Saudara-saudara sekalian, kita keluar menuju dua kebaikan; kematian di jalan Allah atau kemenangan dan ketinggian Islam. Demi Zat Yang jiwa ‘Abdullah bin Rawahah ada dalam genggaman-Nya, aku tidak akan kembali dari medan perang ini, hingga aku mati atau Islam mendapatkan kemenangan!”

Sejurus kemudian, dia menghunus pedangnya. Zaid maju ke depan dan terbunuh, disusul oleh Ja`far yang juga mengalami nasib sama. Maka kemudian datanglah giliran `Abdullah bin Rawahah untuk memegang panji-panji La ilaha illallah. Saat itu, matahari bersinar kekuning-kuningan pertanda akan tenggelam. `Abdullah bin Rawahah tetap berpuasa. Dengan tegap, dia kelihatan perkasa di atas punggung kudanya.

“‘Abdullah…!”
“Ja’far telah terbunuh, sekarang giliranmu.”
“Beri aku makanan yang bisa menguatkanku, sebab aku berpuasa,” pinta `Abdullah. Para sahabat memberinya sekerat daging. Ia mengambil dan memakannya. Akan tetapi, daging itu tidak terasa sama sekali demi melihat para sahabat dibanting dan kepala-kepala mereka diinjak-injak kaki kuda.

Dia melihat tubuh Ja`far, paman Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dipotong-potong dan dimakan di hadapannya! Nasib yang sama juga berlaku bagi jasad Zaid bin Haritsah. Sambil menghunus pedang, ‘Abdullah bin Rawahah berteriak keras, “Wahai manusia, apakah kau memotong-motong tubuhnya untuk menghina atau membencinya?!”

Dia segera menghambur ke depan menerjang semua musuh yang berada di atas kuda. ‘Abdullah pun tenggelam dalam peperangan dan terbunuh saat matahari hampir terbenam. Saat itu, Rasulullah mengamati jalannya peperangan dari Madinah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan tabir peperangan yang terjadi di Oman ke hadapan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam, sehingga beliau dapat melihat peperangan dan kekuatan pasukan Islam.

Jalannya pertempuran Mu'tah ini telah dikisahkan sendiri oleh Rasulullah dalam khutbah beliau:

اَلَا اُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ؟ إِنَّهُمْ لَقُوْا الْعَدُوَّ فَأُ صِيْبَ زَيْدٌ شَهِيْدًا، فَالسْتَغْفِرُوْا لَهُ. ثُمَّ أَخَذَ الِّوَاءَ جَعْفَرُ فَشَدَّ عَلَى النَّاسِ حَتَّى قُتِلَ، ثُمَّ اَخَذَهُ ابْنُ رَوَاحَة فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّ أُصِيْبَ شَهِيْدًا. ثُمَّ اَخَذَ الِّوَاءَ خَالِدٌ وَ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْأُمَرَاءِ>> وَرَفَعَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَصَبِعَيْهِ وَقَالَ:  هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ فَانْصُرْهُ... لَقَدْ رَفِعُوا إلَيَّ فِي الْجَنَّةِ

"Maukah kalian aku kabarkan tentang kabar pasukan kalian? Sesungguhnya mereka telah bertemu musuh. Maka Zaid gugur sebagai syahid, mintalah ampunan untuknya. Kemudian panji perang diambil alih oleh Ja'far, ia bertempur dengan sengit sampai syahid juga. Kemudian panji itu diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia mengokohkan kedua kakinya dalam pertempuran itu hingga gugur sebagai syahid. Lalu panji perang diambil oleh Khalid, dan beliau bukan yang ditunjuk sebagai pemimpin. Rasulullah mengangkat dua jari beliau sambil berkata; dia adalah pedang dari pedang-pedang-Mu maka tolonglah dia... sungguh mereka telah diangkat ke tempatku di surga."

🕋🕋🕋🕋🕋🕋

_Masya Allah,  tak ada kisah penyiapan karakter sikap mental pemimpin Islam di sepanjang kisah emas peradaban Islam kecuali di dalamnya ada biah sholihah shaum sunnah dan sholat tahajjud, dhuha dan tadarus..._

_Sungguh, shaum sunnah, tahajjud, dhuha dan tadarus itu bagian yg tak terpisahkan dari biah sholihah pemimpin sejati..._

*Ayo Sumangat karena Allah Swt*
✊✊✊