Rabu, 28 Oktober 2020

CARA MENGUKUR CINTA PADA RASULULLAH

*CARA MENGUKUR CINTA PADA RASULULLAH*

Sahl bin Abdullah berkata:
Tanda cinta pada Allah adalah cinta pada al Quran. Tanda cinta pada Allah dan al Quran adalah cinta pada Nabi صلّى اللّه عليه و سلم. Tanda cinta pada Nabi adalah cinta sunnahnya (jalan hidup dan syariat Nabi). Tanda cinta pada sunnah Nabi adalah cinta akhirat. Tanda cinta akhirat adalah benci dengan dunia. Tanda benci pada dunia adalah tidak menumpuk harta dunia kecuali sekedar untuk bekal menuju kehidupan akhirat. (Asy-Syifa bi Ta'rîf Huqûq al Mushthafa, al 'allamah al Qadhi Abi Fadhl 'Iyadh bin Musa, hal. 504)

Tanda cinta Nabi adalah cinta syariat Islam, menjalankan, mendakwahkan dan tidak menghalangi tegaknya syariat Nabi صلّى اللّه عليه و سلم

Semoga kita termasuk umat Nabi Muhammad yang cinta pada beliau. Dikuatkan menjalankan sunnahnya dan semoga kita juga dicintai Nabi, mendapat syafaatnya dan dikumpulkan di jannah bersama beliau صلّى اللّه عليه و سلم. 
آمين يا رب العالمين

(Wahyudi Ibnu Yusuf)
===

CHANNEL TELEGRAM: 
https://t.me/tsaqofah_id

WEBSITE:
https://tsaqofah.id

*TSAQOFAH.ID*
_Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam_

Follow, like, comment, and share:
https://yubi.id/tsaqofahid
===

Jumat, 16 Oktober 2020

BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 163*28 Shafar 1442 H-16 Oktober 2020 M*SAATNYA KEMBALI PADA HUKUM ALLAH SWT*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 163*
28 Shafar 1442 H-16 Oktober 2020 M


*SAATNYA KEMBALI PADA HUKUM ALLAH SWT*
Siapapun yang jujur pasti akan mengakui bahwa negeri ini makin terpuruk. Nyaris di semua bidang. Tak terkecuali di bidang perundang-undangan. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka) yang baru saja disahkan oleh DPR makin menyempurnakan keterpurukan di bidang perundang-undangan. 

UU Cilaka ini kontroversial.  Memicu pro-kontra. Memacu konflik antara rakyat dan Pemerintah/DPR. Pasalnya, Pemerintah/DPR mengklaim UU ini demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat menuding UU tersebut sangat merugikan mereka dan hanya menguntungkan para pengusaha.

Sebelumnya, ada UU Minerba yang makin memberikan keleluasaan kepada asing dan aseng untuk makin menguasai kekayaan alam milik rakyat. Ada UU KPK yang justru makin melemahkan KPK dan makin ramah terhadap para koruptor, dll. Selain UU, sejumlah RUU pun dinilai bermasalah. Seperti RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), dll. 

Intinya, banyak UU/RUU yang bermasalah. Selain beraroma sekular dan liberal, banyak UU/RUU yang hanya menguntungkan asing dan aseng, memperkuat oligharki kekuasaan dan abai terhadap kepentingan rakyat kebanyakan.


*Pangkal Keterpurukan*
Sesungguhnya pangkal keterpurukan negeri ini adalah penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme meniscayakan penolakan terhadap campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Karena itu dalam sistem sekular, hukum-hukum Allah SWT senantiasa dipinggirkan. Bahkan dicampakkan.

Pilar utama sekularisme adalah demokrasi. Demokrasi meniscayakan hak membuat hukum ada di tangan manusia. Itulah yang disebut kedaulatan rakyat. Karena itu secara teoretis, dalam demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang menentukan hitam-putih, benar-salah, baik-buruk dan halal-haram.

Namun, secara faktual tidaklah demikian. Demokrasi nyaris selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Mereka inilah yang selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat. Dengan demikian rakyat sendiri sesungguhnya tidak memiliki kedaulatan. Akhirnya, kedaulatan rakyat hanya jargon kosong belaka. Pasalnya, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal.

Lihatlah negeri ini. Kekuatan para pemilik modal atau para cukong sering berada di balik pembuatan banyak UU. Para cukong pula yang diyakini berada di balik pengesahan Omnibus Law/UU Cilaka oleh DPR/Pemerintah. UU ini diyakini hanya menguntungkan para cukong yang jumlahnya segelintir dan sebaliknya merugikan mayoritas rakyat. Akibatnya, rakyat sering tertindas justru dalam sistem demokrasi.

Di sisi lain, kedaulatan rakyat—jika pun ada—justru merupakan akar persoalan sekaligus merupakan cacat bawaan demokrasi. Pasalnya, rakyat adalah manusia yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dan godaan setan yang terkutuk. Karena itu dalam demokrasi, menyerahkan timbangan baik-buruk atau halal-haram kepada manusia jelas sebuah kesalahan fatal.

Dengan kedaulatan rakyat sebagai inti, demokrasi mengklaim bahwa segala keputusan hukum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas rakyat. Namun, dalam praktiknya, karena pada faktanya Parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik, yang didukung oleh para pemilik modal, suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang sesungguhnya minoritas. Tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.

Karena itu wajar jika kemudian banyak UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir dari Parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan mereka yang sesungguhnya minoritas itu. Tidak mewakili kepentingan mayoritas rakyat. Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, termasuk Omnibus Law/UU Cilaka dll jelas lebih berpihak kepada para pemilik modal bahkan pihak asing dan merugikan mayoritas rakyat. 


*Kembali pada Hukum Allah SWT*

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

_Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya_ (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini setidaknya mengandung empat pengertian. Pertama: Perintah kepada kaum Mukmin untuk mentaati Allah SWT, Rasul-Nya dan ulil amri yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Menjelaskan makna ayat di atas, Imam as-Sa’di menyatakan: “(Dalam ayat ini) Allah SWT memerintahkan kaum Mukmin untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Tidak lain dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi larangan keduanya.   Allah SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk mentaati ulil amri, yakni para pemimpin manusia baik para amir, penguasa atau para mufti (ulama).  Pasalnya, urusan agama dan dunia mereka tidak akan baik kecuali dengan taat dan tunduk kepada ulil amri. Ini sebagai konsekuensi atas ketaatan kepada Allah harapan untuk meraih ridha-Nya. Dengan syarat, ulil amri tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika ulil amri memerintahkan kemaksiatan kepada Allah SWT, tentu tidak ada ketaatan kepada mereka. Sebabnya, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada _Al-Khaliq_ (Allah SWT)...” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183). 
_Kedua:_ Perintah kepada kaum Mukmin untuk mengembalikan semua urusan—termasuk semua perselisihan, khususnya antara rakyat dan ulil amri—kepada al-Quran dan as-Sunnah (yakni hukum-hukum Allah SWT/syariah Islam). Melanjutkan penjelasan ayat di atas, Imam as-Sa’di menjelaskan: “(Dalam ayat ini) Allah SWT kemudian memerintahkan untuk mengembalikan semua yang diperselisihkan oleh manusia, baik menyangkut pokok-pokok agama (ushuluddin) maupun cabang-cabang agama, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni pada Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya (as-Sunnah). Sebabnya, di dalam keduanya ada solusi/penyelesaian bagi seluruh persoalan yang diperselisihkan…Di atas Kitabullah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya pula tegaknya bangunan agama (Islam) ini...” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183). 
_Ketiga:_ Keharusan mengembalikan semua persoalan kepada Allah SWT (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) merupakan konsekuensi keimanan. Menjelaskan ayat di atas, Imam as-Sa’di melanjutkan: “Mengembalikan (segala persoalan, _red_.) pada al-Quran dan as-Sunnah merupakan syarat keimanan. Karena itulah, pada kalimat selanjutnya Allah SWT menyatakan: …’_jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir’_. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak mengembalikan semua persoalan/perselisihan pada al-Quran dan as-Sunnah bukanlah Mukmin yang hakiki, tetapi Mukmin yang beriman kepada _thaghut_.” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183. Lihat pula: Al-Jazairi, _Aysar at-Tafasir_, 1/274;  asy-Syaukani, _Fath al-Qadir_, 2/166). 
_Keempat:_  Penegasan atas keunggulan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Imam as-Sa’di lalu menutup penjelasan ayat ini dengan menyatakan: “Hal demikian (mengembalikan semua persoalan pada al-Quran dan as-Sunnah, _red._) adalah sikap yang paling baik dan paling bagus. Pasalnya, hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya pastilah hukum terbaik, paling adil dan paling layak bagi manusia baik terkait urusan agama mereka maupun urusan dunia mereka…” (As-Sa’di, _Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan_, 1/183. Lihat pula: Asy-Sya’rawi, _Tafsir asy-Sya’rawi_, 1/1614).


*Syariah Membawa Berkah*

Jelas, mengembalikan semua urusan dan persoalan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kewajiban kaum Mukmin. Artinya, al-Quran dan as-Sunnah wajib dijadikan rujukan kehidupan. Konsekuensinya, semua urusan kehidupan wajib diatur dengan syariah Islam. Apalagi urusan perundang-undangan yang mengatur kehidupan banyak orang. Wajib menggunakan syariah Islam. Ini adalah bukti keimanan setiap Muslim.

Lagi pula, tidak ada yang lebih baik dari syariah Islam. Sebabnya, syariah Islam berasal dari Allah SWT, Pencipta manusia. Pencipta pasti lebih hebat daripada yang dicipta. Pencipta pasti lebih tahu daripada yang dicipta. Apalagi sebagai Pencipta, Allah SWT tidak punya kepentingan apapun dengan syariah-Nya selain demi kemaslahatan manusia. Ini adalah bentuk kasih-sayang-Nya kepada manusia. Sebaliknya, hukum buatan manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsunya dan sarat dengan ragam kepentingan dirinya. Mahabenar Allah Yang berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 

_Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?_  (TQS al-Maidah [5]: 50).  []


*Hikmah:*

Rasulullah saw. bersabda:

«بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا»

_Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan hari yang gelap. (Saat itu) pada pagi hari seseorang beriman, tetapi pada sore harinya ia menjadi kafir. Pada sore hari seseorang beriman, tetapi pada pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamanya dengan harta dunia._
(HR Muslim). []

Kamis, 15 Oktober 2020

Nasihat Jumat oleh Ustad Hafidz Abdurrahman :

Nasihat Jumat oleh Ustad Hafidz Abdurrahman :

Jangan merendahkan diri Anda, keluarga Anda, anak Anda, juga teman-teman Anda sebagai orang yang gagal dalam hidup.

Bagi pengemban dakwah, harus selalu menanamkan keyakinan, "Sukses dalam hidup. Dunia dan akhirat."

Kesulitan hidup, kekurangan, kemiskinan, termasuk masalah rumah tangga dan anak, adalah bagian dari ujian yang harus diatasi dan diselesaikan. Bukan indikasi kegagalan.

Semua orang pernah mengalami kesulitan, hatta Rasulullah dan keluarganya. Tapi, semua diatasi dan diselesaikan dengan baik.

Menyelesaikan kekurangan tidak harus menjadi kaya. Tapi, ridha dan qanaah pada apa yang Allah berikan adalah bagian dari cara mengatasi masalah.

Jangan pernah merasa gagal. Jauhkan pikiran dan perasaan itu dari hidup Anda.

Senin, 12 Oktober 2020

Hanya ‎Islam ‎yg ‎mampu ‎melindungi ‎kaum ‎buruh ‎buletin ‎kaffah ‎edisi ‎162‎

Perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Dalam Islam, ijarah adalah: ‘aqd[un] ‘ala manfa’at[in] bi ‘iwadh[in] (akad/kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan/kompensasi tertentu).

Ijarah (perburuhan) adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain firman Allah SWT:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Jika mereka (mantan istri) menyusui (anak-anak) kalian demi kalian maka berikanlah kepada mereka upahnya (TQS ath-Thalaq [65]: 6).

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan dalil kebolehan upah-mengupah atas suatu jasa.

Terkait ayat di atas, Ibnu Jarir ath-Thabari juga menuliskan: jika mantan istri kalian menyusui anak-anak kalian dengan upah maka bayarkanlah upah mereka sebagai jasa penyusuan terhadap mereka.

Dalil lainnya adalah riwayat dari Ibnu Syihab  bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah mempekerjakan seorang musyrik Quraisy dari Bani Dayl sebagai penunjuk jalan saat keduanya hijrah dari Makkah ke Madinah.

Nabi saw. juga bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang majikan membayar upah buruh manakala telah selesai pekerjaannya. Hadis ini pun menunjukkan bahwa Nabi saw. membolehkan aktivitas ijarah (perburuhan).

Dalil lainnya adalah Ijmak Sahabat yang juga menunjukkan kebolehan aktivitas perburuhan.

Dengan demikian ijarah (perburuhan) adalah salah satu cara kepemilikan harta yang sah/halal menurut syariah Islam.

Beberapa Ketentuan Syariah dalam Perburuhan

Dalam akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan: (1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan; (2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa; (3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan (4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja.

Semua jasa yang halal dalam Islam boleh  di-ijarah-kan. Misal: jasa dalam industri makanan, garmen, otomotif, konsultan, pendidikan, dsb.

Sebaliknya, jasa-jasa yang haram terlarang pula untuk di-ijarah-kan. Misal: jasa pembuatan miras (minuman keras) dan yang berhubungan dengan miras (seperti: menjadi bartender, jasa pengangkutannya, jasa pembuatan kemasannya, dsb). Contoh lain: riba dan jasa yang berhubungan dengan muamalah ribawi (seperti: menjadi pegawai perbankan, leasing, dll). Contoh lainnya: jasa menjadi perantara suap-menyuap, makelar kasus, dsb.

Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua pihak yang berakad. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُو

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (TQS al-Maidah [5]: 1).

Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya serta besaran upah dan hak-hak mereka. Nabi saw. bersabda:

مَن اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ

Siapa saja yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia memberitahukan upahnya kepada buruh tersebut (HR Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah).

Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah buruh. Rasulullah saw. bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Islam Melindungi Kaum Buruh

Syariah Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal: Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan. Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu. Bahkan di masyarakat Eropa yang standar gajinya terlihat besar, gaji buruh juga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, biaya hidup mereka juga besar. Inilah kelicikan sistem Kapitalisme.

Dalam Islam, besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula. Meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, berbeda pula upah yang diberikan. Misal: tukang gali sumur yang bekerja di lapisan tanah yang keras semestinya mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan serupa di tanah yang lunak.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.:

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

Negara Wajib Melindungi Rakyat

Di Tanah Air regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja.

Acapkali dengan dukungan negara, para pengusaha kapitalis berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi keuntungan perusahaan. Praktik-praktik seperti itu sudah lazim di negara-negara kapitalis.

Para pengusaha kapitalis yang rakus akan membuka usaha di negara-negara berkembang yang memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya-raya, sedangkan buruh menderita.

Padahal untuk kawasan Asia Tenggara, upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan Filipina (142 US$), Laos (140 US$) dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp 2,92 juta perbulan. Jumlah itu tentu jauh dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum di Tanah Air. Jika UU Omnibus Law Cipta Kerja benar merugikan buruh, akan semakin terpuruklah nasib mereka di Tanah Air.

Inilah bedanya dengan negara dalam Islam. Khilafah Islam hadir untuk mengurusi dan melindungi kepentingan semua anggota masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari).

Khilafah adalah negara yang bertanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Khilafah yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat; memberikan lapangan pekerjaan, menjamin kebutuhan hidup seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjaga keamanan mereka.

Khilafah juga akan menertibkan para pengusaha yang berlaku zalim kepada para pekerja mereka. Bagi Khilafah, kesejahteraan rakyat di atas kepentingan para pengusaha.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

—***—

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ

Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah seorang pemimpin yang adil. Sebaliknya, orang yang paling Allah benci dan paling jauh kedudukannya dari sisi-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim.(HR at-Tirmidzi). []

Kamis, 08 Oktober 2020

KONFLIK KEPENTINGAN SELESAI DENGAN IKUTI MAUNYA ALLAH

#KONFLIK KEPENTINGAN SELESAI DENGAN IKUTI MAUNYA ALLAH
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Mengapa ada konflik kepentingan? Karena setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Celakanya, dia yang harus membuat aturan untuk mengatur kepentingannya sendiri. Dia pula yang menjalankan, dan bahkan mengadili ketika ada sengketa

Ketika tiga pilar, legislasi, eksekusi dan judikasi digenggam satu orang, maka konflik kepentingan itu sangat kuat. Itu kata Lord Acton. Karena itu, Montesque mengusulkan supaya ketiga kekuasaan itu dipisahkan saja. Muncullah konsep Trias Politica. Akhirnya lahir Demokrasi yang menjalankan konsep Montesque. Nyatanya, tetap saja. Korup. Jadi di mana masalahnya?

Masalahnya sebenarnya ada pada satu titik. Siapa yang membuat hukum? Di tangan siapa kedaulatan? Islam menetapkan, kita hanya boleh tunduk kepada Allah dan hukumnya. Bukan kepentingan kita maupun orang lain. Karena itu, tidak ada konflik kepentingan, karena semua mengikuti "maunya" Allah. Allah Maha Tahu apa yang telah, sedang dan yang akan datang

Dari sini, Islam membangun kedaulatannya bukan di tangan manusia, tapi di tangan Allah. Karena itu, semua tunduk kepada Allah. Mulai dari kepala negara, kepala daerah, semua pejabat, dan rakyat, tunduk kepada Allah

Pada saat yang sama, kekuasaan di tangan umat. Posisi umat harus tetap kuat, karena umat sebagai kontrol kekuasaan. Sebaliknya, seluruh aparatur negara menjalankan amanahnya melayani kepentingan manusia, tanpa melihat, agama, suku, kelamin dan usia. Semua dilayani dengan sama, sebagai manusia yang harus dipenuhi haknya

Mengapa? Karena itu perintah Allah. Mereka harus adil seadil-adilnya. Karena kalau dzalim, mereka dituntut, baik di dunia maupun di akhirat. Diadili dan dihukum dengan hukum Allah

Coba, Utsman minta diqishash budaknya. Minta dijewer telinganya, karena pernah menjewer telinga budaknya. Setelah dieksekusi, dia katakan, alhamdulillah sudah bebas dari qishah di akhirat

Umar selalu ingat, kalau pernah melakukan "kesalahan kecil" kepada rakyatnya. Tak hanya minta maaf, bahkan memberinya hadiah. Meski rakyatnya sudah maafkan dan melupakannya

Tak ada konflik kepentingan. Di situlah, keadilan tegak. Hanya satu jalan, dengan Islam.

Rabu, 07 Oktober 2020

KETIKA DADA SESAK, SAAT KEZALIMAN MERAJALELA, BACA AYAT INI

KETIKA DADA SESAK, SAAT KEZALIMAN MERAJALELA, BACA AYAT INI

KH. Hafidz Abdurahman

Coba renungkan, rahasia di balik pilihan kata, yang boleh jadi dalam bahasa kita diterjemahkan sama, tetapi fakta pemikirannya berbeda. Perhatikan baik-baik, ketika Allah menggunakan "Najjainakum" dengan, "Fa Anjainakum" (Kami selamatkan kalian) pada konteks yang berbeda

Pertama, Allah gunakan, "Najjainakum" (Kami selamatkan kalian) dari kezaliman dan kekejaman Fir'aun dan pasukannya

وَإِذۡ نَجَّیۡنَـٰكُم مِّنۡ ءَالِ فِرۡعَوۡنَ یَسُومُونَكُمۡ سُوۤءَ ٱلۡعَذَابِ یُذَبِّحُونَ أَبۡنَاۤءَكُمۡ وَیَسۡتَحۡیُونَ نِسَاۤءَكُمۡۚ وَفِی ذَ ٰ⁠لِكُم بَلَاۤءࣱ مِّن رَّبِّكُمۡ عَظِیمࣱ

Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu. [Q.s. Al-Baqarah: 49]

Kedua, Allah gunakan, "Fa Anjainakum" (Kami selamatkan kalian)

وَإِذۡ فَرَقۡنَا بِكُمُ ٱلۡبَحۡرَ فَأَنجَیۡنَـٰكُمۡ وَأَغۡرَقۡنَاۤ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan [Q.s. Al-Baqarah: 50]

Apa bedanya? Perhatikan, Allah menggunakan bentuk kata kerja, dengan wazan Fa'ala-Yufa'ilu, Najjaina, karena waktunya panjang dan lama. Bertahun-tahun

Sedangkan, "Fa Anjainakum" dengan wazan, "Af'ala-Yuf'ilu", karena menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari Laut Merah tidak membutuhkan waktu lama, tapi singkat

Karena itu, bersabar terhadap kezaliman orang zalim membutuhkan waktu panjang. Sekaligus menguji kebenaran iman dan komitmen kita. Tetapi, yang pasti, Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya

Cara Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya juga di luar nalar, meski ada hukum sebab akibat yang harus dilakukan sebagai syarat, yaitu memukulkan tongkat ke laut, sehingga Allah membelah, dan terbelahlah laut itu (Q.s. al-Syu'ara': 63)

Allah hendak mengajari kita, agar hati kita 100% hanya bersandar kepada-Nya. Juga ikhtiar sebaik mungkin, sebagai hujjah kita kelak.

CHANNEL TELEGRAM: 
https://t.me/tsaqofah_id

*TSAQOFAH.ID*
_Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam_

Follow, like, comment, and share:
https://yubi.id/tsaqofahid

Senin, 05 Oktober 2020

ISLAM ITU RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

#ISLAM ITU RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

KH. Hafidz Abdurrahman

Islam rahmatan li al-'Alamin itu sudah sering kita dengar. Tapi, gambaran faktanya seperti apa? Tidak jelas. Akhirnya, Islam rahmatan li al-'Alamin hanya jargon, bahkan klaim dan stempel kelompok tertentu

Istilah, "Rahmatan li al-'Alamin" adalah, "Jalban lil al-Mashalih" (terwujudnya kemaslahatan), dan "Daf'an 'an al-Mafasid" (tercegahnya kerusakan). Itulah makna Islam rahmatan li al-'Alamin. Tapi, dua makna itu hanya bisa diwujudkan, jika Islam diterapkan secara kaffah

Kemaslahatan yang diwujudkan Islam, ketika diterapkan secara kaffah, ada empat. Pertama, kemaslahatan Dharuriyah (vital). Kedua, kemaslahatan Hajiyah (kebutuhan). Ketiga, kemaslahatan Tahsiniyah (kebaikan). Keempat, kemaslahatan Takmiliyah (pelengkap)

Kemaslahatan Dharuriyah, seperti Hifdhu al-Nafs (terjaganya jiwa), terwujud karena penghormatan Islam pada jiwa, dan sanksi Qishash bagi yang menghilangkannya. Hifdhu al-Mal (terjaganya harta), terwujud karena harta dilindungi, haram mencuri, dll, serta sanksi potong tangan bagi pencuri. Hifdhu al-Aql (terjaganya akal), terwujud dengan larangan khamer, narkoba dan sanksi yang keras kepada produsen, distributor dan konsumen

Tak hanya itu, Hifdhu al-Karamah (terjaganya kehormatan), terwujud dengan larangan menuduh berzina, dan sanksi keras bagi pelakunya, dengan cambuk 80 kali, dan ditolak kesaksiannya seumur hidup. Hifdhu an-Nasl (terjaganya keturunan), dengan larangan zina, wajibnya menikah untuk memenuhi naluri seksual, sanksi keras bagi pelakunya, dengan cambuk atau rajam sampai mati. Hifdhu ad-Din (terjaganya agama), terwujud dengan larangan murtad, dan sanksi hukum bunuh bagi yang murtad. Semua ini cobtoh kemaslahatan vital yang dibituhkan manusia

Semua kemaslahatan itu bisa diwujudkan dengan sempurna, jika pintu pelanggarannya ditutup. Ini adalah Kemaslahatan Takmiliyah. Misalnya, zina dilarang, maka pintunya harus ditutup. Video porno, ikhtilath, pacaran, membuka aurat, memandang lawan jenis dengan syahwat, dan sebagainya harus dilarang. Kalau tidak, maka kemaslahatan vital itu tak akan terwujud

Selain kemaslahatan Takmiliyah, ada kemaslahatan Hajiyah dan Tahsiniyah

####

KEMASLAHATAN ISLAM YANG DIBUTUHKAN MANUSIA

Sebagai agama dan sistem yang sangat ideal dan sempurna, Islam memang luar biasa. Tak hanya menjaga jiwa, harta, akal, kehormatan, keturunan, agama dan negara, Islam juga memastikan semua bentuk pelanggaran ke sana ditutup rapat-rapat

Kemaslahatan yang pertama disebut Maslahat Dharuriyah. Sedangkan yang kedua disebut Maslahat Takmiliyah

Tak hanya itu, di sana ada kemaslahatan lain, yaitu Maslahat Hajiyah. Maslahat yang dibutuhkan manusia. Misalnya, Islam menetapkan hukum asal (azimah), shalat 4 rakaat, tidak dijamak, diqashar, harus berdiri, tidak boleh duduk. Dalam kondisi bepergian jauh, misalnya antar negara, dengan jarak tempuh 10-12 jam misalnya, shalat dengan cara normal sulit dikerjakan. Maka, Islam memberi rukhshah. Boleh shalat 2 rakaat, bagi yang asalnya 4. Boleh dijamak, diqashar, sambil duduk, bahkan dengan tayamum, misalnya. Semua ini merupakan maslahat yang dibutuhkan manusia dalam kondisi tertentu

Islam juga mengajarkan bersuci, sebelum berwudhu, dengan mencuci tangan, berkumur dan istintsaq. Berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Mandi untuk menghilangkan hadas besar. Ketika kencing, tidak boleh di lubang, atau di dalam air yang diam, tidak mengalir. Bersuci harus dengan air mutlak, tidak boleh dengan air musta'mal, mutanajis atau air yang suci tapi tidak mensucikan. Seperti Coca Cola, Fanta, Sprite, Kopi, Teh Botol dan sebagainya. Semuanya ini disebut Maslahat Tahsiniyyah

Termasuk adab, akhlak dan sopan santun dalam berperilaku, bisa disebut Maslahat Tahsiniyyah. Maslahat yang terkait dengan keindahan dan kebaikan hidup manusia

Semua bentuk kemaslahatan tadi mengambarkan wajah Islam sebagai rahmat bagi alam semeseta.

https://t.me/tsaqofah_id
===

Minggu, 04 Oktober 2020

*BULETIN KAFFAH - EDISI 161*Tgl. 14 Shafar 1442 H / 2 Oktober 2020*MENGUTAMAKAN KESELAMATAN RAKYAT*

*BULETIN KAFFAH - EDISI 161*
Tgl. 14 Shafar 1442 H / 2 Oktober 2020

*MENGUTAMAKAN KESELAMATAN RAKYAT*


Islam sangat menghargai nyawa manusia. Karena itu Islam sangat memperhatikan penjagaan nyawa manusia. Allah SWT berfirman:

مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (TQS al-Maidah [5]: 32).
  

Nabi saw. pun pernah bersabda:

«لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ»
Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).


Para ulama menempatkan upaya memelihara nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, semisal hukuman qishash atau diyat dalam pembunuhan, diyat dalam serangan terhadap organ, dsb. Juga larangan atas segala hal yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.

Islam juga menempatkan penjagaan atas harta (hifzhu al-mâl) pada posisi yang tinggi. Penjagaan terhadap harta kepemilikan bahkan disandingkan dengan penjagaan terhadap nyawa. Jika seseorang, demi mempertahankan hartanya, sampai menemui kematian, dia dinilai syahid akhirat. 

Dalam keadaan normal, kedua maksud syariah itu, yakni penjagaan atas nyawa dan harta, bisa dilaksanakan secara berbarengan dan beriringan. Namun, dalam keadaan tertentu, yang satu harus diutamakan atas yang lain. Allah SWT berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Siapa saja yang terpaksa (memakan yang haram), sementara dia tidak ingin (memakan yang haram itu) dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya (TQS al-Baqarah [2]: 173).


Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, menjelaskan, “Siapa saja yang tertimpa darurat kelaparan hingga terpaksa memakan apa yang diharamkan itu...maka tidak ada dosa bagi dirinya.”

Imam al-Qurthubi menyebutkan, jika orang yang tertimpa darurat itu menemukan bangkai dan makanan milik orang lain yang di dalamnya tidak ada penyakit, maka dia tidak halal makan bangkai, tetapi boleh memakan makanan milik orang lain itu. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm). 

Semua itu mengisyaratkan bahwa jika penjagaan atas nyawa dan penjagaan harta tidak bisa dilaksanakan sekaligus, maka penjagaan atas nyawa lebih dikedepankan daripada penjagaan atas harta.

Patokan itu berlaku dalam perkara individu maupun urusan masyarakat. Bahkan dalam urusan masyarakat mesti lebih diperhatikan lagi. Sebabnya, jika yang terancam adalah kelangsungan kehidupan dan keselamatan masyarakat banyak, tentu dampaknya akan jauh lebih besar. 


*Pilkada di Tengah Pandemi*

Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan makin tak terkendali. 

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tentu saja bakal mengundang masyarakat terlibat dalam banyak keramaian. Dari mulai pendaftaran paslon (pasangan calon), masa kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, pengumuman pemenang hingga pelantikan paslon. Penerapan protokol yang ketat dalam Pilkada tak menjamin bakal mengurangi ancaman penyebaran virus Covid-19. Apalagi protokol tersebut sudah terbukti banyak dilanggar pada saat pendaftaran paslon (pasangan calon). 

Karena itu Pilkada di tengah pandemi jelas bakal makin mengancam kesehatan, keselamatan dan kelangsungan kehidupan masyarakat.

Anehnya, Komisi II DPR bersama Mendagri Tito Karnavian, KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat bahwa tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang (DetikNews, 21/9). 

Dengan dalih demi menjaga hak konstitusi rakyat, Pilkada serentak akan tetap dilakukan di 270 daerah. Selain itu, Mendagri mengklaim penyelenggaraan Pilkada 2020 bisa membangkitkan kondisi perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Anggaran untuk Pilkada 2020 mencapai Rp 20,46 triliun. Sebesar Rp 15,23 triliun dari APBD. Sisanya sekitar Rp 4,77 triliun dari APBN. Anggaran itu diklaim akan menjadi sarana meningkatkan program padat karya yang bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi Indonesia.


*Bukan Demi Kepentingan Rakyat*

Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat (Kompas.com, 24/9/2020), ada beberapa alasan mengapa Pilkada 2020 tetap diselenggarakan meski masih masa pandemi Covid-19. Pertama: Kepentingan kepala daerah yang sedang mencalonkan diri kembali di Pilkada tahun ini. Diketahui, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, lebih dari 200 daerah diikuti oleh petahana. Boleh jadi para petahana tersebut merasa yakin lebih mudah memenangkan Pilkada pada masa seperti sekarang ini. Kedua: Kepentingan partai politik. Praktik mahar politik sudah menjadi rahasia umum dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Ketiga: Ada dugaan kuat bahwa pengambil kebijakan tentang Pilkada mempunyai jagoan sehingga Pilkada pada akhirnya diputuskan tetap berlanjut meskipun wabah Covid-19 semakin merajalela. Pasalnya, jika Pilkada ditunda, maka kans jagoan pemangku kebijakan itu untuk menang akan semakin kecil. Keempat: Tidak menutup kemungkinan adanya peran pengusaha dalam keputusan penyelenggaraan Pilkada. 

Sebelumnya desakan agar Pilkada serentak 2020 ditunda datang dari berbagai pihak. Dua ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah mendesak agar pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditunda. Komnas HAM juga merekomendasikan agar pelaksanaan tahapan Pilkada  2020 ditunda. Namun nyatanya, semua desakan tersebut tak digubris sama sekali oleh Pemerintah. 

Alhasil, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi bisa dipastikan hanya demi kepentingan elit, bukan demi kepentingan rakyat. 


*Klaster Baru*

Data kasus Covid-19 menunjukkan, pandemi sama sekali belum bisa dikendalikan. Tren kasus masih meningkat. Berdasarkan data Satgas Covid-19, jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 sejak 10 September rata-rata di atas 3.500 kasus baru perhari. Puncaknya pada 25/9 sebanyak 4.823 kasus baru. Lalu turun hingga pada 28/9 ada 3.509 kasus baru. Namun kemudian, pada 29/9 kembali naik menjadi 4.002 kasus baru. 

Menurut epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman (Liputan6.com, 12/9/2020), Pilkada 2020 berpotensi besar menjadi klaster baru Covid-19. Pasalnya, pengendalian pandemi Covid-19 secara nasional belum terkendali. Ini terbukti dari positivity rate yang selalu di atas 10 persen. Artinya, laju penyebaran sangat tinggi, dan masih banyak orang pembawa virus Covid-19 belum terdeteksi karena umumnya tidak bergejala. Para epidemiolog lainnya juga menyarankan Pilkada ditunda.

Apalagi secara aturan belum semua siap. Protokol pencegahan Covid banyak dilanggar. Selama masa pendaftaran calon 4-6 September saja terjadi ratusan pelanggaran. Umumnya terkait dengan kerumunan massa. Kepatuhan terhadap protokol, termasuk wajib pakai masker dan physical distancing, masih kedodoran. Bahkan per 10 September dilaporkan ada 60 calon kepala daerah yang positif Covid-19. Sejumlah penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga positif Covid-19.

Dengan kondisi seperti itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember nanti bukan tidak mungkin akan menjadi klaster baru dan benar-benar menjadi bom penyebaran Covid-19. 

Tentu semua pihak tidak mengharapkan hal itu terjadi. Namun, menilik kondisi yang ada, kekhawatiran itu sangat beralasan dan bukan hal yang berlebihan.


*Membangkitkan Ekonomi?*

Alasan bahwa Pilkada bisa membangkitkan ekonomi tentu sangat diragukan. Kebijakan yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan ekonomi nyatanya memble. Saat ini, negeri ini sudah memasuki resesi. Pertumbuhan ekonomi kuartal ke-II minus 5,32%. Lebih dua kali lipat dari prediksi berbagai pihak. Kuartal ke-III 2020 (Juli-September) diprediksi minus hingga 2,9 persen. Pertumbuhan negatif masih akan berlangsung di kuartal ke-IV.

Andai Pilkada benar bisa menggeliatkan ekonomi—dan ini masih sangat diragukan—maka tetap saja menjadi tak berarti jika dibarengi dengan lonjakan Covid-19. Pasalnya, lonjakan kasus pasti lebih menyulitkan secara ekonomi. Biaya penanganan pandemi pun bakal makin membengkak. Pandemi juga bisa berkepanjangan. Ibaratnya, orang sakit menjadi menahun. Kalaupun ekonomi sedikit bergerak, jika rakyat banyak yang sakit bahkan mati, jadi tak berarti.

Jelas, Pilkada serentak yang tetap dilaksanakan mengisyaratkan bahwa kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat tidak menjadi prioritas Pemerintah. Yang lebih dikedepankan adalah kepentingan politik, kelompok, kekuasaan dan ekonomi. Ini adalah kebijakan khas kapitalis. Sebaliknya, panduan Islam tidak diperhatikan sama sekali. 

Padahal jelas, solusinya hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah.   

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:


Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan (kemaksiatan) manusia. Dengan itu Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian akibat kemaksiatan yang mereka lakukan itu, agar mereka kembali (kepada  Allah). 
(QS ar-Rum [30]: 41). []


===Kanal Resmi===
*Buletin Dakwah Kaffah*

Website : http://buletinkaffah.id/
Instagram : https://www.instagram.com/buletindakwahkaffah/
FB : https://fb.me/buletindakwahkaffah/
Twitter : https://twitter.com/kaffahofficial
Telegram : t.me/buletinkaffah2017
Spotify : Buletin Kaffah
WA Bot : https://kaffah.press/bot

Sabtu, 03 Oktober 2020

BEKERJA MENJADI SATPAM DI BANK

BEKERJA MENJADI SATPAM DI BANK

Oleh : KH. M Shiddiq AlJawi

Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dapat dirinci menjadi dua hukum sebagai berikut :

Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram. Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

1. Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba :

(1) bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya;

(2) bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

(3) bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

(4) bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah.

2. Contoh pekerjaan yang tidak terkait lanagsung dengan riba:

Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai:
(1) pimpinan bank
(2) akuntan bank, 
(3) auditor bank. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92).

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisir data nasabah sampai merapikan data jaminan nasabah.

Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadits dari Ibnu Mas’ud RA bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim).

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dll), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan ;

(1) sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apapun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

(2) sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadits Ibnu Mas’ud RA, yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93).

Berdasarkan penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh). Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahu a’lam.