Selasa, 19 Oktober 2021

PESAN PENTING MAULID NABI MUHAMMAD SAWBuletin Kaffah No. 214 (08 Rabiul Awwal 1443 H/15 Oktober 2021 M)

PESAN PENTING MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Buletin Kaffah No. 214 (08 Rabiul Awwal 1443 H/15 Oktober 2021 M)

Mayoritas umat Islam meyakini bahwa mengenang momentum Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad saw. sangatlah penting. Tidak lain agar kita mampu menjadikan beliau sebagai satu-satunya sosok pegangan, model perilaku dan suri teladan (uswah) dalam semua aspek kehidupan. Sungguh dalam diri Rasulullah saw. terdapat suri teladan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Mengenang kelahiran Nabi saw. juga agar kita bisa merealisasikan teladan beliau dalam menjalani hidup dan menata kehidupan. Dengan itu kita bisa sukses dunia dan akhirat. Semua teladan itu bisa kita dapati pada diri Rasul saw. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah (TQS al-Ahzab [33]: 21).

Nabi saw. adalah orang yang paling keras mujâhadah-nya dalam beribadah. Padahal beliau adalah sosok yang maksum (terbebas dari dosa) dan dijamin pasti masuk surga. Mujâhadah beliau dalam beribadah itu agar beliau menjadi hamba yang bersyukur.

Beliau juga adalah pribadi yang paling mulia akhlaknya. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau adalah al-Quran. Aisyah ra. berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad).

Beliau pun paling baik terhadap wanita. Beliau juga teladan terbaik dalam bertetangga, bergaul, berteman, berkawan dan bermuamalah. Dalam semua itu kita diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai teladan dan model panutan.

Kehadiran Rasulullah saw. dengan Islamnya di tengah-tengah umat manusia adalah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Baik dalam lingkup akidah, ibadah, muamalah hingga siyasah (politik). Jelas, Islam datang untuk mengatur kehidupan manusia, bukan untuk diatur oleh manusia sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang sekuler liberal.

Teladan Rasul saw. bukan hanya dalam aspek akidah, spiritual, moral dan sosial saja. Tidak boleh keteladanan beliau hanya dibatasi pada aspek-aspek itu saja. Sebab jika demikian, hal itu sama saja mengerdilkan sosok beliau. Beliau juga memberikan teladan kepemimpinan dalam bernegara, berpolitik dalam dan luar negeri, menjalankan pemerintahan, menerapkan hukum dan menyelesaikan persengketaan.

Teladan Rasul saw. dalam semua aspek itu harus kita contoh. Kita harus berusaha merealisasikan keteladanan beliau di dalam menjalani hidup dan mengelola kehidupan. Hal itu sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kita:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Topik pembicaraan ayat ini memang berkenaan dengan harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun demikian, makna ayat ini bersifat umum; meliputi segala yang Rasul saw. berikan dan segala yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Maka dari itu, kita harus totalitas menjadikan Rasulullah saw. sebagai panutan dan suri teladan dalam segala aspek, baik dalam aspek individu, keluarga maupun negara; kecuali tentu saja hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau saja (khawâsh ar-Rasûl) sebagaimana diterangkan oleh para ulama ushul.

Salah satu aspek teladan Rasul saw. yang saat ini penting untuk diaktualisasikan adalah teladan kepemimpinan Rasul saw. Teladan kepemimpinan Rasul saw. itu, ketika diaktualisasikan di tengah kehidupan, akan bisa menyelesaikan problem-problem yang mendera masyarakat modern ini, sekaligus membawa pada kehidupan yang dipenuhi ketenteraman dan berkah. Bagi kita, kaum Muslim, hal itu tentu kita yakini seiring dengan keyakinan kita terhadap Islam yang Rasul saw. bawa kepada kita.

Rasulullah Muhammad saw. bukan hanya pemimpin spiritual (za’îm rûhi), tetapi juga pemimpin politik (za’îm siyâsi). Dalam konteks saat ini, beliau dapat disebut sebagai pemimpin negara (ra’îs ad-dawlah). Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk ditaati dengan izin Allah (TQS an-Nisâ` [4]: 64).

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah saw. tidak sebatas penyampai risalah semata. Beliau sekaligus juga pemimpin yang wajib ditaati setiap perintah dan larangannya. Hal ini ditegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa di antara bukti kesempurnaan iman adalah menjadikan Rasul saw. sebagai hakim dan menerima apapun keputusan beliau tanpa ada keberatan sedikitpun. Sepeninggal Rasul saw., hal itu adalah dengan menjadikan syariah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (lihat: QS an-Nisâ` [4]: 65).

Rasul saw. juga memberikan teladan bagaimana menjalankan sistem pemerintahan Islam. Beliau membangun struktur Negara. Beliau menunjuk dan mengangkat para penguasa baik mu’awin, wali maupun ‘amil. Beliau menunjuk dan mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Beliau membentuk kepolisian dan mengangkat kepala polisinya. Beliau mengangkat qâdhi (hakim) untuk berbagai wilayah. Beliau juga mengangkat para pegawai administratif yang disebut kâtib untuk berbagai urusan. Semua itu merupakan penjelasan atas kewajiban menerapkan hukum-hukum Islam.

Sebagai kepala negara di Madinah, Rasul saw. menerapkan syariah Islam secara menyeluruh sejak awal Negara Islam berdiri. Hal itu tertuang nyata di dalam Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad saw…Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504).

Dalam menerapkan syariah Islam itu, Rasul saw. sangat konsisten. Misalnya, beliau menolak permintaan untuk meringankan hukuman terhadap wanita terpandang yang mencuri, meski permintaan itu disampaikan oleh orang yang sangat dekat dengan beliau. Bahkan ketika itu beliau bersabda, “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan. Namun, bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.” (HR Muslim).

Rasul saw. juga menyatukan dan melebur masyarakat yang beliau pimpin menjadi satu kesatuan umat dengan ikatan yang kokoh, yakni ikatan akidah Islam. Beliau sekaligus melenyapkan ikatan-ikatan ‘ashabiyyah jâhiliyah, seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan. KH Hasyim Asy’ari rahimahulLâh melukiskan, “Lalu hilanglah perbedaan-perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian dan kezaliman. Masyarakat pun–atas nikmat Allah–berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah. Tujuan mereka semua hanya satu, yaitu menjadikan kalimat Allah menjadi unggul dan kalimat setan menjadi hina. Mereka mengabdi demi Islam dengan ikhlas. Semoga Allah mengganjar mereka dengan sebaik-baik balasan. Inilah Salman al-Farisi, Shuhaib ar-Rumi, Bilal al-Habasyi, dan yang lainnya. Mereka adalah di antara yang beriman kepada Allah dengan ikhlas, memperjuangkan dan menolong Islam dengan segala kekuatan yang mereka miliki, memprioritaskan kepentingan Islam di atas kepentingan bangsa dan kaum mereka. Ini karena mereka memandang bahwa ketaatan kepada Allah adalah di atas segalanya dan bahwa kebaikan atas kemanusiaan ada pada pengabdian mereka pada Islam.” (KH Hasyim Asy’ari, Irsyâd al-Mu`minîn ilâ Sîrah Sayyid al-Mursalîn, hlm 44).

Rasul saw. juga memimpin umat untuk menjalankan misi agung menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Islam dan penerapannya secara totalitas akhirnya merambah ke berbagai negeri menebarkan rahmat di setiap jengkalnya.

Ketika Rasul saw. wafat pada 12 Rabiul Awwal 11 H, kepemimpinan beliau itu dilanjutkan oleh para sahabat dalam sistem Khilafah selama era Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan itu merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin yang juga Rasul saw. perintahkan untuk kita pegangi.

Alhasil, semua keteladanan Nabi saw. itu harus diteladani secara totalitas, termasuk keteladanan dalam kepemimpinan. Meneladani kepemimpinan Nabi saw. bukan hanya meneladani beliau sebagai sosok pemimpin, tetapi juga meneladani dan merealisasikan sistem yang beliau gariskan dan contohkan, yaitu sistem Islam, melalui penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Termasuk syariah Islam tentang Khilafah. []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ 

“Oleh karena itu kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah214m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah214

Jumat, 15 Oktober 2021

ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBELBuletin Dakwah Kaffah No. 213 (01 Rabiul Awwal 1443 H/08 Oktober 2021 M)

ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBEL

Buletin Dakwah Kaffah No. 213 (01 Rabiul Awwal 1443 H/08 Oktober 2021 M)

Saat ini, salah satu proyek yang sedang ramai dijalankan, adalah proyek moderasi agama. Proyek ini menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai sasaran utamanya. Proyek ini tidak bisa dilepaskan dari pengarusutamaan Islam moderat. Proyek moderasi agama bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum Muslim menjadi Muslim moderat. Proyek ini menyasar para guru agama, mahasiswa, kaum milenial hingga kalangan pesantren. 

Islam Moderat

Menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah “Islam” yang menerima sistem demokrasi. Sebaliknya, Islam radikal adalah Islam yang menolak demokrasi dan sekularisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).

Moderasi Islam bisa dimaknai sebagai proses menjadikan Muslim sebagai Muslim moderat. Karakter Muslim moderat dapat dipahami, salah satunya, dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Rand Corporation tahun 2007, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Buku ini termasuk salah satu rujukan tentang Muslim moderat. Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).

Alhasil, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.

Makna Umat[an] Wasath[an]

Pemahaman Islam moderat lalu dibungkus dengan istilah Islam wasathiyah. Wasathiyah diambil dari istilah al-Quran, wasath[an] (pertengahan). Inilah yang Allah jadikan sebagai salah satu sifat umat Islam. Namun, istilah wasath[an] ini hanya dicomot dan dijadikan sebagai “wadah”, sementara isinya dijejali dengan pemahaman Islam moderat yang tidak lain adalah Islam yang sesuai selera Barat. 

Karena itu penting untuk mengembalikan istilah wasath[an] ke makna yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Quran. 

Secara bahasa, makna al-wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfâzh al-Qur’ân, jilid II, entri w-s-th). Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, II/17). 

Allah SWT berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا 

Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat[an] wasath[an] agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (TQS al-Baqarah [2]: 143).

Imam ath-Thabari dalam menjelaskan makna wasath[an] tersebut menukil 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna adil (al-‘adlu). Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Abu Said al-Khudri ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang firman Allah SWT:

وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا

Demikian pula Kami menjadikan kalian umat yang wasath[an]. Beliau berkata, “(yakni) yang adil.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Selain bermakna adil, menurut Mahmud Syaltut, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan (Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 7). 

Syaikh ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara semua umat untuk menjadi saksi atas mereka. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab bermakna al-khiyâr (pilihan). Orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Surah al-Baqarah, hlm. 177).

Jadi makna umat Islam sebagai umat[an] wasath[an], yakni umat yang adil. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat semestinya, yakni sesuai syariah. Untuk menjadi umat[an] wasath[an], umat Islam tidak boleh melampaui batas seperti kaum Nasrani, di antaranya dengan membuat hukum sendiri; juga tidak boleh enggan dan lalai seperti Yahudi yang enggan dan tidak mau menerapkan syariah mereka. Untuk menjadi umat[an] wasath[an] umat Islam justru harus mengambil dan menerapkan totalitas syariah Islam. Tidak membuat hukum sendiri yang bertentangan dengan syariah Islam.

Islam yang Sebenarnya

Kita hidup di dunia ini bukan atas kehendak kita sendiri, tetapi atas kehendak Allah SWT. Bagaimana kita menjalani hidup dan mengelola kehidupan dunia ini tidak boleh menurut keinginan kita sendiri, melainkan harus mengikuti apa yang Allah kehendaki. Untuk itu kita harus mengambil dan mengikuti ‘manual book’ yang telah diberikan oleh Allah SWT, yakni al-Quran dan as-Sunnah, dalam mengelola kehidupan ini.

Satu perkara yang sudah jelas, Allah SWT memerintahkan kita untuk berislam atau beragama secara kaffah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

As-Samarqandi (w. 373 H) menjelaskan maknanya, “…Masuklah kalian ke dalam semua syariah Islam dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan…” (As-Samarqandi, Bahru al-‘Ulûm, 1/173).

Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menjelaskan, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya agar masuk ke semua simpul dan syariah Islam serta mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangannya semampu mereka.

Jadi dalam berislam, kita diperintahkan untuk mengambil Islam dan syariahnya secara keseluruhan. Kita tidak boleh berislam model prasmanan. Yang menarik diambil, yang enak diikuti dan yang mudah dijalankan. Sebaliknya, yang tidak menarik tidak diambil, yang tidak mengenakkan tidak diikuti dan yang sulit tidak dijalankan.

Sudah jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali kalian tetap dalam keadaan Muslim (TQS Ali Imran [3]: 102).

Imam al-Baidhawi (w. 685 H) menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan (menjalankan) apa saja yang diwajibkan, yaitu mengerahkan segenap upaya dalam melakukan kewajiban dan menjauhi keharaman.” (Al-Baydhawi, Anwâru at-Tanzîl wa Asrâru at-Ta`wîl, 1/373).

Dalam menjalankan perintah takwa ini, Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian (TQS at-Taghabun [64]: 16).

Rasul saw. juga bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Karena itu jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukan sesuai kemampuan kalian (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Humaidi, Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).

Allah SWT pun memerintahkan kita untuk menjadi penolong agama-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنصَارَ اللَّهِ

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong (agama) Allah (TQS ash-Shaff [61]: 14).

Menurut Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma’âlim at-Tanzîl, maknanya adalah: jadilah kalian penolong agama Allah. Adapun menurut Imam al-Maturidi (w. 333 H) dalam Ta`wîlâtu Ahli as-Sunnah, ‘menolong Allah’ bermakna menolong agama-Nya atau Rasul-Nya. 

Jika seorang Muslim mengambil Islam dan syariahnya secara kaffah, bertakwa dengan sebenar-benarnya dengan menjalankan semua yang diperintahkan semaksimal kemampuan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta menolong dan membela agama-Nya, lantas dia disebut apa? Yang jelas dia adalah seorang Muslim sebagaimana yang Allah perintahkan dan Dia ridhai. Jika Muslim semacam ini dianggap bukan sosok Muslim moderat atau ia dituding sebagai Muslim radikal atau sebutan stigmatik lainnya, semua itu tidak ada arti dan nilainya selama Allah SWT ridha.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Rasul saw. bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Siapa saja yang mencari ridha Allah meski harus menanggung kemarahan manusia, Allah pasti akan menyelamatkan dirinya dari kezaliman manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah, Allah akan menyerahkan urusannya kepada manusia. (HR at-Tirmidzi dan Ibnu al-Mubarak). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah213m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah213

Minggu, 03 Oktober 2021

MEWASPADAI BAHAYA KOMUNISMEBuletin Dakwah Kaffah No. 212 (23 Safar 1443 H/01 Oktober 2021 M)

MEWASPADAI BAHAYA KOMUNISME

Buletin Dakwah Kaffah No. 212 (23 Safar 1443 H/01 Oktober 2021 M)

Setiap bulan September kaum Muslim di negeri ini selalu diingatkan dengan tragedi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965. Saat itu PKI, dengan menggunakan Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabhirawa, melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh 7 perwira tinggi TNI. 

Peristiwa yang terjadi pada bulan itu hanyalah rangkaian dari gerakan makar kelompok komunis di Tanah Air. Secara bertahap para pengikut komunis/PKI melakukan berbagai intimidasi, pelecehan agama bahkan kekerasan dan pembunuhan yang menentang ideologi komunisme, terutama yang berasal dari umat Muslim. Ribuan Muslim, khususnya santri dan kiai, diculik dan dibunuh secara keji. 

Karena itu kaum Muslim harus selalu mewaspadai penyebaran ideologi sesat ini. Apalagi belakangan muncul keinginan segelintir orang yang ingin menghidupkan lagi paham tersebut.

Komunisme Tidak Mati

Sebuah ideologi tidaklah punah dari muka bumi selama masih ada penganutnya. Begitu pula dengan Komunisme. PKI memang telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Komunisme, sebagai ideologinya, juga sudah dilarang. Namun, simbol-simbolnya sering dijumpai di masyarakat. Berbagai pertemuan dan kajian seputar komunisme juga terus berlangsung. Malah ada seorang anggota DPR yang orangtuanya anggota PKI secara terbuka membuat buku berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI.

Mereka juga melakukan sejumlah langkah agar komunisme dan PKI bisa kembali eksis di Tanah Air. Pertama, memutarbalikkan sejarah. Para pendukung komunisme paham bahwa umat Muslim di Tanah Air trauma dengan kekejaman PKI. Untuk itulah mereka melakukan upaya memutarbalikkan sejarah. Sering mereka menyatakan bahwa mereka justru korban, bukan pelaku pemberontakan. Mereka juga mengklaim banyak anggota dan simpatisan PKI yang dibunuh oleh aparat maupun oleh umat Muslim. 

Pada 2016, di Jakarta diselenggarakan Simposium Kerukunan Nasional yang diselenggarakan Lemhanas. Dihadiri sebagian besar eks PKI dan para pendukungnya. Mereka menyuarakan bahwa PKI tidak bersalah. Mereka menuntut Pemerintah RI untuk meminta maaf, melakukan rehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada anggota PKI yang menjadi korban pada tahun 1965.

Tindakan ini menutupi fakta kalau PKI telah melakukan pembunuhan secara sistematis terhadap siapa saja yang dianggap musuh, terutama umat Islam. Pada tahun 1948, di bawah pimpinan Muso, Amir Sjarifuddin dan DN Aidit, PKI melancarkan serangan terhadap umat Muslim. Pondok-pondok pesantren seperti Pesantren Takeran dan Gontor diserang dan dirusak. Kitab al-Quran dirobek atau diinjak. Kitab-kitab kuning juga turut dimusnahkan. Ribuan warga, terutama kiai dan santri, aparat keamanan dan aparat Pemerintah, dieksekusi dengan cara keji. Jasad mereka dibuang ke berbagai tempat, termasuk ke dalam sumur-sumur dalam keadaan sudah dirusak. 

Kedua, berupaya mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keberadaan PKI dan paham komunisme. Berkali-kali sejumlah kalangan mendesak pencabutan tersebut dengan alasan rekonsiliasi nasional, maka negara harus mengayomi semua pihak termasuk para penganut ideologi komunisme. 

Ketiga, menyerang Islam dan para ulama lurus. Sejak ideologi komunisme berdiri, permusuhan dan kebencian diarahkan pada Islam dan kaum Muslim. Tokoh-tokoh pendiri komunis seperti Lenin ataupun Stalin menampakkan permusuhan terhadap agama. Usai Revolusi Bolshevik, Lenin dan Stalin membunuh jutaan Muslim, termasuk imam masjid dan ulama di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Masjid-masjid dan madrasah ditutup. Ada juga yang dijadikan kandang babi oleh pemerintah komunis. Pengajaran agama Islam sudah jelas dilarang.

Di Tanah Air, pada masa Orde Lama (Orla), kebencian PKI dan para pendukungnya terhadap umat Islam dan ormas-ormasnya ditampakkan dengan menghina ajaran Islam seperti membuat pentas seni dengan judul Matine Gusti Allah dan Gusti Allah Mantu. Tokoh-tokoh PKI juga menghasut Pemerintah Orla untuk membubarkan Partai Islam Masjumi dan menangkapi tokoh-tokohnya. Sejumlah ulama dan tokoh Islam seperti Buya Hamka, M Natsir dan KH Sholeh Iskandar dipenjara tanpa pengadilan. Selain mengalami penyiksaan di dalam penjara, keluarga mereka juga dimiskinkan atas perintah rezim Orde Lama.

Kini, berbagai serangan dan hinaan terhadap ajaran Islam kembali marak. Penghinaan terhadap bendera tauhid. Cacian terhadap para santri penghapal al-Quran. Tuduhan terhadap Islam sebagai agama kearab-araban. Sebutan ‘kadrun’ atau kadal gurun. Menentang penerapan syariah Islam. Memusuhi hukum jihad dan kewajiban khilafah. Tragisnya, tak sedikit kaum Muslim yang ikut-ikutan menyerang agama mereka sendiri. Dalihnya adalah membela Tanah Air dari ajaran asing, yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Kecemasan umat juga bertambah dengan berkali-kali terjadi serangan terhadap para mubaligh dan ustadz di Tanah Air. Serangan terhadap ulama, mubaligh dan tokoh Islam kini berulang terjadi. Semua pelakunya dinyatakan sakit jiwa. Apakah serangan ini adalah kebetulan belaka? Sementara seorang tokoh intelijen, Soeripto, mengatakan bila orang gila bisa digerakkan untuk melakukan operasi penyerangan.

Kembali pada Islam

Dengan menelusuri sejarah kita akan melihat bahwa menguatnya komunisme di Tanah Air disebabkan oleh dua hal: Pertama, adanya pembiaran terhadap ideologi komunisme hingga terus berkembang. Termasuk membiarkan berbagai sikap anti ulama lurus, anti syariah, anti Tuhan, juga adu domba antar kelompok masyarakat.

Kedua, komunisme berkembang karena kelemahan pemahaman Islam di tengah umat dan kurangnya kesadaran politik Islam. Tidak sedikit muslim yang menganut ideologi komunisme dan memperjuangkannya tanpa tahu kebatilan dan kesesatannya.

Komunisme adalah ideologi batil, sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam baik dengan akidah maupun syariatnya. Begitupula haram hukumnya bergabung dengan kelompok yang menganut dan memperjuangkan komunisme. Dasar dari paham komunisme adalah materialisme, yakni meyakini materi sebagai asal kehidupan, dan menolak Allah sebagai al-Khaliq. Bahkan komunisme mengajarkan kebencian pada agama dan pada umat beragama. Ideologi ini menghalalkan kekerasan untuk perubahan masyarakat, terutama menyerang dan membunuhi para ulama.

Sementara itu Islam adalah agama dan sistem kehidupan yang sempurna. Mengatur seluruh aspek kehidupan. Seorang muslim juga wajib mengimani tidak ada agama, aturan dan ideologi yang diterima Allah kecuali Islam. Allah SWT berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sungguh agama (yang diterima dan diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).

Imam Ibnu Katsir menerangkan: Ayat ini merupakan kabar dari Allah SWT bahwa tidak ada agama seseorang yang diterima di sisi-Nya selain Islam (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2/25).

Dengan demikian haram seorang Muslim yang mengaku beriman, mengerjakan shalat dan shaum, tetapi meyakini komunisme sebagai sistem kehidupannya, atau aturan politik dan ekonominya. Sebab, Allah SWT telah memerintahkan setiap Muslim untuk mengamalkan seluruh syariah Islam secara totalitas. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Demikian pula haram hukumnya bagi umat membela ideologi selain Islam seperti komunisme dan kapitalisme, haram pula menyebarkannya, memfasilitasi ide-ide mereka, apalagi ikut-ikutan memusuhi agama Islam. Allah SWT. mengingatkan:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka (TQS. Al Mujadilah : 22)

Selain komunisme, sesungguhnya umat juga sedang terancam oleh ideologi kapitalisme yang sudah mencengkeram negeri ini. Kapitalisme-liberalisme, melalui para pengusungnya, menyebabkan berbagai kekayaan alam dikuasai asing. Negeri ini juga dijajah lewat utang luar negeri. Pada saat yang sama, kehidupan sosial umat dihancurkan dengan budaya liberalisme semisal perzinaan dan LGBT, dll.

Wahai kaum muslimin! Sadarlah, bahwa berbagai keburukan yang menimpa umat pada hari ini disebabkan umat telah menjauh dari Islam, merasa cukup dengan ibadah dan akhlak semata, tapi enggan berislam secara kaffah. Inilah pangkal kerusakan umat yang sebenarnya. Padahal Allah berfirman:

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِه ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِه لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa (TQS. al-An’am: 153)

Karenanya, bila umat ingin selamat dari ancaman komunisme, juga kapitalisme-liberalisme, kembalilah pada Islam kaffah. Islam harus kembali diterapkan dan dijadikan sistem kehidupan. Hanya Islamlah satu-satunya sistem kehidupan yang mulia dan diterima Allah SWT.
WalLahu a’lam. []

---*---

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

Dialah (Allah SWT) Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia menangkan atas seluruh agama. Cukuplah Allah sebagai Saksi. (TQS al-Fath [48]: 28).

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah212m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah212

Sabtu, 11 September 2021

BERHARAP KEADILAN HANYA PADA SYARIAH ISLAMBuletin Dakwah Kaffah No. 209 (2 Safar 1443 H-10 September 2021 M)

BERHARAP KEADILAN HANYA PADA SYARIAH ISLAM

Buletin Dakwah Kaffah No. 209 (2 Safar 1443 H-10 September 2021 M)

Telah lama keadilan absen di negeri ini. Dari hari ke hari, yang ada dan makin nyata adalah wajah ketidakadilan alias kezaliman. 

Jelas, hukum dan peradilan di negeri ini makin diskriminatif. Makin jauh dari rasa keadilan. Para koruptor, misalnya, yang kebetulan adalah para pejabat atau mereka yang dekat dengan kekuasaan, kerap dihukum amat ringan. Sudah begitu, masih dapat diskon masa tahanan. Bahkan dalam kasus korupsi bansos triliunan rupiah yang merugikan jutaan rakyat, pelaku dihukum amat ringan. Sebaliknya, dalam kasus pencurian yang dilakukan rakyat biasa, itu pun pelakunya kadang terpaksa mencuri karena terdesak keadaan, hukumannya bisa cukup memberatkan. 

Demikian pula dalam kasus lain. Misalnya, pelanggaran protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi Covid-19 ini. Makin nyata adanya ketidakadilan. Di antara sekian banyak pelanggaran prokes oleh Presiden, pejabat negara dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, pelakunya tak ada yang dihukum berat. Bahkan banyak yang bebas. Tidak dikenai sanksi sama sekali. Sebaliknya, pelanggaran prokes oleh HRS—yang padahal beliau sudah membayar denda—tetap diberlakukan hukuman berat. Beliau tetap dipenjarakan. 

Dalam kasus lainnya tak jauh beda. Berkali-kali para BuzzerRp —seperti Denny Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dll yang diduga amat dekat dengan kekuasaan—melakukan penistaan agama. Namun, sampai detik ini mereka tetap bebas berkeliaran. Tentu bebas pula mereka untuk terus melakukan ujaran-ujaran yang menimbulkan keonaran dan kemarahan publik. Mereka tak pernah sekalipun diseret ke meja hijau. Padahal sudah banyak pengaduan masyarakat terhadap mereka. Baik melalui jalur resmi/jalur hukum maupun lewat keluh-kesah masyarakat di media sosial. Sebaliknya, para tokoh agama Islam yang dituduh melakukan pencemaran nama baik begitu mudahnya diproses secara hukum dan dipenjarakan. Misalnya saja Maaher ath-Thuwailibi (almarhum) dan Gus Nur (yang baru dibebaskan). Termasuk yang terakhir, Yahya Waloni, yang dituding melakukan penistaan agama Kristen.

Tentu masih banyak bukti betapa hukum dan peradilan di negeri ini amat diskriminatif. Benar-benar tidak adil. Bahkan terasa amat zalim! Terutama tentu terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaan. Sebaliknya, bagi penguasa dan pihak-pihak yang pro penguasa, hukum dan peradilan begitu memanjakan mereka. 

Produk Cacat Demokrasi

Mengapa ketidakadilan dan kezaliman begitu nyata di negeri ini? Setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama: Sistem hukum dan peradilan di negeri ini sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular. Sekularisme Barat melahirkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama. Dengan demikian sistem hukum dan peradilan di negeri ini nyata mencampakkan hukum dari Zat Yang Mahaadil, Allah سبحانه و تعالى. Karena itu dapat dipastikan produk hukum yang dibuat pasti tidak sempurna dan memiliki banyak kelemahan. 

Di sisi lain, manusia memiliki interest (kepentingan) baik pribadi maupun kelompok. Atas dasar ini, wajar jika hukum yang dihasilkan oleh rekayasa pemikiran manusia semata akan menghasilkan ketidakadilan. Hukum sangat berpihak kepada siapa yang berkuasa dengan berbagai kepentingannya. Persamaan di depan hukum menjadi tidak ada. Sebabnya, sejak awal hukum memang tidak diperuntukkan bagi semua. Inilah cacat hukum produk demokrasi.

Kedua: Bobroknya mental sebagian aparat penegak hukum. Entah polisi, jaksa atau hakim. Pasalnya, dalam sistem yang jauh dari tuntunan agama (Islam), siapapun—termasuk para aparat penegak hukum—begitu mudah tergiur oleh uang, jabatan, perempuan dan godaan duniawi lainnya. Akhirnya, mereka banyak yang terlibat jual-beli perkara. Keadilan pun tak bisa lagi diharapkan.

Berharap Keadilan Hanya pada Syariah Islam

Setiap orang yang mendambakan keadilan, sudah sepantasnya berharap dan bertumpu hanya pada syariah Islam. Tentu karena hanya syariah Islam yang adil. Sebabnya, syariah Islam bersumber dari Zat Yang Mahaadil. Allah Yang Mahaadil telah menetapkan sejumlah aturan/hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Orang yang melanggar aturan/hukum-Nya dinilai berdosa dan bermaksiat. Dia bisa dikenai sanksi di dunia atau diazab di akhirat. Rasulullah ﷺ. bersabda: 

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَ مَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَّرَ لَهُ وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Siapa yang melanggar (ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya), lalu diberi sanksi, itu merupakan penebus dosa bagi dirinya. Siapa saja yang melanggar (ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya), namun (kesalahannya) ditutupi oleh Allah, maka jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dirinya; dan jika Dia berkehendak, Dia akan mengazab dirinya (HR al-Bukhari).

Selain itu, sebagai Muslim kita tentu wajib meyakini bahwa hanya hukum Allah yang terbaik. Allah سبحانه و تعالى sendiri yang menegaskan demikian:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah سبحانه و تعالى, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).

Karena itu keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu (Lihat: QS al-An'am [6]: 115). Sebaliknya, saat Islam dijauhkan, dan al-Quran tidak dijadikan rujukan dalam hukum, yang bakal terjadi adalah kezaliman. Allah سبحانه و تعالى berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (al-Quran) maka merekalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).

Dengan demikian keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Tidak aneh jika para ulama menegaskan keadilan (al-'adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (kullu ma dalla 'alayhi al-Kitab wa as-Sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar'iyyah, hlm. 15). 

Pentingnya Institusi Penegak Keadilan

Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya mungkin tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting. Tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman.

Pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh Rasulullah ﷺ. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah سبحانه و تعالى melalui firman-Nya:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa “waj’allii min ladunka sulthân[an] nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasulullah ﷺ. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurán al-Ázhim, 5/111).

Karena itu tepat ungkapan Imam al-Ghazali yang menegaskan:

اَلدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وَلَدَا مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ

Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk, 1/19).

Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali setidaknya menegaskan apa yang pernah dinyatakan sebelumnya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah seorang ‘amil-nya. Di dalam surat tersebut antara lain beliau mengungkapkan:

وَ الدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ فَلاَ يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ اْلآخَرِ

Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah, 1/395).

Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah. Hanya dengan penegakan dan penerapan syariah Islam secara kaffah, keadilan bagi semua akan tercipta. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna. WalLahu a’lam. []

---*---

Hikmah:

Allah سبحانه و تعالى berfirman (dalam sebuah hadis qudsi):

يَا عِبَادِيْ، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا

Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu di antara sesama kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi satu sama lain. (HR Muslim).[]

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah209m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah209

Jumat, 13 Agustus 2021

🌟 HIJRAH: ‏PENGORBANAN DAN PERUBAHAN📑 BULETIN DAKWAH KAFFAH ‎– 205📅 ‎04 ‏Muharram ‎1443 ‏H/13 ‏Agustus ‎2021A

Tahun 1442 H sudah berlalu. Kita sekarang berada di tahun baru 1443 H. Beragam suasana duka terjadi sepanjang tahun lalu. Pandemi sudah berlangsung dua tahun. Krisis ekonomi makin membuat kehidupan negeri terpuruk. Korupsi terus merajalela. Beragam penistaan terhadap ajaran Islam serta ketidakadilan hukum terus ditimpakan kepada tokoh-tokoh umat. Karena itu besar harapan dan keinginan umat agar momen hijrah dapat mengubah keadaan negeri ini menuju suasana yang lebih islami, berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

Keyakinan dan Pengorbanan

Peristiwa hijrah Nabi saw. bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah disepakati sebagai awal penanggalan kalender Hijrah atas usul Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini dicatat oleh Ibnu al-Jauziy dalam kitabnya, Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (4/227).

Dengan menelaah Sirah Nabi saw., siapapun akan paham bahwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat adalah peristiwa besar, bahkan menjadi tonggak tegaknya Islam di muka bumi. Melalui hijrah, Islam menjadi kekuatan besar yang menebarkan rahmat ke seluruh umat manusia. Berbeda dengan sebelumnya, selama 13 tahun di Makkah, dakwah Islam menemui kesukaran bahkan jalan buntu. Caci-maki hingga penganiayaan dialami Rasulullah saw. dan para sahabat. Hal ini yang sempat membuat Rasulullah saw. berduka hingga turun ayat yang menghibur beliau:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ
Sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kamu. Lalu mereka sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Sungguh telah datang kepadamu sebagian dari berita para rasul itu (TQS al-An’am [6]: 34).

Imam Ibnu Katsir menerangkan: “Ayat ini merupakan hiburan bagi hati Nabi Muhammad saw., ungkapan dukungan kepada beliau dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan beliau dari kalangan kaum beliau, serta perintah kepada beliau agar bersabar sebagaimana sikap sabar ulul ‘azmi dari kalangan para rasul terdahulu. Ayat ini pun mengandung janji Allah kepada Nabi-Nya bahwa Dia akan menolong dirinya sebagaimana Dia telah menolong para rasul terdahulu, kemudian mereka memperoleh kemenangan. Pada akhirnya akibat yang baik diperoleh para rasul sesudah mereka mengalami pendustaan dan gangguan dari kaumnya masing-masing. Setelah itu datanglah kepada mereka pertolongan dan kemenangan di dunia dan di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/252).

Hijrah adalah pengorbanan. Selain harus menempuh perjalanan yang berat dengan jarak lebih dari 400 km, kaum Muslim menghadapi dua ujian dalam berhijrah. Pertama: Ujian keimanan. Mereka harus meninggalkan negeri asal mereka, harta benda, tempat tinggal bahkan keluarga mereka. Mereka berpindah ke negeri yang di sana tak ada sanak kerabat. Mereka pun tidak dijanjikan akan mendapat tempat tinggal baru atau mata pencaharian baru sebagai ganti harta yang mereka tinggalkan. Hanya bermodalkan keyakinan pertolongan Allah SWT mereka berhijrah. Allah SWT pun memberikan pujian dan pahala berlimpah kepada kaum Muhajirin.

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberi mereka rezeki yang baik (surga). Sungguh Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki (TQS al-Hajj [2]: 58).

Kedua: Kaum Muslim yang berhijrah juga menghadapi ujian pengorbanan dan penentangan dari kaumnya. Zainab binti Rasulullah saw., misalnya. Ia harus rela berpisah dengan suaminya, Abu al-Ash bin Rabi, yang masih musyrik dan menolak ikut berhijrah. Keluarga suaminya juga menghadang Zainab yang tengah hamil empat bulan hingga dirinya terjatuh dan mengalami keguguran. Setelah pulih dari lukanya, Zainab kembali berangkat berhijrah meninggalkan suaminya.

Sahabat lain, Suhaib ar-Rumiy ra., sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir, 1/421), mengorbankan harta yang dia bawa dari rumahnya untuk diberikan kepada kaum musyrik yang menghadang dirinya di perjalanan ketimbang ia kembali ke Makkah. Setibanya di Madinah dan ia menceritakan peristiwa yang ia alami, termasuk harta yang ia berikan kepada para penghadangnya, Rasulullah saw. memuji dirinya, “Beruntunglah perdagangan Suhaib!” Dua kali pujian itu diulang Nabi saw. Kemudian turunlah firman Allah SWT:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari ridha Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (TQS al-Baqarah [2]: 207).

Perubahan Kekuatan

Hijrah Nabi saw. ke Madinah bukanlah karena beliau ingin menghindar dari kesulitan demi kesulitan yang menghadang dakwah beliau selama di Makkah. Hijrah juga bukan karena Rasulullah saw. sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapi rintangan dakwah. Namun, beliau menyadari bahwa masyarakat Makkah berpikiran dangkal, bebal dan berkubang dalam kesesatan. Karena itu beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat yang kondusif dan siap menerima Islam.

Allah SWT lalu memberikan pertolongan dengan kedatangan orang-orang suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Dua kabilah ini terkenal dengan kekuatan mereka karena terbiasa berperang. Negeri mereka pun memiliki posisi geostrategis yang luar biasa. Terletak di jalur perdagangan antara Makkah dan Syam. Hal ini mencemaskan orang-orang Quraisy seandainya Rasulullah saw. berkuasa di Madinah.

Madinah juga memiliki lahan yang lebih subur ketimbang Makkah karena terletak di antara dua tanah vulkanik; al-Wabarah di Barat, Waqim di Timur, Uhud dan Sil’u di Utara, serta gunung Ir di Barat Daya. Selain memberikan kesuburan, posisi Madinah yang demikian secara militer membuat wilayah ini sulit untuk diterobos dan diserbu musuh.

Ini disadari oleh kaum musyrik Quraisy. Mereka mencemaskan Islam menjadi kekuatan besar yang bisa mengalahkan mereka. Karena itu mereka berusaha keras menghadang hijrah kaum Muslim, khususnya Rasulullah saw. Namun, dengan izin Allah, beliau dapat menerobos kepungan orang-orang kafir Quraisy dan lolos dari kejaran mereka hingga beliau tiba di Madinah.

Setiba di Madinah, Rasulullah saw. melakukan sejumlah langkah untuk membangun kekuatan dalam wujud Negara Islam pertama di dunia yang kokoh. Pertama: Rasulullah saw. berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj yang bermusuhan. Beliau juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.

Kedua: Rasulullah saw. mengikat seluruh pihak di Madinah dan sekitarnya, seperti kaum musyrik dan Yahudi, dengan Piagam Madinah. Tujuannya, antara lain, agar eksistensi Negara Islam yang dibangun tidak digoyahkan oleh siapapun. Semua terikat dengan Piagam Madinah untuk saling menjaga dan melindungi. Mereka tidak boleh bersekutu dengan musuh untuk menyerang satu sama lain. Semua pihak setuju untuk tunduk pada hukum-hukum Islam (Lihat: Piagam Madinah, Klausul no. 45).

Ketiga: Rasulullah saw. menyusun struktur pemerintahan Islam di Madinah dan menjalankan syariah Islam secara kaffah di sana. Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab ra. diangkat sebagai mu’awin atau pembantu beliau dalam pemerintahan. Nabi saw. bersabda:

وَزِيرَايَ مِن السَّمَاء جِبْرِيل وَ مِيكَائِيل وَ مِن أَهْلِ الأَرْضِ أَبُو بَكر وَ عُمَر
Pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sementara pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR al-Hakim dan Tirmidzi).

Rasulullah saw. mengangkat Qais bin Saad sebagai pimpinan Kepolisian sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Beliau juga mengangkat sejumlah sahabat sebagai komandan pasukan untuk ekspedisi militer jihad fi sabilillah.

Dakwah Islam dan jihad fi sabilillah pun dilakukan oleh Rasulullah saw. selama hidup di Madinah. Beliau antara lain memimpin Penaklukan Makkah pada tanggal 17 Ramadhan 8 H dengan mengerahkan 10 ribu tentara kaum Muslim. Saat Rasulullah saw. wafat, seluruh Jazirah Arab telah masuk ke dalam kekuasaan kaum Muslim (Negara Islam). Ekspansi Islam ini diteruskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, lalu oleh para khalifah berikutnya.

Wahai kaum Muslim! Peristiwa hijrah telah memberikan keteladanan dan pelajaran penting. Betapa perubahan masyarakat menuju tatanan yang penuh rahmat dan keadilan tidak mungkin terjadi tanpa Islam. Perubahan tersebut tak mungkin terjadi tanpa pengorbanan. Kaum Muslim generasi awal telah mencontohkan bahwa kemenangan dan perubahan besar itu hanya bisa karena pengorbanan yang besar di jalan Allah. Semoga kita bisa mengikuti jejak mereka. Aamiin.

WalLahu a’lam. []

—*—

HIKMAH:

Allah SWT berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (TQS at-Taubah [9]: 100). []

Senin, 09 Agustus 2021

PERERAT UKHUWAH DI TENGAH WABAHBuletin Dakwah Kaffah No. 204 (27 Dzulhijjah 1442 H-06 Agustus 2021)

PERERAT UKHUWAH DI TENGAH WABAH

Buletin Dakwah Kaffah No. 204 (27 Dzulhijjah 1442 H-06 Agustus 2021)

Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun, wabah virus Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Tentu sudah banyak korban berjatuhan. Lebih dari seratus ribu orang meninggal dan tiga setengah juta yang terpapar. Jutaan bahkan puluhan juta orang terdampak secara ekonomi. Sebabnya, sejak kemunculan pandemi Covid-19, demi pencegahan penularan virus, sejumlah pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan. Dari mulai PSBB, PPKM darurat hingga PPKM level 3-4 saat ini. Semuanya tanpa kompensasi sama sekali dari Pemerintah yang diberikan kepada rakyatnya. Padahal dengan kebijakan pembatasan tersebut, tentu banyak kegiatan usaha masyarakat terpaksa berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan pun banyak yang sepi. Banyak perusahaan tak lagi beroperasi. Akhirnya, kini banyak orang menganggur dan gigit jari. Betapa hidup makin sulit meski sekadar mencari sesuap nasi. 

Pada saat yang sama, bantuan sosial dari Pemerintah malah dikorupsi. Padahal tanpa dikorupsi pun, bantuan dari Pemerintah selama ini jauh dari kata memadai. Hanya cukup untuk satu-dua hari. Tak cukup untuk bekal hidup sebulan. Apalagi untuk hidup berbulan-bulan. Padahal sejak pandemi, jutaan kepala keluarga banyak yang berpenghasilan tak karuan. Jauh dari harapan. Bahkan banyak yang tak berpenghasilan sama sekali. Akhirnya, untuk bertahan hidup, banyak yang mengandalkan belas kasihan dan pemberian orang lain. 

Sayangnya, sejak awal kita tidak terlalu berharap banyak kepada Pemerintah. Terbukti, sejak awal Pandemi, kebijakan Pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepada rakyat kebanyakan. Pemerintah lebih berkepentingan menyelamatkan bisnis para kapitalis daripada menyelamatkan jutaan nyawa rakyat. Itulah mengapa, sampai saat ini, kebijakan lockdown tak kunjung segera diambil. Alasannya, kebijakan lockdown dianggap akan merugikan secara ekonomi, terutama tentu berdampak pada bisnis para kapitalis. Alasan lainnya, tentu karena kebijakan lockdown —sesuai UU Kekarantinaan— mewajibkan Pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk rakyat. Inilah yang sejatinya dihindari oleh Pemerintah. Kompensasi untuk rakyat dianggap sebagai beban. Padahal konon Pemerintah sudah menghabiskan seribuan triliun rupiah dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya. Namun, semua itu seolah tak berarti. Sebabnya, dana sebanyak itu tak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Boleh jadi malah lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang notabene para kapitalis.

Pererat Ukhuwah

Di tengah-tengah Pemerintah yang gagal mengurus rakyat, khususnya pada saat wabah seperti ini, tentu penting bagi kita, kaum Muslim, makin mempererat ukhuwah. Makin meningkatkan kepedulian. Makin melipatgandakan bantuan untuk melepaskan beban mereka yang sedang ditimpa kesulitan akibat terdampak wabah. 

Kaum Muslim harus menyadari bahwa memelihara dan mempererat ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Kewajiban ini didasarkan pada sejumlah nas al-Quran maupun as-Sunnah. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman: 

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (TQS al-Hujurat [49]: 10).

Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan persatuan, saling memperhatikan, saling menguatkan, saling peduli serta saling membantu dalam ragam kesulitan. 

Adapun di dalam as-Sunnah, Rasulullah saw. antara lain bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagian menguatkan sebagian lainnya (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad).

Tingkatkan Kepedulian

Salah satu perwujudan hakiki ukhuwah islamiyah adalah saling peduli, khususnya saat banyak saudara sesama Muslim ditimpa ragam kesulitan, terutama pada saat-saat wabah seperti ini. Di sinilah pentingnya kaum Muslim untuk saling membantu dan saling menolong. Apalagi membantu atau menolong sesama Muslim merupakan salah satu amal shalih yang utama dan agung. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Mukmin di antara kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan dari dirinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah memberikan kemudahan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya (HR Muslim).

Karena itulah, tidak boleh kita tidak saling peduli. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, ketidakpedulian seorang Muslim terhadap Muslim lainnya seolah-olah disamakan dengan ketidakpedulian kepada Allah SWT. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda: Sungguh Allah SWT berfirman pada Hari Kiamat nanti (yang artinya), “Hai manusia, Aku pernah sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah SWT berfirman, “Bukankah engkau dulu tahu hamba-Ku si fulan pernah sakit di dunia, tetapi engkau tidak menjenguk dia? Bukankah engkau pun tahu, andai engkau menjenguk dia, engkau akan mendapati Aku ada di sisinya? Hai manusia, Aku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana Aku memberi Engkau makan, sementara Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah SWT menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Aku ada di sampingnya?” (HR Muslim).

Melepaskan beban atau kesulitan orang lain adalah bagian dari kepedulian kita kepada sesama Muslim. Ini diperintahkan secara tegas oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang Muslim demi memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beritikaf di masjid selama dua bulan…Siapa saja yang berjalan menyertai saudaranya yang Muslim demi memenuhi suatu kebutuhannya hingga dia mampu meneguhkan keadaannya, Allah akan meneguhkan kedua kakinya pada Hari Kiamat nanti pada saat banyak kaki-kaki manusia tergelincir...” (HR ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabîr, III/11).

Bahkan memenuhi kebutuhan orang lain itu sebaiknya mesti dilakukan sebelum diminta oleh yang bersangkutan. Abdullah bin Ja’far berkata, “Sungguh orang yang disebut pemurah itu bukanlah orang yang memberi engkau setelah diminta. Namun, orang pemurah itu adalah orang yang memberi tanpa diminta. Sebabnya, sungguh usaha yang dikerahkan orang-orang yang meminta kepadamu jauh lebih keras dari apa yang engkau berikan kepada dirinya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Qadhâ’ al-Hawâ’ij). 

Perbanyak Sedekah

Karena itulah siapa saja yang diberi kemampuan lebih, hendaklah ia banyak bersedekah. Apalagi saat ini, banyak orang susah akibat terdampak wabah. Mereka tentu memerlukan uluran tangan dan sedekah kita. Apalagi sedekah atau infak hakikatnya adalah “memberikan pinjaman” kepada Allah SWT, yang akan dibalas dengan berlipat ganda, sebagaimana firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً 

Siapa saja yang memberi Allah pinjaman yang baik (menginfakkan hartanya di jalan-Nya), Dia akan melipatgandakan pembayarannya dengan berkali-kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 245).

Dalam hal bersedekah kita harus meneladani para Sahabat Rasulullah saw. Abdurrahman bin Auf adalah satu di antara para Sahabat Rasul saw. yang paling rajin mengeluarkan sedekah atau infak untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Beliau, misalnya, pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar. Seluruh hasil penjualannya lalu ia bagi-bagikan kepada fakir-miskin, termasuk kepada para istri Nabi saw. (HR al-Hakim). 

Kegemaran bersedekah dan berinfak juga ditunjukkan antara lain oleh Aisyah ra. dan Asma ra. Abdullah bin Zubair ra. menuturkan, “Aku tidak melihat dua orang wanita yang lebih murah hati daripada Aisyah dan Asma sekalipun cara keduanya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, setelah terkumpul banyak, harta itu ia infakkan semuanya. Adapun Asma tidak pernah sedikit pun menyimpan harta hingga keesokan harinya (karena semuanya ia infakkan hari itu juga).” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad). 

Semoga kita bisa meneladani mereka. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda

مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلاَّ طَيِّبًا وَلاَ يَصْعَدُ السَّمَاءَ إِلاَّ طَيِّبٌ إِلاَّ وَهُوَ يَضَعُهَا فِي يَدِ الرَّحْمَنِ أَوْ فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ فَيُرَبِّيهَا لَهُ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ حَتَّى إِنَّ التَّمْرَةَ لَتَكُونُ مِثْلَ الْجَبَلِ الْعَظِيمِ

“Tidaklah seorang hamba Mukmin bersedekah dengan harta yang baik—sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik-baik—melainkan dia telah meletakkan sedekah itu di tangan Allah. Allah akan melipatgandakan pahalanya sebagaimana seseorang di antara kalian menyemai benihnya atau memelihara anak unta. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh sehingga menjadi seperti gunung yang sangat besar.” (HR Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).[]

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah204m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah204

Senin, 02 Agustus 2021

SABAR, SYUKUR DAN IKHTIAR MAKSIMAL DALAM MENGHADAPI PANDEMIBuletin Kaffah No. 203 (20 Dzulhijjah 1442 H/30 Juli 2021)

SABAR, SYUKUR DAN IKHTIAR MAKSIMAL DALAM MENGHADAPI PANDEMI

Buletin Kaffah No. 203 (20 Dzulhijjah 1442 H/30 Juli 2021)

Pandemi Covid-19 adalah musibah. Musibah adalah bagian dari qadha’ Allah SWT (QS al-Hadid [57]: 22). Sikap seorang Muslim terhadap qadha’ Allah SWT adalah ridha. Ridha terhadap qadha’ akan mendatangkan banyak kebaikan. 

Sebaliknya, kita dilarang membenci qadha’ Allah SWT. Rasul saw. bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sungguh besarnya pahala itu seiring dengan besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu. Siapa yang benci, untuk dia kebencian itu (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Imam al-Qarafi menyatakan di dalam Ad-Dakhîrah, "As-Sakhthu bi al-qadhâ` harâm[un] ijmâ’[an] (Membenci qadha’ adalah haram berdasarkan Ijmak).”

Sabar dan Syukur

Karena merupakan qadha’, musibah itu tak terhindarkan sehingga, mau tidak mau, harus dihadapi dengan kesabaran. Apalagi Allah SWT pasti menguji hamba-Nya dengan ragam musibah. Namun demikian, Allah SWT pun memberikan kabar gembira kepada orang yang sabar dalam menghadapi musibah (QS al-Baqarah [2]: 155-157).

Dalam menghadapi musibah, Rasul saw. pun mengajari kita agar melakukan istirja’ (mengembalikan segalanya kepada Allah SWT) dan berdoa.  

Dalam menghadapi musibah, hendaknya juga kita banyak berzikir. Zikir akan dapat menenteramkan hati (QS ar-Ra’du [13]: 28).

Hendaknya juga kita memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT baik dengan shalat, sedekah, tilawah al-Quran, shalat-shalat sunnah dan taqarrub lainnya. 

Musibah yang menimpa ini seharusnya juga melahirkan rasa syukur. Dengan musibah ini kita harus bisa memberikan nilai dan makna atas beragam nikmat yang telah Allah berikan; nikmat sehat, kebugaran badan, nikmat kondisi kehidupan yang normal yang dengan itu bisa leluasa beraktivitas, mencari rezeki, dsb. Kondisi yang ada ini juga menuntun kita untuk bisa menghargai nikmat yang Allah berikan. Betapa nikmat itu sangat bernilai dan berharga. Ini akan makin mendorong kita untuk terus mensyukuri ragam nikmat yang telah Allah berikan. Rasa syukur itu akan makin meningkat saat wabah berhenti dan saat Allah mengembalikan nikmat berupa kehidupan yang kembali normal. 

Rasa syukur dan sabar dalam menghadapi wabah, termasuk sakit yang diderita, bisa mewujudkan berbagai kebaikan dan keutamaan yang telah Allah janjikan. Begitulah. Kita harus memiliki dua sayap, sabar dan syukur. Ini akan menjadi salah satu faktor kunci menghadapi dan melalui musibah wabah ini. Dengan itu musibah akan berubah menjadi kebaikan dan berbuah kebaikan.

Pahala Syahid 

Banyak kebaikan dan keutamaan yang Allah berikan di balik musibah, khususnya musibah wabah, termasuk Pandemi Covid-19 ini. Salah satunya adalah pahala syahid yang menanti. Rasul saw. bersabda terkait wabah tha’un:

أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ - في رواية أخرى لأحمد: فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ - صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُصِبْهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Tha’un itu merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah jadikan sebagai rahmat untuk kaum Mukmin. Tidaklah seorang hamba, saat tha’un terjadi, berdiam di negerinya—dalam riwayat Imam Ahmad yang lain: lalu dia berdiam di rumahnya—seraya bersabar dan mengharap ridha Allah, dan dia menyadari bahwa tidak menimpa dirinya kecuali apa yang telah Allah tuliskan untuk dia, kecuali bagi dia pahala semisal pahala syahid (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Tha’un merupakan jenis penyakit yang sudah dikenal; memiliki sifat menular dan menjadi wabah. Sifat menular dan menjadi wabah ini mirip pada berbagai penyakit wabah, termasuk Covid-19. Jadi ketentuan terkait Tha’un bisa berlaku pada wabah, termasuk Covid-19. Karena itu siapa saja yang terinfeksi Covid-19, lalu dirawat di rumah sakit atau melakukan isolasi mandiri yaitu mengisolasi/mengkarantina diri (tidak keluar dari rumah, tidak keluyuran, tidak keluar dari tempat karantina) dan dia meyakini bahwa itu merupakan qadha’ dari Allah, sembari dia bersabar, maka insya Allah, dia akan mendapatkan pahala semisal pahala syahid; semisal pahala orang yang berperang fî sabîlillah.

Adapun mereka yang wafat dalam kondisi terinfeksi Covid-19, semoga termasuk syuhada akhirat. Rasul saw. bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Syuhada’ itu ada lima: al-math’ûn (orang yang mati karena tha’un), al-mabthûn (orang yang mati karena penyakit perut/diare), al-ghariq (orang yang mati tenggelam), orang yang mati tertimpa reruntuhan dan orang yang syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, siapa yang beriman dan taat kepada Allah SWT, lalu dia diwafatkan dalam keadaan sebagaimana disebutkan di dalam hadis di atas, dia termasuk syahid, yakni syahid akhirat. Adapun orang yang wafat karena berperang di jalan Allah, dia syahid, yakni syahid dunia dan akhirat. Namun, jika orang itu tidak sedang taat kepada Allah ketika wafat maka hadis tersebut tidak berlaku atas dirinya. 

Kategori syahid akhirat bagi al-math’ûn itu semoga juga berlaku bagi orang yang diwafatkan karena terinfeksi Covid-19. Artinya, siapa saja dari kaum Muslim yang diwafatkan dalam kondisi terpapar Covid-19 dan dia sedang dalam keadaan taat kepada Allah ketika wafat, semoga dia termasuk syahid akhirat.

Terus Melanjutkan Ikhtiar

Untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini tentu yang harus dilakukan adalah terus melanjutkan ikhtiar terbaik oleh semua pihak; baik individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah/negara.

Segala upaya untuk mencegah infeksi dan penularan menurut ilmu kesehatan harus dilakukan. Hal itu sebagai pengamalan dari sabda Rasul saw., “Firra min al-majdzûm firâraka min al-asad (Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa).“ (HR Ahmad). 

Rasul saw. pun bersabda, “Lâ tûridû al-mumridha ‘alâ al-mushihhi (Janganlah kalian mencampurkan yang sakit dengan yang sehat).“ (HR al-Bukhari).

Prokes 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun/desinfektan) atau bahkan 5 M hendaknya terus dilakukan. Hal itu, sesuai data, berpengaruh banyak untuk mencegah infeksi dan penularan. 

Bagi masyarakat, ikhtiar taat prokes, saling menasihati dan mengingatkan tentu harus dilakukan. Saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan memudahkan urusan kehidupan di antara komunitas atau masyarakat tentu juga harus dilakukan. Hal itu sebagai pengamalan banyak hadis yang berbicara tentang itu.

Adapun Pemerintah tentu harus bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya, termasuk saat rakyat ditimpa musibah sebagaimana saat ini. Rasul. saw. bersabda:

فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Amir (pemimpin) masyarakat adalah pengurus mereka dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Karena itu Pemerintah wajib melakukan ikhtiar terbaik dalam mengatasi pandemi ini, memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk rakyat dan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok mereka.

Dalam hal pencegahan dan penanggulangan Covid-19 saat ini, Pemerintah wajib menjamin perawatan dan pengobatan semua orang yang sakit. Pemerintah harus menyediakan semua alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan. Pemerintah juga harus mengedukasi dengan edukasi terbaik dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan prokes. Aparatur Pemerintah, khususnya para pejabat, harus memberikan contoh terbaik dalam hal itu. 

Pemerintah harus menjalankan 3T (test, tracing, treatment) secara massif. Pemerintah pun harus menjamin pelaksanaan isolasi yang standar bagi yang sakit, tetapi tidak perlu perawatan. 

Boleh jadi Pemerintah pun perlu menerapkan karantina wilayah. Tentu dibarengi dengan menjamin kelangsungan hidup semua anggota masyarakat atau setidaknya mereka yang memerlukan. Karantina wilayah disyariatkan dalam sabda Rasul saw. dan pernah dicontohkan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Pertimbangan untung-rugi tidak selayaknya ada dalam hal ini. Berapapun biaya yang diperlukan harus disediakan dan dikeluarkan oleh Pemerintah. Realokasi anggaran, penggunaan sisa anggaran lebih dan sisa lebih penggunaan anggaran, termasuk opsi yang bisa dilakukan. Kebutuhan sekitar Rp 400-an triliun untuk biaya karantina wilayah selama tiga bulan pasti bisa diadakan. Kuncinya adalah kemauan dan keberanian politik dari Pemerintah untuk melakukan hal itu. Semua itu juga akan baik untuk ekonomi. Mengatasi wabah adalah cara terbaik untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan ekonomi. Bukan sebaliknya. Dengan dalih menjaga ekonomi, penanggulangan pandemi terkesan sporadis, ragu-ragu dan setengah-setengah. Jika penanganan pandemi ini berkepanjangan, maka itu justru malah akan menguras sumberdaya ekonomi yang lebih besar. 
 
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. (HR at-Tirmidzi). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah203m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah203

Sabtu, 26 Juni 2021

AL-QURAN TAK LAYAK DIBANDINGKAN DENGAN GAGASAN MANUSIA📑 BULETIN DAKWAH KAFFAH – 198📅 14 DZULQA'DAH 1442 H/25 JUNI 2021 M

🌟 AL-QURAN TAK LAYAK DIBANDINGKAN DENGAN GAGASAN MANUSIA
📑 BULETIN DAKWAH KAFFAH – 198
📅 14 DZULQA'DAH 1442 H/25 JUNI 2021 M

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Al-Quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril yang ditransfer dari generasi ke generasi secara mutawatir. Tidak layak al-Quran dibandingkan dengan hasil gagasan manusia, dari segi apapun. Tidak layak mempertanyakan pilihan antara firman Allah SWT dengan hasil gagasan manusia. 

Lalu,ketika sikap tegas lebih memilih al-Quran dianggap sebagai indikator radikalisme, sementara radikalisme dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan membahayakan, itu berarti menuduh al-Quran sebagai sesuatu yang buruk dan membahayakan. Hal demikian dapat dimaknai penistaan terhadap al-Quran. Wa al-‘iyâdz bilLâh. Sungguh sangat disesalkan. 

BAGAIMANA BISA ADA ORANG YANG MENGAKU BERAGAMA ISLAM, NAMUN JUSTRU MENISTAKAN KITAB SUCINYA SENDIRI?

Simak selengkapnya pada buletin Kaffah edisi 198, dengan tema : AL-QURAN TAK LAYAK DIBANDINGKAN DENGAN GAGASAN MANUSIA, yang seperti biasa, Anda bisa dapatkan dalam format 🌏 WEB dan 🤖 BOT. Berikut link-linknya :

1️⃣ Format Teks 👇👇👇
🌏 : https://kaffah.press/198-teks
🤖 : https://kaffah.press/198-teksbot
 
2️⃣ Format PDF 👇👇👇
🌏 : https://kaffah.press/198-pdf
🤖 : https://kaffah.press/198-pdfbot
3️⃣ Format Cetak 👇👇👇
🌏 : https://kaffah.press/198-print
🤖 : https://kaffah.press/198-printbot
4️⃣ Format Audio Reading 👇👇👇
🌏 : https://kaffah.press/198-audio
🤖 : https://kaffah.press/198-audiobot

5️⃣ Format Podcast Reading 👇👇👇
🌏 : https://kaffah.press/198-podcast
🤖 : https://kaffah.press/198-podcastbot
 
CATATAN : 
👉🏻👉🏻👉🏻 : Simpan Nomor ini : 0857-4572-60821, untuk mendapatkan konten terbaru Buletin Kaffah secara EKSKLUSIF. Terima kasih. 

Buletin Dakwah Kaffah, terbit setiap hari Jumat pukul 13:00 WIB. 
Raih amal jariyah dengan menyebarkan informasi ini kepada saudara, rekan kerja, dan kerabat anda.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

#buletinjumat #buletindakwahkaffah #buletinkaffah #kaffah198 #alquran #hadits #pancasila #quran #sunnah

Senin, 21 Juni 2021

Keutamaan Aktifitas Dakwah

Keutamaan Aktifitas Dakwah (2) 

Dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang Terbaik)

Dakwah adalah amal yang terbaik, karena da’wah memelihara amal Islami di dalam pribadi dan masyarakat. Membangun potensi dan memelihara amal sholeh adalah amal da’wah, sehingga da’wah merupakan aktivitas dan amal yang mempunyai peranan penting di dalam menegakkan Islam. Tanpa da’wah ini maka amal sholeh tidak akan berlangsung.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Fushilat (41): 33).

 

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: Allah swt menyeru manusia: “Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia lakukan.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, 21/468).

HARAM MENZALIMI HARTA RAKYATBuletin Dakwah Kaffah No. 197 (7 Dzulqa'dah 1442 H/18 Juni 2021 M)

HARAM MENZALIMI HARTA RAKYAT

Buletin Dakwah Kaffah No. 197 (7 Dzulqa'dah 1442 H/18 Juni 2021 M)

Harta adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia yang mendapat perlindungan Islam. Tidak boleh ada yang mengganggu dan merampas harta seseorang. Tidak boleh juga memungut harta seseorang tanpa izin syariah. Bahkan negara sekalipun haram melakukan pemaksaan pungutan apapun dari rakyatnya, kecuali pungutan yang memang telah diakui dan dibenarkan oleh syariah.

Namun, di dalam sistem Kapitalisme sekular seperti saat ini, berbagai macam pungutan (pajak) justru menjadi sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan masyarakat. Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal, di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Islam Melindungi Harta

Di dalam al-Quran telah terdapat larangan mengganggu dan merampas harta manusia tanpa alasan yang haq. Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 29).

Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa harta sesama manusia boleh diambil dan dimanfaatkan jika pemiliknya ridha dan tentu harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam, seperti melalui jual-beli, hibah, sedekah, dsb. 

Larangan mengganggu dan merampas harta juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam Khutbah al-Wada’.:

 إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِي شَهْرِكُمْ هذَا فِي بَلَدِكُمْ هذَا 

Sungguh darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR al-Bukhari dan Muslim).

Demikian pentingnya menjaga harta sesama Muslim, bahkan sejengkal tanah mereka pun tak boleh dirampas. Rasulullah saw. mengingatkan:

مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah (orang lain) secara zalim, Allah akan menghimpit dirinya dengan tujuh lapis tanah (bumi) (HR Muslim).

Rasulullah saw. pun bersabda:

لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا وَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا 

Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik dengan main-main ataupun sungguh-sungguh. Siapa saja yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya (HR Abu Dawud).

Ghashab dan Kezaliman

Terkait dengan QS an-Nisa’ ayat 29 di atas, As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “Allah SWT telah melarang hamba-hamba-Nya yang Mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil. Ini mencakup ghashab (perampasan), pencurian serta memperoleh harta melalui judi dan perolehan-perolehan yang tercela.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 300).

Ghashab, menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa. Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar. 

Ghashab bukan saja terjadi antar individu, tetapi juga bisa dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang ada di luar syariah Islam seperti pajak atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dsb adalah kezaliman karena tidak didasarkan pada ketentuan syariah. Inilah yang dimaksud Allah SWT dengan firman-Nya (yang artinya): memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.

Melakukan berbagai pungutan/pajak terhadap rakyat adalah kebiasaan para raja, kaisar dan para pemimpin di luar Islam. Dulu para raja biasa memungut pajak dan upeti dari rakyat mereka. Ada pajak atas emas, hewan ternak, juga budak. Pada era modern, negara-negara yang menganut ideologi kapitalis juga memungut pajak dari rakyat dengan lebih banyak lagi jenisnya; pajak kendaraan, rumah, tanah, dll. Sekarang direncanakan pula ada pungutan/pajak atas sembako, sekolah bahkan pajak dari para ibu yang melahirkan. Kebijakan inilah yang telah diperingatkan keras oleh Islam.

Abu Khair ra. berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ra. Ia berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: 
 
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka (HR Ahmad).

Inilah realita kehidupan umat hari ini. Mereka dihadapkan pada kondisi hajat hidup yang ditelantarkan, sementara beban hidup semakin berat. Bahkan penguasa justru menambah berat beban kehidupan mereka dengan berbagai pungutan/pajak. 

Berbeda dengan para khalifah yang menjalankan syariah Islam, mereka berusaha sekuat tenaga melayani kebutuhan rakyat dan meringankan beban mereka. Pasalnya, mereka paham bahwa jabatan dan kekuasaan semestinya dijalankan untuk melayani rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 

Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara

Dalam sistem ekonomi selain Islam, pajak dan berbagai pungutan memang menjadi salah satu urat nadi pendapatan negara. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, mengatakan, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah.” Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan. Bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.

Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Pasalnya, Kas Negara atau Baitul Mal dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dsb. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tak perlu ada pungutan batil di luar ketentuan syariah.

Memang adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah. 

Pungutan itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara. Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitul Mal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti dalam sistem kapitalisme.

Obyek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Non-Muslim (ahludz-dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga Muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.:

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى 

Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya (HR al-Bukhari).

Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan. 

Para penguasa pun akan legowo ketika diingatkan akan kewajiban mereka untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh memenuhi hajat rakyat. Mereka takut jika sikap melalaikan kewajiban tersebut akan berbuah siksa pada Hari Akhir. Suatu ketika Abu Maryam al-’Azdy ra. menasihati Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia berkata kepada Muawiyah: Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ

“Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat, kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menolak hajat, kepentingan dan kebutuhannya pada Hari Kiamat.” Mendengar nasihat itu, Muawiyah segera mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan orang-orang (rakyat) (HR Abu Dawud).

Berkebalikan dengan hari ini, banyak orang kaya menikmati berbagai fasilitas kemudahan hidup dari negara semisal pengampunan pajak (tax amnesty). Sebaliknya, rakyat kebanyakan kian ditekan dan diburu hartanya. 

Apakah para pemimpin itu tidak takut dengan doa keburukan yang dipanjatkan Baginda Nabi saw. untuk para penguasa yang zalim, yang mempersulit kehidupan rakyatnya: 

اللَّهُمَّ مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ

Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim). []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

Akan ada pada akhir zaman para penguasa zalim, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah kalian menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi.
(HR ath-Thabrani). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah197m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah197

Jumat, 04 Juni 2021

GOLDEN MEMORIES

GOLDEN MEMORIES

Indahnya generasi Yang lahir Tahun 1960-90an
(yg usianya skrg 30an - 50an tahun)

Sekedar anda tahu.
Kita yg lahir di tahun 1970-80-90an, adalah generasi yg layak disebut generasi paling beruntung.

Karena kitalah generasi yg mengalami loncatan teknologi yg begitu mengejutkan di abad ini, dgn kondisi usia prima.
✌✊👊👍

Sebagian kita pernah menikmati lampu petromax dan lampu minyak, sekaligus menikmati lampu bohlam, TL, hingga LED
Kitalah generasi terakhir yg pernah menikmati riuhnya suara mesin ketik. 

Sekaligus saat ini jari kita masih lincah menikmati keyboard dari laptop kita.
📃📄📝💻💻

Kitalah generasi terakhir yg merekam lagu dari radio dgn tape recorder (kadang pitanya mbulet) kita.
Sekaligus kita juga menikmati mudahnya men download lagu dari gadget.
😄🔊📻📼📱

Kitalah generasi dgn masa kecil bertubuh lebih sehat dari anak masa kini, karena lompat tali, loncat tinggi, petak umpet, gobak sodor, main kelereng, karetan, sumpit2an, galasin adalah permainan yg tiap hari akrab dgn kita.
Sekaligus saat ini mata dan jari kita tetap lincah memainkan berbagai game di gadget .
🏃🎈🏊💃📱💻

Masa remaja.
Kitalah generasi terakhir yg pernah mempunyai kelompok/geng yg tanpa janji, tanpa telpon/sms tapi selalu bisa kumpul bersama menikmati malam minggu sampai pagi.
Karena kita adalah generasi yg berjanji cukup dgn hati. 
Kalau dulu kita harus bertemu untuk tertawa terbahak-bahak bersama. 
Kini kitapun tetap bisa ber "'wkwkwkwk" 
😄😃😀😝😛😜😂''
Di grup Facebook/whatsApp . 

🎇🌠🌌🌈
Kitalah generasi terakhir yg pernah menikmati lancarnya jalan raya tanpa macet dimana-mana.
Juga bersepeda onthel / motor menikmati segarnya angin jalan raya tanpa helm di kepala
😀😃😅🚴 🚵

Kitalah generasi terakhir yg pernah menikmati jalan kaki berkilo meter tanpa perlu berpikir ada penculik yg membayangi kita.
👧🚶👬🏃💃
Kitalah generasi terakhir yg pernah merasakan nikmatnya nonton tv (ada yg cuman hitam putih layarnya) dgn senang hati tanpa diganggu remote untuk pindah chanel sana sini rame rame satu kampung dengan powersuplai aki yg jika strumnya akan habis layarnya tv ciut tinggal separo 😔😞😞😞
Kita adalah Generasi yang selalu berdebar debar menunggu hasil cuci cetak foto, seperti apa hasil jepretan kita.
Selalu menghargai dan berhati2 dalam mengambil foto dan tidak menghambur hamburkan jepretan dan mendelete-nya jika ada hasil muka yang jelek.
Saat itu hasil dengan muka jelek kita menerimanya dengan rasa ihklas.

Ihklas dan tetap ihklas apapun tampang kita di dalam foto.
Tanpa ada editan Camera 360 photoshop atau Beauty face.
Betul2 generasi yg menerima apa adanya.

📷📸📸📸📸📷🔝
Kitalah generasi terakhir yg pernah begitu mengharapkan datangnya Pak Pos menyampaikan surat dari sahabat dan kekasih hati. 😍📬😍📩😘

Kita mungkin bukan generasi terbaik. Tapi kita adalah generasi yg LIMITED EDITION.

Kita adalah generasi yg patuh & takut kepada OrTu (meskipun sembunyi2 nakal & melawan) tp kita generasi yg mau mendengar & komunikatif thdp anak cucu.

Itulah kita.... selalu bersyukur atas nikmat yg telah kita terima
Anda di generasi itu?

Buletin Dakwah Kaffah No. 195 (23 Syawal 1442 H/4 Juni 2021 M)MEMBASMI KORUPSI

Buletin Dakwah Kaffah No. 195 (23 Syawal 1442 H/4 Juni 2021 M)

MEMBASMI KORUPSI

Korupsi merupakan musuh bersama semua masyarakat, sistem dan ideologi. Korupsi telah dianggap sebagai salah satu musuh besar kemanusiaan. Di negara mana pun, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar negara.

Korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Karena itu memberantas korupsi tentu memerlukan upaya yang juga luar biasa. Di antaranya memerlukan sistem yang benar-benar anti korupsi serta pemimpin “komandan” dan teladan.

Sistem yang Anti Korupsi

Pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh sistemnya. Pemberantasan korupsi akan terus menjadi harapan kosong di dalam sistem politik sekular demokrasi yang korup saat ini. 

Karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dengan meninggalkan sistem yang terbukti korup dan gagal memberantas korupsi. Lalu diikuti dengan mengambil dan menerapkan sistem yang benar-benar anti korupsi. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam. 

Dalam sistem Islam tidak akan ada politik biaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem sekarang ini. 

Dalam sistem Islam, hukum juga tidak bisa diutak-atik. Apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebabnya, hukumnya adalah hukum Allah SWT. Bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang di-istinbath dengan istinbath syar’i yang sahih. Dalam sistem Islam, perubahan hukum atau UU untuk melemahkan pemberantasan korupsi, termasuk melemahkan lembaga pemberantas korupsi, tidak akan terjadi. Tentu masih banyak lagi aspek mendasar dalam sistem Islam yang menjamin sistem ini benar-benar anti korupsi. 

Adapun secara praktis, pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya berikut ini. 

Pertama: Penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi. 

Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).

Kedua: Sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.  

Ketiga: Ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik. Rasul saw. bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).

Berdasarkan hadis ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.

Hadis ini mengisyaratkan: Pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Harta pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan. Harta kekayaan pejabat itu harus diaudit.  Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah.  Jika tidak bisa, hartanya yang tidak wajar disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.

Keempat: Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr.  Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.  

Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat, tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan disetujui oleh para Sahabat.  Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi, termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini, sangat efektif memberantas korupsi.

Pemimpin “Komandan” dan Teladan

Sistem yang benar-benar anti korupsi tidak bisa jalan sendiri. Agar benar-benar bebas korupsi diperlukan aparatur yang juga benar-benar berkarakter anti korupsi. Aktivitas dan efektifitas pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh aparatur yang anti korupsi itu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh karakter pemimpin. Di sini diperlukan pemimpin “komandan” dan teladan. Pemimpin “komandan” adalah pemimpin yang anti korupsi, yang komitmen pemberantasan korupsinya tidak diragukan lagi. Pemimpin yang satu antara ucapan dan tindakan. Komitmen anti korupsi itu tampak nyata dalam ucapan, karakter dan kebijakannya. Dia pun memberikan teladan terkait dirinya, keluarga dan semua koleganya. 

Pemimpin ini memiliki ketakwaan. Rasa takutnya kepada Allah SWT dan siksa-Nya begitu menghujam dalam kalbunya. Hal ini akan membuat dia konsisten dan konsekuen menjalankan hukum dan pemerintahan. Dia akan sangat keras menjaga harta rakyat dan negara. Bagi dia, tidak boleh ada harta rakyat dan negara yang hilang atau tersia-sia apalagi dikorupsi. Pemimpin yang begitu menjaga harta rakyat dan negara ini antara lain adalah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Khalifah Umar menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi Sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Sebab, tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim.” (Abu Laits as-Samarkandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).

Pemimpin teladan hanya akan menunjuk dan memilih pejabat dari orang-orang terbaik, yang bertakwa serta memiliki kapasitas dan profesionalitas. Dia tidak akan menunjuk pejabat karena kedekatan, hubungan, kekerabatan, kolega, pertemanan dan kelompok. Termasuk dalam menunjuk orang yang mengurusi harta dan badan usaha milik negara. Dia tidak akan bagi-bagi jabatan. Istilah balas jasa politik tidak ada dalam kamusnya.  

Pemimpin yang baik akan bersikap tegas kepada siapapun, bahkan terhadap orang-orang dekatnya sekalipun. Dia tidak akan melindungi pejabat, kolega, kelompoknya atau siapapun yang terjerat korupsi. Dia tidak akan sudi meloloskan aturan, termasuk aturan administratif yang menghambat atau melemahkan pemberantasan korupsi ataupun memberikan celah untuk perilaku korupsi. Dia juga tidak akan membuat kebijakan, memilih pejabat dan melakukan upaya yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi. 

Pemimpin yang baik itu memiliki ketegasan seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau 'amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47). 

Khalifah Umar pun bersikap tegas terhadap keluarganya sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah.

Pemimpin yang baik itu sederhana hidupnya. Dia bukanlah pemimpin yang kekayaannya bertambah banyak ketika menjabat. Pemimpin yang baik itu seperti Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar ash-Shidiq ra., misalnya, menjelang wafat berwasiat agar jika ada kelebihan harta dari hartanya sebelum menjabat khalifah dikembalikan ke Negara. Ketika diperiksa, tambahan hartanya hanyalah unta yang biasa digunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham (Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, I/139). 

Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama. 

Khatimah

Alhasil, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekular seperti sekarang ini. Karena itu, tegaknya penerapan syariah Islam secara menyeluruh dan totalitas harus segera diwujudkan. 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Rasul saw. bersabda:

مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً ‏ ‏فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ ‏‏صَرْفًا ‏وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ

Siapa saja yang dipercaya mengurus suatu urusan kaum Muslim, lalu dia mengangkat seseorang sebagai pemimpin mereka karena kecintaan, maka bagi dia laknat Allah; tidak diterima dari dia pengampunan dan tidak pula tebusan sampai Allah memasukkan dia ke Neraka Jahanam. (HR Ahmad). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah195m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah195