Jumat, 13 Agustus 2021

🌟 HIJRAH: ‏PENGORBANAN DAN PERUBAHAN📑 BULETIN DAKWAH KAFFAH ‎– 205📅 ‎04 ‏Muharram ‎1443 ‏H/13 ‏Agustus ‎2021A

Tahun 1442 H sudah berlalu. Kita sekarang berada di tahun baru 1443 H. Beragam suasana duka terjadi sepanjang tahun lalu. Pandemi sudah berlangsung dua tahun. Krisis ekonomi makin membuat kehidupan negeri terpuruk. Korupsi terus merajalela. Beragam penistaan terhadap ajaran Islam serta ketidakadilan hukum terus ditimpakan kepada tokoh-tokoh umat. Karena itu besar harapan dan keinginan umat agar momen hijrah dapat mengubah keadaan negeri ini menuju suasana yang lebih islami, berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

Keyakinan dan Pengorbanan

Peristiwa hijrah Nabi saw. bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah disepakati sebagai awal penanggalan kalender Hijrah atas usul Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini dicatat oleh Ibnu al-Jauziy dalam kitabnya, Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (4/227).

Dengan menelaah Sirah Nabi saw., siapapun akan paham bahwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat adalah peristiwa besar, bahkan menjadi tonggak tegaknya Islam di muka bumi. Melalui hijrah, Islam menjadi kekuatan besar yang menebarkan rahmat ke seluruh umat manusia. Berbeda dengan sebelumnya, selama 13 tahun di Makkah, dakwah Islam menemui kesukaran bahkan jalan buntu. Caci-maki hingga penganiayaan dialami Rasulullah saw. dan para sahabat. Hal ini yang sempat membuat Rasulullah saw. berduka hingga turun ayat yang menghibur beliau:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ
Sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kamu. Lalu mereka sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Sungguh telah datang kepadamu sebagian dari berita para rasul itu (TQS al-An’am [6]: 34).

Imam Ibnu Katsir menerangkan: “Ayat ini merupakan hiburan bagi hati Nabi Muhammad saw., ungkapan dukungan kepada beliau dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan beliau dari kalangan kaum beliau, serta perintah kepada beliau agar bersabar sebagaimana sikap sabar ulul ‘azmi dari kalangan para rasul terdahulu. Ayat ini pun mengandung janji Allah kepada Nabi-Nya bahwa Dia akan menolong dirinya sebagaimana Dia telah menolong para rasul terdahulu, kemudian mereka memperoleh kemenangan. Pada akhirnya akibat yang baik diperoleh para rasul sesudah mereka mengalami pendustaan dan gangguan dari kaumnya masing-masing. Setelah itu datanglah kepada mereka pertolongan dan kemenangan di dunia dan di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/252).

Hijrah adalah pengorbanan. Selain harus menempuh perjalanan yang berat dengan jarak lebih dari 400 km, kaum Muslim menghadapi dua ujian dalam berhijrah. Pertama: Ujian keimanan. Mereka harus meninggalkan negeri asal mereka, harta benda, tempat tinggal bahkan keluarga mereka. Mereka berpindah ke negeri yang di sana tak ada sanak kerabat. Mereka pun tidak dijanjikan akan mendapat tempat tinggal baru atau mata pencaharian baru sebagai ganti harta yang mereka tinggalkan. Hanya bermodalkan keyakinan pertolongan Allah SWT mereka berhijrah. Allah SWT pun memberikan pujian dan pahala berlimpah kepada kaum Muhajirin.

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberi mereka rezeki yang baik (surga). Sungguh Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki (TQS al-Hajj [2]: 58).

Kedua: Kaum Muslim yang berhijrah juga menghadapi ujian pengorbanan dan penentangan dari kaumnya. Zainab binti Rasulullah saw., misalnya. Ia harus rela berpisah dengan suaminya, Abu al-Ash bin Rabi, yang masih musyrik dan menolak ikut berhijrah. Keluarga suaminya juga menghadang Zainab yang tengah hamil empat bulan hingga dirinya terjatuh dan mengalami keguguran. Setelah pulih dari lukanya, Zainab kembali berangkat berhijrah meninggalkan suaminya.

Sahabat lain, Suhaib ar-Rumiy ra., sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir, 1/421), mengorbankan harta yang dia bawa dari rumahnya untuk diberikan kepada kaum musyrik yang menghadang dirinya di perjalanan ketimbang ia kembali ke Makkah. Setibanya di Madinah dan ia menceritakan peristiwa yang ia alami, termasuk harta yang ia berikan kepada para penghadangnya, Rasulullah saw. memuji dirinya, “Beruntunglah perdagangan Suhaib!” Dua kali pujian itu diulang Nabi saw. Kemudian turunlah firman Allah SWT:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari ridha Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (TQS al-Baqarah [2]: 207).

Perubahan Kekuatan

Hijrah Nabi saw. ke Madinah bukanlah karena beliau ingin menghindar dari kesulitan demi kesulitan yang menghadang dakwah beliau selama di Makkah. Hijrah juga bukan karena Rasulullah saw. sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapi rintangan dakwah. Namun, beliau menyadari bahwa masyarakat Makkah berpikiran dangkal, bebal dan berkubang dalam kesesatan. Karena itu beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat yang kondusif dan siap menerima Islam.

Allah SWT lalu memberikan pertolongan dengan kedatangan orang-orang suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Dua kabilah ini terkenal dengan kekuatan mereka karena terbiasa berperang. Negeri mereka pun memiliki posisi geostrategis yang luar biasa. Terletak di jalur perdagangan antara Makkah dan Syam. Hal ini mencemaskan orang-orang Quraisy seandainya Rasulullah saw. berkuasa di Madinah.

Madinah juga memiliki lahan yang lebih subur ketimbang Makkah karena terletak di antara dua tanah vulkanik; al-Wabarah di Barat, Waqim di Timur, Uhud dan Sil’u di Utara, serta gunung Ir di Barat Daya. Selain memberikan kesuburan, posisi Madinah yang demikian secara militer membuat wilayah ini sulit untuk diterobos dan diserbu musuh.

Ini disadari oleh kaum musyrik Quraisy. Mereka mencemaskan Islam menjadi kekuatan besar yang bisa mengalahkan mereka. Karena itu mereka berusaha keras menghadang hijrah kaum Muslim, khususnya Rasulullah saw. Namun, dengan izin Allah, beliau dapat menerobos kepungan orang-orang kafir Quraisy dan lolos dari kejaran mereka hingga beliau tiba di Madinah.

Setiba di Madinah, Rasulullah saw. melakukan sejumlah langkah untuk membangun kekuatan dalam wujud Negara Islam pertama di dunia yang kokoh. Pertama: Rasulullah saw. berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj yang bermusuhan. Beliau juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.

Kedua: Rasulullah saw. mengikat seluruh pihak di Madinah dan sekitarnya, seperti kaum musyrik dan Yahudi, dengan Piagam Madinah. Tujuannya, antara lain, agar eksistensi Negara Islam yang dibangun tidak digoyahkan oleh siapapun. Semua terikat dengan Piagam Madinah untuk saling menjaga dan melindungi. Mereka tidak boleh bersekutu dengan musuh untuk menyerang satu sama lain. Semua pihak setuju untuk tunduk pada hukum-hukum Islam (Lihat: Piagam Madinah, Klausul no. 45).

Ketiga: Rasulullah saw. menyusun struktur pemerintahan Islam di Madinah dan menjalankan syariah Islam secara kaffah di sana. Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab ra. diangkat sebagai mu’awin atau pembantu beliau dalam pemerintahan. Nabi saw. bersabda:

وَزِيرَايَ مِن السَّمَاء جِبْرِيل وَ مِيكَائِيل وَ مِن أَهْلِ الأَرْضِ أَبُو بَكر وَ عُمَر
Pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sementara pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR al-Hakim dan Tirmidzi).

Rasulullah saw. mengangkat Qais bin Saad sebagai pimpinan Kepolisian sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Beliau juga mengangkat sejumlah sahabat sebagai komandan pasukan untuk ekspedisi militer jihad fi sabilillah.

Dakwah Islam dan jihad fi sabilillah pun dilakukan oleh Rasulullah saw. selama hidup di Madinah. Beliau antara lain memimpin Penaklukan Makkah pada tanggal 17 Ramadhan 8 H dengan mengerahkan 10 ribu tentara kaum Muslim. Saat Rasulullah saw. wafat, seluruh Jazirah Arab telah masuk ke dalam kekuasaan kaum Muslim (Negara Islam). Ekspansi Islam ini diteruskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, lalu oleh para khalifah berikutnya.

Wahai kaum Muslim! Peristiwa hijrah telah memberikan keteladanan dan pelajaran penting. Betapa perubahan masyarakat menuju tatanan yang penuh rahmat dan keadilan tidak mungkin terjadi tanpa Islam. Perubahan tersebut tak mungkin terjadi tanpa pengorbanan. Kaum Muslim generasi awal telah mencontohkan bahwa kemenangan dan perubahan besar itu hanya bisa karena pengorbanan yang besar di jalan Allah. Semoga kita bisa mengikuti jejak mereka. Aamiin.

WalLahu a’lam. []

—*—

HIKMAH:

Allah SWT berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (TQS at-Taubah [9]: 100). []

Senin, 09 Agustus 2021

PERERAT UKHUWAH DI TENGAH WABAHBuletin Dakwah Kaffah No. 204 (27 Dzulhijjah 1442 H-06 Agustus 2021)

PERERAT UKHUWAH DI TENGAH WABAH

Buletin Dakwah Kaffah No. 204 (27 Dzulhijjah 1442 H-06 Agustus 2021)

Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun, wabah virus Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Tentu sudah banyak korban berjatuhan. Lebih dari seratus ribu orang meninggal dan tiga setengah juta yang terpapar. Jutaan bahkan puluhan juta orang terdampak secara ekonomi. Sebabnya, sejak kemunculan pandemi Covid-19, demi pencegahan penularan virus, sejumlah pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan. Dari mulai PSBB, PPKM darurat hingga PPKM level 3-4 saat ini. Semuanya tanpa kompensasi sama sekali dari Pemerintah yang diberikan kepada rakyatnya. Padahal dengan kebijakan pembatasan tersebut, tentu banyak kegiatan usaha masyarakat terpaksa berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan pun banyak yang sepi. Banyak perusahaan tak lagi beroperasi. Akhirnya, kini banyak orang menganggur dan gigit jari. Betapa hidup makin sulit meski sekadar mencari sesuap nasi. 

Pada saat yang sama, bantuan sosial dari Pemerintah malah dikorupsi. Padahal tanpa dikorupsi pun, bantuan dari Pemerintah selama ini jauh dari kata memadai. Hanya cukup untuk satu-dua hari. Tak cukup untuk bekal hidup sebulan. Apalagi untuk hidup berbulan-bulan. Padahal sejak pandemi, jutaan kepala keluarga banyak yang berpenghasilan tak karuan. Jauh dari harapan. Bahkan banyak yang tak berpenghasilan sama sekali. Akhirnya, untuk bertahan hidup, banyak yang mengandalkan belas kasihan dan pemberian orang lain. 

Sayangnya, sejak awal kita tidak terlalu berharap banyak kepada Pemerintah. Terbukti, sejak awal Pandemi, kebijakan Pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepada rakyat kebanyakan. Pemerintah lebih berkepentingan menyelamatkan bisnis para kapitalis daripada menyelamatkan jutaan nyawa rakyat. Itulah mengapa, sampai saat ini, kebijakan lockdown tak kunjung segera diambil. Alasannya, kebijakan lockdown dianggap akan merugikan secara ekonomi, terutama tentu berdampak pada bisnis para kapitalis. Alasan lainnya, tentu karena kebijakan lockdown —sesuai UU Kekarantinaan— mewajibkan Pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk rakyat. Inilah yang sejatinya dihindari oleh Pemerintah. Kompensasi untuk rakyat dianggap sebagai beban. Padahal konon Pemerintah sudah menghabiskan seribuan triliun rupiah dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya. Namun, semua itu seolah tak berarti. Sebabnya, dana sebanyak itu tak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Boleh jadi malah lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang notabene para kapitalis.

Pererat Ukhuwah

Di tengah-tengah Pemerintah yang gagal mengurus rakyat, khususnya pada saat wabah seperti ini, tentu penting bagi kita, kaum Muslim, makin mempererat ukhuwah. Makin meningkatkan kepedulian. Makin melipatgandakan bantuan untuk melepaskan beban mereka yang sedang ditimpa kesulitan akibat terdampak wabah. 

Kaum Muslim harus menyadari bahwa memelihara dan mempererat ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Kewajiban ini didasarkan pada sejumlah nas al-Quran maupun as-Sunnah. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman: 

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (TQS al-Hujurat [49]: 10).

Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan persatuan, saling memperhatikan, saling menguatkan, saling peduli serta saling membantu dalam ragam kesulitan. 

Adapun di dalam as-Sunnah, Rasulullah saw. antara lain bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagian menguatkan sebagian lainnya (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad).

Tingkatkan Kepedulian

Salah satu perwujudan hakiki ukhuwah islamiyah adalah saling peduli, khususnya saat banyak saudara sesama Muslim ditimpa ragam kesulitan, terutama pada saat-saat wabah seperti ini. Di sinilah pentingnya kaum Muslim untuk saling membantu dan saling menolong. Apalagi membantu atau menolong sesama Muslim merupakan salah satu amal shalih yang utama dan agung. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Mukmin di antara kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan dari dirinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah memberikan kemudahan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya (HR Muslim).

Karena itulah, tidak boleh kita tidak saling peduli. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, ketidakpedulian seorang Muslim terhadap Muslim lainnya seolah-olah disamakan dengan ketidakpedulian kepada Allah SWT. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda: Sungguh Allah SWT berfirman pada Hari Kiamat nanti (yang artinya), “Hai manusia, Aku pernah sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah SWT berfirman, “Bukankah engkau dulu tahu hamba-Ku si fulan pernah sakit di dunia, tetapi engkau tidak menjenguk dia? Bukankah engkau pun tahu, andai engkau menjenguk dia, engkau akan mendapati Aku ada di sisinya? Hai manusia, Aku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana Aku memberi Engkau makan, sementara Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah SWT menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Aku ada di sampingnya?” (HR Muslim).

Melepaskan beban atau kesulitan orang lain adalah bagian dari kepedulian kita kepada sesama Muslim. Ini diperintahkan secara tegas oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang Muslim demi memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beritikaf di masjid selama dua bulan…Siapa saja yang berjalan menyertai saudaranya yang Muslim demi memenuhi suatu kebutuhannya hingga dia mampu meneguhkan keadaannya, Allah akan meneguhkan kedua kakinya pada Hari Kiamat nanti pada saat banyak kaki-kaki manusia tergelincir...” (HR ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabîr, III/11).

Bahkan memenuhi kebutuhan orang lain itu sebaiknya mesti dilakukan sebelum diminta oleh yang bersangkutan. Abdullah bin Ja’far berkata, “Sungguh orang yang disebut pemurah itu bukanlah orang yang memberi engkau setelah diminta. Namun, orang pemurah itu adalah orang yang memberi tanpa diminta. Sebabnya, sungguh usaha yang dikerahkan orang-orang yang meminta kepadamu jauh lebih keras dari apa yang engkau berikan kepada dirinya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Qadhâ’ al-Hawâ’ij). 

Perbanyak Sedekah

Karena itulah siapa saja yang diberi kemampuan lebih, hendaklah ia banyak bersedekah. Apalagi saat ini, banyak orang susah akibat terdampak wabah. Mereka tentu memerlukan uluran tangan dan sedekah kita. Apalagi sedekah atau infak hakikatnya adalah “memberikan pinjaman” kepada Allah SWT, yang akan dibalas dengan berlipat ganda, sebagaimana firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً 

Siapa saja yang memberi Allah pinjaman yang baik (menginfakkan hartanya di jalan-Nya), Dia akan melipatgandakan pembayarannya dengan berkali-kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 245).

Dalam hal bersedekah kita harus meneladani para Sahabat Rasulullah saw. Abdurrahman bin Auf adalah satu di antara para Sahabat Rasul saw. yang paling rajin mengeluarkan sedekah atau infak untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Beliau, misalnya, pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar. Seluruh hasil penjualannya lalu ia bagi-bagikan kepada fakir-miskin, termasuk kepada para istri Nabi saw. (HR al-Hakim). 

Kegemaran bersedekah dan berinfak juga ditunjukkan antara lain oleh Aisyah ra. dan Asma ra. Abdullah bin Zubair ra. menuturkan, “Aku tidak melihat dua orang wanita yang lebih murah hati daripada Aisyah dan Asma sekalipun cara keduanya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, setelah terkumpul banyak, harta itu ia infakkan semuanya. Adapun Asma tidak pernah sedikit pun menyimpan harta hingga keesokan harinya (karena semuanya ia infakkan hari itu juga).” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad). 

Semoga kita bisa meneladani mereka. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda

مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلاَّ طَيِّبًا وَلاَ يَصْعَدُ السَّمَاءَ إِلاَّ طَيِّبٌ إِلاَّ وَهُوَ يَضَعُهَا فِي يَدِ الرَّحْمَنِ أَوْ فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ فَيُرَبِّيهَا لَهُ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ حَتَّى إِنَّ التَّمْرَةَ لَتَكُونُ مِثْلَ الْجَبَلِ الْعَظِيمِ

“Tidaklah seorang hamba Mukmin bersedekah dengan harta yang baik—sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik-baik—melainkan dia telah meletakkan sedekah itu di tangan Allah. Allah akan melipatgandakan pahalanya sebagaimana seseorang di antara kalian menyemai benihnya atau memelihara anak unta. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh sehingga menjadi seperti gunung yang sangat besar.” (HR Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).[]

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah204m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah204

Senin, 02 Agustus 2021

SABAR, SYUKUR DAN IKHTIAR MAKSIMAL DALAM MENGHADAPI PANDEMIBuletin Kaffah No. 203 (20 Dzulhijjah 1442 H/30 Juli 2021)

SABAR, SYUKUR DAN IKHTIAR MAKSIMAL DALAM MENGHADAPI PANDEMI

Buletin Kaffah No. 203 (20 Dzulhijjah 1442 H/30 Juli 2021)

Pandemi Covid-19 adalah musibah. Musibah adalah bagian dari qadha’ Allah SWT (QS al-Hadid [57]: 22). Sikap seorang Muslim terhadap qadha’ Allah SWT adalah ridha. Ridha terhadap qadha’ akan mendatangkan banyak kebaikan. 

Sebaliknya, kita dilarang membenci qadha’ Allah SWT. Rasul saw. bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sungguh besarnya pahala itu seiring dengan besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu. Siapa yang benci, untuk dia kebencian itu (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Imam al-Qarafi menyatakan di dalam Ad-Dakhîrah, "As-Sakhthu bi al-qadhâ` harâm[un] ijmâ’[an] (Membenci qadha’ adalah haram berdasarkan Ijmak).”

Sabar dan Syukur

Karena merupakan qadha’, musibah itu tak terhindarkan sehingga, mau tidak mau, harus dihadapi dengan kesabaran. Apalagi Allah SWT pasti menguji hamba-Nya dengan ragam musibah. Namun demikian, Allah SWT pun memberikan kabar gembira kepada orang yang sabar dalam menghadapi musibah (QS al-Baqarah [2]: 155-157).

Dalam menghadapi musibah, Rasul saw. pun mengajari kita agar melakukan istirja’ (mengembalikan segalanya kepada Allah SWT) dan berdoa.  

Dalam menghadapi musibah, hendaknya juga kita banyak berzikir. Zikir akan dapat menenteramkan hati (QS ar-Ra’du [13]: 28).

Hendaknya juga kita memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT baik dengan shalat, sedekah, tilawah al-Quran, shalat-shalat sunnah dan taqarrub lainnya. 

Musibah yang menimpa ini seharusnya juga melahirkan rasa syukur. Dengan musibah ini kita harus bisa memberikan nilai dan makna atas beragam nikmat yang telah Allah berikan; nikmat sehat, kebugaran badan, nikmat kondisi kehidupan yang normal yang dengan itu bisa leluasa beraktivitas, mencari rezeki, dsb. Kondisi yang ada ini juga menuntun kita untuk bisa menghargai nikmat yang Allah berikan. Betapa nikmat itu sangat bernilai dan berharga. Ini akan makin mendorong kita untuk terus mensyukuri ragam nikmat yang telah Allah berikan. Rasa syukur itu akan makin meningkat saat wabah berhenti dan saat Allah mengembalikan nikmat berupa kehidupan yang kembali normal. 

Rasa syukur dan sabar dalam menghadapi wabah, termasuk sakit yang diderita, bisa mewujudkan berbagai kebaikan dan keutamaan yang telah Allah janjikan. Begitulah. Kita harus memiliki dua sayap, sabar dan syukur. Ini akan menjadi salah satu faktor kunci menghadapi dan melalui musibah wabah ini. Dengan itu musibah akan berubah menjadi kebaikan dan berbuah kebaikan.

Pahala Syahid 

Banyak kebaikan dan keutamaan yang Allah berikan di balik musibah, khususnya musibah wabah, termasuk Pandemi Covid-19 ini. Salah satunya adalah pahala syahid yang menanti. Rasul saw. bersabda terkait wabah tha’un:

أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ - في رواية أخرى لأحمد: فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ - صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُصِبْهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Tha’un itu merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah jadikan sebagai rahmat untuk kaum Mukmin. Tidaklah seorang hamba, saat tha’un terjadi, berdiam di negerinya—dalam riwayat Imam Ahmad yang lain: lalu dia berdiam di rumahnya—seraya bersabar dan mengharap ridha Allah, dan dia menyadari bahwa tidak menimpa dirinya kecuali apa yang telah Allah tuliskan untuk dia, kecuali bagi dia pahala semisal pahala syahid (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Tha’un merupakan jenis penyakit yang sudah dikenal; memiliki sifat menular dan menjadi wabah. Sifat menular dan menjadi wabah ini mirip pada berbagai penyakit wabah, termasuk Covid-19. Jadi ketentuan terkait Tha’un bisa berlaku pada wabah, termasuk Covid-19. Karena itu siapa saja yang terinfeksi Covid-19, lalu dirawat di rumah sakit atau melakukan isolasi mandiri yaitu mengisolasi/mengkarantina diri (tidak keluar dari rumah, tidak keluyuran, tidak keluar dari tempat karantina) dan dia meyakini bahwa itu merupakan qadha’ dari Allah, sembari dia bersabar, maka insya Allah, dia akan mendapatkan pahala semisal pahala syahid; semisal pahala orang yang berperang fî sabîlillah.

Adapun mereka yang wafat dalam kondisi terinfeksi Covid-19, semoga termasuk syuhada akhirat. Rasul saw. bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Syuhada’ itu ada lima: al-math’ûn (orang yang mati karena tha’un), al-mabthûn (orang yang mati karena penyakit perut/diare), al-ghariq (orang yang mati tenggelam), orang yang mati tertimpa reruntuhan dan orang yang syahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, siapa yang beriman dan taat kepada Allah SWT, lalu dia diwafatkan dalam keadaan sebagaimana disebutkan di dalam hadis di atas, dia termasuk syahid, yakni syahid akhirat. Adapun orang yang wafat karena berperang di jalan Allah, dia syahid, yakni syahid dunia dan akhirat. Namun, jika orang itu tidak sedang taat kepada Allah ketika wafat maka hadis tersebut tidak berlaku atas dirinya. 

Kategori syahid akhirat bagi al-math’ûn itu semoga juga berlaku bagi orang yang diwafatkan karena terinfeksi Covid-19. Artinya, siapa saja dari kaum Muslim yang diwafatkan dalam kondisi terpapar Covid-19 dan dia sedang dalam keadaan taat kepada Allah ketika wafat, semoga dia termasuk syahid akhirat.

Terus Melanjutkan Ikhtiar

Untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini tentu yang harus dilakukan adalah terus melanjutkan ikhtiar terbaik oleh semua pihak; baik individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah/negara.

Segala upaya untuk mencegah infeksi dan penularan menurut ilmu kesehatan harus dilakukan. Hal itu sebagai pengamalan dari sabda Rasul saw., “Firra min al-majdzûm firâraka min al-asad (Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa).“ (HR Ahmad). 

Rasul saw. pun bersabda, “Lâ tûridû al-mumridha ‘alâ al-mushihhi (Janganlah kalian mencampurkan yang sakit dengan yang sehat).“ (HR al-Bukhari).

Prokes 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun/desinfektan) atau bahkan 5 M hendaknya terus dilakukan. Hal itu, sesuai data, berpengaruh banyak untuk mencegah infeksi dan penularan. 

Bagi masyarakat, ikhtiar taat prokes, saling menasihati dan mengingatkan tentu harus dilakukan. Saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan memudahkan urusan kehidupan di antara komunitas atau masyarakat tentu juga harus dilakukan. Hal itu sebagai pengamalan banyak hadis yang berbicara tentang itu.

Adapun Pemerintah tentu harus bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya, termasuk saat rakyat ditimpa musibah sebagaimana saat ini. Rasul. saw. bersabda:

فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Amir (pemimpin) masyarakat adalah pengurus mereka dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Karena itu Pemerintah wajib melakukan ikhtiar terbaik dalam mengatasi pandemi ini, memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk rakyat dan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok mereka.

Dalam hal pencegahan dan penanggulangan Covid-19 saat ini, Pemerintah wajib menjamin perawatan dan pengobatan semua orang yang sakit. Pemerintah harus menyediakan semua alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan. Pemerintah juga harus mengedukasi dengan edukasi terbaik dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan prokes. Aparatur Pemerintah, khususnya para pejabat, harus memberikan contoh terbaik dalam hal itu. 

Pemerintah harus menjalankan 3T (test, tracing, treatment) secara massif. Pemerintah pun harus menjamin pelaksanaan isolasi yang standar bagi yang sakit, tetapi tidak perlu perawatan. 

Boleh jadi Pemerintah pun perlu menerapkan karantina wilayah. Tentu dibarengi dengan menjamin kelangsungan hidup semua anggota masyarakat atau setidaknya mereka yang memerlukan. Karantina wilayah disyariatkan dalam sabda Rasul saw. dan pernah dicontohkan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Pertimbangan untung-rugi tidak selayaknya ada dalam hal ini. Berapapun biaya yang diperlukan harus disediakan dan dikeluarkan oleh Pemerintah. Realokasi anggaran, penggunaan sisa anggaran lebih dan sisa lebih penggunaan anggaran, termasuk opsi yang bisa dilakukan. Kebutuhan sekitar Rp 400-an triliun untuk biaya karantina wilayah selama tiga bulan pasti bisa diadakan. Kuncinya adalah kemauan dan keberanian politik dari Pemerintah untuk melakukan hal itu. Semua itu juga akan baik untuk ekonomi. Mengatasi wabah adalah cara terbaik untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan ekonomi. Bukan sebaliknya. Dengan dalih menjaga ekonomi, penanggulangan pandemi terkesan sporadis, ragu-ragu dan setengah-setengah. Jika penanganan pandemi ini berkepanjangan, maka itu justru malah akan menguras sumberdaya ekonomi yang lebih besar. 
 
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. (HR at-Tirmidzi). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah203m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah203