Rabu, 04 September 2019

*Mutiara Hadits* *_Kajian Kitab al-Lu'lu' wa al-Marjan Bab Kepemimpinan (Kitab al-Imarah)_* _Bersama Yuana Ryan Tresna, M.Ag_ *_Masjid Al Jihad Unpad, Selasa, 5 Februari 2019_*

*Mutiara Hadits*
*_Kajian Kitab al-Lu'lu' wa al-Marjan Bab Kepemimpinan (Kitab al-Imarah)_*
_Bersama Yuana Ryan Tresna, M.Ag_
*_Masjid Al Jihad Unpad, Selasa, 5 Februari 2019_*

*Larangan Meminta dan Berambisi terhadap Jabatan*

حديث عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْئَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْئَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

أخرجه البخاري في: 83 كتاب الأيمان والنذور: 1 باب قول الله تعالى (لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم)

"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut." (Muttafaq 'Alaihi)

حديث أَبِي مُوسى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ أَبُو مُوسى: أَقْبَلْتُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَمَعِي رَجُلاَنِ مِنَ الأَشْعَرِيِّينَ، أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِي وَالآخَرُ عَنْ يَسَارِي، وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْتَاكُ فَكِلاَهُمَا سَأَلَ، فَقَالَ: يَا أَبَا مُوسى أَوْ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ قَالَ، قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَك بِالْحَقِّ مَا أَطْلَعَانِي عَلَى مَا فِي أَنْفُسِهِمَا، وَمَا شَعَرْتُ أَنَّهُمَا يَطْلُبَانِ الْعَمَلَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى سِوَاكِهِ تَحْتَ شَفَتِهِ قَلَصَتْ فَقَالَ: لَنْ أَوْ لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ، وَلكِنِ اذْهَبْ أَنْتَ يَا أَبَا مُوسى أَوْ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ إلَى الْيَمَنِ ثُمَّ اتَّبَعَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَلَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِ أَلْقَى لَهُ وِسَادَةً، قَالَ: انْزِلْ وَإِذَا رَجُلٌ عِنْدَهُ مُوثَقٌ قَالَ: مَا هذَا قَالَ: كَانَ يَهُودِيًّا فَأَسْلَمَ ثُمَّ تَهَوَّدَ قَالَ: اجْلِسْ قَالَ: لاَ أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ، قَضَاءُ اللهِ وَرَسُولِهِ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ ثُمَّ تَذَاكَرَا قِيَامَ اللَّيْلِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا: أَمَّا أَنَا فَأَقُومُ وَأَنَامُ، وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي

أخرجه البخاري في: 88 كتاب استتابة المرتدين: 2 باب حكم المرتد والمرتدة

Abu Musa mengatakan, "Aku berangkat menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersama dua orang Asy'ari, satunya di sebelah kananku dan satunya di sebelah kiriku, sedang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah bersiwak. Keduanya sama-sama meminta pekerjaan (jabatan)." Kemudian Nabi berujar: "Wahai Abu Musa atau wahai Abdullah bin Qais." Abu Musa berkata, "maka saya menjawab, 'demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, kedua tamu itu tidak mengungkapkan isi hati mereka, dan aku tidak merasa bahwa keduanya minta pekerjaan (jabatan).' Dan seolah-olah aku melihat siwak beliau dibawah bibirnya mengempes." Kemudian Nabi bersabda: "Sekali-kali aku tidak akan mempekerjakan tugas-tugas kita kepada orang yang memintanya (menginginkannya), akan tetapi kamu wahai Abu Musa atau wahai Abdullah bin Qais, pergilah ke Yaman." Kemudian Mu'adz bin Jabal menyusulnya. Ketika Mu'adz bin jabal menemuinya, Abu Musa menghamparkan bantal dan berujar, "Turunlah". Ternyata disisinya ada seorang laki-laki yang terikat. Muadz bertanya, "kenapa dengan orang ini?" Abu Musa menjawab, "dahulu dia seorang Yahudi, lantas masuk Islam dan kembali lagi memeluk agama Yahudinya." Maka Abu Musa berujar, "Duduklah Engkau!" Mu'adz menjawab, "Saya tidak akan duduk hingga dia dibunuh (hudud orang murtad) untuk menunaikan ketetapan Allah dan rasul-NYA' (ia mengulang tiga kali)." Maka Abu Musa memerintahkan untuk membunuh Yahudi tersebut. Keduanya kemudian berbincang-bincang masalah shalat malam. Satunya mengatakan, "Adapun aku shalat malam namun juga tidur, dan kuharap dari tidurku (mendapat pahala) sebagaimana aku berharap memperoleh pahala bersama di kaumku."

*Keutamaan Pemimpin yang Adil dan Celaan terhadap Pemimpin yang Zhalim dan Menyusahkan Rakyat*

حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَ

يْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكمْ رَاعٍ وَكُلُّكمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

أخرجه البخاري في: 49 كتاب العتق: 17 باب كراهية التطاول على الرقيق

"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung-jawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala begara) adalah pemimpin manusia secara umum, maka dia akan diminta pertanggung-jawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan diminta pertanggung4jawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya."

حديث مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ: إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

أخرجه البخاري في: 93 كتاب الأحكام: 8 باب من استُرعِى رعية فلم ينصح

"Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanah kepemimpinan, namun dia tidak menindak-lanjutinya dengan baik, kecuali tidak akan mendapat aroma surga."

Selasa, 30 Juli 2019

Pengertian Qurban Secara Lengkap

Pengertian Qurban Secara Lengkap – Setiap tanggal 10 Dzul Hijjah, semua umat Islam yang tidak melaksanakan haji merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari itu, umat Islam sangat disunnahkan untuk berqurban dimana mereka menyembelih hewan qurban untuk kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh umat Islam di suatu daerah. Lalu apakah sebenarnya Qurban itu? Dibawah ini akan dijelaskan secara lengkap.


Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.

Dalil Disyari’atkannya Kurban

Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1 — 3).

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (Al-Hajj: 36).

Keutamaan Ibadah Kurban

Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu.” (HR Tirmidzi).

Hukum Berkurban

Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah(sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).

Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda, “Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” HR Muslim

Arti sabda Nabi saw, ” ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.

Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.

Hikmah Kurban

Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Sejarah Idul Adha sendiri yang dialami oleh Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”

Syarat-syarat Qurban

Binatang yang Diperbolehkan untuk Kurban

Binatang yang boleh untuk kurban adalah onta, sapi (kerbau) dan kambing. Untuk selain yang tiga jenis ini tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman, “supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).

Dan dianggap memadai berkurban dengan domba yang berumur setengah tahun, kambing jawa yang berumur satu tahun, sapi yang berumur dua tahun, dan unta yang berumur lima tahun, baik itu jantan atau betina. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis di bawah ini:

Dari Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Binatang kurban yang paling bagus adalah kambing yang jadza’ (powel/berumur satu tahun).” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Dari Uqbah bin Amir ra, aku berkata, wahai Rasulullah saw, aku mempunyai jadza’, Rasulullah saw menjawab, “Berkurbanlah dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian mengurbankan binatang kecuali yang berumur satu tahun ke atas, jika itu menyulitkanmu, maka sembelihlah domba Jadza’.

Berkorban dengan Kambing yang Dikebiri

Boleh-boleh saja berkurban dengan kambing yang dikebiri. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang keduanya berwarna putih bercampur hitam lagi dikebiri. Karena dagingnya lebih enak dan lebih lezat.

Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Kurban

Syarat-syarat binatang yang untuk kurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berkurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini:
1. Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
2. Yang buta dan jelas terlihat kebutaannya
3. Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
Rasulullah saw bersabda, “Ada empat penyakit pada binatang kurban yang dengannya kurban itu tidak mencukupi. Yaitu yang buta dengan kebutaan yang nampak sekali, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat sekali, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali.” (HR Tirmidzi seraya mengatakan hadis ini hasan sahih).
4. Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.

Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk kurban, yaitu:

1. Hatma’ (ompong gigi depannya, seluruhnya).
2. Ashma’ (yang kulit tanduknya pecah).
3. Umya’ (buta).
4. Taula’ (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
5. Jarba’ (yang banyak penyakit kudisnya).

Juga tidak mengapa berkurban dengan binatang yang tak bersuara, yang buntutnya terputus, yang bunting, dan yang tidak ada sebagian telinga atau sebagian besar bokongnya tidak ada. Menurut yang tersahih dalam mazhab Syafi’i, bahwa yang bokong/pantatnya terputus tidak mencukupi, begitu juga yang puting susunya tidak ada, karena hilangnya sebagian organ yang dapat dimakan. Demikian juga yang ekornya terputus. Imam Syafi’i berkata, “Kami tidak memperoleh hadis tentang gigi sama sekali.“

Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

Untuk kurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari ‘Iduladha. Sesudah itu boleh menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari-hari Tasyrik, baik malam ataupun siang. Setelah tiga hari tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.

Dari al-Barra’ ra Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (Iduladha) adalah kita salat, kemudian kita kembali dan memotong kurban. Barangsiapa melakukan hal itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka sembelihan itu tidak lain hanyalah daging yang ia persembahkan kepada keluarganya yang tidak termasuk ibadah kurban sama sekali.

Abu Burdah berkata, “Pada hari Nahar, Rasulullah saw berkhotbah di hadapan kami, beliau bersabda: ‘Barangsiapa salat sesuai dengan salat kami dan menghadap ke kiblat kami, dan beribadah dengan cara ibadah kami, maka ia tidak menyembelih kirban sebelum ia salat’.”

Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum salat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah salat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bergabung dalam Berkurban

Dalam berkurban dibolehkan bergabung jika binatang korban itu berupa onta atau sapi (kerbau). Karena, sapi (kerbau) atau unta berlaku untuk tujuh orang jika mereka semua bermaksud berkurban dan bertaqarrub kepada Allah SWT.

Dari Jabir ra berkata, “Kami menyembelih kurban bersama Nabi saw di Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang, begitu juga sapi (kerbau).” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Pembagian Daging Kurban

Disunahkan bagi orang yang berkurban memakan daging kurbannya, menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyerahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah saw bersabda, “Makanlah dan berilah makan kepada (fakir-miskin) dan simpanlah.

Dalam hal ini para ulama mengatakan, yang afdhal adalah memakan daging itu sepertiga, menyedekahkannya sepertiga dan menyimpannya sepertiga.

Daging kurban boleh diangkut (dipindahkan) sekalipun ke negara lain. Akan tetapi, tidak boleh dijual, begitu pula kulitnya. Dan, tidak boleh memberi kepada tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berkurban boleh bersedekah dan boleh mengambil kurbannya untuk dimanfaatkan (dimakan).

Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan uangnya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk rumah.

Orang yang Berkurban Menyembelihnya Sendiri

Orang yang berkorban yang pandai menyembelih disunahkan menyembelih sendiri binatang kurbannya. Ketika menyembelih disunahkan membaca, “Bismillahi Allahu Akbar, Allahumma haadza ‘an?” (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, ya Allah kurban ini dari ?[sebutkan namanya]).

Karena, Rasulullah saw menyembelih seekor kambing kibasy dan membaca, “Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma haadza ‘anni wa’an man lam yudhahhi min ummati” (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah sesungguhnya (kurban) ini dariku dan dari umatku yang belum berkurban).” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Jika orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Fatimah, bangunlah. Dan saksikanlah kurbanmu. Karena, setetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kau lakukan. Dan bacalah: ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku–korbanku–hidupku, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta Alam. Dan untuk itu aku diperintah. Dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah,’ Seorang sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw, apakah ini untukmu dan khusus keluargamu atau untuk kaum muslimin secara umum?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bahkan untuk kaum muslimin umumnya’.

Oleh KH. Ishomuddin (Dosen FAI Univ Darul Ulum Jombang) http://jombang.nu.or.id/apa-dan-bagaimana-kurban

Amal Qurban

Program melalui AMAL QURBAN ini adalah bagi menyantuni mangsa bencana kemanusiaan (kebuluran/ peperangan/ IDPs/ pelarian/ penyisihan lantaran penafian hak beragama terhadap masyarakat minoriti Islam dan lain-lain) di pelbagai pelusuk dunia. Program ini juga bersekali gerakerja dakwah & membina rangkaian kerja dakwah Pusat Dakwah Serantau PDS, Yayasan Amal Malaysia.

 Alamat Kami :

PENYELARAS QURBAN & AQIQAH
Yayasan Amal Malaysia,Lot 4459,
Jalan Hj Muhammad Amin
Sungai Merab Luar, 43000 Kajang, Selangor

 Nombor Account Bank :

MAKLUMAT BANK :YAYASAN AMAL MALAYSIA 
BANK ISLAM (13053010003149)
BANK MUAMALAT (13010002499715)
MAYBANK (553010122090)
CIMB BANK (8600296190)

 Ada sebarang pertanyaan?

qurban@amalqurban.com

 Hubungi Kami – Khidmat Pelanggan:

03-8928 0660 (Pejabat)

011-3758 8784 (Akasyah)

011-11234717 (Kamil)

011-3758 3294 (Athirah)

 

© 2016 - 2019 Amal Qurban. All Rights Reserved. Website developed and design by Ledakan Digital Services.



Minggu, 21 Juli 2019

*Ustadz Idrus Romli dan HTI*

✅✅✅✅✅✅
➖➖➖➖➖➖
*Ustadz Idrus Romli dan HTI*
✅✅✅✅✅〰〰
Saya mengagumi ustadz Idrus Romli karena beliau memang alim. Ketika saya mendapat info tentang HTI yang cendrung negatif bahkan sangat buruk sekali. Saya jadi penasaran, benarkah HTI demikian. Akhirnya saya kumpulkan kitab mutabannatnya (kitab rujukan resmi yang ditulis langsung oleh muassisnya Syakh Taqiyuddin an_Nabhani), saya baca satu satu serta mencobaa mengocek kebenaran info yang saya fapatkan sebelumnya dari bukunya Ustadz Idrus, Hizbut Tahrir dalam Sorotan dan ada sat lagi tentang Aswaja. Dan ternyata tuduhan2 tersebut tidak benar bahkan stetmen beliau tentang HT/Hizbuttahrir banyak yang keliru dan tidak faktual.
Diantaranya:
1.#HT dalam Aqidah cendrung Mu'tazilah#
Jawaban:
Konsepsi HT dalam aqidah berbeda dengan mu'tazilah. Mu'tazila jelas menggunakan kata Fa'ala (perbuatan manusia bersumber dari manusia itu sendiri)  sedangkan HT menggunakan kata Saithara (menguasai) yang berarti ia diberikan pilihan oleh Allah antar berbuat atau tidak.an_Nabhani membagi dua wilaya h.
Wilayah yang menguasai manusia (سيطرت على الإنسان) dan daerah yang dikusai manusia (سيطر عليها الإنسان).
Pada level pertama (menguasai manusia) manusia tidak bisa memilih dan tidak ada pilihan di dalmnya. Ia hanya bisa pasrah dan tawakkal kepada Allah seperti seorang dilahirkan dari keluarga dan suku tertentu (Madura, Jawa, Sunda, Bugis, Batak dll). Karenanya ia tidak akan diminta pertanggungjawaban akherat tentang mengapa ia dilahirkan dari keluarga atau suku tersebut.
Sedangkan pada level kedua manusia akan diminta pertangjawaban diakhirat karena ia diberi pilihan antar melaksanakan atau meninggakkannya. Seperti sholat lima waktu.
Konsepsi An_Nabhani sebenarnya tidak jauh beda dengan Konsep Ikhtiyariyahnya Asya'irah bahkan mempertegas bin memperjelas konsep Ikhtiyari Asy'ari.
(Untuk lebih jelas dapat dibaca dalam kitab Nizam Al Islam (نظام الإسلام), BAB
القضاء والقدر
Halaman, 14_21.
2. #HT tidak beriman kepada Qoda' dan Qadar#
Jawaban:
Stetmen diatas tidak benar, karena syekh Taqi dalam kitabnya menyebutkan rukun Iman ada enam (Iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul2/utusan Allah, hari Akhir dan Qada' dan Qadar.
Untuk lebih jelasnya saya akan kutip stetmen beliau dalam kitab Asy_Syakhshiyyah Al Islamiyyah (Juz 1. hal : 29)
العقيدة الإسلامية
العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيره وشره من الله تعالى.
3. #TH tidak percaya pada siksa kubur#
Jawaban:
Stetmen diatas tidak benar karena tidak ada satu kitab mutabannat HT yang menyebutkan demikian. Kutipan diatas sebenarnya banyak mengutip pada fatwah2 yang diklim sebagai fatwah HT padahal penisbatannya tidak benar. Saya juga menjumpai stetmen yang sama seperti stetmen Pak kyai pada kitab" Al Mausu'ah Al Muyassarah Fi al_Mazahib al_Mu'ashirah yang setelah dicocokkan dan diteliti banyak info  yang ada dalam kitab tersebut yang tidak faktual bahkan ngaur. 
4. #HT  membuka Ijtihad selebar lebarnya tanpa syarat#
Jawaban :
Stetmen diatas juga tidak benar. Karena Syekh Taqi dalam Syakhshiyyah Juz 1 hal,  209_217 menjelaskan pengertian ijtihad, tingkatan mujtahid serta syarat2 orang melakukan ijtihad.
Artinya tidak setiap orang bisa melakukan ijtihad, Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah memenuhi standar sebagai seorang mujtahid.
6. #HT membolehkan meraba_raba perempuan asal tidak syahwat.
Jawaban:
Kata lamasa/lamsun tidak bisa disamakan dengan meraba_raba yang maknanya cendrung negetif. Syekh Taqi membahas dalam kaitannya batal tidaknya udhu' seseorang apabila ia bersentuhan dengan perempuan (bukan meraba_raba sebagai diduga Kyai). Syekh Taqi mentabanni tidak batal asal tidak syahwat sebagai juga pendapat Al Imam Malik dan pendapat Al Imam Ahmad yang masyhur.

Himbauan untuk saudara_saudaraku sesama muslim yang saya cintai karena Allah . Ketika ingin mengetahui pemikiran, aturan, prosedur organisasi maka hendaklah merujuk langsung pada kitab/rujukan resminya.  Agar tidak timbul prasangka negatif antar sesama. Apapun organisasi nya kita adalah saudara.
Al_Mu'minu Akhul  Mu'min.

Minggu, 14 Juli 2019

Masalah Multiakad

Sabtu, 13 Juli 2019


☘ Masalah Multiakad




Oleh : Ustadz M. Shiddiq Al jawi

Pengertian Multiakad

Istilah multiakad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu :

al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju al-‘uqud. Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Sedangkan istilah damju al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.

Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46).

Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah cukup banyak dan beranekaragam. Di antaranya di bank syariah ada yang namanya akad Al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/ Deferred Payment Sale ). Akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya : (1) pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, mis sepeda motor, (2) lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan, (3) lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo. (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek , hlm.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-fIslamiyah , hlm. 412).

Pada Murabahah KPP ini terdapat dua akad yang digabungkan; Pertama, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan penjual (dealer motor). Kedua, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli (nasabah). Kedua akad ini digabungkan menjadi satu akad dalam sebuah multiakad yang diberi nama Murabahah KPP (yang sering disingkat Murabahah saja).

Perlu diberi catatan di sini, bahwa akad Murabahah KPP ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Jadi dalam Murabahah asli hanya ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, sedang Murabahah di bank syariah ada tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan lembaga keuangan syariah. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, MaaLaa Yasa’u At-Tajiru Jahlahu, hlm. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai’ fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 399 dst).

Contoh lain aplikasi multiakad adalah akad pembiayaan talangan haji, yang menggabungkan akad qardh (utang piutang) dengan akad ijarah (jasa pengurusan haji). Juga akad gadai syariah yang menggabungkan akad rahn (gadai) dengan akad ijarah (jasa penitipan barang gadai). Contoh lain adalah akad asuransi syariah, yang menggabungkan akad hibah (tabarru’) dengan akad ijarah (jasa pengelolaan dana premi asuransi), atau kadang digabung lagi dengan akad ketiga yaitu akad syirkah mudharabah. Contoh lain lagi adalah akad leasing syariah, atau IMBT (Ijarah Muntahiyah bi Tamlik), yang menggabungkan akad ijarah (sewa aset) dengan akad hibah atau jual beli aset pada akhir akad. Pendek kata, aplikasi multiakad memang cukup banyak dan beranekaragam dalam muamalah kontemporer.

Hukum Multiakad

Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multiakad. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat Imam Asy-hab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, 29/132), dan pendapat Imam At Tasuli, dalam kitabnya Al Bahjah, 2/14.

Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fiqih yang berbunyi :

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻬﺎ

“Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nash-nash yang secara zhahir melarang penggabungan dua akad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mahzhurat), seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).

Kedua , pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafi’i (As-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam , hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat dalam mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54). (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).

Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau dua akad. Antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :

ﻧﻬﺎﻧﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻋﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺧﺼﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﻊ : ﻋﻦ ﺳﻠﻒ ﻭﺑﻴﻊ، ﻭﺷﺮﻁﻳﻦ
ﻓﻲ ﺑﻴﻊ، ﻭﺑﻴﻊ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻙ، ﻭﺭﺑﺢ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻀﻤﻦ

”Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1) menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, (2) dua syarat dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya]” (HR Thabrani).

Dalil lainnya adalah hadis bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺑﻴﻌﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﺔ

“Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR Tirmidzi, hadis sahih)
Juga hadis bahwa Nabi SAW bersabda :

ﻻ ﻳﺤﻞ ﺳﻠﻒ ﻭﺑﻴﻊ، ﻭﻻ ﺷﺮﻃﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻴﻊ

“Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)

Juga hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ

“Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)

Hadis-hadis di atas telah menunjukkan adanya larangan penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam satu akad. (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/308).

Tarjih

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat kedua, yaitu pendapat yang mengharamkan multiakad. Alasan pentarjihannya adalah sebagai berikut :

Pertama, telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ

”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)

Imam Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/308).

Kedua, kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat. Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu, kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih lain yaitu :

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺵﻳﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﺩﻟﻴﻞ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ

“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan.”

Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah) , hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah. Sebab muamalah bukan benda, melainkan serangkaian aktivitas manusia. Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah : 29) berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan berbicara tentang mu’amalah seperti jual beli.

Ketiga, kaidah fiqih al-ashlu fil muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan. Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada Rasulullah SAW.

Sebagai contoh, perhatikan hadits yang menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebagai berikut :

ﻋﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﺰﺍﻡ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻲ ﺃﺷﺘﺮﻱ ﺑﻴﻮﻋﺎً ﻓﻤﺎ ﻳﺤﻞ ﻟﻲ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻣﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﻋَﻠﻲ ﻗﺎﻝ : ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺷﺘﺮﻳﺖ ﺑﻴﻌﺎً ﻓﻼ ﺗﺒﻌﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﺒﻀﻪ

Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).

Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Perhatikan misalnya hadis Ibnu Mas’ud RA :

ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺻﻔﻘﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻔﻘﺔ ﻭﺍﺣﺪ ﺓ

”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih).

Nash di atas mengungkapkan lafal shafqataini fi shaqah wahidah (dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad, secara mutlak. Tanpa melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.

Pemahaman nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan : al-muthlaqu yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208).

Dalam hal ini tidak terdapat nash yang memberikan taqyid (batasan) pada kemutlakan nash-nash tersebut, sehingga dengan demikian penggabungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau tidak.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kesimpulan. Pertama, multiakad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang membolehkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya. Kedua, pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multiakad. Wallahu a’lam.

——————————
Yuk Like & Share
——————————
Facebook: fb.com/konawebersyariah
Twitter: twitter.com/konawesyariah
Instagram: www.instagram.com/konawebersyariah
Blog: http://konawebersyariah.blogspot.com/?m=1
——————————
——————————

Jumat, 05 Juli 2019

Penjelasan Hadits Ummu ‘Athiyyah Untuk Urusan Hukum Jabat Tangan

Penjelasan Hadits Ummu ‘Athiyyah Untuk Urusan Hukum Jabat Tangan

Oleh : KH. Syamsuddin Ramadhan

Persoalan hukum jabat tangan dengan wanita non mahram menjadi perdebatan fikih yang ‘seru’ di tengah umat Islam. Berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum pun digali untuk kemudian mendapatkan pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Pada kesempatan kali ini coba kami sampaikan sebuah artikel yang berjudul asli “Hadist Ummy ‘Athiyyah”. Sebagaimana kita ketahui, hadist tersebut menjadi salah satu dalil dibolehkannya berjabat tangan dengan non mahram. Semoga bermanfaat untuk sahabat semua dan silahkan share melalui sosial media yang ada bila berkenan.

================

Soal:

Begini ya Ustadz, pada situs www.salafy.or.id pernah terdapat artikel yang sangat panjang dengan judul “Membongkar Selubung Hizbut Tahrir”. Pada artikel yang ketiga terdapat paragraf sebagai berikut:

Tapi riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari, 8/636). Beliau (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita (www.salafy.or.id).

Berkenaan dengan hal ini, saya mohon tanggapan dari Ustadz yang lebih berilmu, terutama berkaitan dengan beberapa hal, antara lain:

1. Bahwa riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha‘if, sesuai dengan penjelasan an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari, 8/636);

2. Status an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani, termasuk ulama salaf ataukah ulama khalaf;

3. Landasan pembedaan antara salaf dan khalaf berikut dalilnya;

4. Urgensi pembedaan antara salaf dan khalaf;

5. Sikap yang harus diambil terhadap adanya pembedaan ulama salaf dan ulama khalaf.

Demikian pertanyaan saya.

Jawab:

Sebagian ‘ulama memang memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). ‘ulama-‘ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’iy dan beberapa ‘ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).

Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah shaduq. Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya). Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah). Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.

Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…”

Sebagian ‘ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. ‘Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’iy dan ‘ulama-‘ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’iy tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’iy berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’iy ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.

Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ‘ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.

Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.

Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah: 12).

Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar termasuk ‘ulama-’ulama khalaf, jika parameter salaf yang dipakai adalah generasi shahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în. Sebab, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar tidak berada di kurun tabi’ut tabi’în, bahkan jauh sesudah kurun tersebut.

Imam an-Nawawi lahir pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 676 H. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar lahir pada tahun 773 H, dan wafat pada tahun 852 H. Kedua ‘ulama ini termasuk dalam madzhab Syafi’iy. Imam Syafi’iy sendiri tidak menolak secara mutlak hadits mursal, akan tetapi bersyarat. Sedangkan generasi tabi’ut tabi’în hidup pada sekitar abad ke 2 Hijrah. (200 H). Walhasil, Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar bukanlah ‘ulama salaf, jika paramater salaf yang digunakan seperti penjelasan di atas.

Sebagian orang berpendapat bahwa generasi salaf itu adalah generasi shahabat hingga tabi’ut tabi’în. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

“Sebaik-baik kurun adalah kurunku (shahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’iy), kemudian generasi sesudahnya (tab’’ut tabi’iy).” [HR. Bukhari dan Muslim].

Pada dasarnya, pemilihan generasi salaf dan khalaf disandarkan pada rentang waktu kelahiran mereka. Pendapat yang masyhur menyatakan, bahwa generasi salaf adalah generasi yang hidup pada masa shahabat hingga masa tabi’ut tabi’iy. Generasi setelah itu disebut sebagai generasi khalaf.

Pemilahan ‘ulama salaf dan khalaf tidaklah terlalu signifikan jika ditinjau dari sisi berdalil. Sebab, perkataan dan pendapat ‘ulama salaf (shahabat, tabi’iy, maupun tabi’ut tabi’iy) bukanlah dalil syara’. Pendapat shahabat bukanlah dalil syara’, dan tidak boleh digunakan hujjah (dalil) untuk menetapkan hukum atas perbuatan dan benda. Dalil syara’ tetaplah al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Atas dasar itu, dalam lingkup pembahasan mashadirul hukmi (sumber hukum), mereka (‘ulama salaf), bukanlah tempat untuk berdalil.

Sedangkan cara pandang dan penilaian kita terhadap pendapat ‘ulama salaf tidak ubahnya dengan pandangan seorang muslim terhadap pendapat seorang mujtahid yang bisa jadi salah dan lemah. Kita tidak boleh memuthlakkan pendapat ‘ulama salaf, dalam arti jika pendapat kita tidak sesuai dengan pendapat dan pandangan mereka, secara otomatis kita telah sesat dan menyimpang dari Islam. Seseorang terkategori menyimpang dan sesat jika pendapatnya telah keluar dari al-Qur’an dan Sunnah, bukan menyimpang dari pendapat ‘ulama salaf. Sebab, ukuran kebenaran bukanlah pendapat ‘ulama salaf, akan tetapi al-Qur’an dan sunnah. Jika pendapat ‘ulama salaf dijadikan dalil, maka sama artinya kita mensejajarkan pendapat mereka dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Akan tetapi, jika ditinjau dari sisi penyampaian berita, informasi dan ilmu, maka kedudukan mereka sangat penting bagi khazanah tsaqafah Islam. Sebab, dari merekalah kita mendapatkan berbagai macam informasi-informasi berharga mengenai Islam; mulai dari bahasa Arab, hadits, al-Qur’an dan sebagainya. Merekalah yang menukilkan sumber-sumber pengetahuan tentang Islam kepada kita. Dari mereka kita mendapatkan sejumlah riwayat dari Nabi Saw, eksplanasi Nabi Saw terhadap nash-nash al-Qur’an dan sebagainya. Ditinjau dari sisi ini, maka kedudukan generasi salaf sangatlah tinggi dan mulia. Akan tetapi, interpretasi mereka terhadap nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah bukanlah harga mati yang tidak boleh dikritik maupun digugat.

Walhasil, kita harus memahami bahwa maksud merujuk kepada ‘ulama salaf, bukanlah menjadikan pendapat dan interpretasi mereka sebagai dalil. Bahkan kita sama sekali tidak boleh menjadikan pendapat dan interpretasi mereka sebagai dalil syara’. Interpretasi mereka adalah hukum syara’ yang tidak bebas dari kesalahan dan kelemahan. Untuk itu, merujuk ‘ulama salaf harus dipahami sebagai upaya untuk bertaqlid dalam masalah hukum kepada mereka. Sebab, taqlid dalam masalah hukum syari’at adalah sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan taqlid dalam masalah ‘aqidah adalah sesuatu yang terlarang.

Seorang muslim diperbolehkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’, semampang ia memiliki kapabiltas untuk hal itu. Sebab, tidak semua orang boleh berijtihad dan berdalil. Hanya orang-orang yang memiliki kapabilitas dan memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid saja yang boleh melakukan proses ijtihad. Disamping itu, seseorang yang hendak berijtihad harus memperhatikan kaedah-kaedah istinbath yang benar, yakni sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Ia tidak boleh berijtihad dengan metodologi yang serampangan dan gegabah.

Sesungguhnya, pembedaan ini adalah sesuatu yang baru, dan kita tidak boleh malah terjebak dengan pembedaan ini. Keterjebakan itu terwajahkan pada anggapan-anggapan berikut ini.

Pertama, pendapat ‘ulama salaf pasti lebih benar dibandingkan pendapat ‘ulama. Pada dasarnya, kebenaran itu diukur dari ketidaksesuaian dan kesesuaian suatu pendapat dengan al-Qur’an dan sunnah, bukan sesuai dengan pendapat ‘ulama salaf atau khalaf. Kita tidak boleh terjebak, bahwa pendapat ‘ulama salaf mesti lebih baik dibandingkan ‘ulama khalaf, dan sebaliknya. Al-Hafidz Ibnu Hajar kadang-kadang juga mengkritik pendapat yang diutarakan oleh ‘ulama-‘ulama yang lebih tua dibandingkan mereka demikian pula ‘ulama-‘ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa tradisi mengkritik pendapat hingga ditemukan kebenaran yang kuat dan bersih merupakan tradisi yang dijunjung oleh para ‘ulama dahulu.

Kedua, hal-hal yang tidak dikatakan ‘ulama salaf pasti bid’ahnya dan sesatnya. Ini adalah bentuk keterjebakan dan keprematuran dalam berpendapat. Sebab, pendapat baru yang tidak dikenal di kalangan salaf, selama berjalan sesuai dengan kaedah istinbath yang benar, diijtihadkan oleh orang yang memiliki kapabilitas, dan selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka pendapat ini tetap termasuk sebagai pendapat Islamiy yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Bahkan, jika pendapat tersebut lebih kuat dibandingkan pendapat sebelumnya, maka ia harus diikuti. Lebih dari itu, para ‘ulama salaf sendiri telah terbiasa dengan adanya perbedaan pendapat.

Ketiga, tertutupnya generasi khalaf untuk menyamai dan mengungguli generasi salaf. Ini juga bentuk keterjebakan berfikir dan beranggapan. Sesungguhnya, generasi mutaakhir pun memiliki kans yang sama dengan para ‘ulama dan generasi salaf. Bahkan bisa jadi mengungguli mereka dalam hal ilmu dan kemampuan. Bahkan, dalam beberapa hadits disebutkan, bahwa generasi di akhir jaman akan mendapatkan keutamaan yang sangat besar jika mereka menghidupkan sunnah. Rasulullah Saw menyatakan, bahwa mereka akan memperoleh pahala 100 kali mati syahid.

Walhasil, kita tidak perlu terjebak dan ikut-ikutan terpengaruh dengan pembedaan ini. Sebab, yang terpenting adalah kebenaran itu sendiri, yakni sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, bukan ini pendapat ‘ulama salaf atau tidak. Wallahu a’lam bi ash-Showab.

Rumah Tsaqofah
YouTube : bit.ly/YouTubeRumahTsaqofah
Telegrambot : https://t.me/RumahTsaqofahbot

Minggu, 02 Juni 2019

MENGURAI SALAH PAHAM TENTANG MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAFF

MENGURAI SALAH PAHAM TENTANG MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAFF

Oleh : Abdullah Al Jirani

Awalnya, kami ingin menyusun artikel tentang permasalahan “meluruskan dan merapatkan shaff” secara luas dan detail. Akan tetapi, karena telah ada beberapa penulis yang menyusunnya, maka niat tersebut kami urungkan. Kali ini kami hanya akan fokus untuk membahas kekeliruan dalam hal memahami dan mengamalkan hadits-hadits tentang merapatkan dan meluruskan shaff saja. Dikarenkan masih sangat sedikit yang membahasnya.

Telah dimaklumi bersama, bahwa sebagian saudara-saudara kita, mempraktekkan hadits-hadits tentang merapatkan shaff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu ketika mulia shalat. Bahkan ada kejadian-kejadian yang lebih dari itu, seperti kondisi “mengangkang”, “mengejar” kaki orang lain, dan “tarik baju orang” yang tidak menempelkan mata kakinya.

Insya Allah, kita akan bahas masalah ini secara obyektif dan adil. Tanpa ada niatan untuk menyudutkan atau ingin merendahkan pihak tertentu. Akan tetapi, hanya semata upaya untuk meluruskan suatu permasalahan yang telah berlangsung lama dan diyakini sebagai sesuatu yang benar.

Mereka yang berpendapat bahwa merapatkan shaff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu, berdalil dengan beberapa hadits.

Diantaranya hadits dari Anas bin Malik –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

“Luruskan shaff-shaff kalian ! maka sesungguhnya aku aku melihat kalian dari belakang punggungku.” (Anas bin Malik berkata ) : Dan adalah salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya dan telapak kakinya dengan telapak kaki sahabatnya.” [ HR. Al-Bukhari : 725 ].

Hadits ini bisa dijelaskan dari beberapa sisi :

[1]. Yang dimaksud dengan kata “melekatkan/menempelkan” pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, bukanlah makna hakiki. Akan tetapi suatu kata yang dimaksudkan untuk “penyangatan” saja. Bukan benar-benar nempel antara mata kaki dan pundah. Hal ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- :

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

“Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” [ Fathul Bari : 2/211 ].

Jadi makna hadits di atas, para sahabat berusaha untuk merealisasikan perintah nabi untuk meluruskan dan merapatkan shaf dengan sangat baik, sampai “seolah-olah” mereka menempelkan mata kaki dan pundak mereka dikarenakan sangat rapatnya. Bukan berarti benar-benar nempel. Ini salah satu uslub bahasa Arab dimaklumi oleh siapapun yang telah mempelajarinya.

Dalam bahasa Indonesia pun ada seperti ini. Misalnya ketika kita mau dipinjami uang oleh teman kita, maka kita akan menjawab : “Maaf, saya lagi tidak punya uang.” Jawaban ini bukan berarti kita tidak punya uang sama sekali. Akan tetapi maksudnya, kita punya uang cuma sedikit, “seolah-olah” tidak punya uang.Atau kalau kita sebagai seorang ustadz, lalu kita bicara kepada hadirin : “Mohon duduknya merapat !”. Bukan berarti harus sampai nempel kaki dan badan mereka. Kalau demikian, nanti malah tidak bisa atau minimal terganggu saat mau menulis. Disamping juga ada rasa risi tentunya.

Ternyata, pemahaman Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- terhadap hadits di atas, merupakan pemahaman aimatul arba’ah (Imam Madzhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal). Seperti apa yang telah dinyatakan oleh Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi (w.1353 H) –rahimahullah- :

قال الحافظ: المراد بذلك المبالغة في تعديل الصفِّ وسدِّ خلله. قلتُ: وهو مراده عند الفقهاء الأربعة

“Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” Aku (Al-Kasymiri) berkata : DAN INILAH (MAKNA) YANG DIINGINKAN OLEH PARA IMAM YANG EMPAT.” [Faidhul Bari ‘Ala Shahih Al-Bukhari : 2/302 ].

Jika imam madzhab yang empat saja TELAH SEPAKAT memahami demikian, maka pemahaman yang keluar darinya, berarti telah menyelisihi pendapat yang disepakati oleh mereka. Dan seperti ini, dikatagorikan oleh Imam Al-Qarafi –rahimahullah- “seperti” menyelisihi ijma’ (konsensus ulama’). Artiya, kesepakatan mereka memiliki kedudukan yang sangat kuat, hampir-hampir mendekati ijama’’.Sehingga sangat tercela jika ada yang menyelisihinya.

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

وحديث أنس هذا يدل على أن تسوية الصفوف : محاذاة المناكب و الأقدام

“Hadits Anas ini menunjukkan, sesungguhya meluruskan shaf itu (maksudnya) : pundak dan kaki setentang/sejajar (bukan nempelnya yang diinginkan).” [ Fathul Bari : 6/282 ].

Seorang alim salafy, asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imam yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shaf saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi.
Kemudian shalat baru dimulai.

Beliau –rahimahullah- berkata :

الصحابة -رضي الله عنهم- فإنهم كانا يسوون الصفوف بإلصاق الكعبين بعضهما ببعض ، أي أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف، فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم، ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة،وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ulama’. Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA.” [Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Pendekatan penjelasan Asy-Syaikh –rahimahullah- di atas seperti ini. Dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah “Lencang kanan” atau “setengah lencang kanan”. Dua perintah ini, hanyalah “alat” untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Nanti setelah lurus, maka tangan diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini perkara yang kita maklumi bersama.

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل, لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب

“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan (shaf), yaitu : lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.” [ La Jadida fi Ahkamish Shalat : 12 ].

[2].Bahkan, amaliah sebagian orang yang melekatkan mata kaki dan pundak mereka dengan mata kaki dan pundak orang yang ada di samping kanan dan kiri mereka, termasuk perbuatan yang ghuluw (melampaui batas), takalluf (memaksakan diri) serta aneh. Kenapa ? karena tidak ada satupun dalil yang menujukkan kepadanya dan tidak ada para ulama’ –sejauh pengetahuan kami- yang memahami dan mengamalkan demikian.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

ومن الغلو في هذه المسألة ما يفعله بعض الناس من كونه يلصق كعبه بكعب صاحبه ويفتح قدميه فيما بينهما حتى يكون بينه وبين جاره في المناكب فرجة فيخالف السنة في ذلك، والمقصود أن المناكب والأكعب تتساوى

“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaf), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundah temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu bisa lurus (bukan melaekatnya).” [ Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فإِن إِلزاق العنق بالعنق مستحيل, وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر. وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل, وإِلزاق الكعب بالكعب, فيه من التعذر, والتكلف

“Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [ La Jadida : 11 ].

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata :

وليس معنى رص الصفوف ما يفعله بعض الجهال اليوم من فحج رجليه حتى يضايق من بجانبه؛ لأن هذا العمل يوجد فرجا في الصفوف، ويؤذي المصلين، ولا أصل له في الشرع

“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Al-Mulakhash Al-Fiqhi : 124 ].

[3]. Merapatkan shaf, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Dimana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet/nempel. Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershaf yang bisa di isi oleh satu orang atau lebih.
Adapun jika kurang dari itu, maka ini dianjurkan.

Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan :

أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا. بقي الفصل بين الرجلين: ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع، وهو قول عند الشافعية، وفي قولٍ آخر: قدر شبر.

“Artinya : Janganlah seorang meninggalkan celah/jarak di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam “Syarh Al-Wiqayah” : Sesungguhnya seorang menyela di atara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iyyah. Dalam pendapat lain, : satu jengkal.” [ Faidhul Bari : 2/302 ].

Jadi yang dimaksud sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان

“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk syetan.”

Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah/jarak sama sekali. Seperti kalau nabi memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. Simak ucapan Ibnu Daqiqil Ied dalam kitabnya “Al-Ihkam” : 2/38.

Hal ini didasarkan berbagai indikasi, diantaranya :

■Kita diperintah untuk melembutkan diri dalam bershaf. Dan hal itu tidak akan terwujud kecuali ada jarak di antara orang-orang yang shalat.  Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

خياركم أَلينكم مناكب في الصلاة

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.” [ HR. Abu Dawud ].

Menurut Al-Khathabi –rahimahullah- Kalimat  “paling lembut pundaknya”, maknanya :

ومعناه لزوم السكينة في الصلاة, والطمأْنينة فيها, لا يلتفت ولا يحاك منكبه منكب صاحبه

“Terus menerus tenang dalam shalat, tidak menoleh dan pundaknya tidak memotong (mengoyang) pundak orang lain.” [ Ma’alim Sunan lewat “La Jadida” : 14 ].

Menurut Al-Munawi –rahimahullah- :

ولا يُحاشر منكبُهُ منكبَ صَاحِبه

“Pundaknya jangan sampai berdesakan dengan pundak sahabatnya.”[Faidhul Qadir : 3/466].

■Dalam sebagian gerakan-gerakan shalat, sangat membutuhkan adanya jarak antara orang yang satu dengan yang lain, seperti mengangkat tangan ketika takbir, saat bersedekap, posisi tangan saat rukuk dan sujud yang dijauhkan dari tubuh, saat duduk tasyahhud terkhusus ketika tasyahhud akhir dengan posisi tawwaruk.

Apakah bisa jika tidak ada jarak, kita mengamalkan hadits nabi yang memerintahkan kita untuk merengangkan atau menjauh tangan dari rusuk saat sujud misalkan ? tidak bisa.
Oleh karena itu standar jarak dalam bershaf, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidin” (140) :

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق

“Dan jarak yang dianggap (diakui) dalam lebar shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa mempersiapkan dan mengatur shalat. Dan ia adalah apa yang secara adat mencukupi mereka, orang-orang yang bershaf tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan.”

Adapun hadits dari An-Nu’man bin Al-Basyir –radhiallohu ‘anhu- berkata :

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Aku melihat seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”

Ucapan ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam “Shohih-nya” secara mu’allaq (1/146) di bawah Bab : “Melekatkan Pundak Dengan Pundak Dan Telapak Kaki Dengan Telapak Kaki Di Dalam Shaf” [ Lihat “Al-Fath” : 2/122 ].

Maka ada beberapa jawaban :

»Pertama : Jika memang tata cara merapatkan shaf dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, kenapa yang mengamalkan hanya “seorang” saja ? kemana yang lain dari para sahabat. Padahal, para sahabat adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan dan sunnah.

Bahkan dalam “Musnad Al-Mushili” disebutkan, bahwa perbuatan tersebut disempat dicela oleh Anas bin Malik :

قَالَ أَنَسٌ: «لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ»

“Anas bin Malik berkata : Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundah sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”[ 6/381 ].

»Kedua : Makna melekatkan di situ bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi, artinya penyangatan dalam lurus dan rapat. Bukan benar-benar nempel.

»Ketiga : Itu dilakukan hanya untuk wasilah (perantara) meluruskan dan merapatkan shaf saja. Jika sudah lurus, maka tidak nempel lagi. Lihat keterangan sebelumnya dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah-.

[4]. Amaliah merapatkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak ketika bershaf, tidak mungkin akan konsisten. Karena jika konsisten, mereka harus melakukannya dalam seluruh keadaan ketika shalat, dari takbir pembukaan sampai salam. Dan ini perkara yang tidak mungkin terwujud seperti ketika posisi sujud, atau duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahhud (awal ataupun akhir), dan yang lainnya. Ini semua justru menjadi indikasi tambahan, bahwa dibutuhkan celah/jarak dalam bershaf.

[5]. Para ulama kibar di Saudi pun tidak mengamalkan tata cara merapatkan shaf sebagaiman yang diamalkan oleh sebagian kecil muslimin di Indonesia ini. Bisa disaksikan lewat video atau gambar. Tentunya amaliah mereka didasarkan kepada ilmu dan bukan kejahilan.

Kesimpulan :

1]. Meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat, perkara yang disyari’atkan. Dan hukumnya sunnah menurut jumhur ulama’, tidak sampai derajat wajib.

2]. Meluruskan dan merapatkan shaf tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak. Akan tetapi dengan sedikit jarak antara keduanya. Dimana jaraknya tidak terlalu luas tapi juga tidak sampai nempel. Sekitar empat jari atau satu jengkal (antara telapak kaki yang satu dengan yang lain, bukan pundak).

3]. Adanya celah yang dilarang, adalah celah yang cukup dipakai untuk satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka boleh (lihat point no : 2).

4]. Merapatkan shaf dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, hukumnya makruh, karena akan menganggu orang lain dan mengurangi kekhusyu'an seorang dalam shalatnya.

Semoga bermanfaat.

14 Ramadhan 1439 H