Senin, 15 April 2019

Pro kontra hukum memilih

[15/4 12.32] Samingan: *HIMBAUAN PARA ASSATIDZ SALAFI UNTUK TIDAK GOLPUT SERTA FATWA DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD TENTANG BOLEHNYA MENGGUNAKAN HAK PILIH DALAM PEMILU DAN SINYAL KEPADA PRABOWO-SANDI*
————————————

●Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
●Nizar Sa’ad Jabal, Lc, M.PdI
●Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc, MA
●Dr. Sofyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
●Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
●Dr. Khalid Basalamah, Lc, MA
●Dr. Muhammad Nur Ihsan, Lc, MA
●Dr. Roy Grafika Penataran, Lc, MA
●Dr. Erwandi Tarmizi, Lc, MA
●Dr. Musyaffa’, Lc, MA
●Nafi’ Zainuddin BSAW, Lc, M.HI
●Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
______________________
Pernyataan
*Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA*
                                                   *حفظه الله تعالى*

*1) Para ulama yang menyuruh nyoblos sangat banyak dan lebih senior:*
●Syaikh Bin Baz,
●Syaikh Albani,
●Syaikh Utsaimin, al-lajnah Ad-daaimah,
●Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad,
●Syaikh Sholeh al-luhaidan,
●Mufti arab saudi Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh,
●Syaikh Nasir Asy-Syatsri,
●Syaikh Ali Hasan,
●Syaikh Masyhur Hasan,
●Syaikh Musa Nashr,
●Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili,
●Syaikh Abdul Malik romadoni al-Jazaairi, dan masih banyak yang lainnya

*Maka mengikuti ulama senior para orang tua yang tinggi ilmu dan ketakwaan mereka lebih utama daripada mengikuti pendapat para ustadz seperti kami*

*2) Jika ada yang berkata : para ulama tidak tahu kondisi Indonesia,*
*kita katakan :*

*– ini adalah tuduhan yang tidak beralasan dan terlalu dipaksa-paksakan. Karena masalah pemilu dan demokrasi adalah permaslahan yang umum menimpa banyak negeri kaum muslimin, seperti Yaman, Kuwait, Iraq, al-Jazaair dll*

*– sebagian ulama tersebut sering ke Indonesia, seperti Syaikh Ali Hasan yang sudah 17 kali ke Indonesia, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili dan Syaikh Abdurrozzaq yang sudah berulang-ulang ke Indonesia*

*– diantara para ulama tersebut adalah syaikh Abdul Malik Romadoni al-Jazaairi yang telah menulis buku khusus tentang politik (madaarikun nadzor) beliaupun menyuruh untuk memilih.*

*3) Jika ada yang berkata : para ulama juga bisa salah berfatwa. Maka kita katakan hal ini memang benar, namun jika para ulama saja bisa salah apalagi para ustadz yang berseberangan tentu bisa lebih salah lagi.*

*4) Kaidah yang dipakai oleh para ulama adalah irtikaab akhoffu Ad-dororoin yaitu menempuh kemudorotan yang lebih ringan dalam rangka menjauhi kemudorotan yang lebih besar.*

*Dalil akan kaidah ini sangatlah banyak, diantaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih memilih membiarkan orang arab Badui kencing di mesjid Nabawi dan melarang para sahabat yang hendak mencegah orang arab Badui tersebut karena pilihan para sahabat akan lebih fatal akibatnya. Hal ini bukanlah berarti nabi mendukung adanya kencing di mesjid !!*

*Kaidah ini berbeda dengan kaidah dorurot tubihul mahdzuroot (analogi boleh makan babi kalau tidak maka akan meninggal).* 
*Nabi tatkala memilih membiarkan arab Badui tersebut kencing bukan sedang dalam keadaan darurot dari sisi bahaya, akan tetapi dari sisi dua kemudorotan yang tidak bisa dihindari maka beliau memilih mudorot yang kecil.*

*5) Pernyataan bahwa menyoblos berarti mendukung demokrasi, adalah pernyataan yang tidak benar. Karena kaidah menempuh kemudorotan yang lebih ringan bukan berarti mendukung kemudorotan !!*
*Ini merupakan perkara yang sangat jelas bagi yang paham akan kaidah tersebut. Sebagaimana tadi Nabi membiarkan Arab Badui kencing di mesjid maka bukan berarti Nabi mendukung adanya kencing di mesjid.*

*Pernyataan inilah yang sering disalah gunakan oleh sebagian saudara kita untuk mengkafirkan orang-orang yang nyoblos karena persepsi mereka bahwa, memilih melazimkan mendukung kesyirikan demokrasi.*

*6) Pernyataan :*
*“Golput lebih selamat” malah perlu direnungkan kembali :*
*– seorang yang golput pun tidak akan terhindarkan dari kemudorotan yang akan muncul dikemudian hari. Siapapun presidennya pasti undang-undang yang diputuskannya akan berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Golput hanya bisa terhindar dari dampak demokrasi Indonesia jika golput pindah ke luar negri, ke arab saudi misalnya.*

*– pernyataan bahwa yang nyoblos akan ditanya pada hari kiamat, sementara yang tidak nyoblos tidak ditanya, maka kita katakan :*
*Seorang golput jika ternyata karena golput nya maka naiklah pemimpin yang membawa kemudorotan bagi Islam dan kaum muslimin, maka iapun akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat.*

*– pernyataan :*
*kalau nyoblos maka bertanggung jawab atas hukum-hukum yang kemudian hari dikeluarkan oleh pilihannya.*
*Jawabannya :*
*Ini tidaklah lazim,*
*kembali kepada kaidah memilih kemudorotan yang lebih ringan bukan berarti mendukung kemudorotan, sebagaimana analogi Nabi membiarkan arab Badui kencing di mesjid bukan berarti membolehkan apalagi mendukung kencing di mesjid.*

*7) Kalau ada yang mengatakan, bahwa yang nyoblos manhaj nya perlu dipertanyakan, maka kenyataannya mereka yang nyoblos telah mengikuti fatwa para ulama, bahkan banyak dan mayoritas para ulama. Kalau bukan fatwa para ulama yang diikuti lantas siapa lagi?*

*8) Syaikh Ali Hasan pernah berfatwa untuk tidak menyoblos tatkala ada pemilu di Iraq, sehingga ahlus sunnah pada tidak memilih, akibatnya syiah yang naik dan berkuasa. Maka setelah itu beliau merubah fatwa beliau mengikuti yang lebih tua yaitu fatwa Syaikh Albani guru beliau, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh Utsaimin. Beliau sadar bahwa fatwa orang tua (Syaikh Albani) lebih tajam daripada fatwa Beliau.*

*9) Ingatlah bisa jadi Kristenisasi, syiahnisasi, liberal semakin berkembang tanpa harus angkat senjata, namun hanya dengan perundang-undangan. Jika sebagian ustadz tidak bisa mengisi pengajian di sebuah mesjid hanya karena DKM nya simpatisan syiah maka bagimana lagi jika syiah beneran. Apalagi dalam skala yang lebih luas.*

*10) Tidak diragukan bahwa pemilu merupakan fitnah yang menimbulkan pro kontra, maka hendaknya baik yang nyoblos maupun yang golput agar kembali rukun, tidak perlu saling menjatuhkan, semuanya hanya tinggal menunggu taqdir Allah. Masing-masing telah menunjukan sudut pandangnya, masing-masing telah berdoa dan berijtihad, dan masing-masing berniat baik untuk Islam dan negeri ini.*

*Semoga Allah memberikan yang lebih baik bagi kaum muslimin Indonesia.*

*✍ Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA*
                                                  *حفظه الله تعالى*

https://firanda.com/1169-renungan-bagi-saudaraku-golput.html

==================

*Fatwa Ulama-Ulama Besar Dunia: Memberikan Suara dalam Pemilu*

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Sumber:
http://muslim.or.id/manhaj/fatwa-ulama-memberikan-suara-dalam-pemilu.html

Beberapa fatwa ulama besar di abad ke-20 yang membolehkan memberikan suara atau coblos dalam Pemilu dengan menimbang-nimbang maslahat dan mudhorot.

*[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah-, pakar hadits abad ini*

bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.

Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan. Kaedah inilah yang biasa diterapkan oleh para pakar fiqh.

[Disalin dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia “Bolehkah Berpolitik?”, hal 45-46]

*[2] Syaikh ‘Abdurrahman Al Barrok –hafizhohullah-, ulama senior di kota Riyadh Saudi Arabia dan terkenal keilmuannya dalam masalah akidah*

Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu (yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq), dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan kemampuan yang ada. Sungguh Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), _“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”_ (QS. At Taghaabun: 16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), _“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”_ (QS. Az Zalzalah: 7)

[http://www.shawati.com/vb/archive/index.php/t-12080.html]

*[3] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin –rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia*

Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan berbagai kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat, maka kami menilai bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu semacam ini, dan memilih calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan dan kapasitas sehingga dia dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula bahwa yang terpilih nantinya adalah orang yang sholeh, dapat membuat inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan yang menjadi sebab baiknya agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kondisi real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang sholeh dan reformis serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang benar-benar beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh karena itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan, wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari kalangan orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

[http://montada.echoroukonline.com/archive/index.php/t-16999.html]

*[4] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy–hafizhohullah-, murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan pakar hadits*

Dalam masalah pemilu –sebagaimana yang telah lewat- harus kita tinjau lebih mendalam lagi dan jika ingin diputuskan, maka perlu dilihat hakikat sebenarnya sebagaimana yang pernah aku isyaratkan padanya. Di markaz Al Imam Al Albani pun telah keluar fatwa mengenai bolehnya ikut serta dalam pemilu jika terpenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga ada fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy mengenai bolehnya hal ini. Jika aku menilai, perkara ini amatlah ruwet (rumit). Kita harus melihat maslahat dan mafsadat. Tidak boleh kita legalkan secara mutlak atau pun kita larang secara mutlak.

[http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=2467]

*[5] Para Ulama di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)*

Ada beberapa fatwa Lajnah Da’imah mengenai pemilu. Berikut adalah salah satunya.

Fatwa no. 14676

Pertanyaan:
Dalam pemilu tersebut, terdapat partai yang memperjuangkan hukum Islam. Namun ada juga partai yang menolak hukum Islam. Apa hukum memilih partai yang anti hukum Islam padahal dia tetap shalat?

Jawab: Wajib bagi setiap muslim di berbagai negeri yang berhukum dengan selain hukum Islam, agar mereka mencurahkan usaha mereka semampunya untuk berhukum dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, hendaklah mereka saling bahu membahu dan menolong partai yang diketahui akan menegakkan syari’at Islam. Adapun menolong partai yang menolak penerapan hukum Islam, hal ini tidak diperbolehkan, bahkan pelakunya menjadi kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya),
_“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”_ (QS. Al Maa’idah: 49-50).
Oleh karena itu, ketika Allah telah menyatakan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Islam adalah kafir, maka Allah memperingatkan agar kita tidak menolong mereka atau menjadikan mereka sebagai wali (penolong). Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa jika memang mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
_“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”_ (QS. Al Ma’idah: 57)

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’

Anggota: ‘Abdullah bin Ghodyan

Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Maktabah Asy Syamilah]

*[6] Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama terkemuka di Mesir, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan terkenal dengan ilmu tafsir dan haditsnya*

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot (bahaya) yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon yang sholeh, maka memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan (mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih calon yang sholeh termasuk mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya yang lebih ringan, pen). Jadi memberikan suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan.” (Diambil dari video: http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)

*[7] Syaikh Sholeh Al Munajjid, ulama Saudi Arabia dan di antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga menjadi pengelola website Al Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)*

Dalam fatwa Al Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah yang berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini tidak bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.

Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin atau ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja, begitu pula ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama mendukung kesesatan. Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan karena menimbang adanya maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan seperti ketika calon yang dipilih kesemuanya non muslim, namun salah satunya lebih sedikit permusuhannya dengan kaumm muslimin. Atau karena suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam pemilihan, maka keadaan seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.

Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini sebaiknya dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan menimbang-menimbang kaedah tersebut.”
*(Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062)*.

Demikian fatwa para ulama terkemuka yang bisa kami sajikan. Menyuruh untuk “Golput” pun menjadi suatu yang masalah saat ini, sehingga seharusnya ditimbang-timbang manakah yang maslahat.
   ****

*Nasihat:*
*Kalau ada pemimpin muslim dgn non muslim pilih yg muslim. Kalau sama sama muslim pilih yg kebijakannya utk kebaikan umat Islam, kalau sama kebijakannya pilih yg tawadhu, kalau sama2 tawadhu pilih yg mu'aqobah yg takut kpd Allah & hari akhir, kalau sama2 mu'aqobah pilih yg paling wara' diantaranya.*

==================
👥 DEWAN FATWA
PERHIMPUNAN AL-IRSYAD

*TENTANG BOLEHNYA MENGGUNAKAN HAK PILIH DALAM PEMILU*

*Ketua*
Dr. Firanda Andirja, Lc, MA

*Sekretaris*
Nizar Sa’ad Jabal, Lc, M.PdI

*Anggota – Anggota :*
1. Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc, MA
2. Dr. Sofyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
3. Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
4. Dr. Khalid Basalamah, Lc, MA
5. Dr. Muhammad Nur Ihsan, Lc, MA
6. Dr. Roy Grafika Penataran, Lc, MA
7. Dr. Erwandi Tarmizi, Lc, MA
8. Dr. Musyaffa’, Lc, MA
9. Nafi’ Zainuddin BSAW, Lc, M.HI

┏🍃🌺━━━━━━━━━━﷽┓
                📜 FATWA
DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD
          NO : 004/DFPA/VI/1439
*TENTANG BOLEHNYA MENGGUNAKAN HAK PILIH DALAM PEMILU*

*Latar Belakang Masalah*

_Kepemimpinan adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi ﷺ yang membahas tentang ini, dikarenakan sangat besar pengaruh pemimpin terhadap baik buruknya kehidupan suatu masyarakat._

_Pemilu merupakan permasalahan besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum dan menyangkut hajat orang banyak, masalah ini juga bisa dikategorikan dalam masalah “ma ta’ummu bihil balwa” atau perkara yang menimpa masyarakat luas, bahkan di beberapa negara yang dulunya tidak ada pemilihan umum pun, sekarang mulai memberlakukan aturan itu, walaupun hanya di beberapa lini pemerintahannya._

_Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah pemilihan pemimpin merupakan masalah penting. Oleh karenanya Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menganggap perlunya menjelaskan hukum menggunakan hak pilih (mencoblos) dalam pemilu, pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden._

Berikut ini adalah pandangan Dewan Fatwa terkait hal tersebut.

_Adapun berpartisipasi dengan menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, maka hal ini dianjurkan oleh banyak ulama Ahlus Sunnah, di antaranya; Syaikh Bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Shalih Al Luhaidan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh Mufti Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Al Lajnah Ad Daimah, dan lain-lain._

_Dalil yang dijadikan sebagai dasar dalam masalah ini adalah kaidah yang artinya “Menempuh kemudaratan yang lebih ringan dalam rangka menjauhi kemudaratan yang lebih besar”._

Baca selengkapnya :
https://dewanfatwa.perhimpunanalirsyad.org/fatwa-menggunakan-hak-pilih-dalam-pemilu/

وصلى اُلله وُسلم وُبارك عُلى نُبينا مُحمد, وُعلى آُله وُصحبه وُمن تُبعهم بُإحسان إُلى يُوم اُلدين، وُالحمدلُله رُب اُلعالمين

✒ Ditetapkan di: Jakarta

📆 Pada tanggal:
4 Jumadal Akhirah 1439H
20 Februari 2018 M

*👥 DEWAN FATWA PERHIMPUNAN AL-IRSYAD*

*Ketua*
Dr. Firanda Andirja, Lc, MA

*Sekretaris*
Nizar Sa’ad Jabal, Lc, M.PdI

*Anggota – Anggota :*
1. Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc, MA
2. Dr. Sofyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
3. Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
4. Dr. Khalid Basalamah, Lc, MA
5. Dr. Muhammad Nur Ihsan, Lc, MA
6. Dr. Roy Grafika Penataran, Lc, MA
7. Dr. Erwandi Tarmizi, Lc, MA
8. Dr. Musyaffa’, Lc, MA
9. Nafi’ Zainuddin BSAW, Lc, M.HI

dewanfatwa.perhimpunanalirsyad.org
[15/4 13.05] Sidan: *Dibaca sampai tuntas ya....!*


Ada tulisan di Kompasiana yg di posting pd bulan Juli 2014. Temanya ttg bantahan thd orang  yang menakut2i dan mencela orang yg tidak ikut pemilu. Tulisan salafi, dibantah dengan gaya khas salafi.
Lumayan jg unt bekal tambahan berdiskusi dgn bubuhan penganjur demokrasi.
Tulisannya agak panjang, tp cukup nyaman dibaca.

🌻🌻🌻

Kritik atas Argumentasi Ustadz Firanda Andirja

9 Juli 2014   22:29 Diperbarui: 9 Juli 2014   22:29

12433 0 0

Bismillahirrohmaanirrohiim

Bantahan Telak Status Terbaru Akh Firanda Andirja yang Menyuruh Mencoblos Hari Ini (Complete)

1. Akh Firanda berkata,
[....para ulama yg menyuruh nyoblos sangat banyak dan lebih senior (sy bin Baz, sykh albani, sykh utsaimin, al lajnah Ad-daaimah,...]

Bantahan:
Ya Akhi, bertaqwalah kepada Alloh azza wa jalla. Siapa yang bilang mereka "menyuruh" mencoblos secara mutlak?

Siapa bilang Syaikh Al-Albani dengan praktis membolehkan mencoblos?

Dalam sebuah kaset Silsilatul Huda wan Nûr (1/352) seseorang bertanya kepada Syaikh Al Albani:

“Syaikh, yang dimaksud adalah saudara-saudara kita di Aljazair, tentang usaha mereka dan keikutsertaan mereka dalam kancah politik.”

Syaikh Al Albani : “Zaman sekarang ini saya tidak menganjurkan kaum muslimin di negeri Islam manapun terlibat dalam kegiatan politik…”

Dengarlah ketarangan ini wahai Akh Firanda, apakah berita ini mau disembunyikan?

Adapun Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya, mungkin ada sebagian dari mereka yang membolehkan, tapi itu kata Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh :

“Mereka (para ulama yang membolehkan) memasang syarat syarat yang syarat-syarat ini kalau mereka teliti atau mereka komitmen dengan syarat-syarat ini, niscaya mereka tidak akan bisa ikut Pemilu,” sebab syaratnya berat.

2. Akh Firanda berkata,

[... Maka mengikuti ulama senior para orang tua yang tinggi ilmu dan ketakwaan mereka lebih...]

Bantahan:

Lah, bukannya ulama senior melarang kita pemilu di Indonesia?

Berikut ini tanya jawab bersama Asy Syeikh Badr Hafidzohulloh seputar
pemilu

Tanya: wahai guru kami – semoga Alloh menjagamu- saya memiliki pertanyaan: saat ini semakin dekat hari pemilu di indonesia, dan banyak dari calon yang akan dipilih adalah orang-orang nasrani dan syiah. Sehingga sebagian umat Islam Indonesia berkata dan mendorong untuk ikut serta dalam pemilu agar orang-orang nasrani dan syiah tidak menguasai atas umat Islam di Indonesia. Apakah ucapan ini benar? Berikanlah faidah kepada kami…

Jawab: wahai saudaraku…pemilu tidak bermanfaat dan meninggalkannya lebih utama…Wallohu ‘Alam

Tanya: ya….wahai guru kami…hal itu adalah keyakinanku, Alhamdulillah. Akan tetapi saat ini muncul orang-orangyang menisbatkan kpd manhaj salaf, mereka berkata seperti yang saya tanyakan kepadamu, dan mereka mengatakan bahwa hal ini ( ikut serta dalam pemilu) adalah termasuk dari pembahasan: mengambil mafsadah yang lebih ringan, sehingga ucpan ini menipu kepada umat Islam. Bagaimana kami menjawab ucapan ini? Semoga Alloh menjagamu.

Jawab: berpegang teguh dengan agama Islam dan tidak bertasyabuh kpd orang orang kafir adalah hal yang lebih utama. Pemilu datang dari barat dan termasuk sistem demokrasi barat. Maka berpalinglah kalian darinya…
(Tanya Jawab Al Ustadz Abu Jundi hafidzahullah bersama Asy Syaikh Badr bin Muhammad Al Badr hafidzahullah)

3. Akh Firanda berkata,

[... jika ada yg berkata : para ulama tdk tahu kondisi Indonesia, kita katakan :
- ini adalah tuduhan yg tdk beralasan dan terlalu dipaksa-paksakan. Karena masalah pemilu dan demokrasi adalah permaslahan yang umum menimpa banyak negeri kaum muslimin, seperti Yaman, Kuwait, iraq, al-jazaair dll..]

Bantahan:

Ya Akhi, janganlah kita berbicara jika tidak paham konstalasi politik Indonesia. Apalagi Anda mau integrasi pemilu di negeri lain.

Persoalan negeri Yaman, ulama Yaman mana yang membolehlan pemilu di Yaman, Akhi?

Ustadz dari Indonesia?

Ya Akhi, Anda kenal Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam?

Ulama Yaman.

Anda tahu apa judul buku yang beliau tulis? "Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat." Penerbit : Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate.

Buku yang mengupas kebobrokan pemilu.

Apa isi bab bukunya?

Kerusakan ke-1 : Pemilu bisa mengantarkan
pada kesyirikan kepada Allah dalam masalah
Syirkuth Tha’ah (syirik dalam ketaatan).

Kerusakan ke-2 : Pemilu meng-ilah-kan
mayoritas, yang mayoritas itu yang diangkat
dan dijadikan sebagi ilah.

Kerusakan ke-3 : Pemilu memberikan sangkaan
yang jelek terhadap Islam bahwa Islam ini
adalah kurang, sebab Pemilu tidak dikenal
dalam Islam. Kalau kita katakan Pemilu boleh,
artinya kita memberikan sangkaan yang jelek
bahwa Islam itu kurang karena Islam tidak
mengaturnya.

Kerusakan ke-4 : Pemilu mempersempit atau
menelantarkan Al Walâ’ (loyalitas) dan Al
Barâ’ (antipati dan permusuhan) terhadap
orang-orang kafir dan orang-orang yang
menyeleweng.

Kerusakan ke-5 : Pemilu artinya ia tunduk
kepada peraturan ilmaniyah (sekuler).

Kerusakan ke-6 : Pemilu artinya mengelabui
kaum muslimin.

Kerusakan ke-7 : Pemilu artinya memberi label
syar’i terhadap demokrasi.

Kerusakan ke-8 : Pemilu merupakan alat yang
dipakai oleh orang-orang Yahudi dan Nashara.

Kerusakan ke-9 : Pemilu ini menyelisihi Nabi
shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi
musuh musuhnya. Beliau menghadapi musuh
musuh dakwah bukan dengan cara Pemilu.

Kerusakan ke-10 : Pemilu adalah wasilah yang
diharamkan.

Kerusakan ke-11 : Pemilu memecah belah
persatuan kaum muslimin dengan partai-partai
itu dan seterusnya, ini memecah belah
kesatuan kaum muslimin.

Kerusakan ke-12 : Pemilu menghancurkan
ukhuwah Islamiyah.

Kerusakan ke-13 : Fanatisme yang tercela.

Kerusakan ke-14 : Membela partai.

Kerusakan ke-15 : Memberi rekomendasi
menurut kepentingan partai.

Kerusakan ke-16 : Calon pejabat mencari
keridhaan rakyat.

Kerusakan ke-17 : Kepalsuan, kelicikan demi
simpati massa.

Kerusakan ke-18 : Menyia-nyiakan waktu
dengan slogan kosong.

Kerusakan ke-19 : Menghamburkan harta.

Kerusakan ke-20 : Calon pejabat terfitnah oleh
harta.

Kerusakan ke-21 : Pemilu mementingkan
kuantitas, bukan kualitas.

Kerusakan ke-22 : Pemilu mementingkan kursi,
tidak mempedulikan masalah aqidah.

Kerusakan ke-23 : Mengabaikan kerusakan
aqidah sang calon pejabat

Kerusakan ke-24 : Menerima seorang calon
tanpa peduli syarat-syarat syar’i.

Kerusakan ke-25 : Menyalahgunakan nash-nash
syar’i.

Kerusakan ke-26 : Tidak memperhatikan rambu-
rambu syar’i dalam memberikan kesaksian.

Kerusakan ke-27 : Pemilu ini menyamakan
antara suara orang kafir dengan orang muslim,
orang shalih dengan orang thalih, orang baik
dengan orang jelek, padahal Al Qur’an
membedakan:
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-
orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang kafir)? ”
(QS Al Qalam: 35)

Kerusakan ke-28 : Fitnah perempuan dalam
Pemilu.

Kerusakan ke-29 : Menganjurkan orang-orang
hadir di tempat-tempat kedustaan.

Kerusakan ke-30 : Tolong-menolong dalam dosa
dan permusuhan.

Kerusakan ke-31 : Bekerja keras dalam sesuatu
yang tidak berfaidah.

Kerusakan ke-32 : Janji-janji kosong.

Kerusakan ke-33 : Menamakan sesuatu dengan
cara yang salah.

Kerusakan ke-34 : Koalisi-koalisi semu.

Nah, inilah isi bukunya, Akhi. Penulisnya adalah ulama Yaman dan diberi pengantar oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i.

Inilah karya autentik dari ulama Yaman akhi, yang bersikap antipati terhadap pemilu. Sekarang, kita berfikir lebih jernih, kalau di Yaman saja yang begitu banyak konflik, masalah, tetapi lihatlah sikap ulama mereka, Akhi. Tidak ada yang membolehkan pemilu.

Bertakwalah kepada Alloh, Akhi.

Berikutnya, Akhi, persoalan "ulama" yang katanya paham kondisi Indonesia sehingga membolehkan pemilu, kita perlu tanya "apa pengertian Anda tentang konstalasi politik di Indonesia?"

Akhi Firanda pernah masuk di parlemen?

Akhi, kalau Anda mengasumsikan jika di parlemen mayoritasnya Muslim 'baik', akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non Muslim, Syi'ah, liberal akan tidak baik dan berbahaya.

Ketahuilah, jumlah Muslim atau non Muslim, Syiah, liberal, maka tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim/syiah/liberal. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas.

Bisa dipahami, Akhi?

Karena itulah, kembalilah kejalan yang benar, Akhi.

4. Akh Firanda beberapa kali membawa nama Ali Hasan dalam statusnya.

Bantahan:

Orang ini telah dijarh, Akhi. Silahkan merujuk ke Kitab Tahdzir as-Salafy min Manhaj at-Tamayyu’ al-Khalafy dikumpulkan oleh: ‘Abdul Hamid ‘Ali Yahya Najjar al-Hadhabi. Muqaddimah asy-Syaikh DR. Ahmad ‘Umar Bazmul. Hal. 149-185.

Lihat di artikel mengapa Ali Hasan dijarh, "ringkasan-sebab-sebab-kenapa-ali-hasan-al-halabi-dijarh-dicerca-dan-dikritik/"

5. Akh Firanda berkata,

[.. jika ada yang berkata : para ulama juga bisa salah berfatwa. Maka kita katakan hal ini memang benar, namun jika para ulama saja bisa salah apalagi para ustadz yang berseberangan tentu bisa lebih salah lagi..]

Bantahan:

Ya Akhi, kalau sudah tahu bahwa fatwa ulama yang membolehkan pemilu itu salah, lantas mengapa dipaksa dibenarkan?

6. Akh Firanda berkata,

[.. kaidah yg dipakai oleh para ulama adalah irtikaab akhoffu Ad-dororoin yaitu menempuh kemudorotan yang lebih ringan dalam rangka menjauhi kemudorotan yang lebih besar...]

Bantahan:

Berkata al-Ustadz Dzulqarnain hafidzahulloh ketika membantah Ikhwan Abdul Jalil, Lc. (Tokoh Wahdah Islamiyah) yang memakai kaedah di atas,

"Kaidah ini menurut ulama ahliushul fiqhi tidak boleh diterapkan kecuali dengan tiga syarat.

1. Hendaknya maslahat yang akan dicapai dengan melakukan dharar tersebut adalah
maslahat haqiqiyyah (pasti tercapai) bukan maslahat wahmiyah (mungkin tercapai, mungkin tidak). Sekarang saya tanya maslahatnya, orang yang masuk Pemilu apakah pasti tercapai akan terpilih atau masih
kemungkinan?

Jawabnya, mungkin, tidak ada kepastian. Syarat pertama sudah tidak terpenuhi.

2. Syarat yang kedua, hendaknya mafsadah yang terjadi ketika menjalani bahaya itu lebih
ringan daripada hasil yang hendak dicapai. Sekarang saya tanya, 34 kerusakan ini ringan
atau tidak? Wallâhi, berat, dan beratnya lebih berat daripada maslahat yang hendak mereka
capai. Tidak terpenuhi syarat yang kedua.

3. Syarat yang ketiga, disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied rah imahullâh bahwasanya tidak
ada jalan lain lagi kecuali itu. Nah, ini akan buntu di sini. Saya tanya, mana
jalannya Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam? Adakah beliau melakukan Pemilu? Beliau
memulai dakwah dari Makkah dalam keadaan lemah, 13 tahun setelah itu pindah lagi ke
Madinah dan mulai di situ mempunyai daulah sambil menyempurnakan tauhid dan seterusnya. Mana jalan Nabi shallallâhu ‘alaihi
wasallam yang lebih berhasil? Dua puluh tiga tahun Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam berhasil.

Dan lihat dakwah-dakwah Ahlus Sunnah di negeri Saudi Arabia kemudian Yaman, subh anallâh tersebar dengan sangat baiknya. Ini maslahat yang sangat besar kalau orang bergelut dalam dakwah. Dan kalian, di mana kalian ambili’tibar masuk Pemilu? Apakah yang dijadikan contoh adalah Ikhwanul Muslimin yang sudah puluhan tahun sampai
sekarang tidak pernah membuahkan hasil? Maka, ambillah pelajaran! Karena itulah tidak ada maslahatnya sama sekali, sehingga kaidah
ini tidak bisa diterapkan," selesai penuturan Ustadz Dzulqarnain.

Bagaimana, Akhi? Tidakkah ini membuat kita legowo?

7. Akh Firanda berkata,

[.. pernyataan bahwa menyoblos berarti mendukung demokrasi, adalah pernyataan yang tdk benar...]

Bantahan:

Terus pemilu ini jalanya siapa, Akhi? Salaf? Miris sekali!

8. Akh Firanda berkata,

[.. pernyataan : "golput lebih selamat". maka perlu direnungkan kembali..]

Bantahan:

Akhi, Anda lebih selamat jika tidak terlibat pada kancah pemilu.

Akhi,....Memilih si A dalam Pemilu nanti, maka persiapkanlah dirimu dihadapan Alloh azza wa jalla nantinya untuk mempertanggungjawabkan keputusanmu itu.

Apabila pilihanmu si A kelak menjadi presiden, dan tidak menerapkan syariat Islam, tidak menjadikan hukum negara berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, tidak menerapkan hukum rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, hukum pancung, dan lain sebagainya.

Maka kelak di hari kiamat engkau akan dimintai pertanggungjawaban, karena atas suaramulah ia terpilih.

Bagi yang memilih si B, siapkan pulalah dirimu untuk mempertanggungjawabkan keputusanmu itu dihadapan Alloh azza wa jalla.

Apabila pilihanmu si B kelak menjadi presiden, dan tidak menerapkan syariat Islam, tidak menjadikan hukum negara berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, ia menyakiti hati kaum muslimin, tidak menerapkan hukum rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, hukum pancung, dan lain sebagainya.

Maka kelak di hari kiamat engkau akan dimintai pertanggungjawaban, karena atas suaramulah ia terpilih."

Alloh azza wa jalla berfirman,

"Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan.“
(QS. An-Nur 24)

Siapkanlah diri kalian!

Jika ingin selamat, jangan ikut fitnah pemilu ini, Akhi.

9. Akh Firanda berkata,

[.. seorang yang golput pun tdk akan terhindarkan dari kemudorotan yang akan muncul dikemudian hari...]

Bantahan:

Bukanlah 34 kerusakan pemilu yang kami sebutkan (pada awal tulisan) itu lebih parah?

Ya Akhi, jagalah dirimu, baru engkau selamatkan saudaramu yang lain. Bukan sebaliknya!

10. Akh Firanda berkata,

[... Seorang golput jika ternyata karena golput nya maka naiklah pemimpin yang membawa kemudorotan bagi Islam dan kaum muslimin maka iapun akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat...]

Bantahan:

Ya Akhi, yang berhak memilih pemimpin itu siapa, Akhi?

Semua orang? Tukang becak? Wanita? Pasien Rumah Sakit Jiwa?

Mau dikemanakan tarikh Islam, Akhi?

Anda tahu toh' bahwa yang berhak memilih pemimlin adalah ahlul hal wal ‘aqd (para ulama dan cendikia)? Atau apakah semua orang di Indonesia sudah bergelar ulama sehingga berhak memilih?

Ya Akhi, masyarakat umum bukanlah yang berhak memilih calon presidennya. Lihatlah sejarah pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah semua masyarakat ikut mencoblos?

Dan apakah masyarakat di zaman mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Alloh karena tidak ikut memilih?

11. Akh Firanda berkata,

[.. kalau ada yang bilang bahwa yang nyoblos manhaj nya perlu dipertanyakan, maka kenyataannya mereka yang nyoblos telah mengikuti fatwa para ulama..]

Bantahan:

Bukankah di awal tulisan Syaikh Badr telah menasihat kita agar meninggalkan pemilu? Dan juga bukankah Syaikh Robi telah meluruskan perkataan para ulama yang membolehkan pemilu?

Dan jika ada yang tetap kental dalam pendirian ikut mencoblos, apakah salah jika mempertanyakan manhajnya?

12. Akh Firanda berkata,

[... ingatlah bisa jadi Kristenisasi, syiahnisasi, liberal semakin berkembang tanpa harus angkat senjata, namun hanya dengan perundang-undangan...]

Bantahan:

Ya Akhi, jauh sebelum pemilu, Anda sudab ikut arus Yahudi (baca: demokrasi). Lalu sekarang, Anda mau bahas masa depan!

Ya Akhi, yang menolog agama ini Alloh, bukan Anda, dkk.

Dengarkan ini, Akhi, Alloh azza wa jalla berfirman,

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,”
(QS. Al Hajj : 40)

Akhi, inilah kepastian. Pasti Alloh tolong agama ini, jangan khawatir. Yang kita khawatirkan adalah diri-diri kita. Jangan sampai ikut dalam kubangan demokrasi.

Akhi, ingatlah apa yang diungkapkan Al-Imam Malik bin Anas rohimahulloh,

“Tidak akan baik (generasi) akhir umat ini kecuali apa (cara sistem yang) dengannya telah menjadikan baik (generasi) awal umat ini.”

Apakah pemilu ini akan membuat negara kita menerapkan syariat Islam?

Ya Akhi, tegakkanlah syariat Islam itu pada diri-diri kita dulu.

13. Akh Firanda berkata,

[... Jika sebagian ustadz tdk bisa ngisi pengajian di sebuah mesjid hanya karena DKM nya simpatisan syiah maka bagimana lagi jika syiah beneran. Apalagi dalam skala yang lebih luas..]

Bantahan:

Allohu akbar. Ini ketakutan dan prasangka, Akhi. Apa tujuan Anda melampirkan premis ini? Agar manusia terjun pada pentas demokrasi yang harom?

Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa ..."
(QS. Al-Hujurat :12)

Dan Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka ..."
(Ali Imran: 175)

Seandainya Allah memberikan ujian berat untuk kita nanti, insya Alloh masih ada sesuatu yang jauh lebih mulia dari sekarang, yaitu kesabaran yang memiliki ganjaran yang besar.

Bukankah dulu kita pernah hidup dan dipimpin oleh seorang penguasa yang Anda takuti sekarang untuk menjadi pemimpin?

Kenapa dulu Anda tidak takut dia menjadi pemimpin, dan sekarang malah Anda takut?

Bukankah dulu juga kita pernah dipimpin oleh seorang wanita? Padahal wanita dilarang dalam Islam menjadi pemimpin. Kita juga pernah dipimpin oleh seorang yang memiliki pemikiran JIL dan Aswaja, dan juga pernah memiliki mentri agama yang juga memiliki pemikiran Syi'ah. Binasakah kita saat itu?

Bagaimana kondisi ustadz-ustadz kita waktu hidup bersama mereka?

Nah, begitu juga saat ini, pemilu tidak baru ini saja, tapi pemilu sudah lama berjalan, puluhan tahun, dan dari ke waktu seperti itu itu saja, hampir sama seperti saat ini.

Maka kembali ke jalan lurus, Akhi.

14. Akh Firanda berkata,

[... tidak diragukan bahwa pemilu merupakan fitnah yang menimbulkan pro kontra,..]

Bantahan:

Akhi, antum sudah tahu itu fitnah, lantas kenapa mau ikut pemilu?

Dari Ahban radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku:

“Kelak akan ada banyak kekacauan dan perpecahan. Jika sudah seperti itu maka patahkanlah pedangmu dan pakailah pedang dari kayu.”
(HR. Ahmad no. 20622)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Kelak akan ada banyak kekacauan dimana di dalamnya orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berusaha (dalam fitnah). Siapa yang menghadapi kekacauan tersebut maka hendaknya dia menghindarinya dan siapa yang mendapati tempat kembali atau tempat berlindung darinya maka hendaknya dia berlindung.”
(HR. Al-Bukhari no. 3601 dan Muslim no. 2886)

Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Beribadah di zaman haroj seperti berhijrah kepadaku.”
(HR. Muslim no. 2984)

Haroj adalah fitnah dan bertubrukannya kepentingan-kepentingan orang.

Ust. Abu Muawiyah Hammad menjelaskan,

"(Hendaknya kita) Tidak terjun dan ikut ikutan dalam fitnah tersebut. Berlindung dan menjauhi fitnah tersebut. Kedua sikap di atas berlaku untuk siapa saja, baik dia seorang alim apalagi jika dia orang yang jahil terhadap agamanya, baik dia orang yang kuat apalagi orang yang lemah. Karenanya siapa yang diperhadapkan kepada fitnah dan kekacauan maka jangan sampai rasa penasaran dan keingintahuannya menghancurkan dirinya dengan mencoba untuk terjun di dalamnya.

Karenanya siapa yang sudah masuk ke dalam fitnah maka hanya Allah yang bisa mengeluarkannya darinya. Hendaknya orang yang jahil terhadap agamanya tidak menjadi pahlawan kesiangan atau sok jagoan dalam masalah ini, karena sungguh sudah banyak orang alim sebelumnya yang dihancurkan oleh fitnah, maka sebaiknya dia mengasihani dirinya sendiri dan jangan mengasihani orang lain."

Terakhir, buat Akh Firanda, ingatlah pesan al-Hasan rahimahullah, saat beliau mengatakan,

“Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.”
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).

--Alhamdulillahirobbil 'alamin.

(Abu Hanin)
--Sulsel, 11 Romadhon 1435 H

Minggu, 14 April 2019

Hukum Shaf wanita bercampur dgn laki-laki

SHAF WANITA BERCAMPUR DENGAN LAKI-LAKI

Jika shaf shalat wanita bercampur dengan shaf laki-laki tanpa ada hajat, hukumnya makruh, akan tetapi shalatnya sah. Karena perintah agar shaf wanita terpisah berada di belakang shaf laki-laki hanya bersifat istihbab (anjuran saja), bukan perkara yang wajib yang akan mempengaruhi keabsahan shalat. Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَوَاقِفَ الْمَذْكُورَةَ كُلَّهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَإِنْ خَالَفُوهَا كُرِهَ وَصَحَّتْ الصَّلَاةُ لِمَا ذَكَرَهُ المصنف وكذا لو صلي الامام اعلا مِنْ الْمَأْمُومِ وَعَكْسَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَكَذَا إذَا تَقَدَّمَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى صُفُوفِ الرِّجَالِ بِحَيْثُ لَمْ تَتَقَدَّمْ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ الْإِمَامِ أَوْ بِجَنْبِ مَأْمُومٍ صَحَّتْ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الرِّجَالِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا

“Kesimpulannya, sesungguhnya posisi-poisisi shaf yang telah disebutkan semuanya bersifat anjuran. Jika mereka menyelisihinya, maka hal itu dimakruhkan, akan tetapi shalatnya sah sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh pengarang (Imam Asy-Syirazi). Demikian juga kalau seorang imam (posisinya) lebih tinggi dari makmum atau sebaliknya tanpa ada hajat, (maka shalatnya sah tapi dimakruhkan). Demikian juga jika (posisi) seorang wanita di depan shaf laki-laki, akan tetapi tidak di depan  imam, atau berdiri di samping imam atau di samping makmum laki-laki, shalat wanita dan laki-laki tersebut sah tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/297 ].

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ طلاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ

“Apabila seorang laki-laki shalat dalam kondisi di sampingnya ada seorang perempuan, shalat keduanya tidak batal, baik dia (laki-laki) tadi sebagai imam, atau makmum. Ini merupakan pendapat madzhab kami (Syafi’i) dan merupakan pendapat imam Malik serta kebanyakan para ulama’.” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/252].

Hukum makruh ini hanya berlaku kalau tidak ada hajat. Adapun jika ada hajat atau bahkan kondisi terpaksa, maka tidak lagi makruh akan tetapi BOLEH. Semisal kondisi jama’ah yang berjumlah sangat banyak mencapai ribuan atau bahkan jutaan, sedangkan tempat tidak memungkinkan untuk mengkondisikan makmum secara ideal. Oleh karena itu, janganlah kita terburu-buru untuk menyalahkan suatu perkara, dalam kondisi kita tidak mengerti ilmunya. Itu kedzaliman terhadap agama dan orang-orang yang kita hukumi. Wallahu waliyyut taufiq.

[Abdulalh Al-Jirani]

Jumat, 12 April 2019

Nasehat ulama kepada calon penguasa (UAS & PS)

*TRANSKIP DIALOG USTADZ ABDUL SOMAD DAN PRABOWO SUBIANTO*

11 April 2019

PS: Terimakasih Ustadz, bisa jumpa dengan saya. Saya mengikuti, ustadz sudah banyak berkeliling di Indonesia. Nah, apa yang ustadz lihat selama keliling di Indonesia, akhir-akhir ini.

UAS: Saya susah saya bilang mengawali ceramah itu. "Mari kita dengar tausiyah dari Al-Mukarram Abdul Somad". Begitu saya naik ke atas, semua orang (mengangkat dua jari simbol Capres 2 sambil bilang): "Ustadz...". Saya bilang; "kalian kan punya jari sepuluh. Kenapa yang diangkat cuman dua".

(PS dan UAS tertawa kecil).

UAS: Itu saya ucapkan untuk menetralisir. Karena ini kan ada Panwaslu, Bawaslu.

(PS: Iya benar)

UAS: Saya tidak ingin Tabligh Akbar itu menjadi politik. Udah turun, sampai protokol bilang; "Jamaah, tolong jangan acungkan jari".

PS: Itu dimana-mana, Ustadz?

UAS: Dimana-mana pak. Bapak bisa lihat rekaman (ceramah saya). Nanti ketika saya sampaikan; "Mari kita bershalawat". Kan untuk merubah suasana. "Shalalahu 'ala Muhammad", umat begini lagi (UAS menunjukkan dengan menggoyangkan tangan dan mengacungkan dua jari).

PS: Rata-rata dimana-mana ya Ustadz?.

UAS: Rata-rata. Dari mulai ujung Aceh sampai ke Pulau Madura, sampai ke Sorong. Jadi, saya melihat ini, umat sedang berharap besar pada bapak. Itu yang saya lihat.

Jadi ada satu keranjang amanah, Ijtima Ulama mengamanahkan ini amanah Allah taala, melalui firasat Ijtihad Ulama. Tapi umat juga. Jadi ada dua dukungan, ulama dengan umat. Mereka berikan.

Dalam keranjang ini, ada pisau, ada bunga, ada buah, ada pena. Maka dua pesan Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya..." (potongan QS An-Nisa’: 58)

Bapak letakkan amanah ini, yang pisau bapak beri ke anak-anak muda, karena mereka akan pergi ke hutan berburu. Yang buah, bapak berikan ke anak-anak, agar mereka makan buah supaya fresh. Yang bunga bapak berikan kepada anak gadis, agar mereka berikan kepada suaminya yang sudah menikah. Sedangkan pena bapak berikan kepada ulama supaya menulis.

Jangan bapak berikan pisau kepada anak kecil. Dia akan melukai. Letakkan amanah ini sesuai dengan tempatnya.

Dan pesan Allah yang kedua:

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

"Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..." (sambungan QS An-Nisa’: 58)

Begitu Ijtima Ulama berkumpul dan umat menyambut, ini amanah sedang di pundak bapak, bapak (mesti) adil. Adil. Jangan bapak beri (ke salah satu pihak) terlalu besar, (tapi ke yang lainnya kecil). Bapak lihatlah. Dengan keadilan. Hadits Rasul:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ...

“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama, Imam (pemimpin) yang adil... (Hadits shahih, diriwayatkan salah satunya oleh Bukhari (No. 660, 1423, 6479, 6806))

Mudah-mudahan bapak termasuk (kedalam golongan pemimpin yang adil)

PS: Aamiin. Jadi saran Ustadz, apa yang harus saya lakukan?

UAS: Buah durian, kalau hanya sekedar berputik, orang cuek. Tapi kalau dia sudah berbuah harum ranum, maka ada orang akan melempar, monyet akan naik. Sekarang buahnya sedang harum. Maka bapak (harus) tabah, kuat, serahkan pada Allah. "Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah".

Ini jihad yang paling besar. Jihad menjadi pemimpin. Sampai-sampai kata Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan:

“Seandainya doamu makbul dan doa itu cuma satu, maka mintalah pemimpin yang adil"  (tertulis dalam Al-Furu’, 2:120).

PS: Itu doa dari?

UAS: Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali. Seandainya doamu makbul dan doa itu cuma satu, maka mintalah untuk Republik Indonesia itu pemimpin yang adil.

Kalau bapak adil, seluruh negeri ini akan mendapatkan keadilan.

PS: Mungkin ada lagi pesan-pesan atau harapan-harapan perjuangan kita?

UAS: Saya kan dulu selalu mengatakan kalau saya ikut Ijtima Ulama. Lalu setelah ulama berijtima dan berkumpul, jatuh pilihannya kepada bapak. Kemudian (saya) keliling-keliling kemana-mana, saya melihat umat meneriakkan; "Prabowo! Prabowo!".

Tapi saya masih.....(UAS diam tak melanjutkan kalimatnya)

UAS: Karena mata kita kadang tertipu. Di sungai kita lihat ada tongkat bengkok. Tapi ketika kita tarik, ternyata lurus. Mata menipu. Saya khawatir jangan-jangan saya tertipu dengan bapak.

Oleh sebab itu, saya cari ulama yang tidak masyhur, tidak populer. Yang sekarang ini ulama yang masyhur. Yang di Youtube yang di TV.

Tapi ini (yang saya cari), ulama yang tidak dikenal orang. Tapi mata batin (bashirah)nya bersih. Allah bukakan hijab kepada dia. Ini ulama-ulama yang tidak perlu materi. Mungkin bapak tidak kenal mereka.

Dan saya tidak pernah tanya kepada mereka; "kira-kira saya pilih yang mana". Ngga. Saya biarkan dia baca hati saya. Ngerti ngga dia dengan hati saya.

Dan ketika datang, saya dekati telinga saya ke dia. Apa kata dia; "Saya mimpi 5 kali ketemu dia". Saya tanya; "siapa?". Dia jawab; "Prabowo".

Kalau mimpi satu kali, boleh jadi dari Syetan. Lima kali dia mimpi dia lihat bapak. Itu sinyal dari Allah.

Saya jalan lagi, saya cari lagi ke tempat lain. Ketika salaman, dekati telinga saya, dia bisiki; "Prabowo". Nama bapak dia sebut.

Ini ulama-ulama yang tidak dikenal karena hebatnya di tengah masyarakat. Bukan viral seperti saya.

Saya datang ke satu tempat. Ini unik, aneh. Dia tidak mau makan nasi kalau berasnya dibeli di pasar. Berasnya ditanam sendiri. Karena kalau beli di pasar, (khawatir ada unsur) riba. Dia hanya minum kalau sumurnya digali sendiri. Dan tidak mau menerima tamu perempuan. Dan pernah menteri datang, diusir.

Menteri datang, dia usir: "pulang", katanya.

Saya khawatir, begitu datang saya, dianggap niatnya Somad tidak baik, diusir pulang. Malu saya. Tapi saya tetap nekat datang.

Biasanya tamu kalau kesana, dua menit tiga menit, minta doa terus "udah, sana" (disuruh pergi).

Saya datang. Setengah jam, pak. 30 menit, dia bicara empat mata dengan saya. Di akhir pertemuan pas mau pulang dia bilang: "Prabowo".

PS: Dia bilang begitu?

UAS: Dia bilang begitu.

Jadi, saya berpikir lama. Ini kalau saya diamkan (isyarah para ulama) sampai Pilpres usai. Kenapa mereka cerita ke saya, tiap malam saya berpikir, kenapa mereka cerita ke saya. Berarti saya harus sampaikan.

Kalau tidak, ini seumur hidup sampai saya mati dalam penyesalan. Abdul Somad kenapa tidak kau ceritakan?

Setelah ketemu ini, selesai, kuserahkan semuanya kepada Allah SWT. Kuserahkan semuanya kepada Engkau ya Allah, yang penting sudah kusampaikan.

Plong. Malam ini saya bisa tidur lelap.

Hanya saja, tentunya fitnah tentu banyak.

(Prabowo menyeka air matanya. Matanya sembab)

UAS: Kalau bapak memang duduk nanti menjadi Presiden. Terkait dengan saya pribadi, dua saja. Pertama, jangan bapak undang saya ke Istana. Biarkan saya berdakwah masuk ke dalam hutan. Karena memang saya dari awal dari sana. Saya orang kampung. Saya masuk hutan ke hutan.

Yang kedua, jangan bapak beri saya jabatan. Apapun. Saya diantara 40 cucu mbah kakek saya, dia bilang; "cucuku yang ini, satu ini hanya sekolah agama untuk mendidik umat". Sudah. Selesai. Makanya tak pernah sekolah umum.

Jadi biarkanlah saya terbang sejauh mata memandang, saya ceramah.

Setelah bapak jadi nanti, biarlah ulama-ulama yang dekat-dekat di Jakarta ini yang menjadi (pembantu bapak).

Bapak dengarkan cakap ulama, karena ulama berijtima mendukung bapak. Dan ulama yang 'kasyaf' yang tembus mata batinnya yang melihat dalam alam ghaib pun mendukung bapak.

Maka, ini anugrah besar. Tapi juga ujian besar. Saya berharap, Allah menolong bapak dalam setiap gerak dan langkah.

PS: Terima kasih..

UAS: Saya tak bisa, hadits mengatakan:

"Tahadu tahabu". Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai. (HR. Imam Bukhari)

Saya tak kaya, tak ada duit saya untuk ngasih apa-apa ke bapak. Saya kasih dua saja. Pertama, minyak wangi Oud. Oud itu kayu gaharu. Simbolnya, supaya bapak menebarkan keharuman di negeri ini.

Yang kedua, tasbih. Oud untuk orang lain bapak harum semerbak. Tasbih, tidak bisa hati bapak kosong. Bapak harus banyak berdzikir. Ini tasbih kesayangan saya. Tasbih dari batu natural stone. Namanya Syah Ma'sud dari Persia. Paling saya sayang. Ini saya beli di Madinah.

Bapak tak perlu pegang ini didepan orang banyak. Nanti disangka orang pencitraan. Bapak cukup (shalat) tahajjud malam, bapak berdzikir, afdhal dzikir (dzikir terbaik) adalah dzikir "Laa Ilaaha Ilallah (Tiada Tuhan selain Allah)".

Laa Ilaaha Ilallah.. Laa Ilaaha Ilallah..Laa Ilaaha Ilallah..Laa Ilaaha Ilallah..Laa Ilaaha Ilallah..

Mulut berdzikir, hati di sebelah kiri (telapak tangan kanan UAS menekan lama dada kiri PS sambil berdzikir).

Dengan "Laa Ilaaha Ilallah", kita hidup. Dengan "Laa Ilaaha Ilallah", kita mati. Dengan "Laa Ilaaha Ilallah" juga kita akan berjumpa bersama Rasulullah SAW.

Ini yang bisa saya sampaikan. Apa yang terjadi setelah ini, kita serahkan sama Allah SWT.

PS: Terimakasih. Terimakasih Ustadz (UAS dan PS saling bersalaman)

UAS: Sama-sama kita berdoa kepada Allah.

Ya Allah, tanaman taufik dan hidayahMu ke dalam hati kami, sehingga kami bisa berjuang menolong agamamu, dengan amal yang Kau cintai dan Kau ridhai.

Jadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia negeri yang aman, damai, tenteram, menjunjung kebhinnekaan, dibawah Panji Pancasila.

Berikan kami pemimpin yang adil dan amanah. Jangan Kau hukum kami karena dosa-dosa kami. Jangan Kau angkat pemimpin pengkhianat yang tak sayang kepada kami dan tak takut padamu ya Allah.

Jadikan negeri ini aman damai, negeri Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Taqabalallahu Minna wa minkum. Minna wa minkum Taqabal yaa Kariim. 

(Transkip oleh: Bambang Prayitno)

BEBAS DISEBAR

"HTI dalam sorotan" Idrus Romli

Baca sampai selesai, agar tidak salah faham

Bantahan Terhadap:
“HIZBUT TAHRIR DALAM SOROTAN” IDRUS ROMLI

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, MA.

Siapa Idrus Romli?

Nama Idrus Romli, sebelumnya tidak pernah dikenal. Dia dikenal setelah menulis buku tentang “Hizbut Tahrir dalam Sorotan”. Sebelum menulis buku ini, Idrus Romli memang pernah berinteraksi dengan Hizbut Tahrir Indonesia — Pasuruan. Ketika dia masih tinggal di PP Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Di almamaternya inilah, dia mulai membaca dan mempelajari buku-buku Hizbut Tahrir. Pada mulanya sikapnya terhadap gagasan Hizbut Tahrir sangat positif. Namun, semuanya itu berubah setelah dia mengikuti program PBNU, dimana dia menjadi salah satu peserta dari berbagai pesantren terpilih untuk tour ke sejumlah negara di Eropa-Amerika.

Meski sejak dia diingatkan agar tidak mengikuti program tersebut, supaya tidak menjadi korban brainwash, namun dengan percaya diri, dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan mungkin di-brainwash. Namun, diakui atau tidak, perjalanannya ke Eropa-Amerika ini benar-benar telah mengubah hidupnya. Karena perubahan itulah, dia pun akhirnya tidak lagi dipercaya oleh almamaternya untuk mengepalai perpustakaan, bahkan kemudian dikeluarkan dari PP Sidogiri.

Setelah itu, dia pun banyak menulis, khususnya tentang Hizbut Tahrir, seolah-olah dia telah menjadi ahli (pakar) tentang Hizbut Tahrir. Tulisannya inilah yang kemudian digunakan oleh struktur NU di beberapa daerah untuk menyerang Hizbut Tahrir. Dia pun banyak berkelana ke sana ke mari untuk menjajakan tulisannya.

Meski tulisan ini sudah lama, tetapi Hizbut Tahrir merasa tidak perlu menanggapi tulisan ini. Namun, seiring dengan banyaknya pertanyaan dari sejumlah kalangan sebagai dampak, baik langsung maupun tidak, maka kami merasa perlu melakukan sejumlah klarifikasi dan bantahan. Khususnya, ketika tulisan yang menyesatkan ini telah dimuat di media massa.

Iftiraat Idrus Romli

Banyak tuduhan palsu, bahkan kebohongan dialamatkan kepada Hizbut Tahrir dan gagasan yang diusungnya. Berikut ini, antara lain, tuduhan palsu dan kebohongan Idrus Romli:

Tuduhan 1: “Yang diwajibkan bukan Khilafah tapi Imamah, yang artinya secara umum adalah  kepemimpinan. Jadi tidak harus bernama Khilafah. Buktinya Rasulullah saw tidak ber-istikhlaf (tidak memerintahkan khilafah) sepeninggal beliau.” Ini didasarkan pada pernyataan Umar:

فَقَالَ: إنَّ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَحْفَظُ دِينَهُ. وَإنِّي لَئِنْ لاَ أَسْتَخْلِفْ فَإنَّ رَسُولَ اللّهِ لَمْ يَسْتَخْلِفْ. وَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَإنَّ أَبَا بَكْرٍ قَدِ اسْتَخْلَفَ. قَالَ: فَوَاللّهِ مَا هُوَ إلاَّ أَنْ ذَكَرَ رَسُولَ اللّهِ وَأَبَا بَكْرٍ. فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَعْدِلَ بِرَسُولِ اللّهِ أَحَداً. وَأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ.

“Berkata (Umar): Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menjaga agama-Nya. Sekiranya aku tidak mengangkat putra mahkota, sesungguhnya karena Rasulullah saw tidak mengangkatnya. Dan, sekiranya aku mengangkatnya, maka itu karena Abu Bakar telah mengangkatnya. Berkata (Ibn Umar): Demi Allah, apa yang dilakukan beliau (Umar) tak lain, karena beliau mengingat Rasulullah dan Abu Bakar. Saya tahu, bahwa tidak akan pernah ada siapapun yang bisa menggantikan Rasulullah. Dan, baginda saw. tidak mengangkat putra mahkota.” (Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, 884)

Bantahan:
Idrus Romli salah dalam memahami makna lafadz, istikhlaf yang disampaikan oleh Khalifah Umar maupun Abdullah bin Umar. Lafadz tersebut diartikan, “pengangkatan Khilafah/Khalifah”, padahal maksudnya tidak begitu. Istikhlaf di sini adalah pengangkatan putra mahkota, bukan pengangkatan Khalifah/Khilafah. Ini diperkuat oleh riwayat yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh Khulafa (156), ketika Marwan diutus Muawiyah ke Madinah untuk mengambil baiat dari penduduk Madinah kepada Yazid bin Muawiyah. Marwan berkata, “Amirul Mukminin (Muawiyah) memandang perlu mengangkat anaknya sebagai putra mahkota untuk (memimpin) kalian karena mengikuti tuntunan Abu Bakar dan Umar.” Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri, “Tidak, tetapi itu tuntunan Kisra dan Kaesar. Sebab, Abu Bakar dan Umar tidak menjadikan Khilafah untuk anak-anak mereka, juga tidak untuk salah seorang anggota keluarganya.”   

Jika lafadz istikhlaf di atas dipahami seperti itu, maka akan terjadi kontradiksi antara tindakan Nabi “tidak mengangkat Khalifah” dengan Abu Bakar yang “mengangkat Khalifah”. Tetapi, jika dipahami sebagaimana riwayat as-Suyuthi, maka perbedaan antara Nabi dan Abu Bakar hanya terletak pada cara. Nabi tidak menunjuk putra mahkota, sedangkan Abu Bakar menunjuk, setelah mengambil pendapat penduduk Madinah yang suaranya mengerucut pada Umar.
Menurut al-Khatthabi, dalam kitabnya, Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib, (VIII/75), pernyataa Umar dan Abdullah bin Umar di atas, tidak bisa diartikan, bahwa mengangkat Khalifah tidak wajib:

قوله: (وإني إن لا أستخلف فإن رسول الله [صلم] لم يستخلف) قال الخطابي: معناه لم يسم رجلا بعينه للخلافة،  ولم يرد به أنه لم يأمر بذلك، ولم يرشد إليه، وأهمل الأمر بلا راع يرعاهم وقد قال عليه الصلاة والسلام: الأئمة من قريش، فكان معناه الأمر بعقد البيعة لإمام من قريش، ولذلك رأيت الصحابة يوم مات رسول الله [صلم] لم يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا أبا بكر وكانوا يسمونه خليفة رسول الله [صلم]، إذ كان فعلهم صادرا عنه ومضافا إليه وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة. 

“Pernyataan Umar, Sesungguhnya aku, jika aku tidak mengangkat putra mahkota, itu karena Rasulullah saw. juga tidak mengangkat putra mahkota. Al-Khatthabi berkomentar, Maknanya, seseorang tidak disebut dengan sendirinya jabatan Khilafah, dan tidak berarti yang beliau maksud adalah tidak memerintahkan, dan tidak menganjurkannya, serta membiarkan urusan tersebut tanpa pengatur yang mengurusnya, sementara Rasulullah saw telah bersabda, Para imam itu berasal dari Quraisy. Maknanya adalah perintah untuk membaiat seorang imam dari Quraisy. Karena itu, Anda melihat para sahabat ketika hari wafatnya Rasulullah saw, mereka tidak menunaikan pemakaman baginda dan menyiapkannya hingga mereka memastikan urusan baiat ini, dan berhasil mengangkat Abu Bakar, dan mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulullah saw, karena tindakan mereka bersumber dari dan disandarkan kepada baginda. Itu merupakan dalil yang paling jelas dan tegas tentang wajibnya mendirikan Khilafah.”   

Sedangkan Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Muminin, menurut Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, al-Majmu Syarah al-Muhadzdzab (XXI/26):

وَالإِمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ، وَالْمُرَادُ بِهَا الرِّياَسَةُ الْعَامَّةُ فِي شُؤُوْنِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا

“Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.” 

Tuduhan 2: Bukankah sudah diberitakan oleh Rasulullah saw bahwa kekhilafahan umat Islam hanya berlangsung 30 tahun, setelah itu tidak ada lagi Khilafah dan pemimpin umat Islam menjadi berjumlah banyak, jadi memperjuangkannya adalah kesia-siaan.

Tuduhan ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw dalam Musnad Ahmad bin Hambal, haditz nomor 22273, bahwa masa kekhilafahan umat Islam hanya 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.

Bantahan:
Pernyataan Idrus Romli, bahwa setelah 30 tahun tidak ada Khilafah jelas keliru. Meski ini disandarkan kepada redaksi hadits, tetapi hadits ini bukan satu-satunya. Ada hadits lain yang menyatakan, bahwa Khilafah berjumlah 12 orang. Termasuk hadits yang menyatakan secara umum, tanpa batas waktu dan jumlah orangnya, “Wa satakunu khulafa fa yaktsuruna (Akan ada para Khalifah, hingga jumlah mereka banyak).” (Hr. Muslim). Juga hadits yang mewajibkan umat ini harus mempunyai Khalifah, dan haram hukumnya mati sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, “Man mata wa laisa fi unuqihi baiah mata mitatan jahiliyyah (Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah).” (Hr. Ibn Hibban)  

Karena itu, as-Suyuthi, sengaja mengemukakan hadits 30 Khilafah dan 12 imam ini sebelum mengawali pembahasan para Khalifah, satu per satu, dengan menukil penjelasan al-Qadhi Iyadh:

لعل المراد بالاثني عشر في هذه الأحاديث وما شابهها أنهم يكونون في مدة عزة الخلافة وقوة الإسلام واستقامة أموره والاجتماع على من يقوم بالخلافة وقد وجد هذا فيمن اجتمع عليه الناس إلا أن اضطرب أمر بني أمية ووقعت بينهم الفتنة زمن الوليد بن يزيد فاتصلت بينهم إلى أن قامت الدولة العباسية فاستأصلوا أمرهم. 

“Barangkali maksud dua belas imam (Khalifah) di dalam hadits-hadits itu dan yang sejenis adalah, bahwa mereka itu berada dalam puncak kejayaan Khilafah, dan puncak kejayaan Islam, serta mulus dan lurusnya perjalanan Islam, serta kesepakatan orang-orang di masa itu atas kepemimpinan Khalifah tersebut. Sebab, memang ada masa dimana manusia sepakat atas kepemimpinan mereka, hingga datanglah satu masa di mana kekuasaan Bani Umayyah mulai goyah, yakni di masa al-Walid bin Yazid hingga terjadilah kegoncangan sampai akhirnya berdirilah Daulah Abbasiyyah, dan mereka mengikis semua kekuasaan Bani Umayyah.” (as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, 8 )

As-Suyuthi juga menukil pendapat Ibn Hajar al-Asqalani, menurutnya:

كلام القاضي عياض أحسن ما قيل في الحديث وأرجحه
“Penjelasan al-Qadhi Iyadh ini merupakan penjelasan terbaik tentang hadits tersebut, dan saya menguatkannya..” (as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, 9).

Dengan demikian, maka semua hadits dalam masalah ini, baik yang membatasi dengan waktu (30 tahun), atau dengan jumlah imam (12 Khalifah/imam), maupun yang mutlak bisa dipertemukan. Tanpa menafikan satu pun dalil yang menyatakan tentang masalah Khilafah ini. Inilah pendapat yang paling tepat, sesuai dengan prinsip dalam ushul, “Imal ad-dalilain aula min ihmali ahadihima (Menggunakan dua dalil [yang tampak kontradiksi] lebih baik, ketimbang mengabaikan salah satunya)”

Dengan reasoning seperti itulah, maka as-Suyuthi kemudian menyusun kitabnya, Tarikh al-Khulafa, dengan menyatakan:

فلهذه الأمور لم أذكر أحداً من العبيديين ولا غيرهم من الخوارج وإنما ذكرت الخليفة المتفق على صحة إمامته وعقد بيعته
“Karena itulah, saya tidak menyebut seorang pun dari para emir Ubaidiyah dan kelompok Khawarij yang lain, tetapi saya hanya menyebutkan Khalifah yang disepakati keabsahan imamah dan akad baiatnya.” (Lihat, as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, 5)
 
Fakta saat ini, bahwa para penguasa kaum Muslim jumlahnya banyak, memang benar. Tetapi, masalahnya, apakah fakta ini dibenarkan oleh Islam? Dan, apakah memperjuangkan Khilafah untuk menyatukannya sia-sia? Jelas tidak. Dengan tegas Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Syarah Shahih Muslim (Juz XII/321), menyatakan:

واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا. وقال إمام الحرمين في كتابه الإرشاد: قال أصحابنا لا يجوز عقدها شخصين،
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah Negara Islam luas maupun tidak. Imam al-Haramain berkata, dalam kitabnya, al-Irsyad, para ashhab kami (Ahlusunnah-Syafii) menyatakan, Tidak boleh memberikan jabatan Khilafah kepada dua orang.”

Memang ada pendapat yang menyatakan kebolehan adanya lebih dari satu imam (Khalifah). Pendapat ini dinyatakan oleh kelompok Karamiyyah, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sinqithi (Ulama Sunni). Lihat, Adhwâ al-Bayân fî Îdhâh al-Qurân bi al-Qurân, Juz I/83:

قول الكرامية بجواز ذلك مطلقًا محتجين بأن عليًّا ومعاوية كانا إمامين واجبي الطاعة كلاهما على من معه، وبأن ذلك يؤدي إلى كون كل واحد منهما أقوم بما لديه وأضبط لما يليه.
“Pendapat Karamiyyah tentang secara mutlak diperbolehkannya (adanya dua Khalifah) dengan argumen, bahwa Ali dan Muawiyah dua-duanya pernah menjadi imam (Khalifah) yang sama-sama wajib ditaati, masing-masing oleh pengikutnya. Juga karena itu menyebabkan masing-masing lebih lurus dalam menjalankan kekuasaannya, serta lebih kuat bagi generasi berikutnya.”  

Kelompok ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Karam as-Sajsatani (w. 255 H). Tetapi, ini bukan kelompok Ahlusunnah, melainkan Mujassimah. Muhammad bin Karam as-Sajsatani, disebut oleh Ibn Hajar, “Saqith al-hadits ala bidatihi (Hadits gugur, karena bidahnya).” (Lihat, Ibn Hajar, Lisan al-Mizan, Juz V/400)

Jadi, Idrus Romli jelas bukan pengikut Ahlussunnah, yang tidak mengakui paham taaddudul imamah, sebaliknya merupakan pengikut Karamiyyah, yang dinyatakan oleh Ibn Hajar sebagai Ahli Bidah. 

Tuduhan 3: Asumsi bahwa Khilafah Ala Minhaj An-Nubuwwah ke-2 belum datang adalah salah, karena menurut para ulama yang dimaksud dalam hadits Ahmad adalah masa Umar bin Abdil Aziz ra.

Al-Hafidh al-Baihaqi menukil penjelasan:
قال: فقدم عمر - يعني: ابن عبد العزيز - ومعه يزيد بن النعمان فكتبت إليه أذكره الحديث وكتبت إليه إني أرجو أن يكون أمير المؤمنين بعد الجبرية، قال: فأخذ يزيد الكتاب فأدخله على عمر فسر به وأعجبه» .
“Berkata (perawi hadits): Umar —maksudnya Umar bin Abdul Aziz— bersama Yazid bin an-Numan berdiri, lalu aku (perawi hadits) menuliskan surat kepadany untuk mengingatkannya akan hadits tersebut. Aku tuliskan, isinya, “Saya berharap, dia adalah Amirul Mukminin (Umar bin Abdul Aziz) setelah era Jabariyyah.” Berkata (perawi hadits), Maka Yazid pun mengambil surat tersebut, dan memasukkannya ke saku Umar. Beliau pun senang dengannya, dan terkejut.” (Lihat, al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwwah, Juz VI/491)

Pendapat al-Hafidh al-Baihaqi ini juga dikutip oleh kakek al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, al-Allamah Syaikh Yusuf an-Nabhani, dalam kitabnya Hujjatu-Llah ala al-Alamin fi Mujizat Sayyidi al-Mursalin, hal. 527.

Bantahan:
Bahwa Khilafah ala Minhaj an-Nubuwwah yang disebut dalam hadits Ahmad adalah masa Khalifah Umar bin Abdil Aziz ra. merupakan asumsi seorang perawi bernama Habib bin Salim rahimahullaah. Karena itu, ini jelas bukan hadits Rasulullah saw. Dalam penjelasannya, Habib bin Salim rahimahullaah sendiri tidak bisa memastikan, bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz. Karena itu, beliau menyatakan, “Arju an yakuna Amiru al-Muminin (Saya berharap dia adalah Amirul Mukminin).” Kalaupun ada yang berpendapat demikian tentunya tidak berupa keyakinan yang kemudian menafikan kemungkinan yang lainnya, karena landasannya sebatas “harapan” seorang perawi.

Menurut hadits Muslim nomor 2913: Akan ada kembali kekhilafahan: (a) Hadits menyebutkan munculnya khalifah di akhir umat Nabi Muhammad saw.:

«يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ يَحْثِي الْمَالَ حَثْياً، لاَ يَعُدُّهُ عَدَداً».
“Di era akhir umatku kelak akan ada seorang Khalifah yang mengumpulkan harta begitu melimpah, yang tidak terkira jumlahnya.”

(b) Keterangan dua orang perawinya, Abu Nadhrah dan Abu Al-Ala saat ditanya oleh Al-Jurairi:

قَالَ قُلْتُ لأَبِي نَضْرَةَ وَأَبِي الْعَلاَءِ: أَتَرَيَانِ أَنَّهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ؟ فَقَالاَ: لاَ.
Berkata (perawi), Aku tanyakan kepada Abu Nadhrah dan Abu al-Ala, “Apakah Anda berdua berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah Umar bin Abdul Aziz?” Keduanya menjawab, “Tidak.” 

Jelas yang dimaksud oleh hadits Muslim ini bukanlah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Maka, pendapat Idrus Romli, atau yang lain, yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi Khalifah, berarti mengingkari hadits shahih ini.
Masih dari sumber yang sama, yaitu hadits nomor 2914: “Akan muncul kembali Khalifah di akhir zaman”. Tentu bukan Khalifah Umar bin Abdil Aziz, karena beliau hidup dekat dengan masa kenabian dan bukan di akhir zaman. Maka, mengatakan tidak akan ada lagi Khalifah juga berarti mengingkari hadits shahih ini.

Tuduhan 4: Kalaupun ada Khilafah di akhir zaman, itu adalah Khilafah yang ditegakkan oleh Imam al-Mahdi, yang sudah dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah saw di banyak hadits. Bukan Khilafah versi Hizbut Tahrir.

Abu Yala al-Maushili, dalam kitabnya,  Musnad Abu Yala al-Maushili (Juz XII/19), meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Khilafah di akhir zaman nanti adalah kekhilafahan Imam Mahdi. Itupun masanya sangat singkat, yaitu tujuh tahun saja.

Bantahan:
Imam Mahdi memang Khalifah di akhir zaman, tapi dia bukan satu-satunya. At-Thabarani meriwayatkan hadits shahih, bahwa Imam Mahdi nanti akan dibaiat menjadi Khalifah setelah Khalifah sebelumnya wafat:

«يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ..».
“Terjadi perselisihan saat meninggalnya seorang Khalifah, lalu keluarlah seorang lelaki keturunan Bani Hasyim hingga dia tiba di Makkah. Orang-orang pun memintanya keluar dari rumahnya, antara Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim)..” 

Itu artinya, sebelum Imam Mahdi sudah ada kekhilafahan, dan sudah ada Khalifah yang dibaiat (Lihat, Majma Az-Zawaid, Juz VII/433). Pertanyaannya, dari mana datangnya Khilafah tersebut? Apakah muncul dengan sendirinya? Jelas tidak.

Karena itu, hadits-hadits tentang akan datangnya Imam Mahdi menjadi Khalifah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk mendirikan Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Justru sebaliknya, Imam Mahdi itu tidak akan pernah ada, jika sebelumnya tidak ada Khilafah. Hadits-hadits seperti ini memang sering dijadikan justifikasi bagi mereka yang tidak mau atau malas berjuang untuk menegakkan Khilafah.

Tuduhan 5: Kajian tentang Khilafah bukan perkara penting, sehingga tidak perlu disikapi secara Ekstrem.

Mengutip pernyataan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, berkata dalam kitabnya, al-Iqtishad fi al-Itiqad, hal. 200, “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih selamat tidak mengkajinya.”

Bantahan:
Idrus Romli, dalam hal ini tidak jujur kepada Imam al-Ghazali. Dan seperti itulah caranya, memotong penggalan kalimat, termasuk ketika mengutip kalimat al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Mari kita cermati pernyataan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali:  

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض، بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ! ولكن إذا جرى الرسم باختتام المعتقدات به أردنا أن نسلك المنهج المعتاد فإن القلوب عن المنهج المخالف للمألوف شديدة النفار، ولكنا نوجز القول فيه ونقول: النظر فيه يدور على ثلاثة أطراف:
“Berdebat tentang imamah bukanlah perkara penting, juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang fiqih. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau membahasnya, ternyata salah? Namun, jika dirumuskan untuk mengakhiri apa yang selama ini menjadi keyakinan, maka kami ingin menempuh metode yang lazim. Sebab, biasanya hati sangat keras penolakannya terhadap metode yang bertentangan.. Tetapi, kami ingin meringkas pendapat dalam hal ini, dimana pendapat dalam hal ini berkisar pada tiga hal:

الطرف الأول: في بيان وجوب نصب الإمام. ولا ينبغي أن تظن أن وجوب ذلك مأخوذ من العقل، فإنا بينا أن الوجوب يؤخذ من الشرع إلا أن يفسر الواجب بالفعل الذي فيه فائدة وفي تركه أدنى مضرة، وعند ذلك لا ينكر وجوب نصب الإمام لما فيه من الفوائد ودفع المضار في الدنيا، ولكنا نقيم البرهان القطعي الشرعي على وجوبه ولسنا نكتفي بما فيه من إجماع الأمة، بل ننبه على مستند الإجماع.
“Aspek pertama: Penjelasan tentang kewajiban mengangkat seorang imam (Khalifah). Tidak semestinya ada asumsi, bahwa kewajiban mengangkat imam (Khalifah) ditetapkan dengan akal. Karena itu, kami tegaskan, bahwa kewajiban tersebut ditetapkan dengan syara. Hanya saja, kewajiban tersebut secara nyata boleh dijelaskan (reasoningnya), yang berisi manfaat, dan jika meninggalkannya akan ada mudarat. Pada saat itu, kewajiban menegakkan imam tersebut tidak boleh ditolak, karena berbagai faktor manfaat yang ada, juga berbagai faktor terhindarkannya mudarat yang ada di dunia. Namun, kami ingin membangun argumen yang qathi dan syari mengenai kewajibannya (mengangkat imam), tidak hanya dengan kesepakatan umat, tetapi kami juga ingin mengingatkan pada sandaran kesepakatan tersebut.” 

Al-Ghazali pun kemudian banyak mengemukakan logika, hingga sampai pada kesimpulan berikut ini:

ولهذا قيل: الدين والسلطان توأمان، ولهذا قيل: الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع.
“Karena itu bisa disimpulkan, bahwa agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar. Bisa juga disimpulkan, bahwa agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.”

Karena itu, pernyataan al-Ghazali yang menyatakan, “Berdebat tentang imamah bukanlah perkara penting, juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang fiqih. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau membahasnya, ternyata salah?” tidak berarti bahwa masalah Khilafah ini tidak penting. Karena ini bertentangan dengan apa yang beliau uraikan sendiri.

Jadi, konteks pernyataan ini terkait dengan perdebatan yang terjadi di kalangan Ahli Kalam, yang tidak berujung, sehingga akhirnya mengaburkan substansi kewajibannya itu sendiri. Justru al-Ghazali menegaskan, bahwa menegakkan Khilafah ini merupakan kewajiban sangat penting, hingga sampai pada kesimpulan, bahwa “Agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar.” Juga, kesimpulan, bahwa “Agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.”
Sebaliknya, semua ulama Ahlussunnah menyatakan, bahwa masalah Khilafah ini merupakan kewajiban yang sangat penting (ahammu al-wajibat). Ini bisa dilacak pada kitab-kitab muktabar, karya ulama Sunni, berikut ini:

Imam Hasan al-Aththar (Ulama Sunni), dalam Hasyiyah Jamu al-Jawami, Juz II/487.
Muhammad bin Ahmad as-Safarini  al-Hambali (Ulama Sunni), dalam kitabnya, Lawâmi al-Anwâr, Juz II/419.

Ibnu Hajar al-Haitami (Ulama Sunni), dalam kitabnya, as-Shawâiq al-Muhriqah, halaman 10.
Syamsuddin ar-Ramli (Ulama Sunni), dalam Ghâyah al-Bayân: Syarhu Zubad Ibn Ruslân, halaman 23.

Muhammad al-Hashkifi al-Hanafi (Ulama Sunni), dalam ad-Durr Al-Mukhtar Syarh Tanwiyr al-Abshar, halaman 75.

Demikian juga, jika pendapat yang menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah atau Imamah ini dikatakan ekstrim, maka pendapat ini jelas telah menyerang para sahabat ridhwanullah alaihim:

Handzalah bin ar-Rabi ra. (Sahabat sekaligus Jurutulis Rasulullah saw) menyebutkan, bahwa tanpa Khilafah, umat Islam bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Lihat, at-Thabari, Taarikhu at-Thabari, hal.  776
Umar bin Khaththab  ra. memerintahkan untuk membunuh anggota syura dari kalangan sahabat pilihan jika menghambat proses pemilihan khalifah, dan para sahabat lainnya tidak ada yang menolak bertanda mereka setuju. Lihat, al-Kamil fi at-Tarikh, Juz II/461.
Umar bin Khaththab ra. menyebutkan bahwa dengan meninggalkan Had Rajam saja umat bisa sesat! Tanpa Khilafah banyak hudud ditinggalkan. Lihat, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6829 .

Imam Taqyuddin Abu Bakr al-Hishniy (Ulama Sunni) menyebutkan bahwa menurut para ulama istighfar yang disertai dengan diantaranya keridhaan tidak menerapkan hudud adalah terhitung sebagai dosa! Lihat, Kifayatu al-Akhyar, hlm 242.

Tuduhan 6: Bahwa penguasa yang zalim dan sistem yang rusak adalah akibat kezaliman dan kerusakan masyarakat, sehingga merubahnya hedaknya dengan merubah masyarakat, bukan  dengan meraih kekuasaan.

Idrus Romli menjustifikasi pendapatnya dengan mengutip pandangan Imam Fakhruddin al-Razi, dalam tafsirnya, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib (Juz XIII/204), bahwa tampilnya seorang pemimpin yang zalim adalah akibat kezaliman yang dilakukan oleh rakyat.

Bantahan:
Hizbut Tahrir merubah sistem dengan berdakwah di tengah-tengah dan bersama umat (masyarakat) sampai mereka menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga akhirnya mereka sendirilah yang menuntut penerapan Syariat dan Khilafah.
Meski demikian, kekuasan —seperti kata al-Ghazali—sangat penting untuk menerapkan syariah (agama). Tanpa kekuasaan, syariah tidak akan mungkin bisa ditegakkan.

Tuduhan 7: Menurut Ulama Sunni tidak boleh menggulingkan pemerintahan.

Pandangan Idrus Romli ini dijustifikasi dengan pendapat Imam Abu Jafar al-Thahawi (Ulama Sunni). Dalam kitabnya, al-Aqidah al-Thahawiyyah, beliau menyatakan, “Ahlussunnah wal Jamaah tidak memiliki pandangan menggulingkan pemerintahan yang sah, meskipun mereka telah berbuat kezaliman.”

Bantahan:
Pernyataan Abu Jafar at-Thahawi tepatnya sebagai berikut:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا، ولا ندعو على أحد منهم ولاننزع يدا من طاعتهم، ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضة ما لم يأمروا بمعصية
“Kami tidak berpendapat tentang kebolehan memisahkan diri dari para imam kita, juga para penguasa kita, sekalipun mereka bertindak zalim. Kami tidak semestinya melaknat siapapun di antara mereka, juga tidak melepaskan tangan dari ketaatan terhadap mereka. Kami menyatakan, bahwa mentaati mereka merupakan bentuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu fardhu, selama mereka tidak memerintahkan maksiat.” (Lihat, Syarah al-Aqidah at-Thahawiyyah, hal. 110-111)

Dalam Syarah al-Aqidah at-Thahawiyyah, al-Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq Abdul Ghani (w 1298 H), menjelaskan, “Jika tidak demikian, maka tidak ada ketaatan kepada mereka.” Beliau juga mengutip hadits Bukhari dari Ubadah bin Shamit, “Baginda Nabi saw berpesan kepada kami agar kami tidak merebut urusan tersebut dari yang berhak, kecuali (pesan baginda saw) jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sementara kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.”

Kekufuran yang nyata (bawwah) di sini, dijelaskan dalam catatan kaki, sebagai tindakan penguasa menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal (Lihat, al-Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq Abdul Ghani, Syarah al-Aqidah at-Thahawiyyah, hal. 112).

Konteks penjelasan Abu Jafar at-Thahawi di atas jelas terkait dengan sistem Khilafah yang masih menerapkan seluruh hukum Islam. Bukan dalam konteks sistem Kufur sebagaimana saat ini, dimana para penguasanya bukan hanya melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, tetapi juga  jelas-jelas telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, serta memaksa rakyatnya untuk tunduk dan patuh kepada sistem tersebut.  

Selain itu, ini juga hanya merupakan salah satu pendapat. Tetapi, ini tidak bisa menafikan pendapat Ahlussunnah yang lain. Ibn Katsir (Ulama Sunni), menyatakan:

وقوله تعالى: ﴿أَفَحُكْمَ ٱلْجَـٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾ ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان الذي وضع لهم الياسق، وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها من شرائع شتى: من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية وغيرها، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعاً متبعاً يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلّم، فمن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلم]، فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير..

“Siapa saja yang melakukannya (mengganti hukum Allah dengan yang lain dan tidak menerapkan syariat Islam) di antara mereka, maka dia Kafir yang wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya saw, dan tidak memerintah dengan hukum yang lain, baik sedikit maupun banyak.” (Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Adhim [Tafsir Ibn Katsir], Juz III/131)

Tuduhan 8: Hizbut Tahrir mengaggap bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan qadha (keputusan) Allah SWT, padahal menurut ulama Sunni semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah SWT.

Menurut Idrus Romli, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dengan mengadopsi pandangan Mutazilah, menegaskan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/71 dan 72), bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan keputusan Allah. Sementara Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi (w. 458 H), berkata dalam kitabnya, al-Itiqad ala Madzhab as-Salaf Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 53-54, bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan Allah.

Bantahan:
Ini hal yang sama yang dituduhkan oleh al-Harari. Sebenarnya, kalau Idrus Romli maupun al-Harari, mencermati dengan teliti penjelasan al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pasti tidak berkesimpulan demikian. Karena beliau menjelaskan dua kategori perbuatan manusia: Pertama, Perbuatan yang menguasai manusia, baik yang menimpa dirinya maupun dari dirinya. Kedua, Perbuatan yang dikuasai oleh manusia.

Kategori yang pertama inilah yang masuk dalam wilayah Qadha, sedangkan kategori yang kedua tidak.

Tuduhan 9: Hizbut Tahrir menyamakan Ahlussunnah dengan Jabariyyah.

Merujuk pada penjelasan al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/73), bahwa “Ahlussunnah sama dengan Jabariyyah.”

Bantahan:
Yang dimaksud dengan Ahlussunnah di sini adalah mazhab Ahlussunnah di bidang akidah, yaitu Asyariyyah. Dalam pembahasan Qadha dan Qadar pada hakikatnya pendapat keduanya (Ahlussunnah dan Jabariyyah) sama. Sama-sama menyatakan, bahwa perbuatan manusia, baik taat maupun maksiat, adalah ketetapan dan ciptaan Allah SWT. Bedanya, Asyariyyah mengenal apa yang dinamakan dengan Kasb Ikhtiyari, yaitu manusia berkuasa memilih perbuatannya. Namun, yang terjadi tetap apa yang telah ditetapkan Allah SWT, baik dipilih maupun tidak. Karena suatu perbuatan akan terjadi manakala kuasa manusia sejalan dengan kuasa Allah SWT.

Yang menyatakan bahwa Asyariyyah memiliki kesamaan dengan Jabariyyah bukan hanya al-Allamah Syaikh Taqiyuddin. Ibn Abidin, dalam kitabnya, Hasyiyah Ibn Abidin (Juz VI/604), menyatakan:

والجبرية اثنتان: متوسطة تثبت للعبد كسباً في الفعل كالأَشْعرية، وخالصة لا تثبته كالجهمية
“Jabariyyah ada dua: Moderat yang menetapkan bahwa manusia mempunyai usaha dalam bertindak, seperti Asyariyyah. Ekstrem (Murni), yang tidak mengakui adanya usaha, seperti Jahmiyyah.”

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Imam al-Iji (Ulama Sunni) dalam kitabnya, al-Mawaqif, halaman 428, serta al-Jurjani (ulama Sunni), dalam kitabnya at-Tarifat, halaman 66.

Tuduhan 10: Hizbut Tahrir mengingkari takwil atas nash-nash mutasyabihat

Idrus Romli mengutip penjelasan al-Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/53), bahwa “Tawil pertama kali dilakukan oleh kalangan teolog, bukan ulama salaf.” Sementara Imam as-Syaukani (Ulama Syiah Zaidiyah), berkata dalam kitabnya, Irsyad al-Fuhul, mengutip penjelasan Imam az-Zarkasyi (Ulama Sunni) dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulum al-Quran, bahwa tawil terhadap Nushush Mutasyabihat dilakukan oleh ulama salaf.

Bantahan:
Hizbut Tahrir dalam konteks ini, sebenarnya tidak sedang mengkritik tawil, melainkan mengkritik manhaj kaum Mutakallimin yang menjadikan akal sebagai asas dalam melakukan tawil, bukan ayat al-Quran (Lihat, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/55-56)
Bahkan, tidak ada satu pun dalam kitab Hizbut Tahrir yang membahas tentang takwil.

Tuduhan 11: Hizbut Tahrir menisbatkan kejelekan kepada Allah SWT

Idrus Romli menuduh, bahwa al-Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/43), bahwa yang dimaksud dengan “Qadar dalam hadits Jibril adalah ilmu Allah”. Dengan demikian, berarti an-Nabhani menisbatkan keburukan kepada Allah SWT. Sementara Syaikh Nawawi Banten, dalam kitabnya, Kasyifat as-Saja Syarh Safinah al-Naja, halaman 12, menyatakan, “Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.”

Bantahan:
Pandangan, bahwa an-Nabhani menisbatkan keburukan kepada Allah SWT. sebenarnya tidak pernah dinyatakan oleh al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Tetapi, ini merupakan kongklusi dari premis yang dibangun oleh Idrus Romli sendiri.

Adapun maksud dari iman kepada Qadha dan Qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, “Mengimani bahwa perbuatan yang bersumber dari manusia atau menimpanya, dan bersifat “memaksa” dan khashiyyat yang ada pada benda-benda adalah dari Allah SWT, bukan dari Manusia, dan tidak ada peranan manusia di dalamnya.” (Lihat, as-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, Juz I/ 94). Jadi tidak ada satu pun penjelasan beliau yang menisbatkan kejelekan kepada Allah SWT. 

Tuduhan 12: Hizbut Tahrir mengaggap bahwa para Nabi dan Rasul tidak mashum sebelum kenabian dan kerasulan mereka.

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/132, menyatakan, bahwa “Para Nabi dan Rasul itu mashum setelah menjadi Nabi dan Rasul. Sedangkan sebelum menjadi Nabi dan Rasul, mereka tidak mashum.”

Imam Muhammad ad-Dasuqi (Ulama Sunni), dalam kitabnya, Hasyiyah ala Ummi al-Barahin, halaman 163, mengatakan, “Para Nabi itu terjaga dari dosa besar dan kecil, sengaja maupun tidak sengaja, sebelum dan sesudah menjadi Nabi.” 

Bantahan:
Imam al-Amidi (Ulama Sunni), menurut Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi (Ulama Sunni) dan jumhur ulama madzhab kami (Ahlussunnah), serta banyak dari kalangan Mutazilah, bahwa para Nabi bisa saja melakukan maksiat sebelum menjadi Nabi, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan bisa saja, orang yang sebelumnya Kafir menjadi Rasul. Lihat, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, Juz I/227.

Sedangkan ar-Razi, dalam kitabnya, Tafsir ar-Razi (Juz XVII/424), menyatakan:

إلا أن المعتبر عندنا عصمة الأنبياء عليهم السلام في وقت حصول النبوة. وأما قبلها فذلك غير واجب والله أعلم.
“Hanya saja pendapat yang diakui menurut kami, bahwa kemaksuman Nabi alaihissalam terjadi pada waktu diperolehnya nubuwwah. Adapun sebelumnya, tidak ada keharusan. Wallahu alam.”

Jadi, pendapat al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ini bukan hal baru, dan bukan pendapat beliau seorang. Karena banyak ulama lain yang menyatakan pendapat seperti itu.

Tuduhan 13: Hizbut Tahrir beranggapan bahwa ijtihad itu mudah dan masih membolehkan ijtihad, padahal para ulama sepakat pintu ijtihad sudah ditutup.

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, at-Tafkir, halaman 149, menyatakan, bahwa “Siapa saja mampu berijtihad.” Sementara, kakeknya sendiri, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, ulama Sunni, dalam kitabnya, Hujjatu-Llah ala al-Alamin, halaman 773, bahwa “Ijtihad telah terputus sejak ratusan tahun yang lalu.”

Bantahan:
Imam az-Zarkasyi (ulama Sunni), “Nukilan, bahwa ada kesepakatan atas  sudah tertutupnya pintu ijtihad adalah hal aneh, karena perkara ini termasuk masalah khilafiyyah. Ulama Hanbali berpendapat, tidak boleh ada suatu masa yang kosong dari keberadaan seorang mujtahid. Pendapat ini ditegaskan oleh Abu Ishaq dan az-Zubairi. Ibn Daqiq, menyatakan, “Ini pendapat pilihan kami!” Lihat, Irsyad al-Fuhul, halaman 1037.
Yang menyatakan, bahwa ijtihad lebih mudah dilakukan di masa sekarang bukan hanya Syaikh Taqyuddin an-Nabhani. As-Syaukani berkata, ijtihad bagi kalangan Mutaakhkhirin (ulama belakangan) lebih gampang dan mudah daripada ijtihad bagi kalangan Mutaqaddimin (ulama dahulu). Lihat, Irsyad al-Fuhul, halaman 1039.

Tuduhan 14: Hizbut Tahrir membolehkan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah.

Idrus Romli menyatakan, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, berkata dalam kitabnya, an-Nizham al-Ijtimai fi al-Islam, halaman 57, bahwa “Laki-laki boleh menyalami perempuan dan sebaliknya tanpa tabir antara keduanya.”

Bantahan:
Membolehkan bersalaman dengan wanita ajnabiyyah selama tidak khawatir menimbulkan fitnah bukanlah pendapat asing, bahkan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di luar mazhab Syafii. Lihat, Wahbah Az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, Juz III/567.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.

Tuduhan 15: Hizbut Tahrir membolehkan menonton film porno.

Bantahan:
Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa membolehkan nonton film porno adalah tuduhan keji. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy gambar porno (baik yang bergerak maupun tidak) adalah gambar terlarang, karena bertentangan dengan peradaban Islam. Lihat, Nidzam al-Islam, hlm 68.

Amir Hizbut Tahrir sekarang (Syaikh Atha Abu Rusythah) saat ditanya tentang hukum melihat film porno, beliau menegaskan bahwa melihat film porno hukumnya haram, karena bisa menjadi wasilah kepada keharaman. Lihat, Ajwibah Asilah: http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php /HTAmeer/QAsingle/1543/ (16/02/12)

Tuduhan 16: Hizbut Tahrir membolehkan bekerja menjadi agen negara kafir

Idrus Romli juga menyatakan, naskah asli fatwa Hizbut Tahrir halaman 78, membolehkan bekerja menjadi agen negara Kafir.

Bantahan:
Menjadi agen (kaki-tangan/mata-mata) negara Kafir menurut Hizbut Tahrir adalah haram, dari sisi memberi jalan kepada kaum Kafir untuk menang, dan keharaman aktivitas memata-matai kaum Muslim.

===