Senin, 31 Agustus 2020
#ISLAM ADALAH DARAH DAN DAGINGMU, KAMU AKAN DIMINTAI PERTANGGUNGJAWABAN DI HARI KIAMAT TENTANGNYA, PASTIKAN DARI SIAPA KAMU MENGAMBILNYA oleh KH Hafidz Abdurrahman
Sabtu, 29 Agustus 2020
Buletin Dakwah Kaffah Edisi 156[09 Muharram 1442 H | 28 Agustus 2020]KHILAFAH DALAM TIMBANGAN SYARIAH DAN SEJARAH
Jumat, 14 Agustus 2020
*EDISI 154 - NUSANTARA BERUTANG KEPADA KHILAFAH*
Kamis, 13 Agustus 2020
*BTS-123. Dari Jendela Sinetron Kita Diajari Maksiat*
Minggu, 09 Agustus 2020
PERISAI ISLAM DAN UMATBuletin Kaffah No. 153 (17 Dzulhijjah 1441 H/7 Agustus 2020 M)
Jumat, 07 Agustus 2020
PILIH MANA? SOSIALISME-KOMUNISME, KAPITALISME ATAU ISLAM ?
Rabu, 05 Agustus 2020
Jejak Khilafah di Timur Nusantara (Catatan Seminar Jejak Khilafah di Nusantara)
Oleh: Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)
Pada awal Mei ini (1/5) penulis hadiri diskusi tentang Jejak Khilafah di Nusantara. Diskusi ini dilaksanakan di tengah suasana wabah Corona sehingga dilaksanakan secara online.
Diantara pertanyaan peserta adalah, kesultanan mana yang paling berpengaruh di Timur Nusantara. Juga muncul pertanyaan, apa ada hubungan kesultanan dengan kekhilafahan? Dan kenapa kesultanan saat ini tidak begitu nampak berperan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa kita telusuri jejak Khilafah di berbagai daerah timur nusantara ini.
PERTAMA; Kesultanan yang tertua dan paling berpengaruh di Timur Nusantara adalah Tidore dan Ternate. Kini masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Maluku Utara.
Jika kita telusuri jejak islam di Timur Nusantara menggunakan transportasi Udara, maka akan mendarat di Ternate. Begitu mendarat maka suasana kesultanan islam sudah terasa di bandara Sultan Babullah. Ya, setidaknya dari Namanya sudah menunjukkan kita sampai di negeri kesultanan, bukan negeri Kerajaan atau kekaisaran.
Selanjutnya kita menemukan Tidore sebagai kesultanan tertua. Tidore yang terletak di sebelah selatan Ternate itu sudah berdiri sejak tahun 1108. Hal ini dikuatkan dengan Perda Kota Tidore Nomor 15 Tahun 2008, yang menetapkan tanggal 12 April 11O8 sebagai Hari Jadi Tidore
Sejarah panjang perjalanan Kesultanan Tidore dimulai sejak tahun 502 Hijriyah atau 1108 Miladiyah, beberapa sumber bahkan menyebutkan tahun 1036 Miladiyah sebagai tahun awal terbentuknya pemerintahan dipimpin oleh Kolano. Sistem ini dikenal dengan sebutan “Kolano se i rayat” (Penguasa bersama rakyat).
Tahun 1495 terjadi perubahan Sistem pemerintahan menjadi Pemerintahan Islam yang menerapkan hukum islam. Ini dimulai saat Raja ke-11, Kolano Ciriliyati. Ia yang pertama kali menggunakan gelar Sultan pada tahun 1495.
Dimasa Sultan Djamaluddin Ciriliyati (1495-1512) dikembangkan sebuah sistem pemerintahan baru “Kolano se i bobato Dunya se Akhirat” (Sultan bersama menteri urusan dunia dan urusan akhirat/agama). Tokoh dakwah yang sangat mempengaruhi perubahan itu; Syekh Mansur dari Arab.
Pengaruh Sultan Tidore sangat kuat dan luas. Bahkan termasuk mengangkat empat raja kepulauan di Papua. Kini dikenal dengan kepulauan Raja Ampat. Bahkan Sultan Tidore Zainal Abidin Syah tercatat menjadi Gubernur Pertama Papua.
Jika Tidore sudah berdiri sejak tahun 1108, Ternate baru hadir pada tahun 1257 dengan pemimpinnya Momole Ciko yang menyandang gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Ternate atau yang sebelumnya bernama Kerajaan Gapi merupakan salah satu dari empat kerajaan Islam tertua di Maluku Utara selain Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Untuk menggalang persatuan, pemimpin Ternate ke-7, Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331), berinisiatif mengundang penguasa Tidore, Jailolo, dan Bacan untuk bertemu. Disepakati bahwa dibentuklah persekutuan bernama Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Jika Kesultanan Tidore baru melaksanakan sistem pemerintahan kesultanan tahun 1495, ternyata Ternate lebih dahulu melakukannya. Sultan Ternate pertama Kolano Marhum (1465-1486). Tokoh yang sangat mempengaruhi perubahan itu adalah Datu Maulana Hussein yang berdakwah di ternate.
Ada perbedaan waktu antara masuknya islam dan perubahan sistem pemerintahan. Beberapa catatan sejarah, islam telah masuk ke Ternate dan Tidore sekitar abad ke-12 atau abad ke-13. Namun baru terjadi perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi Kesultanan. Biasanya islam telah masuk lebih dahulu barulah diikuti perubahan sistem pemerintahannya.
KEDUA; hubungan Kesultanan dengan Kekhilafahan sangatlah erat. Ini dapat kita saksikan dari peralatan Perang seperti meriam, pedang, benteng dan alat alat lainnya yang kebanyakan berasal dari Kekhilafahan Utsmani. Demikian juga adat dan Budaya banyak diwarnai budaya dan tradisi para khalifah. Termasuk dalam cara berpakaian.
Bagunan fisik pun nampak sekali pengaruh dari kekhilafahan, seperti bentuk bangunan istana, benteng, masjid, dll. Dari bentuk, warna dan ornamen nampak ada pengaruh kehilafahan. Termasuk ada beberapa ceramah maupun ketika jumat sering disebut nama Sang Khalifah. Bahkan ada gelar yg diberikan sebagai Sultan …Khalifatul khamis. Ada juga yang diberi gelar Khalifatullah Tanah Jawa, dll.
Fakta yang tak terbantahkan adalah terjadinya Perubahan Sistem Pemerintahan. Ada perubahan besar dalam pemerintahan yakni dari sistem KERAJAAN menjadi KESULTANAN.
Dalam sistem kerajaan, sumber hukum ada ditangan Raja. Raja sebagai satu-satunya yang berkuasa membuat hukum dan menjadi sumber kebenaran. Sementara sistem kesultanan menerapkan hukum alquran dan sunnah, yakni hukum syariah Islam. Sultan hanya menerapkan hukum syariah Islam. Ia tak boleh membuat hukum sendiri. Standar benar dan salah berdasarkan alquran dan sunnah.
Meski Kerajaan Tidore terbentuk lebih dahulu, namun dalam membentuk sistem pemerintahan Islam ternyata Ternate (1465) lebih awal 30 tahun dari Tidore (1495). Ini lebih tua dibandingkan dengan Buton baru menjadi kesultanan (khalifatul Khamis) pada tahun 1541.
KETIGA; Perubahan sistem kerajaan menjadi Kesultanan Ternate memberikan pengaruh besar di Wilayah Timur Nusantara. Pengaruhnya meliputi Kepulauan maluku dan sulawesi.
Kesultanan Gorontalo (Hulunthalu) terbentuk tahun 1523 dimasa Pemerintahan Sultan Amai yang menikah dengan Putri Raja Palasa yang masih keluarga Sultan Ternate.
Demikian pula islam masuk ke Makassar karena pengaruh dari Ternate. Tahun 1591 Sultan Alauddin (karaeng Matowaja Tumanagarana Ri Agamana) merubah sistem kerajaan menjadi kesultanan.
Sultan Alauddin memberikan pengaruh besar pada kerajaan Bima sehingga Putra Mahkota kerjaan Bima La Kai yang menjadi Raja ke-27 lalu masuk Islam. Ia menikahi adik Istri Sultan Alauddin dan selanjutnya dilantik menjadi Sultan Pertama Bima tahun 1620. Sistem pemerintahan pun berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kesultanan Islam dengan gelar Sutan Abdul Khair ke-1.
Jika islam masuk ke Ternate melalui ulama Datu Maulana Husen, maka ke Tidore melalui Syeikh Mansur dari Arab. Beda lagi dengan di Kerajaan Buton islam masuk dari Kesultanan Malaka, dibawa oleh syeikh Abdul Wahab.
Dari sumber-sumber diatas bisa disimpulkan bahwa masyarakat Ternate sendiri sudah mengenal Islam dari sejak abad ke-13 dari pedagang Arab. Islam kemudian berkembang pesat di Ternate dan wilayah Timur Nusantara.
Selanjutnya Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni. Hal ini menjadikan Kesultanan Ternate sebagai yang terbesar di Timur Nusantara, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.
Kejayaan dan pengaruh tiga kesultanan ini dalam membangun perdaban di nusantara sangatlah Besar. Bahkan para sultan ini yang sangat kuat melawan penjajahan dari bangsa Barat. Namun entah sengaja atau tidak, peran mereka seolah dikesampingkan dalam catatan sejarah bangsa ini. Padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.
Upaya mengesampingkan catatan sejarah para sultan Nusantara ini dimulai dari penjajahan Belanda. Ia Mengganti daerah Kesultanan Menjadi Gubernuran. Dulu ada Sultan Yogya, kini menjadi Gubernur DIY. Dulu ada Sultan Taha di jambi, kini jadi Gubernur Jambi. Dulu ada Sultan Ternate, kini ada Gubernur Maluku Utara. Dulu ada sultan Hasanuddin, kini ada Gubernur Makassar, dll.
Bahkan literatur dan dokumen kesultanan diangkut oleh Belanda. Tak heran jika dokumen sejarah negeri ini lebih banyak di Negeri Belanda.
Semestinya kita memberikan rasa hormat yang tinggi atas perjuangan para Sultan yang telah berjuang melawan penjajahan bangsa Barat; Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dll. Tanpa mereka, yang memberikan inspirasi melawan penjajahan mungkin kita masih duduk manis dengan para penjajah dan ikut menindas bangsa sendiri.
Berbagai catatan sejarah tentang Perubahan sistem Pemerintahan Kerajaan menjadi Kesultanan Islam menandakan negeri ini pernah menerapkan sistem pemerintahan islam. Bahkan beberapa bukti sejarah, corak bangunan, tradisi dan alat Perang menjadi saksi adanya hubungan Kesultanan dengan keKhilafahan.
Adanya jejak khilafah di Nusantara itu menjadi bukti bahwa masyarakat yang hidup dalam sistem pemerintahan Kerajaan (Otokrasi) bisa menerima sistem kesultanan yang merupakan bagian dari kehilafahan. Ini sangat berbeda dengan orang yang hidup dalam sistem Demokrasi kini. Masih banyak yang benci dan belum bisa menerima, bahkan sekedar gagasan khilafah? Tabiik.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.[]
Sumber: facebook.com
melihat orang tua kita bahagia
Senin, 03 Agustus 2020
KETAATAN TOTAL TERHADAP SYARIAH KONSEKUENSI KEIMANAN
Benarkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum Hukumnya Haram dan Termasuk Ghibah?
Benarkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum Hukumnya Haram dan Termasuk Ghibah?
Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.
Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)
Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.
Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)
Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).
Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).
Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.
Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).
Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).
Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a’lam.