Dalam kitab Mafahim HT, sahibul kitab syekh Taqiyuddin an Nabhani, membahas perkara qimatul amal (nilai/value perbuatan) dalam konteks diskursus perihal miqyasul amal (standar penilaian atas perbuatan) atau dalam cabang filsafat disebut filsafat etika.
.
Oleh karenanya sebelum masuk bahasan qimah, sahibul kitab membahas terlebih dahulu masalah khayr-syarr (baik-buruk) dan hasan-qabih (terpuji-tercela) yg merupakan bahan perdebatan para filsuf berabad2 yg kemudian diperkenalkan ke dunia Islam oleh para ahli kalam terutama mu'tazilah.
.
Di pembahasan tsb sahibul kitab membantah perspektif sekuler yang menjadikan pengalaman subjektif untuk menilai khayr-syarr dan hasan-qabih suatu perbuatan. Juga beliau membantah pemahaman baik baik/buruknya atau terpuji/tercelanya suatu perbuatan adalah terkandung dalam zat perbuatan itu sendiri. Beliau menegaskan bahwa penilaian tsb harus berasal dari sesuatu yang eksternal yang dalam hal ini adalah wahyu.
.
Begitu pula ketika masuk bahasan qimah di mana an Nabhani mengkategorisasi fakta Qimah yg terkandung dalam perbuatan ke dalam 4 Qimah (ruhiyah, insaniyah, khuluqiyah dan madiyah). Titik kritik an Nabhani adalah pada penilaian persepektif sekuler yang mengutamakan satu Qimah atas yang lain (tafdhil) ataupun yang menyetarakan keempat Qimah tsb (taswiyah). Dampak dari tafdhil adalah munculnya dua esktrim kelompok masyarakat, yaitu spiritualis-asketis (yg mengagungkan Qimah ruhiyah sambil menegasikan Qimah madiyah) di satu sisi dan masyakarat materialistis-hedonis (yg mengagungkan Qimah madiyah sambil menegasikan qimah ruhiyah) di sisi lain. Keduanya adalah produk sekulerisme, yang menyerahkan standar penilaian (ethic) pada akal, bukan pada wahyu.
.
Menurut an Nabhani, penilaian pada qimah harus diserahkan pada wahyu, di mana Syariat menjelaskan bahwa untuk mencapai Qimah dalam setiap perbuatan kita wajib menempuh jalur syariah, yaitu aspek Ubudiyah utk mencapai qimah ruhiyah, aspek akhlak utk mencapai qimah khuluqiyah dan aspek Muamalat untuk mencapai Qimah madiyah. Semua itu didasari satu pemahaman (mafahim) mendasar bahwa segala perbuatan harus dibarengi dg kesadaran hubungan dg Allah (idrak sillah Billah). Karenanya, sebelum masuk ke bahasan kaun/jenis, sifat dan Qimah/value amal, syekh an Nabhani meluruskan dulu pemahaman ttg ruh, di mana beliau membantah persepektif dualisme (sekuler) yang berpendapat bahwa manusia tersusun atas ruhani dan jasmani. Beliau menjelaskan bahwa Ruhani adalah idrak sillah Billah, dan jasmani (perbuatan) adalah bersifat madiy (materi/fisikal).
.
Maka, di ujung pembahasan kaun, sifat wa qimatul amal, syekh an Nabhani menutup dengan sebuah rumusan bahwa islam memandang ruh dan amal secara padu. Islam mengharuskan mazjul maddah bir ruh (peleburan antara materi/amal dan ruh/al-idrak). Inilah, tegas an Nabhani, filsafat Islam (falsafatul Islam).
.
Jadi rupanya syekh an Nabhani mendekonstruksi sekulerisme dg sangat mendasar. Beliau tidak cukup membantah sekulerisme dari segi ideologi politik yang lahir di masa renaisans, melainkan menukik tajam ke aspek filosofis yang berakar jauh ke masa para filsuf pra-Islam.
.
Sekali lagi ini menunjukkan kapasitas beliau sebagai pemikir Islam yang ulung.
.
Kapan2 mungkin kita bahas filsafat etik menurut syekh An Nabhani secara lebih mendalam dan bagaimana kekhasan an Nabhani mendefinisikan dan membantah sekulerisme.
(RA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar