Rabu, 04 Mei 2022

PENETAPAN HARI RAYA IDUL FITRI BERDASARKAN RUKYATUL HILAL SECARA GLOBAL Tim Penyusun:- KH. M. Shiddiq Al Jawi- Ustadz Yuana Ryan Tresna - Ustadz Abdurrahman Al-Khaddami

PENETAPAN HARI RAYA IDUL FITRI BERDASARKAN RUKYATUL HILAL SECARA GLOBAL

Tim Penyusun:
- KH. M. Shiddiq Al Jawi
- Ustadz Yuana Ryan Tresna 
- Ustadz Abdurrahman Al-Khaddami 

Vivisualiterasi.com-Hari Raya Idulfitri merupakan salah satu syiar dalam Islam, dan simbol persatuan umat Islam. Oleh karenanya, memulai awal dan akhir Ramadan bukan hanya masalah ibadah, tetapi ia adalah syiar Islam. Di satu sisi, penetapan jatuhnya Hari Raya Idulfitri merupakan masalah cabang dalam masalah fikih, namun di sisi lain karena ia adalah syiar, maka kesatuan umat Islam di seluruh penjuru dunia menjadi sangat penting. Dalam konteks inilah, seluruh umat Islam hendaknya serentak dalam ber-hari raya. Dalam sistem Khilafah, semua harus tunduk pada putusan Khalifah. “Putusan Imam akan menghapuskan segala bentuk perbedaan pendapat.” begitulah kaidah fikihnya. Adapun dalil terkuat dalam penetapan awal dan akhir Ramadan adalah dengan rukyatul hilal (pemantauan hilal) secara global (‘alamiyyah)

Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Berdasarkan Rukyatul Hilal

Kami memandang bahwa penentuan awal bulan qamariyah (kalender Hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal (melihat bulan baru) dari suatu tempat di muka bumi secara langsung. Dengan perkataan lain, penentuan awal bulan qamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). Dalam hal ini memang ada ikhtilaf di kalangan ulama, antara metode rukyatul hilal dengan metode hisab. Di kalangan yang mengadopsi rukyatul hilal sendiri ada perbedaan apakah memperhatikan perbedaan mathla’ (rukyat lokal) atau tidak memperhatikan perbedaan mathla’ (rukyat global). Ikhtilaf dalam perkara ini merupakan ikhtilaf yang muktabar (diakui/otoritatif).

Mengapa kami berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena, sebab syar’i (al-sabab al-syar’i) untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata), sesuai hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat dia (hilal).” (HR al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له

“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah (genapkanlah).” (HR al-Bukhari, Muslim, al-Nasa'i, dan Ahmad).

Hadis-hadis di atas mempunyai pengertian yang jelas, bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadan dan Idulfitri tiada lain adalah rukyatul hilal. (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 157).

Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan kami, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (seperti dalam mazhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslim di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia (seperti dalam mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali). (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, hlm. 605).

Pandangan ini sejalan dengan Imam al-Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata:

والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.

“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra'iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslim. Maka beristidlal dengan hadis ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadis ini untuk tidak mengharuskannya.

Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslim telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslim apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” (Imam al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/195, dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 609).

Setelah mengutip tarjih Imam al-Syaukani di atas, Wahbah Al-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut:

وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.

“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslim, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada zaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz II hlm. 609)

Inilah pendapat yang dipegang dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik, al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Syafi’i, sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib, Imam Ahmad, juga pendapat Ibnu Taymiyah dan Imam al-Syaukany dari kalangan ahli tahqiq.

Selain Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M, Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut. (Mahmud ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam al-Shiyam, hlm. 40).

Adapun pendapat muktamad dalam mazhab Syafi’i, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla', dengan kriteria satu mathla' adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 605).

Pendapat mazhab Syafi’i tersebut didasarkan pada hadis Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Hadisnya sebagai berikut:

أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم

“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Syam. Dia berkata, ‘Maka aku tiba di Syam dan menyelesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya, ‘Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab, ‘Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata, ‘Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita.” (HR Muslim).

Menurut mazhab Syafi’i, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “Tidak, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita” menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).

Jika ditelaah, perkataan Ibnu Abbas tersebut (“Tidak, demikianlah Rasulullah memerintahkan kita”), bukanlah hadis marfu’ (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 608-609, ketika mengutip pendapat imam al-Syaukani). Itulah yang bisa kita pahami dari penjelasan kitab Nail al-Authar, ‘Aun al-Ma’bud dan al-Minhaj Syarah Shahih Muslim. Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam hal ini bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yang mu’tabar hanyalah Al-Qur'an, al-Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas. Jadi, kesimpulannya, pendapat terpilih dalam penentuan awal bulan qamariyah adalah berpegang dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.

Kedudukan Hadis Kuraib dan Uji Konsistensi Ukuran Mathla'

Sebenarnya bagaimana kedudukan Hadis Kuraib, dan apakah hadis Kuraib bisa dihukumi marfu’ hukman, karena mengandung shigat marfu’?

Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم

Para ulama berbeda pendapat apakah mauquf atau marfu’ hukman. Benar sighat:

هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم

adalah indikasi itu marfu’ hukman. Tapi itu bukan satu-satunya indikasi. Perbedaannya dengan dalil-dalil umum terkait perintah rukyat mengantarkan pada kesimpulan dari sebagian ulama bahwa itu adalah ijtihad Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Lantas bagaimana jika ada keraguan antara mauquf dan marfu’ hukman? Maka menurut pendapat yang lebih kuat, yang dimenangkan adalah mauquf. Itulah manhaj Imam Malik yang diikuti Imam Syafi’i. Berikut penjelasan dalam kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Jilid 1, hlm. 287:

قال محمد بن إسحاق في غير هذه الرواية : ويشبه أن يكون مالك قد كان يحدث به مرفوعا ثم شك في رفعه ، يعني فيقفه ، كما قال الشافعي : كان مالك إذا شك في الشيئ انخفض ، والناس إذا شكوا في الشيئ ارتفعوا

Itu jika marfu’ kemudian ragu akan kemarfua’annya, apalagi yang secara zhahir mauquf yang kemudian ragu apakah marfu’ hukman atau tidak. Itulah diantara alasan mengapa kami menguatkan pendapat bahwa hadis Kuraib adalah mauquf dan tidak bisa dihukumi marfu’.

Menurut Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah aa-Sunan wa al-Atsar (juz 6, hlm. 303-304), hadis Kuraib dapat di-jama’ dengan Hadis Amir Makkah bahwa penolakan Ibn Abbas radhiyallahu anhuma terjadi karena bersifat tafarrud (menyendiri), sedangkan hilal al-fithr disyaratkan 2 (dua) orang saksi yang adil, bersandar pada Hadis Amir Makkah. Jadi yang dimaksud Imam al-Baihaqi

 (وقد روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه عهد إليهم إذا لم يروا الهلال وشهد شاهدا عدل أن ينسكوا) 

ialah hadis Amir Makkah yang disebutkan sebelum pembahasan Hadis Kuraib.

Demikian juga imam al-Khaththabi, seperti dikutip dalam Ma’alim as-Sunan (juz II, hlm.101), beliau menjelaskan hadits Kuraib dengan mengutip penukilan Imam Ibn Mundzir, rujukan mengenai Ijma’ dan Ikhtilaf, kemudian melanjutkannya dengan pembahasan hadis yaum al-syakk dan hadis Amir Makkah yang fokus pada mekanisme penerimaan hilal al-fithr. Pada intinya Imam al-Khaththabi setuju dengan disyaratkannya 2 (dua) orang saksi untuk diterimanya hilal al-fithr, yang berarti berdasarkan alur berpikir tersebut, Imam al-Khaththabi sependapat dengan pemahaman Imam Abu al-Thayyib terhadap Hadis Kuraib. Dengan menukil pendapat Imam Ibn Mundzir, seakan mengisyaratkan bahwa beliau “setuju” bahwa Imam al-Syafi’i sepakat dengan pendapat sebagian besar ulama, yakni 

(إذا ثبت بخبر الناس أن أهل بلد من البلدان قد رأوه قبلهم فعليهم قضاء ما أفطروه).

Ukuran jarak mathla’ adalah 24 farsakh atau sekitar 133 KM. Ukuran yang ditetapkan oleh ulama fikih ini tidak konsisten dijalankan pada masa sekarang ini. Perbedaan mathla’ di hadis Kuraib itu konteksnya adalah dalam satu negara (internal negara Khilafah antara Madinah dan Syam kala itu). Tapi kenapa sekarang diterapkan dalam bentuk bahwa satu negara adalah satu mathla’? Misalnya Aceh dan Papua dianggap satu mathla’, padahal jaraknya lebih jauh dari jarak antara Madinah dan Syam. Kala itu, status sahabat Muawiyah adalah sebagai pemerintah. Hari ini, pasca konsep nation-state yang “diresmikan” di dunia Islam dengan Syikes-Picot Agreement, ukuran jarak mathla’ sudah jauh melenceng dari ukuran yang dibahas oleh ulama-ulama fikih dalam mazhab Syafi’i.

Sebenarnya para fukaha al-Syafi’iyyah sendiri berbeda pendapat dalam penentuan awal penanggalan bulan qamariyah, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, sebagai berikut:

1. Ditentukan berdasarkan hisab al-manazil (hitungan astronomis) bagi yang memiliki keahlian mengenainya, dinukil dari Imam al-Qadhi Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij al-Baghdadi murid Imam Abu al-Qasim al-Anmathi (murid dari Imam al-Muzanni dan Imam al-Rabi’), sebagaiman disebutkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu dan Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Barî;

2. Ditentukan berdasarkan ru’yatul hilal al-mahaliyyah (pengamatan hilal secara lokal), dinukil dari jumhur al-Syafi’iyyah dan merupakan pilihan Imam al-Rafi’i dan Imam an-Nawawi sehingga menjadi qaul mu’tamad, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran jauh-dekat yang berkaitan dengan terikat atau tidaknya sebuah negeri dengan negeri lainnya, sebagai berikut:

a). Menurut fukaha ‘Iraqiyyun (diantaranya Imam Abu Ishaq al-Syairazi), Imam ash-Shaidalani, dan yang lainnya, disesuaikan dengan mathla’, yakni tempat munculnya hilal, sehingga Hijaz dan Irak dianggap berbeda sedangkan Kufah dan Baghdad dianggap sama; pendapat ini dipilih oleh Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi;

b). Menurut fukaha Khurasaniyyun, di antaranya Imam al-Faurani, Imam al-Haramain, Imam al-Ghazzali, dan Imam al-Baghawi, disesuaikan dengan ukuran jarak dibolehkannya qashar. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abdul Karim ibn Muhammad al-Rafi’i;

c). Menurut Imam ash-Shaimari, disesuaikan dengan ukuran kesatuan iqlim (pulau),

3. Ditentukan berdasarkan ru’yatul hilal al-‘alamiyyah (pengamatan hilal secara global), dinukil dari Imam al-Qadhi Abu al-Thayyib Thahir ibn Abdullah al-Thabari (guru dari Imam Abu Ishaq al-Syairazi), Imam Abu ‘Ali al-Sinji, dan yang lainnya,

Perbedaan pendapat mengenai hasil pengamatan hilal apakah berlaku secara lokal ataukah global, merupakan ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan ulama al-Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan Imam al-Haramain dalam Nihayah al-Mathlab, Imam al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir, Imam al-Rafi’i dalam Fath al-‘Aziz syarh al-Wajiz, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, dan Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.

Saya katakan: bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini di internal mazhab Syafi’i adalah perkara yang faktual terjadi. Sebagian ulama yang tidak berpijak pada pendapat mu’tamad bukan tanpa alasan, mereka melihat ada fakta yang berkembang atau dalil yang lebih kuat. Sebagaimana ukuran/jarak mathla’ juga perkara yang diperselisihkan.

Tanggapan terhadap Metode Hisab

Kami memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan qamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Ramadan, hari raya Idulfitri, dan Iduladha.

Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah subhanahu wa taala telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat dia (hilal).” (HR Bukhari; Muslim; al-Tirmidzi dan al-Nasa'i).

Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Pendapat bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan qamariyah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Lihat pandangan ulama mazhab Hanafi dalam al-Mabsuth, 3/85; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/316-7; pandangan ulama mazhab Maliki dalam Al-Isyraf, 1/425; Al-Istidzkar, 3/287, Mawahib Al-Jalil, 3/289; pandangan ulama mazhab Syafi’i dalam al-Majmu’, 6/289-290; Raudhah al-Thalibin, 2/210-211; pandangan ulama mazhab Hanbali dalam al-Mughni, 4/338. (Dikutip dari Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim Al-Yahya, Atsar al-Qamarain fi al-Ahkam al-Syar’iyyah, hlm. 154).

Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan qamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah al-Syakhir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafi’i), Ibnu Qutaibah, Syekh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain. (Lihat al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hlm. 60-61).

Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “faqduru lahu” (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnu al-Rabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam. (Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hlm. 26.)

Pendapat tersebut menurut kami tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqdurulah), artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadis ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadis lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadis yang mujmal. Maka yang mujmal (faqdurulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadis yang mubayyan. Walhasil, hadis faqdurulah artinya adalah fa-akmilu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).

Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan qamariyah, namun kami berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu salat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.

Perlu ditambahkan pula, bahwa kami tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan). Inilah pendapat al-Qaradhawi, yang berasal dari al-Subki dalam Fatawa al-Subki, 1/219/220.

Pendapat ini tidak diterima dengan beberapa argumen: 

Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat ‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat al-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab.

Kedua, syarak telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan qamariyah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (al-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.

Kebutuhan Umat atas Institusi Pemersatu

Kami berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan qamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.

Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan umat dalam menentukan awal bulan qamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslim. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan:

أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية

“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).” (Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Syar'iyyah, 1/105 dan 2/904)

Kesimpulan

Persoalan khilafiyah penentuan hari raya Idulfitri memang cukup kompleks, karena di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fikih, seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, jika menggunakan rukyat apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya; (2) masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal; dan (3) masalah politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat dalam hal penentuan awal bulan qamariah.

Pinsip kita dalam beramal adalah memilih dalil yang paling kuat dan tetap berlapang dada dalam perbedaan yang masih memiliki pijakan dalil syariah, karena hakikatnya itu adalah ikhtilaf yang muktabar. Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan qamariah tidak pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslim. Amin. Wallahualam.[]

Find us on >>
▶️ Youtube:
( Subscribe : https://www.youtube.com/channel/UCM_zvAcZabVaAGW8Sg23gZg )
📷 Instagram:
( Follow : https://instagram.com/vivisualiterasi?igshid=zyhg6bh4qfk2 )
🚀 Telegram:
( Join : t.me/vivisualiterasi )
🐣 Twitter 
( Follow : https://twitter.com/vivisualiterasi?s=20 )
🌐 Website:
( Visit : https://www.vivisualiterasi.com/?m=1 )

Senin, 04 April 2022

*PLANING RAMADHAN YANG PRODUKTIF*

KH. Hafidz Abdurrahman, MA.:
*PLANING RAMADHAN YANG PRODUKTIF*

(طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَعْرُوْفٌ، فَإِذَا عَزَمَ الأَمْرُ فَلَوْ صَدَقُوْا اللهَ لَكاَنَ خَيْرًا لَهُمْ)

“Ketaatan dan bertutur kata yang baik (lebih baik bagi mereka). Sebab, ketika titah (perang) itu ditetapkan kepada (mereka tidak menyukainya). Padahal, jika mereka benar (beriman) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.s. Muhammad: 21]

Sepuluh Perkara Penting yang Harus Diperhatikan Selama Ramadhan

1- *Sedikit bicara, sedikit bergurau, dan mengecilkan volume suara Anda. Mengapa?* Karena Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda:

فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب

“Pada saat salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaknya tidak mengucapkan kata-kata jorok, gaduh..” 

2-  *Jangan membalas kemarahan orang dalam hal apapun.* Cukup katakan, “Saya berpuasa.”

3-  *Ramadhan bukan hanya dari Fajar sampai Maghrib. Tetapi, Ramadhan itu selama 30 hari. Siang dan malam.* Jika di siang hari puasa menjaga anggota tubuh dari berbagai perkara yang membatalkan puasa, maka malam hari adalah waktunya menjaga hati dari berbagai bentuk kemaksiatan..

4- *Semua orang bisa mengerjakan shalat, puasa dan tilawah..* Tetapi, kebanyakan mereka tidak mengerti dan peduli dengan tujuan dan terget dari semuanya ini, yaitu takwa. Maka, prioritaskan dan fokus mengubah perilaku kita.. Prioritaskan dan fokus membersihkan hati kita. Prioritaskan dan fokus kepada ibadah, agar mempunyai dampak yang kuat dalam kehidupan dan muamalah kita. Jika kita biasa berbohong, maka hentikanlah kebiasaan itu. Jika Anda biasa melakukan ghibah, maka tahanlah lisan Anda. Jika Anda biasa melakukan korupsi dan suap, maka bertaubatlah. Kalau tidak, kapan kita akan bertaubat? Jika tidak, kapan kita akan bertaubat dan mengubah diri kita? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

5- *Siapkan minimal 30 doa yang berbeda.* Tulis di tempat mana pun. Tiap hari, berdoakan dengan satu doa, dari 30 doa yang telah disiapkan, ketika berbuka.. Sebab, Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama telah memberitahukan, bahwa setiap berbuka ada doa yang mustajab. Maka, jangan kita sia-siakan kesempatan emas ini. 

6- *Buat rencana strategis, seperti memperbanyak dzikir di bulan ini.* Tiap hari, minimal kita dzikir 10,000 kali, bentuknya bisa membaca Tahmid, Tasbih dan Takbir. Ini Minimal. Ikrimah rahimahu-Llah berkata, “Abu Hurairah biasa membaca tasbih setiap hari dengan 12,000 tasbih. Beliau berkata, “Saya bertasbih sebanyak Diyatku.” – selesai kutipan dari al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz XI/389.

7- *Jangan biarkan sehari berlaku, tanpa kita bersedekah, meski ringan.* Bahkan, dengan 1000 rupiah, atau 10 atau 1 Pound saja.. Lihatlah, nanti Anda akan melihat bagaimana dermawannya Dzat yang Maha mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana Dia memuliakanmu di dunia, sebelum di akhirat.. Harta tidak akan berkurang karena sedekah.. Sebaliknya, Allah akan lipatgandakan berkali-kali lipat..

8- *Shalatlah Tarawih dengan seseorang yang bacaannya bagus.. Itu akan mendorong dan memotivasi Anda,* serta meningkatkan kekuatan non-fisik Anda..

9-  *Tiap hari di bulan Ramadhan Allah membebaskan penghuni neraka, maka mintalah dari Allah, dari setiap hari, tiap malam, agar kita dibebaskan pada hari itu, atau jika tidak, pada hari sebelumnya. Jangan lupa, sebut nama saya bersamamu..* 

10- *Jadikan khataman bacaan tahun ini bukan sekedar khatam begitu saja, karena yang penting bukan jumlahnya.. Ambilah mushaf, yang disertai tafsir, berisi makna al-Qur’an, meski ringkas. Baca makna setiap halamannya. Lihatlah, dan rasakanlah, Anda di mana?* 

Tanyalah dirimu, apa niatmu? Apa tujuanmu tahun ini di bulan yang penuh kemuliaan ini? Benarkah Anda berniat mengerjakan puasa dengan puasa yang benar? Atau ia akan berlalu sebagaimana Ramadhan sebelumnya. Tanamkan niat dalam hatimu sebelumnya, dan Anda laksanakan, ubah dirimu dan berubahlah. Maka, itu akan menjadi awal, setelah itu Anda akan mendapatkan hasilnya yang luar biasa, atau sebaliknya. Ramadhan berlalu, dan Anda tidak mendapatkan apa-apa?

Inilah sepuluh planing penting.

Terakhir, puasa tidak hanya menghindari makan, minum saja, karena Allah tidak membutuhkan itu. Sekedar meninggalkan makan dan minum Anda. Tetapi, puasa itu perisai. Maka, dampak dari puasa sebagai perisai itu harus tampak, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.

Semoga Dia catat bulan ini sebagai bulan pembebasan dan kemerdekaan dari api neraka, bagi kita semua. Semoga Dia menganugerahkan kita memasuki surga-Nya,by dari pintu ar-Rayyan, sebagai saudara.

Saudaramu

*Hafidz Abdurrahman*

Rabu, 23 Maret 2022

Hakikat Al-Ghurabâ’

Di antara perkara gaib yang dikabarkan Rasulullah saw. jauh-jauh hari adalah kembalinya Islam menjadi terasing pada akhir zaman. Hal ini diinformasikan dalam bentuk uslûb khabarî ibtidâ’î (ungkapan tanpa satupun penegasan), yang menunjukkan bahwa informasi tersebut merupakan informasi baru yang tidak diragukan, tidak diingkari, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُربَاءِ

Islam pertama kali datang terasing dan akan kembali terasing sebagaimana permulaannya. Karena itulah beruntunglah mereka yang terasing (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

 

Kata al-ghurabâ’ menunjukkan bentuk jamak (plural). Ini mengisyaratkan adanya golongan manusia (jamaah) yang senantiasa membela Islam pada akhir zaman. Padahal karakteristik utama al-ghurabâ’ adalah mereka yang berpegang teguh pada Islam; senantiasa melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak:

فَطُوبَى لِلْغُرباء الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي

Karena itu beruntunglah mereka yang terasing, yakni mereka yang memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku  (HR at-Tirmidzi).

 

Kata kerja yushlihûna dengan subjek jamak dalam ayat ini memperjelas bahwa kelompok al-ghurabâ’ ini berjamaah, berdakwah secara kolektif. Aktivitas tersebut dilakukan secara dinamis, berkesinambungan. Ini ditandai lafal yushlihûna yang merupakan al-fi’l al-mudhâri’ yang berfaedah al-hudûts (dinamis). Apa maknanya? Maknanya adalah menyesuaikan kembali sesuatu yang telah menyimpang ke asalnya, yakni pada Islam. Siapakah mereka? Al-Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) dalam Faydh al-Qadîr (VI/468) ketika menyebutkan sebagian golongan al-ghurabâ’ menjelaskan:

وهم القابضون على دينهم عند الفتن كالقابض على الجمر وهم النزاع من القبائل وهم المؤمنون بالغيب إلى غير ذلك مما لا يعسر على الفطن استخراجه من الأحاديث

Mereka adalah kaum yang berpegang pada agama mereka tatkala tersebarnya fitnah, bagaikan orang yang memegang bara api. Mereka adalah kaum yang terpisah dari suku-suku. Mereka adalah orang-orang yang mengimani perkara gaib dan lain sebagainya yang tidak sulit bagi orang-orang yang cerdas mengambil dari sumber hadis-hadis.

 

Keterasingan tersebut bisa jadi lahir karena manusia belum mengenal hakikat kebenaran Islam; muncul di tengah tersebarnya kemungkaran. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Qawâ’id al-‘Aqâ’id (hlm. 101) menyiratkan:

النَّاس أَعدَاء مَا جهلوا

Manusia (kadang) menjadi musuh atas apa saja yang tidak mereka ketahui.

 

Artinya, tak dipahami dan diamalkan sebagaimana mestinya, hingga mereka yang berpegang teguh padanya dianggap aneh (gharîb), bahkan terang-terangan distigma negatif oknum-oknum yang terpedaya dengan stigma radikalis, fundamentalis (dalam konotasi negatif), dimonsterisasi agar semakin dikucilkan, diasingkan masyarakat. Untuk mengantisipasi semua ini diperlukan upaya memperkenalkan kebenaran Islam ke tengah-tengah masyarakat, menjadikan Islam sebagai opini publik, bahkan bukan hanya dibicarakan melainkan juga diamalkan.

Keterasingan yang ada pun bukan lahir dari sikap apriori, tidak peduli terhadap keburukan yang menimpa masyarakat, hingga ‘uzlah dengan menjauh dari masyarakat. Kenyataannya, Rasulullah saw. tidak pernah melakukan ‘uzlah setelah turunnya risalah. Rasulullah saw. justru ‘terasing’ dari masyarakat jahiliah yang telah menggelari beliau sebagai al-amîn (orang yang sangat dipercaya) setelah menyebarkan risalah Islam ke tengah-tengah masyarakat jahiliah.

Pandangan ini relevan dengan keterangan bahwa kalimat fathûbâ li al-ghurabâ’ merupakan kalimat kiasan, yang menisbatkan keberuntungan pada akibat (al-musabbab) “al-ghurabâ’” (menjadi kaum terasing), namun yang dimaksud adalah sebab keterasingan itu sendiri; beruntung karena berpegang teguh pada Islam. Dalam perspektif ilmu balaghah ia termasuk kiasan al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah; ithlâq al-musabbab wa irâdat al-sabab (yang disebutkan akibat, namun yang dimaksud adalah sebabnya).

Keterasingan tersebut bukanlah bukti bahwa Islam tidak benar. Sebabnya, kebenaran tidak ditentukan oleh ketenaran, pengikut dan pengakuan manusia itu sendiri. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun seandainya mayoritas manusia menolaknya. Ini karena kebenaran adalah apa saja yang datang dari Allah ’Azza wa Jalla berupa wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ  ١٠٨

Katakanlah, “Hai manusia, sungguh teIah datang kepada kalian kebenaran (al-Quran) dari Tuhan kalian. Sebab itu, siapa saja yang mendapat petunjuk, sungguh (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Siapa saja yang sesat, sungguh kesesatannya itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri. Aku bukanlah seorang penjaga terhadap diri kalian (QS Yunus [10]: 108).

 

Kalimat yâ ayyuhan nâs dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kebenaran dari Allah adalah satu-satunya standar kebenaran bagi seluruh umat manusia. Kalimat Qad jâ’akum al-haqq min Rabbikum mengandung penegasan (tawkîd) bahwa kebenaran datang dari Allah (wahyu-Nya). Siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk maka ia meraih kebaikan untuk dirinya sendiri. Siapa saja yang mengabaikannya maka ia meraih keburukan akibat kesesatannya sendiri. Kebenaran tersebut dibawa oleh Rasulullah saw.:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلرَّسُولُ بِٱلۡحَقِّ مِن رَّبِّكُمۡ فَ‍َٔامِنُواْ خَيۡرٗا لَّكُمۡۚ وَإِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا  ١٧٠

Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepada kalian dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan kalian. Karena itu berimanlah kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian. Jika kalian kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) maka sungguh apa yang di langit dan di bumi itu adalah milik Allah. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana (QS an-Nisa’ [4]: 170).

 

Ayat ini memperjelas standar kebenaran itu sendiri, sangat definitif, jelas batasannya, berdasarkan kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Dengan itu kebenaran bisa dipahami oleh manusia, bukan berdasarkan apa yang dikehendaki hawa nafsu fulan dan fulan, sebagaimana klaim kaum liberal yang merasa bebas berbicara tentang al-Quran semaunya, hingga melibas ajaran Islam itu sendiri.  Penyair bertutur:

عجِبْتُ لِقوْمٍ أضَلّوا السّبيلَ *

وقد بيّنَ الله سبلَ الهدى

فما عرفوا الحقّ لماّ استبانَ *

ولا أبصروا الفجرَ لماّ بدا

Aku heran kepada kaum yang tersesat dari jalan kebenaran

Sungguh Allah telah menjelaskan jalan petunjuk

Mereka tak mengenal kebenaran tatkala ia terang-benderang

Tidak pula melihat fajar tatkala ia terbit

 

Bagi mereka yang tenggelam dalam kebatilan, hendaklah ingat dengan pesan bijak dari Amîr al-Mu’minîn, Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a., sebagaimana dinukil  oleh A-Hafizh Ibn Katsir dalam Musnad Amîr al-Mu’minîn Abi Hafsh ‘Umar bin al-Khaththâb r.a. (II/775). Dikisahkan, Khalifah Umar menulis surat kepada bawahannya, Abu Musa al-Asy’ari r.a.:

إِنَّ مُرَاجَعَةَ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ

Sungguh kembali pada kebenaran (kebaikan) lebih baik daripada berlarut-larut dalam kebatilan.

 

Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka senantiasa aktif memperbaiki kehidupan yang dirusak oleh manusia dengan kemungkaran mereka hingga kehidupan kembali sejalan dengan Islam. Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka meraih keberuntungan di dunia dan akhirat dengan menjalani kehidupan dalam keridhaan-Nya, berkah hidupnya di dunia dengan akidah dan syariah, berbahagia selama-lamanya di akhirat di Jannah-Nya. Merekalah permata di tengah gelapnya dunia.

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]

 

 

Media Al-Wa'ie

SHARE
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
PUBLISHED BY
Media Al-Wa'ie
  •  
  •  
 

RECENT POSTS

  • Tarikh

Spirit Islam Dalam Perlawanan Umat Tatar Sunda Terhadap Penjajah

Setelah Andalusia dikalahkan oleh aliansi Castila dan Aragorn, kaum kafir Eropa “bangkit” melawan dengan ekspedisi pelayarannya. Dimulai oleh Spanyol dan…

2 hours ago
  • Dunia Islam

Kegagalan Amerika Dan Kembalinya Khilafah

Amerika Serikat (AS) telah lama merancang perang melawan terorisme dan radikalisme di dunia Islam. Hal ini menjadi kebijakan luar negerinya…

2 hours ago
  • Hadis Pilihan

Al-‘Usyru Dan Tanah ‘Usyriyah

فِيما سَقَتِ الأَنْهَارُ والْغَيْمُ الْعُشُورُ، وَفِيمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشْرِ Di dalam apa yang diairi oleh sungai dan air hujan,…

2 hours ago
  • Takrifat

Mafhûm al-mukhâlafah Yang Tidak Diamalkan (2)

(Bagian  Kedua) Sebelumnya telah dijelaskan kondisi pertama yang menjadikan mafhûm al-mukhâlafah tidak dapat diamalkan. Berikut ini hal atau kondisi lainnya…

2 hours ago
  • Soal Jawab

Mengapa Allah Perlu Dibela?

Soal: Benarkah Allah tidak perlu dibela? Jika Allah perlu dibela maka itu sama saja dengan mengatakan Allah itu lemah. Benarkah?…

2 hours ago
  • Nisa

Peran Global Muslimah Dalam Penegakan Khilafah

Kenestapaan terus menghantui kaum perempuan dunia, tak terkecuali kaum Muslimah.  Himpitan ekonomi dan kemiskinan melanda dunia, tak terkecuali negeri kita

Sabtu, 05 Maret 2022

buletin teman surga Grow Up Gaes!

Grow Up Gaes!
Kenapa kamu kudu segera grow up? Karena ketika kamu masih mikir kepanjangan, temanmu yang lain sudah membesar dan berkembang. And than? Kamu akan makin ketinggalan, dan ujung parahnya adalah kamu bisa sampe level apatis. Duh, duh, jangan sampe segitunya ya, gaes!
Yes, let’s grow up now! Mungkin mudah dilisankan, tapi sebenarnya nggak berat-berat amat untuk dikerjakan, asal kita penuhi syarat pertamanya. Apa itu? Ya, asal kamu memang berani memilih untuk grow up, karena memang life is choice. Itu langkah pertama yang kamu kudu pilih, selanjutnya self healing dulu aja. Kamu belum butuh orang lain, bangkitkan dari dalam diri kita sendiri, jangan memandang insecure, karena sering membanding-bandingkan dengan teman-temanmu.
Yuk Self Healing
Sebelum bicara lebih jauh tentang grow up, terlebih dahulu kita harus pastikan, kita punya “bekas luka” masa lalu atau tidak. Sebab, adakalanya orang sulit grow up, karena masih membawa beban masa lalu. Maka beban masa lalu, kudu didiagnosa secara umum, baru kemudian diself healing. Jadi, sembuhkan secara mandiri dulu aja. Kamu nggak butuh menghadirkan motivator di rumahmu, karena sebenarnya kamu sendiri motivator bagi diri kamu sendiri.
Self healing, lagi rame dibicarain. Pentingnya self healing agar kita tidak memandang rendah diri kita, karena Allah sudah menciptakan kita sebaik-baik penciptaan (QS. At-Tin ayat 4), sekaligus kita juga borpotensi untuk salah dan dosa. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seluruh Bani Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang banyak kesalahannya (dosanya) adalah yang banyak bertaubat.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)
Namun self healing akan lebih bermanfaat apabila kita benar-benar memiliki motivasi untuk terlibat dalam proses penyembuhan tersebut. Caranya mudah, self healing dengan action. Shalat adalah obat untuk berbagai penyakit mental, firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS. Al Baqoroh : 15.). Berikutnya, dengan dzikir menghadirkan Allah di setiap hela nafas kita, dengan begitu hati kita akan menjadi sangat tenang. Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (QS. Ar Ra'd : 28). Jadikanlah Allah SWT, sebagai tempat kita bercerita segalanya
Scale Up, Gaes
Untuk bisa bertumbuh dan membesar, setelah dilakukan self healing tadi, berikutnya adalah scale up. Jadi, ibarat maen game, untuk sampe pada tahap yang disebut grow up, maka kita perlu mengukur diri, saat ini kita di level berapa. Untuk mengukur diri, kita harus percaya diri bahwa kita dikasih potensi yang bisa jadi berbeda dengan orang lain. Nah itulah power yang kita harus maksimal dan optimalkan. Kalo kita sudah tahu bahwa kita misal aja punya potensi skill menulis misalnya, maka yuk mulai discale up.
Nah, saat scale up ini bisa dan boleh kita lakukan sendiri dulu di awal, istilahnya mungkin otodidak. Banyak kok orang bisa berhasil di bidang atau skill tertentu, hanya belajar dari youtube, baca artikel dan sejenisnya. Baru, kalo memang dirasa kita sudah mentok, carilah orang yang lebih ahli alias expert, untuk scale up.
Jadi, kalo kamu ngerasa punya skill di desain gambar atau editing video misalnya, ya udah ulik aja sebanyak-banyaknya life hack yang banyak didapati di gadget kita. Apalagi kondisi masih pandemi seperti sekarang ini, masih punya waktu banyak untuk spend time, belajar, jangan dipake untuk gabut, atau hanya sekedar maen game.
Lalu sampe di level berapa scale up untuk bisa disebut grow up? Sebenarnya tergantung kita menetapkan target, dan juga sering-sering lihat sekitar kita. Maksudnya, kalo teman-teman kita sudah scale up-nya tinggi, ya udah kejar terus, sampe kita memang merasa puas. Asalkan cara kompetisinya sehat, dan nggak ngelanggar syariat. Walaupun sebenarnya, ibarat berlomba lari, maka dikatakan seorang pemenang, kalo emang dia akan sampe istiqomah di garis finish. Nah, kita dikatakan benar-benar grow up, ketika kita memang istiqomah di jalur itu, sampe kapan? Ya sampe kita-kita puas alias bahagia, tapi bahagia yang membawa kekekalan, yakni sampe ke surga.
Kontribusikan untuk Dakwah
Rasulullah SAW bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Artinya, kalo kita grow up jangan hanya untuk kepuasan lahiriah, tapi juga kudu kepuasan batin, yakni dengan menyalurkan atau mengkontribusikan untuk dakwah. Wah, ini bakalan luar biasa kalo anak-anak muda seperti kita yang dari berbagai skill yang mumpuni, berkontribusi dan bergabung bersama barisan dakwah.
Sebagaimana sebuah perkataan yang popular yang kurleb bunyinya “… kemaksiatan yang dimenej akan mengalahkan kebenaran yang tidak dimenej…”. Kalo dakwah ini didukung oleh para pemuda, sebagaimana di masa awal perjuangan Rasulullah SAW dikelilingi oleh para sahabatnya yang rata-rata anak muda, maka tak ayal, sebentar lagi kemenangan Islam kembali akan kita raih. Takbir! Allahu Akbar![]

Jumat, 04 Maret 2022

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 234*30 Rajab 1443 H/4 Maret 2022 M*SEKULARISME DAN KAPITALISME**PERSOALAN BESAR UMAT*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 234*
30 Rajab 1443 H/4 Maret 2022 M
*SEKULARISME DAN KAPITALISME*
*PERSOALAN BESAR UMAT*
Seperti tidak pernah lepas dari masalah, ada saja persoalan yang membuat umat Muslim di Tanah Air disibukkan dengan berbagai polemik. Terakhir, umat disibukkan dengan polemik pengaturan azan dan penggunaan alat pengeras suara di masjid. Tersirat kekhawatiran jika masjid menggunakan pengeras suara lima kali sehari untuk azan dapat mengganggu ketenangan warga dan merusak toleransi antarumat beragama.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Muslim tidak perlu menggunakan pengeras suara karena Tuhan Mahadekat dan tidak tuli. Lagi pula, menurut mereka, Muslim yang sadar akan kewajiban shalat tidak memerlukan panggilan keras seperti itu. Ia akan menunaikan shalat dengan sendirinya.
Apakah azan saat ini menjadi masalah besar bagi umat? Ataukah ada persoalan lain yang semestinya menjadi fokus dan prioritas umat?
*Azan Perintah Agama*
Azan merupakan panggilan shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum Muslim. Beliau bersabda:
«فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ»
_Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam kalian_ (HR al-Bukhari dan Muslim).
Suara azan memang harus dikeraskan. Semua makhluk Allah SWT yang mendengarkan panggilan azan akan menjadi saksi pada Hari Kiamat. Nabi saw. bersabda:
«لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
_Tidaklah suara azan yang keras dari seorang muazin didengar oleh jin, manusia dan segala sesuatu melainkan itu semua akan menjadi saksi bagi dirinya pada Hari Kiamat_ (HR al-Bukhari).
Karena itu keliru jika ada yang mengusulkan agar suara azan jangan diperdengarkan atau dilarang untuk dikeraskan. Juga aneh jika ada pendapat bahwa azan tidak diperlukan karena Allah Mahadekat dan tidak tuli. Nabi saw. justru memerintahkan agar suara azan dikumandangkan. Sebabnya, azan memang merupakan panggilan shalat lima waktu yang ditujukan kepada kaum Muslim.
Alasan bahwa suara azan yang keras mengganggu kalangan non-Muslim juga tidaklah tepat. Azan adalah bagian dari syiar Islam yang ditujukan kepada umat manusia. Imam an-Nawawi menyebutkan sejumlah hikmah dari azan yakni: menampakkan syiar Islam, berisi kalimat tauhid, pemberitahuan masuknya waktu shalat dan tempatnya, serta doa bagi jamaah (_Syarh an-Nawawi ’ala Muslim_, 4/77, Maktabah Syamilah).
Tidak pantas pula seorang Muslim merasa terganggu dengan suara azan. Nabi saw. menyebutkan bahwa yang terganggu oleh azan adalah golongan setan. Beliau bersabda:
«إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ»
_Jika azan dikumandangkan, setan segera berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Jika azan selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Jika dikumandangkan iqamah, setan kembali berpaling. Jika iqamah selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya_ (HR Muttafaq ‘alayh).
Merendahkan azan, seperti mensejajarkan azan dengan gonggongan anjing, atau dulu ada yang menyebutkan bahwa suara kidung jauh lebih indah daripada suara azan, adalah termasuk penistaan agama serta merupakan dosa besar. Allah SWT telah mengingatkan:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
_Jika kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan seruan itu sebagai ejekan dan permainan. Yang demikian adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal_ (TQS al-Maidah [5]: 58).
*Persoalan Utama: Sekularisme*
Sebenarnya banyak persoalan yang lebih utama dan penting untuk diselesaikan umat dan para pejabat di negeri ini ketimbang meributkan azan dan pengeras suara. Yang utama adalah sekularisme. Paham batil yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan ini menyebabkan banyak kaum Muslim yang tidak peduli dengan agamanya.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah menyampaikan data 65 persen Muslim di Indonesia ternyata belum bisa membaca al-Quran. Padahal al-Quran adalah kitab suci kaum Muslim. Membaca al-Quran berbuah pahala dan syafaat di Akhirat. Mempelajari dan mengamalkan al-Quran adalah kewajiban. Bukankah membebaskan umat dari buta huruf al-Quran seharusnya menjadi tanggung jawab umat dan negara?
Demikian pula dalam masalah shalat. Andaikan Pemerintah mau menelusuri bisa jadi akan didapatkan data bahwa masih banyak Muslim di Tanah Air yang melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Namun, akibat sekularisme, ibadah dipandang urusan pribadi belaka. Tidak ada yang berhak memaksa, termasuk negara. Karena itu tidak sedikit orang yang enteng saja meninggalkan shalat. Padahal Nabi saw. mengingatkan:
«اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
_Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir_ (HR Ibnu Majah).
Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur hingga habis waktunya maka ia telah kafir. Para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa orang seperti itu tidaklah kafir tetapi fasik dan ia diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka diterima tobatnya. Namun, jika ia tidak bertobat, ia mendapatkan sanksi hukuman mati sebagai sanksi (_had_) (Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Arba’ah_, 5/401, Maktabah Syamilah).
Nah, tugas negaralah untuk mengedukasi, menertibkan dan menghukum mereka yang meremehkan pelaksanaan shalat.
Sekularisme juga melahirkan pluralisme hingga sinkretisme. Tidak sedikit kaum Muslim mencampuradukkan ibadah dan keyakinan mereka dengan umat lain. Sebagian dari mereka bahkan dipaksa mengikuti ritual agama lain karena aturan tempat bekerja atau lingkungan mereka tinggal. Di Bali, setiap tahun umat Muslim dipaksa untuk mematuhi aturan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Mengapa hal ini tidak dipersoalkan oleh negara, khususnya Kementerian Agama?
Karena sekularisme pula umat Muslim di Tanah Air rentan mengalami pemurtadan. Pada tahun 2016, MUI pernah menyampaikan laporan bahwa setiap tahun ada 2 juta Muslim keluar dari agamanya di Indonesia. Ini menandakan lemahnya pembinaan dan perlindungan terhadap keimanan mereka yang semestinya dilakukan oleh negara.
Demikian pula kasus penistaan terhadap agama Islam yang semakin marak belakangan ini. Ini karena lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku. Bahkan sejumlah nama yang terkenal sebagai _buzzer_ justru masih eksis dan terus menerus menyemburkan fitnah dan penistaan terhadap agama Islam. Seolah-olah mereka kebal hukum.
*Kapitalisme dan Oligarki*
Setelah sekularisme, umat Muslim hari ini juga dihadang oleh cengkeraman kapitalisme dan oligarki. Segelintir orang berkuasa dan menzalimi rakyat. Kejahatan kapitalisme dan oligarki ini sudah demikian nyata seperti terlihat dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kacang kedelai dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pernah mengatakan bahwa pasar pangan di Indonesia hampir 100 persen dikuasai kartel atau monopoli. Ia mengatakan Bulog hanya menguasai 6%. Sisanya dikuasai kartel.
Kasus kelangkaan minyak goreng di Tanah Air adalah ironi. Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan perkebunan sawit terbesar. Namun, perkebunan sawit itu dikuasai hanya oleh 29 taipan yang memiliki lahan separuh Pulau Jawa alias lebih dari 5 juta hektar. Industri minyak goreng pun dikuasai hanya oleh 4 konglomerat. Itulah sebabnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sama-sama menduga ada permainan kartel. Perusahaan minyak goreng menaikkan harga secara bersamaan, padahal mereka memiliki perkebunan sawit masing-masing (_TribunJabar_, 26/01).
Negara harusnya menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mencegah serta menghukum permainan para pengusaha jika terbukti melakukan kecurangan, seperti menaikkan harga dengan sangat keterlaluan yang disebut _ghabn fâhisy_ atau _khilâbah_ (penipuan). Nabi saw. bersabda:
«بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ»
_Jual-beli muhaffalât adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang Muslim_ (HR Ibn Majah, Ahmad dan Abdurrazaq).
Wahai kaum Muslim! Sebenarnya pangkal dari persoalan umat hari ini, bahkan di seluruh dunia, adalah ketiadaan penerapan syariah Islam yang akan menuntaskan seluruh persoalan. Allah SWT telah menjadikan syariah Islam sebagai solusi bagi setiap persoalan manusia. Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan ragam keberkahan (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah bakal mampu melindungi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat. Khilafah akan menghapuskan paham sekularisme, melindungi akidah umat dan membimbing serta menjaga ibadah mereka. Khilafah tidak akan membiarkan ada Muslim yang tidak menunaikan kewajiban ibadah seperti shalat lima waktu atau ada Muslim yang buta huruf al-Quran. Khilafah juga akan mencegah pemaksaan ibadah agama lain terhadap kaum Muslim, sebagaimana juga melarang pemaksaan ajaran Islam terhadap orang-orang kafir.
Khilafah juga akan menciptakan regulasi untuk memberantas praktik bisnis kartel dan monopolis serta kecurangan lainnya. Negara Islam akan melindungi pengusaha juga konsumen, majikan dan buruh, sehingga semua mendapatkan haknya sesuai syariah Islam. Inilah kemuliaan ajaran Islam.[]
*Hikmah:*
Allah SWT berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
_Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh hal demikian muncul dari ketakwaan kalbu._ (QS al-Hajj [22]: 32). []

Jumat, 25 Februari 2022

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 233*23 Rajab 1443 H/25 Februari 2022 M*101 TAHUN DERITA UMAT**TANPA KHILAFAH*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 233*
23 Rajab 1443 H/25 Februari 2022 M
*101 TAHUN DERITA UMAT*
*TANPA KHILAFAH*
Kaum Muslim yang mencintai agamanya semestinya mengingat Rajab bukan saja sebagai bulan haram. Rajab juga bukan semata-mata bulan yang diagungkan. Rajab pun bukan hanya bulan yang di dalamnya terjadi Isra Mi’raj Rasulullah saw.
Kaum Muslim seharusnya kembali membuka sejarah bahwa pada Rajab ini genap sudah 101 tahun kaum Muslim hidup tanpa perlindungan Khilafah Islamiyah. Khilafah Utsmaniyah, sebagai Kekhilafahan terakhir, dibubarkan oleh Mustafa Kamal Ataturk pada 28 Rajab 1342 H/ 3 Maret 1924. Mustafa Kamal yang merupakan keturunan Yahudi Dunamah adalah perwira Turki yang menjadi kaki tangan Inggris untuk menggerogoti kekuatan kaum Muslim dan Khilafah dari dalam.
Usai membubarkan Khilafah, Mustafa mengusir khalifah terakhir, Sultan Abdul Majid II, mulai memberlakukan sekularisme di seantero Turki, dan dengan kejam menghapus ajaran Islam juga bahasa Arab, mengganti azan dengan bahasa Turki, melarang tilawah al-Quran dikumandangkan di radio-radio, menyerukan para Muslimah membuka jilbab, dia pun membiasakan minuman keras serta dansa-dansi lelaki dan perempuan. Yahudi Dunamah terkutuk ini juga memberlakukan hukuman berat untuk siapa saja yang berusaha menghidupkan ajaran Islam.
*Penyebab Keruntuhan*
Keruntuhan Khilafah Islamiyah bukan disebabkan oleh ajaran Islam itu sendiri, melainkan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal umat.
Secara internal keruntuhan Khilafah dikarenakan umat Muslim sudah mengalami kemerosotan pemikiran Islam sejak pertengahan Abad XII H (ke-18 M). Kondisi itu dimulai dari pengabaian bahasa Arab pada abad ke-7 H. Akibatnya, para ulama kesulitan untuk melakukan ijtihad.
Pada penghujung abad ke-13 H (abad ke-19 M) kemerosotan itu semakin menjadi ketika Islam dikaji bukan sebagai ideologi untuk menjawab persoalan kehidupan. Islam dikaji sekadar untuk kepuasan intelektual. Bahkan Islam justru ditafsirkan mengikuti kondisi masyarakat saat itu, bukan untuk mengubah masyarakat agar sesuai dengan Islam. Misal, pada masa itu ada hakim yang membolehkan riba bernilai kecil, menghentikan pelaksanaan _hudûd_. Bahkan sebagian ulama memfatwakan kebolehan mengadopsi undang-undang Barat ke dalam perundang-undangan Khilafah Islamiyah. Akibatnya, peradilan pada saat itu terbagi dua: mahkamah syariah yang memberlakukan hukum Islam dan mahkamah sipil yang menerapkan hukum-hukum Eropa.
Pemerintahan Khilafah juga dipangku bukan oleh orang-orang terbaik di kalangan umat, melainkan karena faktor keluarga dan kekerabatan. Kondisi ini memicu konflik dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk melalaikan penerapan syariah Islam, penyebaran Islam lewat dakwah dan _futûhât_ (penaklukkan).
Keadaan suram Khilafah Utsmaniyah inilah yang menyebabkan negara-negara Barat, seperti kaum imperialis Inggris dan Prancis, menyebut Daulah Khilafah Utsmaniyah sebagai _‘The Sick Man in Europe’_ (Orang Sakit di Eropa).
Adapun secara eksternal umat Muslim harus menghadapi perang pemikiran (_ghazwul fikri_) yang dilancarkan Barat. Kaum imperialis Barat paham bahwa kekuatan kaum Muslim adalah ajaran Islam itu sendiri. Perdana Menteri Inggris, William Gladstone, yang berkuasa dari tahun 1868 sampai tahun 1894 pernah membawa al-Quran di hadapan Parlemen Inggris. Dia lalu mengatakan, “Tidak akan pernah ada perdamaian di Bumi ini selama ada buku (al-Quran) ini. Ini adalah buku yang penuh kekerasan dan terkutuk."
Karena itu Barat mulai menggunakan strategi baru untuk memerangi kaum Muslim dan Khilafah. Tidak lain perang pemikiran.
Umat merosot pemikirannya, semakin terpuruk akibat perang pemikiran yang dilakukan para penjajah. Di antara racun pemikiran yang dihembuskan mereka adalah paham nasionalisme dan kebangsaan. Inggris lewat antek-anteknya memunculkan isu permusuhan antara bangsa Arab dan Turki. Mereka juga memprovokasi umat Muslim untuk melakukan tindak separatis dari Kekhilafahan Utsmaniyah yang disebut sebagai kaum penjajah.
Inggris menghasut dan membantu tokoh-tokoh Arab seperti Syarif Husain—yang sebenarnya Wali (Gubernur) Khalifah untuk kawasan Hijaz—untuk memberontak dari Khilafah Utsmaniah pada tahun 1916. Namun, Inggris kemudian menyingkirkan Syarif Husain lalu mengganti dia dengan Abdul Aziz bin Saud untuk menguasai pecahan kekuasaan Khilafah Utsmaniyah di Jazirah Arab. Inggrislah yang menentukan tapal batas Saudi Arabia, Irak dan Kuwait dalam Konferensi Uqair pada tahun 1922. Seluruhnya diberikan kepada Abdul Aziz bin Saud dan keluarganya.
Setelah Khilafah runtuh, Barat terus menjaga agar kaum Muslim tetap terpecah dalam bentuk negara-negara kebangsaan. Dengan itu dipastikan mereka tidak bisa bersatu. Juga akan selalu muncul konflik. Mereka juga menyebarkan Islamofobia di tengah umat untuk memastikan agar Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara dan aturan negara oleh kaum Muslim.
Karena itu Inggris tidak keberatan memberikan kemerdekaan kepada Turki selama negeri itu mengusung nasionalisme Turki dan memerangi Islam. Tentang hal ini Perdana Menteri Inggris yang merancang kehancuran Khilafah, Lord Curzon, berkata, “Situasi sekarang adalah Turki sudah mati dan tidak bisa bangkit lagi. Sebabnya, kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu Khilafah dan Islam.”
*Nestapa Tanpa Khilafah*
Keruntuhan Khilafah berdampak luas terhadap nasib umat. Penderitaan demi penderitaan terus dirasakan umat, karena ketiadaan penjaga dan pelindung umat dan negeri-negeri mereka. Palestina yang dilindungi oleh Khilafah Utsmaniyah akhirnya jatuh ke tangan Zionis Israel. Pada tahun 1930-an imigran asal Yahudi mulai memasuki Palestina dan mengusir penduduk aslinya. Akhirnya, pada bulan Mei 1948 secara resmi dideklarasikan negara Israel di atas tanah Palestina. Sejak itu pengusiran dan pembantaian terjadi secara besar-besaran terhadap warga Palestina. Pada tahun 1982, misalnya, terjadi tragedi pembantaian Sabra-Shatila oleh gabungan milisi Israel dan Kristen Maronit terhadap pengungsi Palestina dan Lebanon. Diperkirakan korban tewas mencapai 3.500 jiwa. Kebanyakan adalah wanita, lansia dan anak-anak.
Ketika AS mulai menginvasi Irak pada tahun 2003, diperkirakan jumlah warga sipil yang menjadi korban mencapai hampir 50 ribu jiwa. Terbukti kemudian agresi militer pasukan koalisi pimpinan AS didasari pada kebohongan AS dan Inggris. Alasan bahwa Saddam Husain mengembangkan senjata pemusnah massal tidak terbukti sama sekali.
Darah Muslim Rohingya juga tumpah tanpa ada yang bisa menolong dan membela. Organisasi Doctors Without Borders melaporkan 6700 Muslim Rohingya tewas dalam aksi genosida kaum radikal Budha di sana. Lihat pula bagaimana nasib kaum Muslim di Suriah, Yaman, Sudan, Uyghur, India. Semua berjuang sendiri-sendiri tanpa ada pelindung dan penjaga mereka. Padahal jumlah kaum Muslim hari ini amat banyak; jumlahnya 1,93 miliar di seluruh dunia. Kekuatan militer beberapa negara muslim pun diperhitungkan dunia. Namun akibat belenggu paham nasionalisme umat jadi seperti tak berdaya. Persis seperti yang telah diingatkan Nabi saw.:
«يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ»
_“Hampir saja bangsa-bangsa (kafir) mengerubuti kalian (umat Islam) sebagaimana mereka mengerubuti makanan yang berada di dalam piring.”_ Seorang laki-laki berkata, _“Apakah kami waktu itu sedikit?”_ Beliau menjawab, _“Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak. Namun, kalian seperti buih di lautan.”_ (HR Abu Dawud).
Sistem Kapitalisme yang hari ini diberlakukan di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk negeri-negeri Islam, bukannya menciptakan kemakmuran justru penderitaan. Kesenjangan antara si kaya dan miskin amat dahsyat. Di Tanah Air, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Yang ironi, sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektar atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektar (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektar telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektar. Anehnya, hari ini rakyat mengantri untuk membeli minyak goreng sawit karena langka di pasaran.
Sistem demokrasi yang dipuji-puji membawa kedaulatan rakyat justru menciptakan oligarki; kekuasaan yang dicengkram segelintir orang. Hal ini tidak lepas dari peran kaum kapitalis pemilik uang yang berada di belakang pemilihan. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa 92 persen Pilkada dikuasai cukong. Menurutnya, kondisi ini melahirkan kebijakan korup dan korupsi kebijakan. Banyak kebijakan yang hanya menguntungkan pengusaha, sementara rakyat tidak mendapat apa-apa.
Nyata, hanya Khilafah Islamiyah yang bisa melindungi Islam, mengatur dunia, sekaligus membela kaum Muslim. Imam al-Mawardi mengingatkan bahwa keberadaan Imamah (Khilafah) adalah untuk menjaga agama dan mengatur dunia, _“Imamah (Khilafah) merupakan istilah bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Menegakkan Imamah (Khilafah) bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut Ijmak, kecuali menurut al-‘Asham yang telah menyempal dari mereka.”_ (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15, Maktabah Syamilah).
Karena itu sudahilah penderitaan umat sekarang juga. Kembalilah pada sistem Islam, Khilafah Islamiyah, yang akan menerapkan syariah Islam secara _kâffah_ sekaligus melindungi dan membela umat di seluruh dunia.
_WalLâhu a’lam._ []
*Hikmah:*
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
_Sungguh seorang imam (khalifah) itu laksana perisai. Dia akan dijadikan pelindung dan orang-orang akan berperang di belakang dia._ (HR Muttafaq ‘alayh). []

Rabu, 23 Februari 2022

RUNTUHNYA KAPITALISME DAN KEMBALINYA ISLAMOleh K.H. Hafidz Abdurrahman

RUNTUHNYA KAPITALISME DAN KEMBALINYA ISLAM

Oleh K.H. Hafidz Abdurrahman

Yakin atau tidak, Islam pasti menang. Karena itu memang janji Allah. Bahkan, Allah mengulang ayat ini, dengan akhiran yang berbeda, sebanyak tiga kali

هُوَ ٱلَّذِیۤ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِینِ ٱلۡحَقِّ لِیُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّینِ كُلِّهِۦ 

"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur`ān) dan agama yang benar untuk dimenangkan atas segala agama.." 

Pertama, Q.s. al-Fath: 28. Dengan akhiran, "Wakafa Billahi syahida" (Cukuplah Allah yang Menjadi Saksi). Kedua, Q.s. as-Shaf: 9. Ketiga, Q.s. at-Taubah: 33. Keduanya dengan akhiran, "Walau Kariha al-Musyrikun" (Meski orang Musyrik tidak menyukainya)

Q.s. al-Fath: 28 turun dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah, setelah Umrah Hudaibiyah, tahun 6 H. Sebelum Makkah takluk di tangan kaum Muslim. Sedangkan Q.s. as-Shaf: 9 dan Q.s. at-Taubah: 33 turun setelah penaklukan kota Makkah. Q.s. at-Taubah sendiri turun tahun 9 H. 

Inilah janji Allah. Janji itu terbukti. Islam pun berkuasa selama 14 abad di muka bumi, sampai akhirnya payung kekuasannya dihancurkan. Kini, setelah 101 tahun, Islam dan umatnya tidak mempunyai payung, Islam kembali hidup dan menjadi harapan kaum Muslim. 

Bukan hanya harapan mereka, tapi dunia. Terlebih saat Kapitalisme benar-benar sudah keropos luar dalam. Sosialisme dan Komunisme pun sudah runtuh. 

Buku "Inhiyar ar-Ra'sumaliyah wa Dhuhur al-Islam" ini ditulis oleh Dr Muhammad Malkawi, yang pernah hidup Uni Soviet di era Sosialisme, dan hidup di AS yang menerapkan Kapitalisme. 11 tahun, setelah beliau prediksi Uni Soviet dan Sosialisme ini hancur, akhirnya terbukti

Semua dipaparkan di dalam buku ini. Begitu juga prediksinya akan kembalinya Islam. Islam sebagai solusi, bukan ancaman. Justru saat dunia benar-benar hidup dalam kegelapan. Semuanya dipaparkan di dalam buku ini

Iya. Seperti judul kitab al-Hafidz Ibn Katsir, "Al-Bidayah wa an-Nihayah". Semua ada awalnya. Semuanya pun ada akhirnya. Begitulah kehidupan.

Tetapi, Islam akan tetap kokoh sebagai cahaya kehidupan bagi umat manusia. Masalahnya, apakah umat manusia, khususnya umat Islam, benar-benar sudah siap menyambut kembalinya Islam atau tidak, sebagaimana Madinah?

https://www.instagram.com/p/CaKOplPvBvu/?utm_medium=share_sheet

Selasa, 22 Februari 2022

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 232* 16 Rajab 1443 H/18 Februari 2022 M*SELAMATKAN MUSLIMAH INDIA!*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 232*   
16 Rajab 1443 H/18 Februari 2022 M

*SELAMATKAN MUSLIMAH INDIA!*

Lebih dari sepekan ini kaum Muslimah India di Negara Bagian Karnataka mengalami pelarangan berjilbab di semua lingkungan pendidikan, sekolah maupun kampus. Baik tenaga pengajar perempuan maupun pelajar dan mahasiswi dipaksa melepas jilbab mereka saat memasuki lingkungan sekolah/kampus. Pelarangan ini disebut-sebut merupakan instruksi langsung dari Kementerian Pendidikan India.

Para Muslimah berjilbab di Karnataka bukan saja dilarang memasuki sekolah/kampus. Mereka juga mengalami berbagai pelecehan dan intimidasi oleh warga Hindu. Sejumlah pemberitaan dan video yang beredar memperlihatkan berbagai persekusi yang dilakukan warga Hindu terhadap kaum Muslimah yang bertahan dengan busana islami mereka.

*Muslim Minoritas Tertindas*

Muslim India adalah warga minoritas. Di negara bagian Karnataka jumlah Muslim hanya 12 persen dari seluruh warga. Pemerintah Karnataka diketahui diperintah oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP)/Perdana Menteri Narendra Modi. Secara nasional, kaum Muslim memang kelompok minoritas di India. Populasi Muslim di India hanya 15 persen dari populasi atau hanya sekitar 200-an juta orang dari 1,39 miliar orang India. Meski menjadi agama terbesar kedua setelah Hindu, Muslim di India telah menjadi salah satu kelompok minoritas yang tertindas terbesar di dunia.

Perdana Menteri India Narendra Modi yang beragama Hindu telah sengaja menjadikan Muslim sebagai sasaran peraturan yang dia buat; mulai dari yang berujung pada hukuman penjara hingga diusir dari India. Pada Desember 2019 India mengeluarkan rancangan undang-undang kewarganegaraan yang menolak mengakui warga Muslim sebagai penduduk India. RUU tersebut memicu kemarahan dan protes serta tindakan kekerasan selama berbulan-bulan.

Pada 2019, sebuah laporan menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen korban kekerasan di India dalam 10 tahun terakhir adalah Muslim. Namun, para pelaku kekerasan tersebut rata-rata bebas dari hukuman. Ada dugaan rangkaian kekerasan tersebut mendapatkan dukungan politik dari Partai Bharatiya Janata pimpinan Modi.

Masjid-masjid di India juga sering mengalami penyerangan seperti disemprot dengan kotoran sapi. Kaum Muslim pun sering dipaksa mengucapkan puji-pujian kepada dewa-dewa mereka, yang jadi slogan partai Hindu yang berkuasa di India. Tempat usaha dan kediaman warga Muslim sering jadi sasaran serangan sehingga memaksa sebagian warga Muslim mengungsi ke tempat lain.

Karena itu kekerasan dan intimidasi yang dialami Muslimah di Negara Bagian Karnataka sesungguhnya hanyalah bagian dari rangkaian gelombang Islamofobia di India. Tragisnya, Muslim India nyaris tidak mendapatkan perlindungan dari negara, juga dari lembaga-lembaga dunia, termasuk dari para pemimpin Dunia Islam.

*Wajib Menolong Sesama Muslim*

Penderitaan yang dialami kaum Muslim, khususnya Muslimah di India, haruslah menjadi bagian dari derita kita. Jangan lupa, kaum Muslim itu bersaudara. Laksana satu tubuh. Satu sama lain saling terhubung. Satu sama lain bisa merasakan derita bersama-sama. Nabi saw. bersabda:

«مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى»

_Kaum Mukmin itu—dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi—bagaikan satu tubuh. Jika ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan demam (turut merasakan sakitnya)_ (HR Muslim).

Allah SWT telah memerintahkan umat Muslim untuk senantiasa memberikan bantuan manakala saudaranya membutuhkan pertolongan. Allah SWT berfirman:

وَاِنِ اسْتَنْصَرُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ 

_Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama maka kalian wajib memberikan pertolongan_ (TQS al-Anfal [8]: 72).

Menolong sesama Muslim yang dianiaya adalah fardhu kifayah. Haram berdiam diri saat melihat saudara seiman terzalimi. Kewajiban ini baru tuntas saat mereka yang terzalimi mendapat perlindungan sempurna.

Nabi mengingatkan tidaklah seorang Muslim membiarkan penganiayaan terhadap sesama Muslim melainkan Allah SWT pun akan membiarkan mereka terzalimi pula. Nabi saw. bersabda:

«مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا عِنْدَ مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ. وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ»

_Tidaklah seseorang membiarkan (tidak menolong) saudaranya sesama Muslim dalam kondisi kehormatannya sedang dilanggar dan harga dirinya direndahkan, kecuali Allah akan membiarkan (tidak menolong) dia saat dia ingin ditolong. Tidaklah seseorang menolong seorang Muslim pada saat harga dirinya direndahkan dan kehormatannya dilanggar, kecuali Allah akan menolong dia saat dia ingin ditolong_ (HR Ahmad).

*Umat Tanpa Perisai*

Penghinaan dan penindasan yang dialami kaum Muslim India, khususnya para Muslimahnya, seharusnya menjadi peringatan keras bagi kaum Muslim sedunia, bahwa persoalan ini tidak bisa ditangani secara individual, organisasi atau lembaga dunia sekalipun seperti PBB. Kaum Muslim sedunia harus memiliki institusi sendiri yang bersifat global dan memiliki kekuatan besar untuk melindungi dan membela kehormatan mereka, termasuk kaum Muslim/Muslimah India. Institusi global itu tidak lain adalah Khilafah Islam. Derita kaum Muslim sedunia, khususnya di India, tidak akan terjadi manakala Khilafah Islam hadir sebagai perisai kokoh yang menjaga dan membela kehormatan umat. Nabi saw. telah mengingatkan kita betapa urgen keberadaan Khalifah/Imam sebagai perisai bagi umat. Beliau bersabda:

«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ، يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ، وَيُتَّقَى بِهِ»

_Sungguh Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya_ (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).

Imam an-Nawawi dalam _Syarh Shahîh Muslim_ berkomentar, “(Imam/Khalifah itu perisai), yakni seperti _as-sitr_ (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslim; mencegah manusia satu sama lain saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam; manusia berlindung di belakang dia dan tunduk di bawah kekuasaannya.” (An-Nawawi, _Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim_, 4/134, Maktabah Syamilah).

Di Madinah, pernah terjadi seorang muslimah yang tengah berbelanja di Pasar Yahudi disingkap pakaiannya oleh seorang Yahudi dari Bani Qainuqa. Seketika seorang pedagang Muslim melakukan pembelaan terhadap Muslimah tersebut. Namun, pedagang Muslim tersebut lalu dibunuh beramai-ramai oleh para Yahudi lainnya. 

Mendengar peristiwa tersebut, Rasulullah saw. murka. Beliau lalu mengirimkan pasukan untuk menghukum Bani Qainuqa. Kaum Muslim mengepung benteng Yahudi Bani Qainuqa selama 15 hari 15 malam. Akhirnya, mereka menyerah dan diusir dari Madinah. Demikianlah ketegasan Rasulullah saw.—sebagai kepala Negara Madinah saat itu—terhadap kaum Yahudi yang menista kaum Muslim/Muslimah.

Contoh lain bagaimana kaum Muslimah dibela kehormatannya terjadi pada bulan April tahun 833 M. Seorang gubernur Romawi di Kota Ammuriah (bagian dari wilayah Turki) pernah menodai kehormatan seorang Muslimah. Saat mendengar kejadian tersebut Khalifah Mu’tashim Billah, yang saat itu berada di Baghdad, segera mengirimkan pasukan untuk memerangi Kota Ammuriah. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh Khalifah untuk membebaskan Ammuriah dari jajahan Romawi.

Demikianlah, dengan adanya Khilafah sebagai perisai, kehormatan kaum Muslim/Muslimah senantiasa terjaga. Khilafah juga akan menciptakan suasana kerukunan umat beragama, dengan tetap mempersilakan umat beragama lain beribadah dan hidup sesuai dengan keyakinan agama mereka.

*Umat Terbelenggu Nasionalisme*

Selain ketiadaan Khilafah Islam, hari ini kaum Muslim juga terkerat-kerat oleh batas-batas teritori negara mereka masing-masing. Hati dan pikiran mereka juga terbelenggu oleh paham kebangsaan. Paham ini menjadikan umat dan para pemimpin mereka tidak punya kepedulian dan enggan menolong saudara-saudara mereka yang tertindas. Mereka juga lebih takut dengan aturan internasional soal larangan intervensi terhadap negara lain. Padahal saudara mereka seiman terzalimi di sana.

Beda dengan negara-negara imperialis seperti AS, Inggris atau Prancis. Mereka bisa leluasa mengintervensi bahkan melakukan invasi militer ke negeri-negeri kaum Muslim seperti ke Irak, Afganistan dan Suriah. PBB atau badan dunia manapun tidak mencegah mereka. Para penguasa Dunia Islam juga tak memprotes atau menahan mereka. Akibatnya, pasukan imperialis Barat leluasa menjarah, menangkapi, menyiksa bahkan melakukan pembantaian terhadap penduduknya sesuka mereka.

Wahai kaum Muslim, sadarlah! Tak ada yang bisa menolong saudara-saudara kita, khususnya kaum Muslim/Muslimah India, kecuali kita kembali ke pangkuan Islam; kembali melanjutkan kehidupan Islam dalam institusi Khilafah. Lalu bersama Khilafah Islam kita bisa membebaskan saudara seiman di mana pun di seluruh dunia. Inilah yang dulu pernah dilakukan oleh kaum Muslim saat mereka berada di bawah naungan Khilafah. 
_WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb._ []

*Hikmah:*

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ، فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ، أَذَلَّهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

_Siapa saja yang di hadapannya ada seorang Mukmin yang dihinakan, namun dia tidak menolong Muslim tersebut, padahal dia mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakan dia di hadapan seluruh makhluk-Nya pada Hari Kiamat._ (HR Ahmad). []