Rabu, 23 Maret 2022

Hakikat Al-Ghurabâ’

Di antara perkara gaib yang dikabarkan Rasulullah saw. jauh-jauh hari adalah kembalinya Islam menjadi terasing pada akhir zaman. Hal ini diinformasikan dalam bentuk uslûb khabarî ibtidâ’î (ungkapan tanpa satupun penegasan), yang menunjukkan bahwa informasi tersebut merupakan informasi baru yang tidak diragukan, tidak diingkari, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُربَاءِ

Islam pertama kali datang terasing dan akan kembali terasing sebagaimana permulaannya. Karena itulah beruntunglah mereka yang terasing (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

 

Kata al-ghurabâ’ menunjukkan bentuk jamak (plural). Ini mengisyaratkan adanya golongan manusia (jamaah) yang senantiasa membela Islam pada akhir zaman. Padahal karakteristik utama al-ghurabâ’ adalah mereka yang berpegang teguh pada Islam; senantiasa melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak:

فَطُوبَى لِلْغُرباء الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي

Karena itu beruntunglah mereka yang terasing, yakni mereka yang memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku  (HR at-Tirmidzi).

 

Kata kerja yushlihûna dengan subjek jamak dalam ayat ini memperjelas bahwa kelompok al-ghurabâ’ ini berjamaah, berdakwah secara kolektif. Aktivitas tersebut dilakukan secara dinamis, berkesinambungan. Ini ditandai lafal yushlihûna yang merupakan al-fi’l al-mudhâri’ yang berfaedah al-hudûts (dinamis). Apa maknanya? Maknanya adalah menyesuaikan kembali sesuatu yang telah menyimpang ke asalnya, yakni pada Islam. Siapakah mereka? Al-Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) dalam Faydh al-Qadîr (VI/468) ketika menyebutkan sebagian golongan al-ghurabâ’ menjelaskan:

وهم القابضون على دينهم عند الفتن كالقابض على الجمر وهم النزاع من القبائل وهم المؤمنون بالغيب إلى غير ذلك مما لا يعسر على الفطن استخراجه من الأحاديث

Mereka adalah kaum yang berpegang pada agama mereka tatkala tersebarnya fitnah, bagaikan orang yang memegang bara api. Mereka adalah kaum yang terpisah dari suku-suku. Mereka adalah orang-orang yang mengimani perkara gaib dan lain sebagainya yang tidak sulit bagi orang-orang yang cerdas mengambil dari sumber hadis-hadis.

 

Keterasingan tersebut bisa jadi lahir karena manusia belum mengenal hakikat kebenaran Islam; muncul di tengah tersebarnya kemungkaran. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Qawâ’id al-‘Aqâ’id (hlm. 101) menyiratkan:

النَّاس أَعدَاء مَا جهلوا

Manusia (kadang) menjadi musuh atas apa saja yang tidak mereka ketahui.

 

Artinya, tak dipahami dan diamalkan sebagaimana mestinya, hingga mereka yang berpegang teguh padanya dianggap aneh (gharîb), bahkan terang-terangan distigma negatif oknum-oknum yang terpedaya dengan stigma radikalis, fundamentalis (dalam konotasi negatif), dimonsterisasi agar semakin dikucilkan, diasingkan masyarakat. Untuk mengantisipasi semua ini diperlukan upaya memperkenalkan kebenaran Islam ke tengah-tengah masyarakat, menjadikan Islam sebagai opini publik, bahkan bukan hanya dibicarakan melainkan juga diamalkan.

Keterasingan yang ada pun bukan lahir dari sikap apriori, tidak peduli terhadap keburukan yang menimpa masyarakat, hingga ‘uzlah dengan menjauh dari masyarakat. Kenyataannya, Rasulullah saw. tidak pernah melakukan ‘uzlah setelah turunnya risalah. Rasulullah saw. justru ‘terasing’ dari masyarakat jahiliah yang telah menggelari beliau sebagai al-amîn (orang yang sangat dipercaya) setelah menyebarkan risalah Islam ke tengah-tengah masyarakat jahiliah.

Pandangan ini relevan dengan keterangan bahwa kalimat fathûbâ li al-ghurabâ’ merupakan kalimat kiasan, yang menisbatkan keberuntungan pada akibat (al-musabbab) “al-ghurabâ’” (menjadi kaum terasing), namun yang dimaksud adalah sebab keterasingan itu sendiri; beruntung karena berpegang teguh pada Islam. Dalam perspektif ilmu balaghah ia termasuk kiasan al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah; ithlâq al-musabbab wa irâdat al-sabab (yang disebutkan akibat, namun yang dimaksud adalah sebabnya).

Keterasingan tersebut bukanlah bukti bahwa Islam tidak benar. Sebabnya, kebenaran tidak ditentukan oleh ketenaran, pengikut dan pengakuan manusia itu sendiri. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun seandainya mayoritas manusia menolaknya. Ini karena kebenaran adalah apa saja yang datang dari Allah ’Azza wa Jalla berupa wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ  ١٠٨

Katakanlah, “Hai manusia, sungguh teIah datang kepada kalian kebenaran (al-Quran) dari Tuhan kalian. Sebab itu, siapa saja yang mendapat petunjuk, sungguh (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Siapa saja yang sesat, sungguh kesesatannya itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri. Aku bukanlah seorang penjaga terhadap diri kalian (QS Yunus [10]: 108).

 

Kalimat yâ ayyuhan nâs dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kebenaran dari Allah adalah satu-satunya standar kebenaran bagi seluruh umat manusia. Kalimat Qad jâ’akum al-haqq min Rabbikum mengandung penegasan (tawkîd) bahwa kebenaran datang dari Allah (wahyu-Nya). Siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk maka ia meraih kebaikan untuk dirinya sendiri. Siapa saja yang mengabaikannya maka ia meraih keburukan akibat kesesatannya sendiri. Kebenaran tersebut dibawa oleh Rasulullah saw.:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلرَّسُولُ بِٱلۡحَقِّ مِن رَّبِّكُمۡ فَ‍َٔامِنُواْ خَيۡرٗا لَّكُمۡۚ وَإِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا  ١٧٠

Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepada kalian dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan kalian. Karena itu berimanlah kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian. Jika kalian kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) maka sungguh apa yang di langit dan di bumi itu adalah milik Allah. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana (QS an-Nisa’ [4]: 170).

 

Ayat ini memperjelas standar kebenaran itu sendiri, sangat definitif, jelas batasannya, berdasarkan kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Dengan itu kebenaran bisa dipahami oleh manusia, bukan berdasarkan apa yang dikehendaki hawa nafsu fulan dan fulan, sebagaimana klaim kaum liberal yang merasa bebas berbicara tentang al-Quran semaunya, hingga melibas ajaran Islam itu sendiri.  Penyair bertutur:

عجِبْتُ لِقوْمٍ أضَلّوا السّبيلَ *

وقد بيّنَ الله سبلَ الهدى

فما عرفوا الحقّ لماّ استبانَ *

ولا أبصروا الفجرَ لماّ بدا

Aku heran kepada kaum yang tersesat dari jalan kebenaran

Sungguh Allah telah menjelaskan jalan petunjuk

Mereka tak mengenal kebenaran tatkala ia terang-benderang

Tidak pula melihat fajar tatkala ia terbit

 

Bagi mereka yang tenggelam dalam kebatilan, hendaklah ingat dengan pesan bijak dari Amîr al-Mu’minîn, Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a., sebagaimana dinukil  oleh A-Hafizh Ibn Katsir dalam Musnad Amîr al-Mu’minîn Abi Hafsh ‘Umar bin al-Khaththâb r.a. (II/775). Dikisahkan, Khalifah Umar menulis surat kepada bawahannya, Abu Musa al-Asy’ari r.a.:

إِنَّ مُرَاجَعَةَ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ

Sungguh kembali pada kebenaran (kebaikan) lebih baik daripada berlarut-larut dalam kebatilan.

 

Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka senantiasa aktif memperbaiki kehidupan yang dirusak oleh manusia dengan kemungkaran mereka hingga kehidupan kembali sejalan dengan Islam. Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka meraih keberuntungan di dunia dan akhirat dengan menjalani kehidupan dalam keridhaan-Nya, berkah hidupnya di dunia dengan akidah dan syariah, berbahagia selama-lamanya di akhirat di Jannah-Nya. Merekalah permata di tengah gelapnya dunia.

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]

 

 

Media Al-Wa'ie

SHARE
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
PUBLISHED BY
Media Al-Wa'ie
  •  
  •  
 

RECENT POSTS

  • Tarikh

Spirit Islam Dalam Perlawanan Umat Tatar Sunda Terhadap Penjajah

Setelah Andalusia dikalahkan oleh aliansi Castila dan Aragorn, kaum kafir Eropa “bangkit” melawan dengan ekspedisi pelayarannya. Dimulai oleh Spanyol dan…

2 hours ago
  • Dunia Islam

Kegagalan Amerika Dan Kembalinya Khilafah

Amerika Serikat (AS) telah lama merancang perang melawan terorisme dan radikalisme di dunia Islam. Hal ini menjadi kebijakan luar negerinya…

2 hours ago
  • Hadis Pilihan

Al-‘Usyru Dan Tanah ‘Usyriyah

فِيما سَقَتِ الأَنْهَارُ والْغَيْمُ الْعُشُورُ، وَفِيمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشْرِ Di dalam apa yang diairi oleh sungai dan air hujan,…

2 hours ago
  • Takrifat

Mafhûm al-mukhâlafah Yang Tidak Diamalkan (2)

(Bagian  Kedua) Sebelumnya telah dijelaskan kondisi pertama yang menjadikan mafhûm al-mukhâlafah tidak dapat diamalkan. Berikut ini hal atau kondisi lainnya…

2 hours ago
  • Soal Jawab

Mengapa Allah Perlu Dibela?

Soal: Benarkah Allah tidak perlu dibela? Jika Allah perlu dibela maka itu sama saja dengan mengatakan Allah itu lemah. Benarkah?…

2 hours ago
  • Nisa

Peran Global Muslimah Dalam Penegakan Khilafah

Kenestapaan terus menghantui kaum perempuan dunia, tak terkecuali kaum Muslimah.  Himpitan ekonomi dan kemiskinan melanda dunia, tak terkecuali negeri kita

Sabtu, 05 Maret 2022

buletin teman surga Grow Up Gaes!

Grow Up Gaes!
Kenapa kamu kudu segera grow up? Karena ketika kamu masih mikir kepanjangan, temanmu yang lain sudah membesar dan berkembang. And than? Kamu akan makin ketinggalan, dan ujung parahnya adalah kamu bisa sampe level apatis. Duh, duh, jangan sampe segitunya ya, gaes!
Yes, let’s grow up now! Mungkin mudah dilisankan, tapi sebenarnya nggak berat-berat amat untuk dikerjakan, asal kita penuhi syarat pertamanya. Apa itu? Ya, asal kamu memang berani memilih untuk grow up, karena memang life is choice. Itu langkah pertama yang kamu kudu pilih, selanjutnya self healing dulu aja. Kamu belum butuh orang lain, bangkitkan dari dalam diri kita sendiri, jangan memandang insecure, karena sering membanding-bandingkan dengan teman-temanmu.
Yuk Self Healing
Sebelum bicara lebih jauh tentang grow up, terlebih dahulu kita harus pastikan, kita punya “bekas luka” masa lalu atau tidak. Sebab, adakalanya orang sulit grow up, karena masih membawa beban masa lalu. Maka beban masa lalu, kudu didiagnosa secara umum, baru kemudian diself healing. Jadi, sembuhkan secara mandiri dulu aja. Kamu nggak butuh menghadirkan motivator di rumahmu, karena sebenarnya kamu sendiri motivator bagi diri kamu sendiri.
Self healing, lagi rame dibicarain. Pentingnya self healing agar kita tidak memandang rendah diri kita, karena Allah sudah menciptakan kita sebaik-baik penciptaan (QS. At-Tin ayat 4), sekaligus kita juga borpotensi untuk salah dan dosa. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seluruh Bani Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang banyak kesalahannya (dosanya) adalah yang banyak bertaubat.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)
Namun self healing akan lebih bermanfaat apabila kita benar-benar memiliki motivasi untuk terlibat dalam proses penyembuhan tersebut. Caranya mudah, self healing dengan action. Shalat adalah obat untuk berbagai penyakit mental, firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS. Al Baqoroh : 15.). Berikutnya, dengan dzikir menghadirkan Allah di setiap hela nafas kita, dengan begitu hati kita akan menjadi sangat tenang. Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (QS. Ar Ra'd : 28). Jadikanlah Allah SWT, sebagai tempat kita bercerita segalanya
Scale Up, Gaes
Untuk bisa bertumbuh dan membesar, setelah dilakukan self healing tadi, berikutnya adalah scale up. Jadi, ibarat maen game, untuk sampe pada tahap yang disebut grow up, maka kita perlu mengukur diri, saat ini kita di level berapa. Untuk mengukur diri, kita harus percaya diri bahwa kita dikasih potensi yang bisa jadi berbeda dengan orang lain. Nah itulah power yang kita harus maksimal dan optimalkan. Kalo kita sudah tahu bahwa kita misal aja punya potensi skill menulis misalnya, maka yuk mulai discale up.
Nah, saat scale up ini bisa dan boleh kita lakukan sendiri dulu di awal, istilahnya mungkin otodidak. Banyak kok orang bisa berhasil di bidang atau skill tertentu, hanya belajar dari youtube, baca artikel dan sejenisnya. Baru, kalo memang dirasa kita sudah mentok, carilah orang yang lebih ahli alias expert, untuk scale up.
Jadi, kalo kamu ngerasa punya skill di desain gambar atau editing video misalnya, ya udah ulik aja sebanyak-banyaknya life hack yang banyak didapati di gadget kita. Apalagi kondisi masih pandemi seperti sekarang ini, masih punya waktu banyak untuk spend time, belajar, jangan dipake untuk gabut, atau hanya sekedar maen game.
Lalu sampe di level berapa scale up untuk bisa disebut grow up? Sebenarnya tergantung kita menetapkan target, dan juga sering-sering lihat sekitar kita. Maksudnya, kalo teman-teman kita sudah scale up-nya tinggi, ya udah kejar terus, sampe kita memang merasa puas. Asalkan cara kompetisinya sehat, dan nggak ngelanggar syariat. Walaupun sebenarnya, ibarat berlomba lari, maka dikatakan seorang pemenang, kalo emang dia akan sampe istiqomah di garis finish. Nah, kita dikatakan benar-benar grow up, ketika kita memang istiqomah di jalur itu, sampe kapan? Ya sampe kita-kita puas alias bahagia, tapi bahagia yang membawa kekekalan, yakni sampe ke surga.
Kontribusikan untuk Dakwah
Rasulullah SAW bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Artinya, kalo kita grow up jangan hanya untuk kepuasan lahiriah, tapi juga kudu kepuasan batin, yakni dengan menyalurkan atau mengkontribusikan untuk dakwah. Wah, ini bakalan luar biasa kalo anak-anak muda seperti kita yang dari berbagai skill yang mumpuni, berkontribusi dan bergabung bersama barisan dakwah.
Sebagaimana sebuah perkataan yang popular yang kurleb bunyinya “… kemaksiatan yang dimenej akan mengalahkan kebenaran yang tidak dimenej…”. Kalo dakwah ini didukung oleh para pemuda, sebagaimana di masa awal perjuangan Rasulullah SAW dikelilingi oleh para sahabatnya yang rata-rata anak muda, maka tak ayal, sebentar lagi kemenangan Islam kembali akan kita raih. Takbir! Allahu Akbar![]

Jumat, 04 Maret 2022

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 234*30 Rajab 1443 H/4 Maret 2022 M*SEKULARISME DAN KAPITALISME**PERSOALAN BESAR UMAT*

*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 234*
30 Rajab 1443 H/4 Maret 2022 M
*SEKULARISME DAN KAPITALISME*
*PERSOALAN BESAR UMAT*
Seperti tidak pernah lepas dari masalah, ada saja persoalan yang membuat umat Muslim di Tanah Air disibukkan dengan berbagai polemik. Terakhir, umat disibukkan dengan polemik pengaturan azan dan penggunaan alat pengeras suara di masjid. Tersirat kekhawatiran jika masjid menggunakan pengeras suara lima kali sehari untuk azan dapat mengganggu ketenangan warga dan merusak toleransi antarumat beragama.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Muslim tidak perlu menggunakan pengeras suara karena Tuhan Mahadekat dan tidak tuli. Lagi pula, menurut mereka, Muslim yang sadar akan kewajiban shalat tidak memerlukan panggilan keras seperti itu. Ia akan menunaikan shalat dengan sendirinya.
Apakah azan saat ini menjadi masalah besar bagi umat? Ataukah ada persoalan lain yang semestinya menjadi fokus dan prioritas umat?
*Azan Perintah Agama*
Azan merupakan panggilan shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum Muslim. Beliau bersabda:
«فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ»
_Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam kalian_ (HR al-Bukhari dan Muslim).
Suara azan memang harus dikeraskan. Semua makhluk Allah SWT yang mendengarkan panggilan azan akan menjadi saksi pada Hari Kiamat. Nabi saw. bersabda:
«لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
_Tidaklah suara azan yang keras dari seorang muazin didengar oleh jin, manusia dan segala sesuatu melainkan itu semua akan menjadi saksi bagi dirinya pada Hari Kiamat_ (HR al-Bukhari).
Karena itu keliru jika ada yang mengusulkan agar suara azan jangan diperdengarkan atau dilarang untuk dikeraskan. Juga aneh jika ada pendapat bahwa azan tidak diperlukan karena Allah Mahadekat dan tidak tuli. Nabi saw. justru memerintahkan agar suara azan dikumandangkan. Sebabnya, azan memang merupakan panggilan shalat lima waktu yang ditujukan kepada kaum Muslim.
Alasan bahwa suara azan yang keras mengganggu kalangan non-Muslim juga tidaklah tepat. Azan adalah bagian dari syiar Islam yang ditujukan kepada umat manusia. Imam an-Nawawi menyebutkan sejumlah hikmah dari azan yakni: menampakkan syiar Islam, berisi kalimat tauhid, pemberitahuan masuknya waktu shalat dan tempatnya, serta doa bagi jamaah (_Syarh an-Nawawi ’ala Muslim_, 4/77, Maktabah Syamilah).
Tidak pantas pula seorang Muslim merasa terganggu dengan suara azan. Nabi saw. menyebutkan bahwa yang terganggu oleh azan adalah golongan setan. Beliau bersabda:
«إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ»
_Jika azan dikumandangkan, setan segera berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Jika azan selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Jika dikumandangkan iqamah, setan kembali berpaling. Jika iqamah selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya_ (HR Muttafaq ‘alayh).
Merendahkan azan, seperti mensejajarkan azan dengan gonggongan anjing, atau dulu ada yang menyebutkan bahwa suara kidung jauh lebih indah daripada suara azan, adalah termasuk penistaan agama serta merupakan dosa besar. Allah SWT telah mengingatkan:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
_Jika kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan seruan itu sebagai ejekan dan permainan. Yang demikian adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal_ (TQS al-Maidah [5]: 58).
*Persoalan Utama: Sekularisme*
Sebenarnya banyak persoalan yang lebih utama dan penting untuk diselesaikan umat dan para pejabat di negeri ini ketimbang meributkan azan dan pengeras suara. Yang utama adalah sekularisme. Paham batil yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan ini menyebabkan banyak kaum Muslim yang tidak peduli dengan agamanya.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah menyampaikan data 65 persen Muslim di Indonesia ternyata belum bisa membaca al-Quran. Padahal al-Quran adalah kitab suci kaum Muslim. Membaca al-Quran berbuah pahala dan syafaat di Akhirat. Mempelajari dan mengamalkan al-Quran adalah kewajiban. Bukankah membebaskan umat dari buta huruf al-Quran seharusnya menjadi tanggung jawab umat dan negara?
Demikian pula dalam masalah shalat. Andaikan Pemerintah mau menelusuri bisa jadi akan didapatkan data bahwa masih banyak Muslim di Tanah Air yang melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Namun, akibat sekularisme, ibadah dipandang urusan pribadi belaka. Tidak ada yang berhak memaksa, termasuk negara. Karena itu tidak sedikit orang yang enteng saja meninggalkan shalat. Padahal Nabi saw. mengingatkan:
«اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
_Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir_ (HR Ibnu Majah).
Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur hingga habis waktunya maka ia telah kafir. Para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa orang seperti itu tidaklah kafir tetapi fasik dan ia diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka diterima tobatnya. Namun, jika ia tidak bertobat, ia mendapatkan sanksi hukuman mati sebagai sanksi (_had_) (Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Arba’ah_, 5/401, Maktabah Syamilah).
Nah, tugas negaralah untuk mengedukasi, menertibkan dan menghukum mereka yang meremehkan pelaksanaan shalat.
Sekularisme juga melahirkan pluralisme hingga sinkretisme. Tidak sedikit kaum Muslim mencampuradukkan ibadah dan keyakinan mereka dengan umat lain. Sebagian dari mereka bahkan dipaksa mengikuti ritual agama lain karena aturan tempat bekerja atau lingkungan mereka tinggal. Di Bali, setiap tahun umat Muslim dipaksa untuk mematuhi aturan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Mengapa hal ini tidak dipersoalkan oleh negara, khususnya Kementerian Agama?
Karena sekularisme pula umat Muslim di Tanah Air rentan mengalami pemurtadan. Pada tahun 2016, MUI pernah menyampaikan laporan bahwa setiap tahun ada 2 juta Muslim keluar dari agamanya di Indonesia. Ini menandakan lemahnya pembinaan dan perlindungan terhadap keimanan mereka yang semestinya dilakukan oleh negara.
Demikian pula kasus penistaan terhadap agama Islam yang semakin marak belakangan ini. Ini karena lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku. Bahkan sejumlah nama yang terkenal sebagai _buzzer_ justru masih eksis dan terus menerus menyemburkan fitnah dan penistaan terhadap agama Islam. Seolah-olah mereka kebal hukum.
*Kapitalisme dan Oligarki*
Setelah sekularisme, umat Muslim hari ini juga dihadang oleh cengkeraman kapitalisme dan oligarki. Segelintir orang berkuasa dan menzalimi rakyat. Kejahatan kapitalisme dan oligarki ini sudah demikian nyata seperti terlihat dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kacang kedelai dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pernah mengatakan bahwa pasar pangan di Indonesia hampir 100 persen dikuasai kartel atau monopoli. Ia mengatakan Bulog hanya menguasai 6%. Sisanya dikuasai kartel.
Kasus kelangkaan minyak goreng di Tanah Air adalah ironi. Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan perkebunan sawit terbesar. Namun, perkebunan sawit itu dikuasai hanya oleh 29 taipan yang memiliki lahan separuh Pulau Jawa alias lebih dari 5 juta hektar. Industri minyak goreng pun dikuasai hanya oleh 4 konglomerat. Itulah sebabnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sama-sama menduga ada permainan kartel. Perusahaan minyak goreng menaikkan harga secara bersamaan, padahal mereka memiliki perkebunan sawit masing-masing (_TribunJabar_, 26/01).
Negara harusnya menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mencegah serta menghukum permainan para pengusaha jika terbukti melakukan kecurangan, seperti menaikkan harga dengan sangat keterlaluan yang disebut _ghabn fâhisy_ atau _khilâbah_ (penipuan). Nabi saw. bersabda:
«بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ»
_Jual-beli muhaffalât adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal bagi seorang Muslim_ (HR Ibn Majah, Ahmad dan Abdurrazaq).
Wahai kaum Muslim! Sebenarnya pangkal dari persoalan umat hari ini, bahkan di seluruh dunia, adalah ketiadaan penerapan syariah Islam yang akan menuntaskan seluruh persoalan. Allah SWT telah menjadikan syariah Islam sebagai solusi bagi setiap persoalan manusia. Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan ragam keberkahan (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah bakal mampu melindungi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat. Khilafah akan menghapuskan paham sekularisme, melindungi akidah umat dan membimbing serta menjaga ibadah mereka. Khilafah tidak akan membiarkan ada Muslim yang tidak menunaikan kewajiban ibadah seperti shalat lima waktu atau ada Muslim yang buta huruf al-Quran. Khilafah juga akan mencegah pemaksaan ibadah agama lain terhadap kaum Muslim, sebagaimana juga melarang pemaksaan ajaran Islam terhadap orang-orang kafir.
Khilafah juga akan menciptakan regulasi untuk memberantas praktik bisnis kartel dan monopolis serta kecurangan lainnya. Negara Islam akan melindungi pengusaha juga konsumen, majikan dan buruh, sehingga semua mendapatkan haknya sesuai syariah Islam. Inilah kemuliaan ajaran Islam.[]
*Hikmah:*
Allah SWT berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
_Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh hal demikian muncul dari ketakwaan kalbu._ (QS al-Hajj [22]: 32). []